Disclaimer : punya Masashi Kishimoto nih, gak mungkin punya saiaaaa… :)

Udah lama gak nulis lagi. Tiba-tiba jadi pengen nulis tentang Sai samaaaa… hehehe.. baca aja deh..!

Window

Gadis itu tertunduk lesu hari ini. Tidak. Bukan hanya hari ini. Tapi, dari hari sejak dia masuk ke kelas kami. Dia duduk paling belakang di ujung dekat jendela. Anak baru itu hanya tertunduk sepanjang hari. Kurasa pikirannya tidak berada di kelas ini, entah apa yang dia pikirkan.

Tuk!

Ah, aku melihat hal itu lagi. Pensilnya terjatuh dari mejanya dan dia tetap tak bergerak. Hanya memandang lurus keluar jendela. Aku penasaran dengan apa yang dia pikirkan. Dia seperti patung yang berjalan, kulitnya pun sangat pucat dengan rambut hitam keunguan. Sepanjang hari aku tidak pernah melihatnya berbicara atau tersenyum kepada seseorang. Dia pun datang sangat pagi-pagi sekali dan ketika waktunya pulang dia menghilang begitu saja seperti hantu.

"Hei, ngelamun aja!" Naruto memukul kepalaku.

Aku menoleh dengan malas. "Apa?" tanyaku.

"Kau menginjak kakiku dari tadi tauk!" Naruto memandangku.

"O-oh.. Maaf," aku berkata sambil memberikan senyumku.

"Bodoh, kau kira itu mempan padaku, Sai? Lebih baik kau tersenyum pada Ino saja," Naruto berkata sambil berlalu. Tapi, dari wajahnya aku tahu dia sedang kesakitan karena tadi aku menginjak kakinya cukup lama.

Terlalu lama memikirkan anak baru itu ternyata dapat membuatku menjadi seperti dia juga. Aku lalu mengeluarkan buku sketsaku dan mulai menggambar. Hal itu cukup untuk membunuh waktu jika sedang tidak ada guru atau jika aku sedang mengalami kebosanan.

Rrrrrrr…Rrrrrr…

Aku mendengar suara getaran handphone. Aku menoleh kepada teman sebangku-ku yang sedang tertidur puas. Shikamaru. Selalu saja begitu, ada banyak panggilan yang masuk, ke handphone-nya, tapi dia hampir tak pernah mengangkatnya.

"Hei, Shikamaru! Bangun, ada telepon," kataku.

"Aku tidak membawanya hari ini. Cih, mendokusei," kata Shikamaru tampak kesal lalu melanjutkan kembali tidurnya.

"Halo?"

Aku menoleh ke asal suara yang sangat kecil itu. Dan pada saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar dia berbicara. Walau raut wajahnya tidak berubah dan hanya mulutnya saja yang bergerak. Dia tidak berkata panjang hanya mengatakan 'Ya' atau 'Tidak', setelah itu dia menutup telponnya dan kembali kepada aktivitasnya yang biasa. Melihat keluar jendela.

Sejenak aku terpana melihatnya. Aku menyadari ada yang aneh dengannya sejak pertama kali aku melihatnya. Dia menyembunyikan sesuatu. Cepat atau lambat aku pasti akan mengetahuinya.

Plak!

Lagi-lagi ada yang memukul kepalaku.

"Apa?" Aku berteriak marah.

"Bukankah sudah kubilang jangan melamun dan jangan menggambar pada saat pelajaranku, Sai?" Kakashi memelototiku. Aku terkejut.

"Aku melukis," balasku pendek. Sebenarnya jantungku sudah hampir melompat saking kagetnya.

"Sama saja," Kakashi tambah sewot padaku.

Sebenarnya sudah sepuluh kali, mungkin lebih, aku ketahuan melukis pada pelajarannya. Tak heran kali ini dia akan mengusirku dari kelasnya. Aku tak peduli. Toh, aku masih bisa belajar sendiri

"Keluar," Kakashi menyahut pendek.

Tuh, kan.. Aku menyahut dalam hati. Aku mengangkat bahu lalu keluar dari kelas. Mungkin aku memang harus menghirup udara segar kali ini. Ada baiknya aku pergi ke belakang sekolah, tempat itu cocok untuk menyendiri.

Sama seperti hari-hari biasanya. Dia hanya duduk diam sambil memandang keluar jendela. Dan dia selalu datang lebih awal dari semua orang. Aku melihatnya untuk sesaat, mungkin dia mau menoleh padaku.

"Kau, Sai-kun.. Benarkan?" katanya dengan wajah tanpa ekspresi.

Tapi, cukup membuat jantungku berdegup dengan sangat cepat. Aku hanya tidak menyangka dia akan menoleh padaku.

"Benarkan?" ulangnya sekali lagi.

"Ya," aku hanya mampu menjawab sepatah kata.

