Kim Jaejoong, pria berumur 30 tahun yang sangat realistis. Pekerja yang tangguh dan bertanggung jawab. Kau tak akan pernah sekalipun melihatnya membaca buku-buku fiksi tanpa menyunggingkan senyum mengejek dan sinis. Tapi dia juga tidak bisa mengingkari bahwa dalam hatinya yang paling dalam, harapan akan pertemuan romantis dengan seseorang yang akan membuatnya jatuh cinta setengah mati terjadi secara nyata. Jaejoong pria yang universal, dia tidak pernah menghakimi seseorang untuk selalu memilih lawan jenis sebagai pasangan, tapi untuk Jaejoong, dia mempercayai bahwa seorang pria ditakdirkan untuk seorang wanita.
Jaejoong tinggal di sebuah apartemen kecil namun cukup luas untuk seorang bujangan yang hidup sendiri. Rutinitas yang sama dia jalani setiap hari. Bangun pagi, berangkat ke kantor yang tidak jauh dari apartemennya, pulang ketika sore hampir tenggelam, dan tidak lupa menambah tumbukan buku fiksi di sudut kamarnya yang ia dapatkan dari toko buku yang berdiri tepat di sebelah bangunan apartemennya. Dia akan menghabiskan malamnya dengan duduk diam di ujung ranjangnya dan membaca. Membaca. Membaca. Dan terus membaca.
Pekerjaanya sebagai seorang editor majalah bisnis membuat otaknya lelah. Dia butuh suntikan khayalan untuk mengimbangi realita yang setiap hari dibacanya. Namun tidak, Jaejoong tidak sadar bahwa sudah terlalu banyak fiksi yang ia masukkan dalam otakknya, merasuk ke pikiran dan mempengaruhi hatinya. Jaejoong selalu mempercayai bahwa dirinya adalah pria realistis yang bisa dipercaya. Tanpa menyadari pendapat-pendapat yang keluar dari mulutnya ketika percakapan dengan rekan kerjanya terjadi.
"Aku tidak percaya adanya cinta pada pandangan pertama!" Seru seorang wanita yang sedang menikmati teh dari tepian cangkir porselen suatu hari saat istirahat, dan itu memancing Jaejoong untuk mengatakan sesuatu.
"Bukannya tidak ada, hanya saja orang-orang menilainya dengan sangat gampang."
"Apa maksudmu?"
"Itu bukanlah cinta, tapi ketertarikan yang pada momen tertentu mengikat sarafmu, menarik semua indramu tertuju pada seseorang yang kau temui, rasa penasaran, perkenalan, dan penerimaan."
"Kau pernah merasakannya?"
"Aku?" Jaejoong tertawa santai dan meletakkan cangkir kosongnya di meja sebelum menjawab, "Tuhan tahu saat yang tepat untukku." Beberapa akan menggeleng tak percaya dan beberapa akan tersenyum penuh rindu mendengarkan jawaban Jaejoong, berharap saat yang tepat juga akan datang pada mereka.
"Kim Jaejoong, seseorang mencarimu!" Terdengar seruan dari arah pintu yang tak jauh dari tempat Jaejoong duduk. Mungkin kurir yang mengantar naskah baru, atau mungkin rekan kantor dari divisi lain membutuhkannya, pikir Jaejoong.
"Kim Jaejoong?" Dilihatnya seorang pria bertubuh tinggi dengan kaki jenjang dan senyum menawan yang menghiasi wajahnya berdiri canggung membawa beberapa tumpuk bungkusan berwarna cokelat.
"Ada yang bisa saya bantu…" Suara Jaejoong menggantung.
"Yunho, Jung Yunho. Dari divisi perencanaan sampul dan tata letak, lantai 3." Jaejoong masih menunggu dengan sabar ketika ucapan Yunho terhenti dan terlihat sedang berpikir mencari kata yang sesuai untuk menyampaikan maksudnya.
"Mungkin lain kali kau harus memeriksa alamat pengirimanmu, karena paketmu menumpuk di kantor kami sejak sebulan yang lalu." Yunho menyodorkann tumpukkan itu yang segera diterima Jaejoong setelah beberapa detik hanya memandang Yunho dengan tatapan terkejut. Cekatan Jaejoong memeriksa alamat yang tercantum di setiap bungkusan dan tertulis angka 3, bukannya 2.
