Aku meneriakkan namanya sekali lagi.

Pipinya terasa dingin di telapak tanganku. Mata ungunya yang setengah terbuka menatapku, tidak melihat. Aku bahkan tidak sadar ketika serbuan oranye yang berlutut di sekitarnya menarikku mundur dan menghalangiku melihat wajahnya yang keabuan.

Salah satu dari mereka berusaha menarik perhatianku dengan berbagai pertanyaan, namun tiba-tiba dia berhenti dengan mata membelalak menatap tanganku. Aku melihat ke bawah.

Di atas telapak tangan yang sedetik lalu bersih kini bermandikan warna merah dengan sebilah pisau yang masih meneteskan darah. Tidaktidaktidaktidak

Tuhan, selamatkan dia!


Remains

Sequel of Fake

Gundam Seed/Destiny © Sunrise, Bandai, and their creators

This is just a fan work and no material profit gained from this.

Warning: AU, kemungkinan OOC, jumpy time set, tema cerita agak dark.


Enjoy!


.

Aku terbangun dengan napas tercekat. Sesuatu yang dingin menetes melalui alis ke punggung tangan. Degup jantung yang mengamuk mengentak-entak dinding dada dengan panik bagai narapidana di balik jeruji. Telingaku masih berdenging saat aku mengerjap beberapa kali dan mengatur napas.

"Mimpi buruk lagi?"

Aku tersentak dan langsung meraih pistol di bawah bantal ketika suara itu menyela, "Hei, hei, tenang. Ini aku, kawan." Pandanganku yang buram akhirnya bisa melihat wajah yang tertutupi gelapnya ruangan. Kedua tangannya terangkat, menunjukkan dirinya bukanlah ancaman.

Kuturunkan senjata dingin itu dan mengusap wajahku dengan tangan yang lain. "Kau harusnya mengetuk." Aku bergumam.

"Sudah, tapi jelas-jelas kau tidak menyadarinya." Pemuda berkulit gelap itu menyandarkan punggungnya di tepi pintu. Rambut pirang bergelombangnya dibiarkan acak-acakan. "Tentang dia lagi?"

Aku tidak menjawab.

"Aku masih tidak mengerti. Apa yang membuatnya menghantuimu terus? Kau melanggar ancamannya?" tanyanya lagi.

Aku tidak heran Dearka tahu soal itu. Tentu saja ia mendengar percakapanku dengan dia malam itu lewat alat penyadap yang diselipkan di kamarnya, mengawasi setiap kata yang dia ucapkan. Kalau ada 'hal mengkhawatirkan' yang menyebar dari bibir pucat itu, target berikutnya bisa dipastikan dengan cepat. Untungnya tidak ada.

Aku tertawa miris. Tentu saja. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukan, seperti menyelamatkan nyawa seseorang yang membunuhnya dan tetap diam soal itu.

"Kau benar-benar percaya hal seperti itu?" Kuputuskan untuk meladeni rekan satu timku ini.

"Tentu saja tidak." Ia mengambil gelas di atas nakas dan mengisinya. Gelas yang setengah terisi air putih itu sudah ada di depan wajahku beberapa detik kemudian. Aku menerimanya dengan anggukan. "Hubungan yang kaubuat dengannya, itu semua palsu, kan? Kau sudah sering melakukannya—ratusan kali mengalaminya. Aku hanya tidak mengerti kenapa kali ini sepertinya benar-benar berpengaruh padamu."

Karena kali ini tidak sepenuhnya palsu. Aku menggeleng. Apa yang kupikirkan? "Entah. Sama bingungnya denganmu."

Aku bisa merasakan Dearka menusukku dengan mata ungunya (dia juga bermata ungu—oh, sial! Hentikan pikiran itu, Zala!). "Ngomong-ngomong," suara berat itu kembali menarikku ke dunia nyata, "kau mimpi apa? Dia membunuhmu berulang kali? Menembakmu tepat seperti yang kaulakukan untuk membunuhnya?"

