Underneath
Seventeen © Pledis Ent
All Cast © Agensi masing-masing (?)
WARN! : YAOI, Alternate Universe!, OOC, TYPO
A/N : Mungkin beberapa cast fic ini akan begitu terlihat OOC, tapi ini bener-bener udah diusahain supaya gak OOC, semoga keOOCan ini masih bisa diterima akal sehat, dan ini bukan GS (?)
.
.
.
Seandainya Mingyu tahu bahwa Seungcheol akan mengatakan ini padanya di penghujung hari, seharusnya ia membawa souvenir kegelapan dan ketakutan untuk dewa-dewi Olympia.
Mingyu menghela napas. Semenjak si bungsu mendapatkan langit sebagai tempat kekuasaannya, sepertinya dia sudah berusaha menendang semua kakak laki-lakinya pergi. Beberapa minggu lalu, ia sudah menendang Junhui, atau begitulah yang Mingyu pikirkan.
Mereka berdua tidak pernah akur. Junhui akan benci jika harus dibanding-bandingkan dengan Seungcheol. Oh, kau nyaris setampan Seungcheol, apakah kau bisa menang melawan Seungcheol dalam pertandingan gulat, kau mungkin bisa berkuasa seperti Seungcheol suatu saat nanti.
Hal itu akhirnya membuat Junhui meledak, padahal ia biasanya pria yang tenang. Biasanya ia hanya merengut saat Seungcheol menyuruhnya ini dan itu, kadang ia memang melawan atau mendumel. Mingyu rasa dendam di dalam hati kecilnya itu sudah penuh.
Itulah mengapa beberapa minggu lalu, semua dewa dan dewi ikut tegang. Jika Seungcheol berperang melawan Junhui, langit akan melawan laut, dan tentu saja dunia akan porak-poranda.
Mingyu melihat adegan itu berputar kembali di ruang singgasana. Junhui mengangkat trisulanya dengan marah saat berkata, "Kau ingin mengusirku kan, Dik?"
Mata biru Seungcheol berkilat bahaya, "Aku tidak bilang begitu, kau sendiri yang akan pergi. Bukannya kau seharusnya memanggilku kakak? Jelas kau dimuntahkan setelah aku lahir." Dia membuka telapak tangannya dan sebuah petir terlontar dari tempatnya dan mendarat di sana. Petir itu mendesis saat Seungcheol mengacungkannya tepat ke bawah hidung Junhui.
Junhui tidak gentar, Dewa Laut itu balik mengacungkan trisula ke titik di antara kedua mata Seungcheol. Mingyu bisa mendengar suara petir menggelegar dan suara ombak mendebur. Dunia sudah siap untuk berperang dengan dirinya sendiri.
Mingyu? Ia hanya duduk di kursinya dan mengamati kedua saudaranya. Baginya, tidak ada alasan untuk ikut perdebatan konyol mereka. Dari kecil, Mingyu selalu menganggap bahwa Junhui orangnya temperamental dan Seungcheol tukang pamer.
Kemudian pintu singgasana terbuka dengan keras, Bunda Rhea berdiri di sana. Mingyu yakin Somi sudah mengadu padanya, dia tidak pernah menyukai perdebatan antar anggota keluarga. Kedua saudara yang sudah dalam posisi siap menyerang akhirnya menegakkan dirinya.
"Kalian bertengkar lagi." Kata-kata tadi jelas bukanlah pertanyaan. Bunda Rhea sudah terlalu sering melihat kedua anak laki-lakinya itu bertengkar.
"Seungcheol yang memulainya." Junhui menunjuk Seungcheol dengan trisulanya.
"Junhui yang memulainya." Seungcheol balik menunjuk Junhui dengan petirnya.
Dan Mingyu hanya menatap mereka. Untuk apa juga ia repot-repot membantu? Jelas itu bukan masalahnya. Tapi Bunda Rhea menatap putranya yang masih setia duduk di tempatnya dan berkata, "Kau tidak berusaha melerai mereka."
Itu lagi-lagi pernyataan.
