Phantom's Groom © ddideubeogeo17
.
.
Kim Mingyu, Jeon Wonwoo, other cast(s)
.
.
Cast(s) © Tuhan YME
.
.
Romance
.
.
Yaoi. BxB. Typo(s). AU!. OOC.
DLDR
.
.
Hana
Dul
Set
Enjoy it~
.
.
.
Entah sudah keberapa kalinya lelaki tinggi berkulit tan itu merutuk dalam hati, bahkan terkadang keluar gerutuan dari belah bibirnya. Ia menatap jam tangan mahal yang melingkari pergelangan tangan kirinya dengan tatapan malas, berharap dengan menatapnya maka waktu akan berhenti, sebab ia tidak ingin melakukan hal gila yang akan berlangsung dalam beberapa menit ke depan.
"Selamat datang di Bousty Café, Tuan."
Lelaki itu tersentak saat ia mendengar sapaan khas yang biasa dilakukan pelayan kepada pelanggan yang baru saja datang. Sepasang netranya refleks memindai penjuru café dan ia pun berucap dalam hatinya, 'Selamat datang, hari sialku.'
.
.
.
Di sinilah ia sekarang, duduk sendiri di salah satu sudut café dengan dahi mengernyit serta raut wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Bagaimana mau merasa nyaman, jika sepasang netranya yang diberkahi kelebihan oleh Tuhan itu justru mendapati berbagai penampakan. Dari yang normal, sampai yang membuat perutnya mual karena lumuran darah di sekujur tubuh sosok itu.
Ya, ia adalah seorang indigo yang dapat melihat eksistensi makhluk tak kasat mata, dan juga bisa mendapat gambaran mengenai kejadian yang akan terjadi.
"Tuan?"
Ia tersentak dari lamunannya, "Kenapa?"
"Apa Tuan ingin memesan sesuatu? Kebetulan hari ini café kami sedang melakukan peluncuran untuk menu dessert terbaru, dan kami menjualnya dengan setengah harga khusus selama masa promosi."
"Ya sudah, aku pesan dessert itu."
"Baiklah, lalu minumannya?"
"Caramel macchiato."
"Apa ada pesanan lainnya, Tuan?"
"Tidak, sudah itu saja dulu."
"Baik, silahkan tunggu sebentar."
"Iya."
Setelah sang pelayan pergi, lelaki itu kembali terdiam. Ia bahkan tidak percaya, jika pada akhirnya ia benar-benar datang ke café itu di akhir pekannya yang berharga.
Karena risih mendapati hantu-hantu itu menatap ke arahnya, ia pun mengambil ponsel pintar dan mengotak-atiknya. Sekali lagi, ia membuka pesan dari wanita yang paling dicintainya di dunia ini.
'From : Saranghaneun Nae Eomma
Eomma tidak mau tahu, kau harus datang ke Bousty Café hari minggu pukul empat sore.
Mingyu sayang, kau tahu kan eomma paling tidak menyukai orang yang ingkar janji?
Pastikan kau datang, oke anakku sayang?
Eomma mencintaimu, Kim Mingyu.'
Pesan yang terkesan memaksa itu memang berasal dari ibunya, lelaki bernama Mingyu itu yakin ia masih punya seribu satu alasan untuk bisa menolak perintah sang ibu. Tapi, entah kenapa untuk kali ini ia mengaku kalah, sebab seminggu yang lalu saat sang ibu pertama kali mengutarakan padanya jika beliau sudah merencanakan kencan buta untuk Mingyu, wajah sang ibu benar-benar menunjukkan permohonan yang jelas saja membuat Mingyu tidak tega menolaknya.
Pada awalnya Mingyu hanya asal menyetujui perintah itu, dan ia akan menggunakan cara lain untuk terlepas dari janjinya pada sang ibu. Namun, siapa yang menyangka jika ibunya jauh lebih cerdik dari Mingyu, beliau selalu meneror sang anak dengan pesan dan telepon –guna mengingatkan Mingyu akan janjinya itu.
Dan, berakhirlah Mingyu di sini, di café yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan calon pasangan hidup yang sang ibu pilihkan untuknya.
Bahkan, Mingyu tidak tahu nama dan belum pernah melihat bagaimana rupa wajah sosok itu. Karena tiap sang ibu akan mengirimkan info padanya, Mingyu melarang mati-matian. Ia sangat tidak berminat.