"Oh, maafkan aku. Aku tidak sadar menulis angka 3 dan bukannya 2. Pantas saja semua buku yang kubeli tak pernah sampai kemari." Jaejoong tertawa gugup, merasa malu atas kecerobohannya sendiri. Yunho hanya mengangguk singkat dan berjalan pergi. Meninggalkan Jaejoong yang masih berkutat dengan bungkusan yang mulai terasa berat di lengannya.
Malam sudah sangat larut ketika Jaejoong meninggalkan kantor. Deadline sudah dekat, tidak ada waktu bersantai untuk Jaejoong sebelum tulisan itu tercetak dalam majalah yang siap diterbitkan. Dengan malas dipeluknya bungkusan yang tertata rapi dalam kardus. Tangannya pegal, dan buku-buku itu menambah penderitaannya dengan bobot yang berat.
Pintu lift terbuka, menampakkan sosok lelah yang bersandar di sudut ruangan dengan mata terpejam namun masih menguarkan aura mendominasi dan tegas. Perlahan Jaejoong berjalan masuk, berharap tidak mengganggu entah apapun yang dilakukan Yunho di pikirannya yang terpejam.
"Lembur?"
Jaejoong sedikit tersentak mendengar suara yang tiba-tiba memecah kesunyian dan sedikit menolehkan kepalanya memandang Yunho yang berdiri sedikit di belakangnya.
"Ah, iya. Kau?"
"Hanya malas pulang."
"Oh."
Percakapan terputus. Jaejoong sama sekali bukan orang yang mampu bersosialisasi dengan baik. Dia bukan seseorang yang akan berinisiatif untuk memulai percakapan dengan orang yang baru ditemuinya sekali. Meskipun sebenarnya mungkin mereka sering bertemu, Jaejoong sama sekali asing dengan Yunho.
"Kau suka membaca?"
Jaejoong mengangguk pelan, berusaha mencari bahan percakapan agar tidak terlihat terlalu kasar. Lagi pula Yunho sudah dengan baik hati mengantar kirimannya tadi siang.
"Kau tinggal di sekitar sini?" Tanya Jaejoong pelan. Terlalu bingung untuk memikirkan pertanyaan lain.
"Beberapa blok dari sini."
Jaejoong mengerutkan kening dalam diam. Beberapa blok dari sini berati mereka tinggal di lingkungan yang sama, kenapa tidak pernah bertemu? Pikir Jaejoong. Dan seakan mampu membaca pikiran Jaejoong, Yunho melanjutkan, "Pindah beberapa hari yang lalu."
Keduanya berjalan santai dalam diam setelah keluar dari lift dan menyambut dinginnya angin musim gugur. Yunho yang melihat Jaejoong berusaha keras menjaga keseimbangan antara tas jinjing dan kardus yang berisi bungkusan di tangannya menghembuskan nafas geli dan meraih kardus dari lengannya.
"Di mana rumahmu?" Tanya Yunho pelan ketika Jaejoong hendak memprotes ketika kardus itu diangkat dari lengannya.
"Beberapa blok, sebelah toko buku di ujung jalan."
"Ah, aku juga tinggal disana. Lantai berapa?"
"Dua."
Yunho mengangguk santai dan melanjutkan langkahnya dalam diam. Jaejoong yang merasa tidak nyaman hanya bisa berjalan menunduk menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Yunho yang lebar. Sesekali menengadah untuk menyaksikan nafas Yunho mengepul di ujung bibirnya yang sedikit terbuka karena dingin. Jaejoong mengeryit, bagaimana bisa dia sama sekali tidak menyadari keberadaan seseorang seperti Yunho di kantor? Seseorang yang memiliki wajah sangat memesona dan rupawan. Dengan tinggi badan yang sedikit lebih menonjol dari pria pada umumnya. Dan kenapa para wanita di divisinya tidak pernah membicarakan seseorang seperti Yunho? Ah, mungkin dia sudah memiliki kekasih, batin Jaejoong.
"Kau pendiam." Jaejoong mendengar suara lembut dari samping tubuhnya dengan sedikit kaget.
"Ah… Aku, hanya sedikit tidak pandai bersosialisasi."
"Apa aku membuatmu tidak nyaman?"