Mingyu mengangkat bahu sambil menyandarkan punggung, "Tidak." Nah, tidak ada gunanya juga untuk menjawab panjang lebar.
Bunda Rhea menghela napas, bisa dibayangkan rasanya harus menghadapi tiga anak laki-laki yang semuanya egois. Ia menatap Junhui dan berkata, "Kenapa kau tidak tinggal di laut saja? Kau bisa membangun istana di sana, kau bisa memulai petualangan yang suka kau ceritakan padaku, apa judulnya? Oh iya, 'Junhui si Petualang Laut'. Kudengar kau ingin menjadikannya buku berseri, kan?"
Seungcheol terbahak sampai nyaris menangis dan wajah Junhui memerah seolah baru dikeluarkan dari rebusan sup. Mungkin Mingyu juga ingin terbahak, tapi rupanya ia punya selera humor yang cukup berbeda dibanding yang lainnya.
Bunda Rhea selalu berbicara dengan nada yang sama, "Kau tahu, aku bisa mengirimkanmu sekelompok Telekhines. Kalian bisa memulai petualangan tadi itu, dan kau bisa mulai membuat istanamu sendiri. Bagaimana?"
Junhui menatap tajam ibu mereka, dia sedang mempertimbangkan penawaran tadi dengan otaknya yang penuh karang laut. Mingyu menguap di tempat duduknya, drama keluarga memang cukup menghibur untuk dilihat. Akhirnya Junhui mengangguk, dia menatap ibunya sebelum berderap keluar dari ruang singgasana.
Kali ini Seungcheol menatap ke arah Mingyu, ia tahu mungkin berikutnya Seungcheol akan mencoba menendangnya pergi.
Seungcheol berdiri dengan tangan terlipat, berusaha terlihat berwibawa bahkan di saat ketakutan nyaris membuatnya berteriak dan lari kabur. Raja Olympus itu berdeham pelan sebelum berkata, "Kau tahu kan, bung. Kita tidak bisa meletakkan singgasanamu di sini, bahkan semua yang ada di sini sudah ketakutan saat kau muncul."
Mingyu ingin sekali mencakar wajah tampan Seungcheol saat mendengar kalimat itu, tapi jelas ia tidak ingin terlihat marah. Ia hanya mengangkat bahu sambil menggumam, "Setelah Junhui, jelas kau ingin mencoba mengusirku kan?"
Dia tidak menjawab, tapi sebuah petir melayang dan mendarat persis di tangan kanannya. Mingyu menguap, ini jelas konyol. Seungcheol tahu ia tidak bisa menakut-nakuti Mingyu begitu saja, Ia bukan Junhui yang mudah tersulut.
Ketika Seungcheol melihat Mingyu tidak bereaksi, dia berkata lagi, "Mungkin tidak, kau masih diperbolehkan untuk mengunjungi kami setiap titik balik matahari musim dingin."
Mingyu mengangkat bahu lagi. Lagipula semakin dipikirkannya, rasanya pasti menyenangkan menyingkir dari depan hidung si Seungcheol itu, ia juga muak menjalankan perintah konyolnya.
Salah satu alis Seungcheol terangkat saat melihat reaksi sosok yang lebih tinggi. "Kau setuju untuk pergi?"
"Ya, jika tidak kau pasti akan terus mencoba mengusirku dengan berbagai alasan. Sepertinya singgasanamu rusak, bung. Kau tahu singgasanamu tidak cocok dengan dekorasi ruangannya? Terlalu banyak bau kematian di sana. Nymph terakhir yang berkunjung ke sini mengalami serangan jantung setelah melihat singgasanamu yang menyeramkan itu. Aura gelapmu membuat kami terpaksa membatalkan pertemuan, kau tahu?"
Sebelah alis Seungcheol terangkat lebih tinggi lagi, "Jelas yang tadi adalah pidato terpanjangmu selama dua abad ini."
Mingyu memutar bola mata malas, Seungcheol memang menyebalkan.
.
.
.