Sang ibu pun mengalah, dan hanya memberi tahu Mingyu mengenai ciri-ciri fisik pasangan kencan butanya.
Karena bosan, Mingyu mengalihkan pandangannya dari ponsel ke penjuru café. Ia merasa beruntung memilih tempat yang cukup menyudut sehingga cenderung sepi, jadi tidak perlu repot-repot menjaga imej di depan entah-siapa-pasangan-kencan-butanya nanti. Ia bisa bebas berakting, mau bersikap sombong, menyebalkan, kasar, dan berbagai sikap buruk lainnya tanpa harus khawatir akan tatapan pengunjung lain.
Ia tersenyum sambil memandang keadaan luar café melalui kaca di sampingnya, langit sore itu terlihat begitu mendung, tidak terlihat matahari yang memancarkan sinarnya seperti biasa.
Mingyu berdecak malas,"Ayolah, apa dia itu sosok yang seperti ini? Menyebalkan! Dia bahkan sudah membuatku menunggu." Rutuk lelaki tampan itu dengan raut wajah kesal.
"Sangat membuang-buang waktu." Lanjutnya.
Mingyu menghembuskan napas kasar dan bertekad melakukan pembelaan diri di depan ibunya dengan berkata,"Eomma, aku tidak mau dijodohkan dengannya. Dia sangat lambat, sangat tidak konsisten dengan waktu. Eomma tahu? Dia bahkan seperti itu di pertemuan pertama, benar-benar bukan sosok yang tepat untukku. Sudahlah, eomma tidak usah memaksaku mengikuti kencan buta seperti itu lagi. Lagipula, usiaku baru dua puluh lima tahun, biarkan aku fokus pada karirku dulu, oke?"
Terlihat senyuman lebar di bibir lelaki bermarga Kim itu saat otaknya telah berhasil menyusun rencana brilian –menurutnya.
"Hahahaha, aku memang cerdas!" pujinya narsis.
"Tuan?"
Lelaki berparas tampan itu terkejut dan kembali ke alam sadarnya saat merasakan tepukan di bahunya. Ia melihat seorang pelayan lelaki yang mencatat pesanannya tadi, "Maaf, Tuan. Persediaan caramel macchiatonya habis. Apa anda ingin memesan minuman lain?"
"Americano ada?"
"Ada, Tuan."
"Itu saja ya, satu."
"Tentu, saya permisi. Silahkan ditunggu sebentar lagi."
Mingyu mengangguk.
Dengan suasana mood yang mulai membaik, ia melihat –lagi– keadaan di luar café yang ternyata mulai hujan dengan rintik-rintik kecil.
Namun ia tertegun, saat sepasang netranya menangkap seorang lelaki yang terlihat jelas tengah terburu-buru menyeberang jalan sambil membuka payung. Membuat sosok itu tidak memperhatikan sekelilingnya, dimana orang-orang justru mengerem langkah dan menunda untuk menyeberang –padahal lampu lalu lintas untuk pejalan kaki menunjukkan warna hijau.
Karena penasaran, Mingyu mengikuti arah pandang orang-orang itu dan matanya terbelalak saat mendapati mobil yang masih berjarak cukup jauh melaju sangat cepat dengan tidak karuan.
Satu yang bisa Mingyu simpulkan, mungkin rem mobil tersebut rusak atau pengendaranya yang sedang mabuk.
Ia menatap lagi lelaki itu, entah kenapa jantungnya berdebar keras dengan tidak nyaman. Ia merasakan firasat buruk.
"Dasar bodoh! Jelas-jelas orang berteriak sesuatu padanya dan ia tidak menyadarinya?!" rutuk Mingyu dengan bola mata bergetar, ia pun yakin orang itu pasti menggunakan headset.
Di sisi lain, Mingyu merutuki juga orang-orang yang hanya berteriak-teriak tanpa berniat menolong –mungkin mereka juga takut nyawa mereka yang menjadi taruhan.
"Ada apa dengan mereka? Jika nekat dan menarik orang itu dengan cepat, pasti sempat!" monolog Mingyu.
Setidaknya, hal itu mampu mencegah kemungkinan yang buruk terjadi.