Pertanyaan itu murni untuk membuatku merasa lebih baik, aku tahu. Mungkin dengan begitu Dearka bisa mulai membuat lelucon agar mimpi itu tidak terasa begitu buruk. Untuk kasus kali ini, tidak, apa pun yang Dearka lakukan, aku tahu aku tidak akan merasa lebih baik.

"Lebih buruk berkali lipat," jawabku.

Perasaan bersalah menyaksikannya terbunuh berulang kali.

.


Jemariku memutar-mutar ponsel dengan warna metalik yang sudah memudar di beberapa sisi. Kusentuh layar yang dipenuhi goresan halus itu. Tanganku bergerak otomatis ke kotak pesan masuk. Satu nama berawalan C terpampang sepanjang beberapa baris ke bawah sampai akhirnya ada satu nama yang memutus deretan itu.

Kira

03/17/74 [10:47]

Aku sudah di antrian ketiga.

Jadikan take away saja. Kita bisa

langsung mencobanya sambil

makan di rumahku.

Ketemuan di eskalator!

Gigiku bergemertak. Meski aku sudah berusaha melupakannya, pesan super biasa yang dikirim tiga bulan lalu itu entah kenapa sudah terukir dengan seenaknya di kepalaku.

Sudah berulang kali aku ingin membuang ponsel samaran ini ke kotak sampah—bahkan melemparnya ke dinding pun sudah—tapi sampai menghancurkannya dan melenyapkan benda kecil itu dari hidupku selamanya ... aku tidak bisa. Jantungku selalu berdetak sangat cepat dan aku tidak bisa bernapas setiap kali hampir melakukannya. Begitu aku tersadar, ponsel itu sudah tersimpan dengan aman dalam kantung celana, menjadi sebuah beban mengganjal yang tidak bisa kuenyahkan. Paling tidak, aku bisa bernapas lagi, denyut jantungku kembali tenang.

Tanganku kembali menggeser layar ke bagian paling atas, ke pesan terakhir yang baru masuk berada. Pesan itu pun sangat sulit kuabaikan meski tidak tertanam sedalam pesan dari dia yang tidak ingin kusebut namanya.

Cagalli

06/04/74 [23:34]

Sore tadi aku menyewa film

remaja konyol yang disarankan

Flay. Mengerikan. Kau masih

belum membalas pesanku. Baik-baik saja?

Aku menutup mata.

... lupakan perasaanmu terhadap Athrun Zala. Dia seorang pembohong.

Kedua tanganku terkepal erat. Aku sudah memberitahunya! Aku sudah memenuhi janjiku! Bukan salahku Cagalli masih terus menghubungiku meski aku tidak pernah membalasnya sejak hari pemakaman!

Jadi kenapa kau tidak mau meninggalkanku dengan tenang?

.


Kami sama-sama mengangkat kepala, menatap kepulan awan mendung yang terus bergerak. Kaki-kaki yang tak beralas menggantung begitu saja dua puluh meter di atas tanah. Kami duduk bersebelahan di pinggir atap kampus, menikmati terpaan angin sebelum hujan yang mengibarkan jubah keemasan yang melingkar di bahu kami.

"Pasukan naga pertama sebentar lagi tiba," ujarnya datar dengan nada serius.

Aku membalas dengan gumaman dan anggukan.

Pemuda berambut cokelat itu mengulurkan tangannya ke arah langit. "Kau akan bertempur bersamaku, kan?" Masih tidak menatapku, ia bertanya.

"Tidak," jawabku.

Ia mendengus. "Ya, benar," balasnya sarkatis.

Aku tersenyum tipis. "Hei, aku serius. Kau bisa pergi melawan naga-naga itu sendirian dengan pedang plastikmu. Aku akan masuk saja ke dalam dan mengontrol quinjet dari ruang dekan. Jauh lebih efektif."