Setelah sampai di Dunia Bawah lagi, Mingyu berjalan lurus langsung ke kantornya. Memang rasanya tidak lazim bagi dewa untuk punya kantor, tapi kan ini istana miliknya. Mingyu membangun apapun yang menyenangkan, theater pribadi, lapangan luas untuk para arwah bertanding sepak bola, seluncuran raksasa dari lantai teratas istana, lift di setiap sisi–ia benci jika harus menunggu lift terlalu lama.
Mingyu mengusap ketiga kepala Cerberus, hewan itu mendengus padanya. Oh jangan disalahartikan, anjing itu mendengus pada hal yang dia sukai dan menjilati hal yang akan dia hancurkan. Mingyu duduk di kursinya dan baru akan memencet tombol pijat otomatis ketika pintu kantornya diketuk.
Soonyoung melenggang masuk, "Oh, jadi kau sudah memutuskan untuk angkat kaki dari Olympus?"
"Jika tidak, toh dia akan mengusirku juga."
"Benar, kau tidak pernah bisa melawan perintah Raja."
Mingyu menyipitkan mata menatap dewa satu itu. Tubuhnya yang kecil berbalut jubah perak, dua pasang sayap mengepak-ngepak di kedua kakinya, matanya biru jernih sewarna mata ayahnya–Seungcheol, rambut coklat pendeknya mencuat ke segala arah. Jelas anak ini akan menjadi anak nakal, anak yang biasanya duduk dengan kaki dinaikan ke atas meja.
Dia tersenyum, "Kau mendapat memo khusus yang berlabel sangat rahasia."
Soonyoung mengulurkan sepotong kertas kecil, Mingyu menghela napas dan membacanya. Kau diusir juga? Kau tahu, kita bisa memulai pemberontakan. Lalu Mingyu mengambil sehelai kertas dari meja dan mencelupkan pena ke dalam tinta. Tidak terlalu banyak berpikir saat menuliskan jawabannya. Tidak.
Soonyoung menatap Mingyu saat ia menyerahkan kertas yang sudah dilipat kepadanya. Lalu Soonyoung kembali berkata, "Pengiriman memo dengan label sangat rahasia akan memakan biaya tambahan."
Mingyu menguap dan membuat gerakan tangan mengusir, "Minta di bagian keuangan."
"Baik, bos."
Soonyoung melompat keluar ruangan dengan kepakan sayap di kakinya yang berisik, meninggalkan pintunya terbuka.
Mingyu mengerang sebelum membentak, "Siapapun dalam radius lima puluh meter, tutup pintu itu atau kuledakkan kalian semua menjadi abu!"
Terdengar suara langkah kaki berat sebelum sebuah tangan berlendir dan busuk menutup pintu itu tanpa suara.
.
.
.
Terlalu banyak kematian, memboroskan keuangan. Terlalu banyak arwah yang perlu dibimbing, memboroskan keuangan. Terlalu banyak penjaga Ladang Hukuman, memboroskan keuangan. Mingyu menggerung kesal di kursi kantornya. Laporan-laporan baru tentang penjagaan di Dunia Bawah membuat kepalanya berdenyut marah. Hari ini akan melelahkan, terlalu banyak yang perlu diperbaiki. Laporan tentang defisitnya pemasukkan, pemberontakan pekerja di mana-mana.
Baru saja ia akan mulai dengan tumpukan kertas terdekat dan akan memencet tombol pijat otomatis ketika pintu kantornya berdebam membuka lagi.
Mingyu mengeluh dengan keras saat melihat Soonyoung berjingkat senang masuk ke dalam kantornya, dia tidak melihat raut wajah Mingyu yang siap mencincangnya dan membuangnya ke lubang terdalam Tartarus. Kedua pasang sayapnya mengepak dengan berisik seperti serangkaian lonceng, Mingyu berusaha menahan godaan untuk merenggut putus sayap-sayap itu.