"Kita sekelompok dalam pelajaran matematika. Kau kerjakan nomor satu sampai dua puluh lima dan aku dua puluh enam sampai lima puluh. Seminggu lagi sudah harus dikumpulkan,"

Aku terpana. Kali ini dia berbicara padaku dengan jumlah kata yang sangat banyak.

"Kau tidak mau? Ya, sudah. Biar aku saja," sahutnya cepat.

"Bu..Bukan begitu! Maksudku, aku akan mengerjakannnya! Tapi, bukankah lebih baik kalau kita mengerjakannya bersama?" tanyaku.

Dia hanya terdiam.

"Bagaimana kalau sepulang sekolah nanti di perpustakaan?" tanyaku tanpa menunggu jawabannya.

Dia masih saja terdiam sebelum menjawab, "Baiklah." jawabnya pendek dan segera berlalu dari hadapanku.

Entah mengapa rasanya aku menjadi sedikit bersemangat.

"Hei, sepertinya hari ini kau sedang bersemangat ya?" tanya Naruto padaku saat sedang istirahat.

"Apa maksudmu?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari lukisan yang sedang kulukis.

"Lukisanmu terlihat berbeda hari ini,"

Aku terdiam untuk beberapa saat. Rasanya tidak ada yang berbeda dari gambar milikku. Mungkin Naruto sedang mengada-ada atau bermaksud untuk menggodaku. Merasa tidak dipedulikan, Naruto segera pergi dari hadapanku dan bergabung dengan Kiba.

Tanpa sengaja aku melihat lagi ke arah gadis itu. Hinata. Dia sedang melihat keluar lagi. Terkadang aku benar-benar ingin tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tentang apa yang sedang dilihatnya.

"Kau bukan melukis, tapi mengkhayal," kata Shikamaru mengagetkanku.

Aku menoleh padanya. "Bukannya kau barusan tidur di atap?"

"Ino menyeretku," jawab Shikamaru sambil membetulkan bajunya.

"Jadi sekarang kau bersama Ino? Bagaimana Temari?"

"Jangan bercanda. Bukannya kau yang bersama Ino?" balas Shikamaru.

"Kukira, kau orang yang pendiam. Makanya aku mau duduk sebangku denganmu. Ternyata kau sama saja cerewetnya dengan Naruto," kataku.

"Kau juga sama cerewetnya. Mendokusei,"

Rrrrrrr…Rrrrrr…

Aku melirik Shikamaru. Seperti biasa. Dia tidak merasakan getaran handphone miliknya. Mengganggu konsentrasiku saja. Dengan kesal aku memukul bahunya. Dia mendelik padaku dan baru menyadari bahwa handphone-nya berbunyi.

"Lebih baik kau tidak usah membawanya," kataku.

Shikamaru tidak mendengarkanku, dia sibuk berbicara kepada orang yang sedang menelponnya. Aku lalu melanjutkan lukisanku di buku sketsaku sebelum konsentrasiku terpecah lagi.

"Maaf, aku telat," kataku pendek pada Hinata.

Dia sudah menunggu di perpustakaan, mungkin setengah jam yang lalu. Gara-gara Kakashi-sensei memergokiku sedang melukis di pelajarannya, dia memberiku hukuman membersihkan WC. Yang paling ajaib, Hinata masih di perpustakaan. Menungguku di meja yang dekat dengan jendela.. Entah mengapa aku merasa ingin tersenyum melihatnya.

Tetapi, dia malah memberesi bukunya dan bersiap pulang.

"Kau mau pulang?" tanyaku tak percaya.

Rasanya seperti sudah sampai di puncak kemudian jatuh tergelincir.

"Ya, aku sudah selesai mengerjakannya,"

"Wow," ucapku takjub. "Aku tidak mengerti, mungkin kau bisa mengajariku?" aku mengeluarkan senyumku.

Dia memandangku agak lama. Kemudian kembali duduk. Aku sungguh merasakan perasaan senang. Baru pertama kali aku merasakan seperti ini.

"Hei, Hinata. Kau bisa mengajari aku soal ini?"

Hinata diam saja. Dan dia kembali pada kebiasaannya. Menatap keluar jendela.

"Kau suka sekali melihat keluar jendela ya?"

Hinata tidak menjawab pertanyaanku. Sudahlah, saat ini dia sedang berada di dunianya. Walaupun begitu, dengan melihatnya saja, aku sudah merasa bahagia.

Aku memukul kepalaku. Sepertinya ada yang salah denganku. Mengapa aku tertarik dengan gadis ini. Dia saja tidak pernah tersenyum, sepertinya aku memang sudah sangat aneh. Tapi, bagaimanapun aku suka rasa ini. Rasanya saat ini, aku ingin seperti ini saja. Memperhatikannya dengan tersenyum.

Continue?

Gimana? Aneh ya?

Jangan lupa review-nya ya..