"Tidak. Tidak. Tentu saja tidak. Kau sudah membatuku, aku hanya merasa sedikit tidak enak telah merepotkanmu."
"Kalau begitu kau bisa membayarku."
Jaejoong menaikkan kedua alisnya hingga tertutup rambut yang menghiasi keningnya. Memandang Yunho seakan sedang memandang seorang pria berkepala dua.
"Membayarmu? Bagaimana?"
"Aku suka kopi panas di malam hari."
Setelah malam itu, Jaejoong dan Yunho akan sering pulang bersama dari kantor. Terkadang mereka bertemu di lift seperti pada hari pertama mereka bertemu, atau di pintu gerbang kantor ketika mereka berjalan pulang, atau di depan pintu lift apartemen mereka ketika salah satu dari mereka menunggu, tapi mereka akan mengakhiri malam itu dengan duduk bersama di ruang tamu apartemen Jaejoong, terkadang juga Yunho, duduk dan bercakap santai sambil meminum kopi.
"Aku suka senyummu. Seharusnya kau lebih sering tersenyum." Ucap Yunho santai di suatu malam yang dingin ketika mereka sedang duduk di teras apartemen Yunho, menikmati pemandangan malam yang indah.
Jaejoong yang selama hidupnya tidak pernah mendengar pujian secara langsung dalam suasana yang sangat tertutup mendadak merasa gugup dan bingung. Yang bisa dilakukan Jaejoong hanya tertawa canggung dan mengabaikan ucapan Yunho dengan rentetan ocehan tentang betapa angin mulai terasa sangat dingin dan malam sudah semakin larut. Berusaha setengah mati mencari alasan untuk pulang dengan sopan. Yunho yang menyadari kegugupan Jaejoong hanya tersenyum singkat sebelum menghentikan Jaejoong yang mulai meninggalkan kursi dan meraih tangan kurusnya.
"Kenapa?" Tanya Yunho pelan, yang dijawab dengan sangat cepat oleh Jaejoong, lebih cepat daripada yang seharusnya.
"Kenapa, apa?"
"Kenapa kau selalu menghindar ketika aku merasa sudah sedikit berhasil membuatmu nyaman?"
"A—Aku nyaman, ini sudah larut, anginnya dingin. Besok kita harus bekerja. Kau tidak ingin bangun kesiangan dan ter—"
"Sttt.."
Yunho menghentikan rentetan kalimat yang mengancam akan keluar lebih banyak lagi dari mulut Jaejoong. Ditariknya lengan kurus itu dan memaksa Jaejoong untuk duduk di pangkuannya. Mengabaikan protes dan usaha Jaejoong untuk melepaskan diri.
"Yunho-ya!"
"Ketika gugup kau selalu mengoceh tidak jelas." Terdengar nada geli dari suara Yunho yang membuat Jaejoong malu. Jaejoong merasa polos, tanpa pertahanan dan perlindungan. Seakan dirinya adalah buku yang terbuka, pelan namun pasti Yunho membaca setiap halaman dirinya dengan ujung jari yang membelai ringan tiap lembarnya.
"Apa kau percaya jika kukatakan kita sangat sering bertemu bahkan sebelum kiriman itu sampai di kantorku?"
Jaejoong mengerutkan alisnya bingung mendengar ucapan Yunho, dalam hati bertanya di mana mereka bertemu sebelum hari itu. Jaejoong percaya mereka pasti pernah bertemu suatu waktu di ujung kantor yang lain karena mereka bekerja di gendung yang sama. Tapi dia tidak menyadari ataupun ingat pernah bertemu Yunho sesering yang diklaim Yunho saat ini.
"Kau selalu berdiri di depan rak buku dengan kepala tertunduk di toko sebelah. Kau selalu terlalu sibuk dengan tas, jam tangan, atau apapun selain aktifitas di sekitarmu. Kau tidak pernah memperhatikan siapa yang berjalan di belakangmu, kau tidak pernah memperhatikan siapa yang berdiri bersamamu di lift. Kau bahkan tidak pernah menyadari seseorang memperhatikanmu."
Yunho membelai lembut tulang pipi Jaejoong yang mulai dihiasi rona merah samar. Menikmati tatapan terkejut yang diberikan Jaejoong kepadanya dalam diam. Yunho tahu begitu banyak pertanyaan sedang berkecamuk di pikiran Jaejoong hingga tak satupun kata mampu keluar dari mulutnya, tapi dia hanya diam. Menikmati momen tenang dan kompleks yang terjadi secara bersamaan.