Soonyoung menatap sosok yang sedang duduk itu dan sebuah kotak berbungkus coklat muncul di lipatan tangannya. Dia meletakannya di atas meja dan berkata, "Sebuah kiriman khusus untuk Raja Dunia Bawah, silahkan tanda tangan di sini."
Astaga, bahkan suara si kecil ini nyaris membuat sumbu kesabaran Mingyu yang pada dasarnya memang sudah sedikit hampir terbakar habis. Dengan tangan bergetar karena kesal, Mingyu membubuhkan tanda tangan di kertas tanda bukti penerimaan. Soonyoung melongokkan kepalanya ke meja, membaca hal yang sedang Mingyu kerjakan.
Soonyoung menegakkan badan sambil berkata, "Laporan keuangan? Kau bisa lihat banyak defisit terjadi di sini. Bagaimana mungkin?"
"Kau mau melompat keluar sendiri atau kulempar kau keluar?"
Soonyoung menatap Mingyu dengan mata birunya yang berkilat sebelum membungkuk, "Santai, nah terima kasih, Raja Dunia Bawah. Raja Seungcheol menitip salam."
Sebelum Mingyu bisa bangkit dan berdiri, Soonyoung sudah melompat cepat dan menghilang dengan senyum miringnya. Mingyu mengerang marah saat melihat si kecil itu membiarkan pintu kantornya terbuka lagi.
Mingyu membuka paket yang diletakkan tadi dengan satu sentakan dan membuka kotaknya dengan cepat. Sekuntum bunga mawar dengan cap tengkorak di setiap helai kelopaknya muncul dihadapannya dengan bau menyengat, sebuah pesan tersemat di bawah kotak itu, "Nah, kenang-kenangan dan ucapan terima kasih dari kakakmu. Olympus sudah merindukanmu–Seungcheol."
Mingyu merasa amarahnya tersulut dan membuatnya membayangkan mawar itu terbakar. Dalam hitungan milidetik, mawar-mawar itu sudah berbalut api dan berbau gosong serta mendesis-desis. Mingyu meninju tombol pijat otomatis dengan kekuatan yang berlebihan, tombol itu rusak dengan suara krak pelan.
Ia membentak, lebih kasar dari sebelumnya, "SIAPAPUN DALAM RADIUS SATU KILOMETER, TUTUP PINTU KANTORKU DAN PASTIKAN TIDAK ADA LAGI DEWA DENGAN SAYAP BERISIK DI KEDUA KAKINYA MENGUNJUNGI KANTORKU SELAMA SISA HARI INI ATAU KULEMPARKAN KALIAN SEMUA KE SUNGAI STYX."
Sebuah tangan transparan muncul dan menutup pintu dengan cepat.
.
.
.
Walaupun Mingyu sudah tidak mengunjungi Olympus tetap saja mereka masih datang dan mengganggu. Soonyoung tidak ada henti-hentinya mengunjungi Mingyu dan selalu meninggalkan pintu terbuka di belakangnya selama beberapa minggu sampai Mingyu benar-benar membakar ujung jubahnya yang berkibar.
Beberapa dewa yang cukup berani datang mengunjungi Mingyu dan biasanya berakhir dengan meminta bantuannya untuk mencabut nyawa seorang selingkuhan suaminya–biasanya Jeonghan, atau meminjam monster yang mengerikan untuk menakuti seorang manusia yang biasanya anak selingkuhan suaminya–Jeonghan juga.
Kadang mereka hanya bosan di tempat mereka dan berpikir untuk mengunjungi bagian tersuram di seluruh dunia adalah sebuah keputusan menarik, padahal itu salah besar.
Kali Mingyu kedatangan tamu berikutnya, Daedalus sedang menunjukkan sebuah jalan yang telah dia rancang untuk mempermudah pemindahan arwah ke tempat mereka masing-masing, semuanya dilengkapi dengan pintu pendeteksi logam, kebohongan, dan dosa berat yang tidak terampuni.
Jisoo melenggang masuk dengan baju besinya yang berat dan berlumuran darah kering. Mingyu memberi isyarat Daedalus untuk menyingkir, Makhluk itu membungkuk dan keluar dengan sepelukan kertas di depan dadanya.