Mingyu juga menyisir keadaan di dalam café, 'Bagus! Bahkan tidak ada seorang pun selain aku yang menyadarinya karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.' Batinnya merutuk.
Padahal diam-diam Mingyu juga merutuki dirinya sendiri, ia menelan ludah dengan susah payah. Ia ingin berlari dan mendorong orang itu hingga ke tepi jalan, tapi entah mengapa justru tubuhnya terpaku. Tidak bisa mengikuti instruksi otaknya, dan hanya terdiam hingga,
CKIIITTTTTTT!
BRAK!
"YA TUHAN!"
"Apa baru saja terjadi kecelakaan?!"
"YA AMPUN! ADA YANG TERTABRAK!"
"Hiks eomma hiks a–apa yang sebenarnya terjadi? Aku takut!"
"Sssttt tidak, tidak apa-apa. Eomma di sini, tenang ya? Sekarang pejamkan matamu saja dulu."
Tidak peduli dengan suasana café yang hiruk-pikuk akibat peristiwa yang baru saja terjadi, lelaki bermarga Kim itu segera ke kasir, membayar makanan dan minuman yang bahkan belum sempat datang ke mejanya.
Mingyu membawa tungkai jenjangnya berlari sekencang mungkin ke arah kerumunan, dimana ia yakini di situlah tempat sang korban terbaring meregang nyawa. Jangan tanyakan apa tujuannya menghampiri sosok itu, bahkan Mingyu sendiri hanya mengikuti pergerakan tubuhnya tanpa bisa mengetahui alasannya secara logika.
"Permisi, tolong permisi."
Mingyu membelah kerumunan itu dengan cepat, "Adakah yang sudah menelepon ambulans?!" tanya Mingyu refleks dengan nada membentak.
"Su–sudah." Jawab seorang pemuda dengan gugup mendapati raut tegang di wajah Mingyu.
Tidak perlu menunggu lama, suara sirine ambulans dan mobil polisi terdengar saling bersahut-sahutan menandakan jika sudah tiba di tempat kejadian perkara.
Polisi segela melakukan olah TKP, dan menghimbau warga untuk menjauh. Mereka membatasi lokasi kejadian dengan garis polisi demi memperlancar penyelidikan. Sementara sang pengemudi mobil serta korban yang sudah berlumuran darah segera di bawa oleh ambulans.
Seketika Mingyu dihampiri oleh salah satu petugas polisi,"Permisi, Tuan. Apa anda kenal dengan sang pengemudi mobil ataupun dengan korban yang tertabrak?"
Mingyu menggeleng dengan wajah linglung.
"Kalau begitu, apa anda menyaksikan dan tahu persis bagaimana ini bisa terjadi? Karena meskipun ada cctv di ujung jalan, tetap saja kesaksian seseorang akan sangat berperan penting dalam proses penyelidikan nanti."
Mingyu terdiam, ia benar-benar blank. Ingin rasanya menjawab, "Iya." Namun yang dilakukannya justru tetap terdiam dengan kepala yang menggeleng, membuahkan helaan napas berat dari sang polisi.
"Ya sudah, kalau begitu anda bisa pergi dari sini agar proses penyelidikan bisa berjalan dengan cepat dan lancar. Lagi pula, saya yakin banyak yang bisa menjadi saksi kunci juga." Ujar polisi tersebut sambil menepuk bahu Mingyu.
Lelaki bermarga Kim itu mengangguk, ia melangkah dengan lemah menuju tempat dimana mobilnya terparkir.
Bukan karena ia melihat semua kejadian itu dari awal hingga membuatnya blank, tetapi karena ia bisa melihat dengan jelas roh yang keluar dari tubuh sang pengemudi mobil dan korban yang tertabrak tadi.
Bonusnya, ia bertatapan mata langsung dengan roh dari korban penabrakan itu, dan Mingyu hanya bisa berharap, "Ya Tuhan, lindungilah hambamu ini kapanpun dan dimanapun. Amin." Monolog Mingyu sambil membuka pintu mobilnya dan mulai menyalakan mesin.
Saat merasa jika mesin mobilnya sudah cukup panas, Mingyu mulai menyetir mobilnya dengan tenang.
"Hei! Tadi kau melihatku, tapi kenapa pergi begitu saja?"
CKIT!