"A—Aku harus pulang."
Jaejoong berusaha bangkit dari pangkuan Yunho, yang sama sekali tidak membuahkan hasil karena Yunho malah mengangkat Jaejoong yang terasa sedikit ringan untuk ukuran seorang pria duduk menghadapnya. Membiarkan tungkai Jaejoong yang panjang melingkari pinggangnya dengan sangat pas dan menggoda. Di sisi lain, Jaejoong gugup, terkejut dengan posisi yang sedang dia tempati. Berusaha sedikit berlebihan untuk mengangkat tubuhnya yang menempel berbahaya pada tubuh Yunho. Segala usahanya untuk membebaskan diri runtuh manakala Jaejoong merasakan sepasang tangan kuat menyusuri pundaknya dengan tenang. Menahan Jaejoong untuk tetap duduk di pangkuannya. Tangan Yunho menjelajah, menyusuri punggung Jaejoong yang terbungkus kemeja dan berhenti ketika menemukan pinggang Jaejoong. Meremasnya tegas dan menyatukan tubuh mereka lebih dekat lagi. Jaejoong bisa merasakan nafas hangat yang menyentuh kulit pipinya yang memanas, namun dia sama sekali tak berani mengangkat pandangan matanya untuk memandang Yunho.
"Jaejoong."
Bukannya merespon, Jaejoong justru semakin menundukkan kepalanya. Dalam hati berdoa semoga apa yang sedang dialaminya hanyalah ilusi semata. Namun pikiran itu terbukti tidak benar ketika bibir hangat menangkap bibir Jaejoong dalam instensitas yang mencengangkan. Yunho memangut kuat, memerangkap bibir Jaejoong yang tertutup diantara bibirnya. Terkejut, Jaejoong mendorong tubuh Yunho menjauh. Tangannya bergerak tak beraturan di dada Yunho, tapi Yunho seakan tak menyadari penolakan lemah yang dilakukan Jaejoong. Terus memangut, membujuk. Enggan Yunho melepaskan ciumannya dan memandang Jaejoong dengan tatapan berkabut. Dilihatnya Jaejoong membuka mulut untuk memprotes dan Yunho menyatukan bibir mereka lagi dalam ciuman terbuka. Menikmati rasa yang dimiliki oleh mulut Jaejoong. Menggoda ujung lidah Jaejoong, membujuk untuk membalas belaian lembutnya hingga desahan pelan terdengar di telinga Yunho. Jaejoong pasrah, kehilangan kekuatannya. Membiarkan Yunho membimbing dirinya menari dalam ciuman sensual yang mampu menyedot semua energinya.
Desahan berubah menjadi rintihan, Yunho tahu dirinya telah memojokkan Jaejoong lebih dari yang seharusnya dia lakukan. Dipandangnya bibir Jaejong yang membengkak dan merah. Yunho membelai rambut yang menghiasi kening Jaejoong, menyibakkannya hingga Yunho bisa memandang mata sayu Jaejoong dengan jelas. Menyusuri cuping telinga Jaejoong dengan hati-hati dan menghentikan petualangannya ketika menemukan denyut cepat nadi yang berada di leher Jaejoong.
"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Kim Jaejoong."
Yunho mengucapkannya seakan mantra di telinga Jaejoong. Merengkuh Jaejoong kembali ke dalam pelukannya. Menghirup aroma sabun yang menempel di kulit leher Jaejoong. Menikmati degup jantung yang menyentuh dadanya. Berdetak sekencang jantungnya sendiri.
Dalam hati, Jaejoong sadar cinta belum tumbuh dan menguasai pikirannya. Tapi dia tidak keberatan untuk mencoba, karena seperti yang pernah dia ucapkan, cinta membutuhkan momen untuk membuatnya tertarik pada seseorang, dan Yunho telah melakukannya. Yunho telah menarik semua indranya, dan dia sama sekali tidak keberatan untuk menerima Yunho dalam hatinya. Direngkuhnya Yunho dalam dekapan kuat, terdengar helaan nafas panjang sebelum Yunho mengecup ringan kulit leher Jaejoong. Dia merasakan senyum terbentuk di kulit lehernya yang terbuka.