"Lalu Nazgul menusukmu yang sedang malas-malasan di kursi putar dari belakang dan menerbangkanmu ke dimensi lain." Ia tertawa—yang entah kenapa membuatku merasa hangat. "Kau merusak jalan ceritanya, Athrun."

Aku ikut tertawa. "Maaf. Dosis drama romantis berlebihan memengaruhi otakku." Kutangkap ujung jubahku dengan tangan kanan. "Padahal kostumnya lumayan bagus. Sayang sekali cuma dipakai untuk cerita fantasi-romansa."

"Kalau ceritanya diganti jadi petualangan meruntuhkan tirani raja, bisa-bisa panggungnya dipenuhi seluruh anak laki-laki kelas kita." Aku bisa melihat mata ungunya yang membulat antusias. "Pasti bakal keren."

Aku mengangguk setuju, membayangkan Kira yang mengangkat pedangnya tinggi-tinggi sembari menyerukan kalimat-kalimat patriotis, Rey yang duduk sok kuasa di kursi tahta, dan segerombolan anak-anak kelas kalah undian yang harus memakai kostum monster atau baju pelindung berat yang menutupi wajah dalam peran mereka menjadi pasukan Raja, lalu di waktu bersamaan, semua senjata mainan yang dibeli di pasar dengan harga murah teracung dan panggung kecil di gedung serba guna itu akan menjadi arena tauran.

Seringaiku terkembang. Oh, itu pasti akan sangat menarik.

Ia menarik napas dan mengangkat satu kakinya. "Aku mau beli jus dulu. Rasa biasa?" tanyanya saat sudah berdiri.

Aku baru akan menjawab ketika suara ledakan yang sangat besar menggetarkan seluruh gedung. Lenganku melingkar melindungi kepala ketika sambaran angin kencang yang panas menusuk wajah.

Begitu aku membuka mata, noda merah besar meluas dengan cepat sampai menutupi separuh kaki kanan Kira yang masih berdiri. Celana cokelatnya koyak parah, memperlihatkan luapan darah yang masih merembes dari luka di baliknya. Kaki jenjang itu tiba-tiba tertekuk seolah tali yang mempertahankannya tetap tegak putus, menarik tubuhnya ke belakang.

Mataku membulat. Tubuhku maju secara refleks dan—terlambat. Hal terakhir yang kuingat sebelum suara krak mengerikan itu terdengar adalah mata ungunya yang membulat, menatapku dengan penuh kekecewaan dan kemarahan—juga menuduh. Aku melihat ke bawah, menemukan sebuah kotak hitam kecil—detonator—tergenggam dalam lipatan jariku yang terulur.

Aku terbangun dengan kaos yang lengket oleh keringat.

.


Ketika gadis berambut pirang itu berdiri tiga meter di depanku, tubuhku menolak untuk bekerja. Mata kuning kecokelatannya melebar dengan kesan berkaca-kaca yang tidak kumengerti. Mulutnya terbuka-tutup seperti kekurangan oksigen. Sementara itu, roda di otakku berputar dengan gila.

Apa yang dia lakukan di sini? Di Copernicus? Dia seharusnya ada di Orb!

"Alex?" Shinn Asuka bertanya dari sebelahku. "Ada apa?"

Aku benci ini. Akubenciiniakubenciiniakubenciini.

Sialan!

"KENAPA KAU ADA DI SINI!?" seruku sekuat mungkin dengan suara bergetar, menarik perhatian beberapa orang yang melintas. Satu ... dua ... aku mengambil tiga langkah mundur. Mataku membulat ngeri.

Tangan Shinn terulur dengan ragu. Aku terus menggeleng, memejamkan mataku rapat-rapat, dan menunduk, menolak melihat tatapan terluka dan bingung yang gadis itu berikan. "Ath—"

"BERHENTI MENGIKUTIKU!" Kepalaku terangkat, menunjukkan air mata yang tumpah tidak terkendali. "Kau ... keluargamu terkutuk! Pertama ayahmu, lalu ki-kir ... ki—apa yang telah kalian lakukan!?"