Mingyu mengeluh saat Jisoo berdiri di depannya, "Kau bahkan tidak bisa mengurangi bau darahnya? Di sini sudah berbau terlalu busuk, jangan kau tambah lagi bebauan lainnya."
Jisoo tertawa dengan suara seperti kaleng yang terinjak, "Paman, kau tahu aku menyukai bau darah lebih dari siapapun."
"Bukan artinya ada makhluk lain yang akan menghargai bau darah. Jadi, ada apa?"
"Begini, Paman. Aku sedang melakukan hobiku seperti biasa, mengamati perang di daerah pinggir Yunani, dan perang sudah berlangsung selama beberapa hari tanpa ada satupun korban jatuh. Aku menyukai perang dan segala macam siksaan sadis, tapi bahkan apa artinya perang jika tidak ada yang kalah? Orang-orang hanya mengayunkan pedang mereka tanpa arti."
Mingyu memijat pelipisnya, terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan daripada mendengar hal tidak penting ini. Tapi ia sendiri sedang tidak ingin berdebat, "Jadi kenapa?"
"Kemana Thanatos?"
Mingyu tidak kepikiran, "Siapa?"
"Salah satu sipir kesayanganmu, Thanatos. Hitam berjubah lebar, bersayap, tampan, pekerjaannya mencabut nyawa?"
"Oh well, aku tidak tahu. Banyak pekerja mogok belakangan ini, mungkin dia memilih kabur atau apalah."
"Paman, dia jelas tidak akan kabur. Pekerjaannya yang paling penting." Kadang Mingyu membenci suara si dewa sok ini, dia merasa urusannya yang paling penting? Memangnya ia yang bertanggung jawab jika salah satu anah buahnya hilang? Toh Mingyu bukan ibu mereka, si Thanatos ini juga sudah besar.
"Kenapa kau tidak menjadi baik padaku dan pergi mencarinya? Aku yakin dia fans beratmu, kau memberinya pekerjaan lebih." Mingyu memijat pelipis lagi, ternyata mengatur sebuah kerajaan jauh lebih sulit. Terutama kerajaan yang berisi arwah.
Jisoo menggeram dan bergumam, "Akan kubunuh siapapun yang membuat Thanatos tidak bekerja."
Mingyu berkata dengan nada sedatar mungkin, "Ya, sana pergi. Aku suka hiburan dan itu pasti sangat menghibur."
Jisoo melangkah keluar dengan sepatu boot beratnya yang menimbulkan denyutan di kepala Mingyu bertambah. Astaga Mingyu rasa ia harus mempertimbangkan untuk cuti dari menjadi raja selama beberapa minggu, ini bisa membuatnya gila.
.
.
.
Pada akhirnya Mingyu memutuskan naik ke atas sebentar, untuk melihat seberapa tidak kacaunya kerajaan yang dipimpin Seungcheol. Kereta perang yang ia hela itu naik perlahan dan Mingyu bisa merasakan kuda-kudanya menembus tanah tapi tidak bisa melihat mereka.
Mingyu mengenakan helm kegelapan untuk berjaga-jaga jika ada yang ingin mencoba mengganggunya. Oh tentu saja helm itu bisa mengirimkan ketakutan untuk setiap makhluk yang berada di sekitarnya dalam radius empat ratus kilometer. Ia bisa saja melumpuhkan sebuah desa, tapi tidak ah. Terlalu membuang waktu berharganya.
Kereta perangnya mendarat di sebuah padang rumput, yang benar saja? Akan sangat mengerikan jika ada seseorang yang dapat melihatnya di sini.
Mingyu sudah berpikir mau pergi ketika sebuah suara masuk ke telinganya. Ia langsung membuat helm kegelapan dalam mode siap dan menyiagakan tangannya di kekang kuda.
Suara itu terdengar samar-samar, seperti... sedang menanyakan sesuatu? Mingyu berusaha mendengarnya lebih baik lagi, tapi ia tidak berhasil.