Mobil itu mengerem mendadak hingga bannya berdecit nyaring dengan bahu jalan.
Dengan gerakan patah-patah, Mingyu menoleh perlahan ke samping dengan jantung berdebar kencang, berharap telinganya hanya salah mendengar karena efek rasa terkejutnya tadi.
"Ada apa dengan ekspresimu itu?"
'Matilah aku!' batin Mingyu menjerit.
.
.
.
Keesokan harinya, Mingyu mendapat telepon dari sang ibu, beliau mengatakan jika calon yang akan menjadi pasangan kencan Mingyu tidak bisa hadir karena mengalami kecelakaan dan naasnya ia meninggal di tempat kejadian.
Mingyu tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena ia merasa belum memiliki hubungan apapun sehingga tidak seharusnya ia merasa kehilangan sosok itu.
Namun pada kenyataannya, Mingyu merasa perih di sudut relung hatinya yang terdalam.
'Mingyu-ya?'
"Eoh? Ya, kenapa eomma?"
'Kau melamun?'
"Tidak. Jadi, ada apa?"
'Apa kau tidak ingin menghadiri prosesi pemakamannya?'
Mingyu menggigit bibir bawah sebelum menjawab,"Maaf eomma, aku–"
'Hah~ Baiklah, eomma mengerti bagaimana perasaanmu. Eomma tahu kau merasa keberatan karena kalian bahkan belum pernah bertemu. Sudah, tidak apa-apa, nanti eomma dan appa saja yang mewakilimu. Jagalah kesehatanmu, Mingyu-ya. Eomma menyayangimu. Annyeong.'
PIP
Mingyu terdiam, sebenarnya bukan itu alasannya.
"HEI!"
"What the f–"
"Ssstt mengumpat itu tidak baik! Hei, yang menelepon barusan ibumu, ya? Kenapa? Ada apa? Apa beliau merindukanmu? Atau beliau ingin me–"
Mingyu merutuk sambil berjalan ke dapur, ia berharap minum segelas penuh air mineral dingin dapat menurunkan suhu kepalanya yang mulai memanas karena telinganya tidak berhenti mendengar ocehan makhluk tak kasat mata itu.
"Kenapa meninggalkanku?"
'Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli.' Batin Mingyu.
.
.
.
Mingyu tahu kemampuan yang dimiliki olehnya seharusnya membuat ia bersyukur kepada Tuhan, tapi jika boleh jujur, ada kalanya Mingyu merasa lelah sendiri dengan kemampuan itu.
Seperti sekarang, sejak seminggu lalu ia tidak sengaja menjadi saksi proses keluarnya roh dari tubuh korban kecelakaan, roh atau sosok tak kasat mata yang sering disebut hantu oleh orang-orang itu justru terus mengikutinya hingga saat ini.
Dan yang lebih gila bagi Mingyu, di hari kedua ia bertanya apa motif hantu itu mengikutinya, hantu itu menjawab dengan antusias, "Salah satu malaikat berkata padaku, jika kau adalah takdir yang akan menjadi pasangan hidupku! Pengantin laki-lakiku! Malaikat itu memberi tahuku jika namamu adalah Kim Mingyu. Aku benar, kan?"
Mingyu mendengus tiap kali mengingatnya. "Cih. Bisa saja dia hanya mengaku-ngaku, dan bahkan dia mengenaliku dari majalah bisnis." Lirihnya.
"Apa harimu berjalan buruk, Mingyunie? Kenapa kau terus menggerutu sedari tadi?"
Jika bisa Mingyu ingin menangis meraung-raung saja rasanya. Siapa yang tidak frustasi saat dirinya yang biasa tinggal sendiri di apartemennya dengan suasana tenang, sekarang harus meladeni makhluk tak kasat mata yang sangat cerewet, bahkan memanggilnya dengan panggilan khusus begitu.
Mingyu menggeleng sebelum akhirnya menelengkupkan wajahnya di lipatan tangan, membuat hantu yang sudah menempelinya berhari-hari itu mengerjap bingung.
"Mingyunie? Ayo ke kamar saja, jangan tidur di meja makan seperti ini, nanti tubuhmu pegal. Jika kau memiliki beban yang begitu berat, kau bisa bercerita padaku. Aku pasti akan mendengarkan dengan baik, karena kau adalah pengantin laki-lakiku!" serunya semangat.