Kali ini Shinn mencengkram kedua bahuku erat-erat. "Alex! Tenanglah! Apa maksudmu? Siapa dia?"

Aku menunjuk wajahnya dengan napas memburu. "Dia adalah alasan kenapa aku pindah ke Mendel!" Aku tertawa dalam histeria. "Ayahnya dibunuh. Tidak lama setelahnya giliran saudaranya—seluruh keluarganya dibunuh kecuali dia! Jika aku terus terlibat dengan keluarga terkutuk ini, aku yakin selanjutnya aku yang akan dibunuh! Dosa apa yang sudah kalian buat, hah!? Kau ... kau ... kenapa kau masih di sini, Cagalli Hibiki?! Berhenti. Mengikuti. AKU!"

Aku berlari.

Karena jika aku tetap ada di sana bahkan sedetik saja, 'mereka' akan curiga.

Karena jika Shinn tidak langsung meneriakkan namaku, Cagalli mungkin akan memanggil namaku yang sebenarnya dan mencoba mengajakku bicara.

Karena jika aku diam di sana dan melihat hasil dari luka sangat dalam yang kubuat, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.

Lagi.

.


Hiroki Asuka, MD

Mission accomplished

Tiga tahun lalu, meski ketakutan aku akan merasa bangga dan senang melihat dua kata itu. Aku berhasil menghapus satu ancaman, satu hal kecil untuk menyelamatkan dunia. Sekarang, aku tidak lagi ketakutan, namun tidak ada lagi yang kurasakan ketika melihat dua kata itu selain rasa jijik dan muak.

"Kau tidak bisa berhenti, Zala. Ini bukan cuma 'pekerjaan'. Ini berbeda. Tidak ada jalan keluar," jelas Yzak dengan suara yang sangat pelan sembari memijat-mijat puncak hidungnya.

Aku tahu. Aku tahu itu. Bahkan mengundangnya ke apartemen sementara ini selagi dia memiliki misi lain adalah risiko yang sangat besar.

"Karena itulah aku mau kau membunuhku, Yzak."

Kepala putih itu langsung menoleh ke arahku. Keterkejutannya hanya bertahan sebentar. Kini kami hanya saling tatap, menilai keseriusan dan kewarasan satu sama lain sambil membaca hal-hal yang tidak dikatakan.

Aku tidak bisa melakukan ini lagi.

Aku hanya akan semakin mengacau.

Harus berhenti.

Kau harus membunuhku.

Akhirnya, Yzak menurunkan kakinya yang terlipat, berdiri, memakai sepatu, dan berjalan keluar tanpa sepatah kata pun.

Aku menelan ludah, meninju meja di depanku, dan menggeram. "Aku bukan orang jahat—tidak, aku bukan orang jahat," gumamku di antara suara air mendidih di dapur yang memanggil.

Siapa yang coba kubohongi?

.


CD Player di atas meja dapur mengisi apartemen itu dengan lagu alternative rock meski jarum jam masih singgah di angka empat. Aku menekan tombol volume di remote, mengeraskannya beberapa tingkat ketika suara sahutan dan dan ketukan yang tidak ramah menyerang pintu.

Pintu itu akhirnya terbuka dengan hentakan.

"Polisi! Tangan di atas kepala! Jangan bergerak!"

Aku melakukannya. Aku menarik napas dengan tenang, menutup mata, dan meletakkan kedua tanganku di atas kepala. Tak satu pun kata yang keluar dari mulutku ketika mereka menahan kepalaku di atas meja dan menarik tanganku ke belakang dengan kasar untuk memasang borgol. Seorang detektif berambut pirang yang mengenakan setelah tua berwarna krem dan abu-abu berhenti di tengah ruang tengah dan memberikan beberapa instruksi untuk memeriksa seluruh ruangan.