Mingyu menggerakan kuda-kudanya yang segelap malam untuk mengikuti kemana suara itu berasal sepelan mungkin.
Suara itu menanyakan… tunggu, suara itu bergumam─atau bernyanyi? Mingyu berani sumpah suara itu tidak semerdu yang dapat dibayangkan, namun suara itu membuat Mingyu mengingat air, aliran air yang lembut dan menenangkan. Sejak kapan Mingyu menganggap air itu menyenangkan?
Di Dunia Bawah tidak ada air yang menenangkan. Hanya ada lima sungai yang tidak akan mengangkat semangat hidup, bahkan hanya dari mendengar namanya.
Angin pelan tiba-tiba menghembus di sekelilingnya, membuat dedaunan bergoyang. Ok, ini jelas tidak normal. Ada sebuah sihir di sini, sebuah sihir gelap.
Seluruh tubuh Mingyu rasanya berhenti ketika melihat sesosok makhluk dari kejauhan. Makhluk itu jelas sedang berlutut di tanah dan wajahnya diturunkan sampai nyaris bersentuhan dengan semak di depannya.
Mingyu membuat dirinya tidak terlihat sebelum turun dari kereta perangnya dan berdiri di dekat sebatang pohon ek yang sudah kelewat tua. Seharusnya Thanatos mencabut nyawa pohon itu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya itu bukan tugas si Thanatos. Ah masa bodo.
Mingyu mengamati makhluk itu dengan mata disipitkan, jelas makhluk seperti itu tidak ada di Dunia Bawah. Dia menyentuh semak di depannya dengan jari terlunjuknya yang panjang sambil terus bergumam.
Sebuah kuncup kecil tubuh di tempat yang disentuhnya dan mulai membesar secara perlahan-lahan. Ia masih menyentuh dengan telapak tangan putihnya sampai kuncup itu cukup besar. Setelah beberapa detik, kuncup itu membuka dan membentuk kelopak bunga berwarna putih bersih.
Sosok itu masih memandangi bunga-bunga yang terlihat begitu lemah itu sampai bunga itu benar-benar terbuka dan warna putihnya terlihat terang.
Kemudian dia berhenti dan menatap bunga itu sebelum menegakkan kepalanya. Mingyu sedikit kecewa, seharusnya ia terus disana. Mingyu yakin jika dia mempertahankan sentuhan tangannya beberapa lama lagi, bunga itu akan layu dan mati. Ah, itu pasti akan menyenangkan untuk dilihat.
Saat kepalanya sudah menyembul dari balik semak, Mingyu bisa melihat wajahnya. Makhluk itu…cantik. Bibirnya melengkung ke atas saat menatap bunga itu,rambut hitamnya jatuh nyaris mengenai mata, hidungnya tajam dan mata sipitnya bersinar. Sebenarnya seluruh tubuhnya terlihat bersinar, makhluk aneh.
Lalu sosok itu menyentuh tempat baru di salah satu sisi semak itu dan mengulangi hal yang sama. Kemudian, dia menyentuh tempat lain lagi dan lagi sampai satu semak itu dipenuhi bunga.
Kemudian makhluk itu berdiri, ini mulai aneh. Untuk apa ia menumbuhkan bunga-bungaan lalu mondar-mandir di sana?
Dia mengangkat kaki kanannya, lalu kaki kiri dan mulai melangkah pelan di atas rumput. Setiap pijakannya ringan seolah-olah dia hendak terbang. Angin lembut bertiup entah darimana dan membuat sosok makhluk itu tampak kabur. Di tempat kakinya berpijak pelan, setangkai bunga selalu tumbuh. Setelah beberapa menit, nyaris daerah di seluruh semak tadi tertutupi bunga. Ini jelas semacam sihir yang tidak akan Mingyu temukan di Dunia Bawah, siapa makhluk ini? anak Hecate? Hmm, mungkin bukan.