Pria itu menoleh ke arahku. "Alex Dino alias Athrun Zala, kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan Dokter Hiroki Asuka. Kau punya hak untuk tetap diam. Apa pun yang kau katakan bisa dan akan digunakan untuk melawanmu di persidangan. Kau boleh bicara dengan pengacaramu dan memintanya hadir selama interogasi. Bila kau tidak punya, Negara akan menyediakannya untukmu." Ia mengumpat. "Nak, kau masih sangat muda! Apa yang kaupikirkan?—Hei! Siapa yang membiarkan wartawan masuk!? Usir dia! Dan kau, tolong, matikan lagu sialan itu!"

Aku tidak menjawab dan hanya memerhatikan tingkah pria di awal usia empat puluhnya itu yang agak lucu. Menyadari tatapan yang terus kuberikan padanya, ia menautkan kedua alisnya padaku. "Apa?"

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Detektif Mwu La Flaga dan kita masih akan bertemu untuk beberapa hari ke depan jadi sebaiknya kau mengingatnya." Ia memerhatikan apartemen kecilku yang hanya berisi barang-barang standar: sofa krem, TV ukuran sedang, CD Player—yang CD-nya baru saja diambil dan dimasukkan ke kantung barang bukti untuk diperiksa lebih lanjut, sebelum kembali memerhatikanku dari atas sampai bawah. Aku hanya memakai kaos polos merah dan jins, tidak banyak yang bisa disembunyikan.

Tatapan pria itu melembut dengan seraut kekecewaan. "Serius, Nak. Apa yang kaupikirkan? Kau melibatkan dirimu ke dalam apa?"

Aku hanya tersenyum tipis. "Aku orang yang jahat."

Tidak ingin meladeniku lebih jauh, akhirnya Detektif La Flaga menyuruh salah satu personilnya untuk membawaku ke mobil dan langsung menuju kantor polisi.

Beberapa warga sekitar yang terbangun akibat keributan dan sirine-sirine itu memutuskan untuk menonton dari teras atau balkon mereka, masih dengan piyama, roll rambut, dan gaun tidur. Polisi yang mengawalku mendorongku masuk ke kursi belakang, duduk di belakang stir, dan membawa kami pergi.

Langit yang masih gelap membuatku bersyukur dan merasa tenang. Hampir tidak ada orang yang berlalu lalang. Jalan raya pun masih lengang, terutama di bagian pinggir kota seperti ini. Polisi itu melirikku dari kaca spion dalam dengan mata tajamnya.

Aku menyandarkan kepalaku pada kursi depan dan bergumam, "Terima kasih."

Tidak ada balasan.

Ketika sinar kuning yang sangat terang menerobos kaca depan, aku menutup mata. Suara decitan rem yang memekakkan telinga memecah kesunyian seiring tubuhku yang terbanting ke pintu mobil oleh gaya yang hebat.

Aku bebas.

.


End of part 1


Yes, I decided to write a sequel. It's an unplanned story (again, like the first one). Suddenly I just really want to write the first scene but I don't know what it is about. I don't want to make it all too cliche out of nowhere or forced (for the cause of death etc), so yeah, why not make it some kind of sequel from previous setting? Maybe it's still cliche but at least it has some background. Or so I ... think.

Saya minta maaf kalau misalnya prosedur penangkapan dan jabatan Mwu ngaco abis. Saya beneran ngasal soal itu. Yang saya bayangin waktu nulis scene Mwu di sini itu DI Lestrade dari fandom sebelah. Tadinya mau ditulis Detektif Inspektur, tapi udahlah detektif aja. Makanya saya bilang ngaco abis. Sekali lagi maafkan ... mungkin ada yang mau ngoreksi?

Cerita ini mau saya buat two-shot. Chapter selanjutnya akan saya coba buat secepatnya (sebisanya sih, gak tau aaaa, ini pelarian saya dari skripsi #curcol).

Terima kasih banyak untuk readers yang udah bersedia mampir dan baca! Have a nice day!