Makhluk itu terus melangkah─terkadang sambil melompat kecil, kadang berlutut di depan semak dan membuat semak itu dipenuhi oleh bunga, dia merangkai bunga-bungaan itu menjadi lingkaran dan mengenakannya di kepala.
Ok, ini jelas hal teraneh yang pernah Mingyu lihat. Bagaimana jika bunga itu membuat kulit makhluk itu iritasi? Bagaimana jika di dalam bunga itu ada racun? Ah, biar saja.
Tanpa sadar Mingyu menatap makhluk aneh itu sampai matahari terbenam, ada sesuatu yang jelas aneh di sana. Makhluk itu duduk dengan kedua tangan dijulurkan ke belakang untuk menopang tubuhnya, wajahnya terlihat sangat tenang. Dia menekuk lehernya sedikit untuk mengikuti gerakan matahari terbenam, senyumnya tidak pernah sekalipun meninggalkan wajahnya.
Setelah si matahari sudah beristirahat di tempatnya, makhluk aneh itu berdiri. Dia menatap bunga-bunga yang sudah dihasilkan olehnya dan senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi bulat kelewat rapi. Itu jelas senyum terlebar yang pernah Mingyu lihat, tidak pernah ada yang tersenyum seperti itu di istananya. Mingyu jadi bertanya-tanya, apakah mulutnya tidak robek?
Kemudian dia menatap langit di atasnya dan menggumamkan sesuatu, terlalu pelan untuk dapat didengar. Petir menyambar dan dia tertawa pelan. Dia kemudian melangkah pergi, meninggalkan Mingyu dengan keadaan tidak terlihat dan alis berkerut.
Jelas aneh, Mingyu membuat dirinya tampak lagi. Ia mendatangi tempat makhluk tadi menumbuhkan bunga, berusaha memahami apa yang terjadi. Lalu, pikirannya mulai menurut kejadian tadi satu-satu.
Dia jelas bukan manusia biasa, mungkin dia salah satu dewa atau penyihir berdarah dingin yang memiliki hobi menumbuhkan bunga di padang kosong. Pertama, dia menumbuhkan bunga. Kedua, dia terlihat.. bagaimana? Oh, abadi dan kekal. Ketiga, dia menggumamkan sesuatu ke langit dan petir menyambar.
Tunggu dulu, petir… apa yang digumamkannya tadi?... sepertinya dia menggumamkan sesuatu… ayam?... awan?... ayah!… dia menggumamkan ayah… petir…
Dia anak Seungcheol?!
Sesuatu rasanya putus di dalam kepala Mingyu. Semua bunga yang ditumbuhkan makhluk tadi serentak mengering dan mati.
.
.
.
TBC,
Ini nyaris bisa dibilang prolog, sebenernya cerita ini udah diketik sampai tamat, tapi karna begitu panjang jadinya aku pisah-pisah.
Aku suka banget ngebayangin Mingyu di fic ini dengan style baju dia kayak pas di Seoul Music Award yang live perfomnya(bukan red carpet), dan rambut hitamnya yang di mv aju nice.
(Semoga Wonu enggak OOC OOC amat disini)
(Maafkan juga Mingyu yang biasanya begitu unyu bagai anak tersesat itu kerjanya disini marah-marah mulu, tapi aku rasa Mingyu bisa mendadak jadi keren. keren dan unyu disaat yang bersamaan.)
Ini Meanie, iya ini meanie. Tapi Meanie munculnya di chap depan.
Dannnn, setiap member disini ngewakilin salah satu dewa oylmpus, ada member yang belum muncul dan itu akan muncul nanti, ada yang bisa tebak mereka peranin siapa aja?
Last, Ada yang mau tau lanjutannya? Kalo ada akan aku publish. /lambai-lambai/
Mind to RnR?
.
.
.
1. Trisula : Tombak bermata tiga.
2. Nymph : Makhluk legendaris sejenis wanita, biasa berbentuk peri ato bidadari.
3. Cerberus : Anjing berkepala tiga di Dunia Bawah.
4. Styx : Salah satu dari lima sungai di Dunia Bawah.