"Yaish!" bentak Mingyu, sedangkan yang dibentak masih memasang raut wajah polos."Iya? Kenapa? Apa kau mau bercerita di sini? Sekarang? Ya tidak apa-apa sih, hanya saj–"
Mingyu segera beranjak pergi meninggalkan hantu yang masih beceloteh itu, sepertinya membenamkan diri dalam selimut hingga besok merupakan pilihan terbaik.
"Mingyunie, tunggu aku! Ish, kenapa kau hobi sekali meninggalkanku?"
.
.
.
"Apa Kim sajangnim baik-baik saja?"
Mingyu mengusap wajahnya sebelum mengangguk lemah, "Hm, aku baik." Ujarnya singkat pada sang sekretaris, namun matanya tetap tajam mengawasi pergerakan makhluk yang tidak terlihat di mata orang awam.
"Sajangnim, jadwal hari ini adalah rapat dengan perwakilan dari Hanshin Corp. pada pukul sep–"
"Bisakah kau kirim saja padaku jadwal lengkapnya, Sowon-ssi?"
Menyadari mood bosnya yang sedang memburuk, membuat gadis tinggi itu mengangguk dengan cepat. "Baiklah, kalau begitu nanti akan saya kirimkan jadwal Sajangnim beserta lampiran untuk bahan rapat nanti."
"Ya."
"Saya permisi, Sajangnim."
Lalu, setelah Sowon keluar dari ruangan besar di lantai teratas gedung itu, mulai terdengar suara dari sosok yang sudah mengganggu hari-hari tenang Mingyu.
"Woah, dia gadis yang sangat tekun dan teliti. Hei, kau tidak seharusnya bersikap sedingin itu pada karyawanmu, Mingyunie."
Mingyu tidak menoleh barang sedikitpun dari laptopnya, ia justru memutar bola matanya jengah.
"Mingyunie, ini apa namanya?"
Mingyu melirik dan hampir menjerit dengan tidak elitnya saat melihat Wonwoo membongkar-bongkar isi rak di ruangan kerja miliknya. Tidak masalah jika hanya Mingyu yang melihat, yang ia khawatirkan adalah sebagian besar karyawan di perusahaannya itu bermulut besar, apalagi salah satu yang bernama Seungkwan dari divisi pemasaran. Jika Seungkwan masuk dan melihat benda itu melayang-layang, pasti ia akan langsung menjadikannya sebagai bahan gosip terpanas untuk seminggu ke depan dengan topik 'Kejadian mistis di ruangan Kim sajangnim'.
"Yak! Turunkan, memangnya kau tidak lelah menyentuh barang seperti itu?"
Sedikit banyak, Mingyu memahami jika makhluk tak kasat mata cenderung akan menggunakan energinya lebih banyak untuk bisa menyentuh sesuatu.
"Eiyh~ Mingyunie, kau mengkhawatirkan aku ya?" tanya hantu itu dengan antusias, dan membuahkan decakan kasar dari Mingyu.
"Tidak! Enak saja, jangan bicara sembarangan. Aku hanya takut kau menjatuhkannya, itu barang mahal tahu."
Bukannya takut mendapat bentakan Mingyu, hantu itu justru tertawa geli dengan wajah manisnya. "Aigoo aigoo~ Kim sajangnim sedang marah." Godanya.
'Ya Tuhan, berikanlah aku kesabaran lebih.' Mohon batin Mingyu sambil mengurut pangkal hidungnya.
.
.
.
Sebenarnya, bukan hal aneh melihat wajah kusut Kim Mingyu selaku CEO muda di salah satu perusahaan paling berpengaruh di Korea Selatan itu, hanya saja Lee Seokmin –karyawan yang merangkap sebagai sahabatnya– meyakini jika ada yang tidak beres. Jadi, tidak heran saat keduanya masih bertahan di ruangan yang sama setelah rapat usai, Seokmin mulai memberanikan diri bertanya,"Mingyu-ya? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
BRAK!
Seokmin tersentak kaget saat Mingyu menggebrak meja dengan keras, sepasang iris itu menatap Seokmin dalam.
"K–kenapa kau melihatku seperti itu?!" tanya Seokmin tergagap.
"Pertanyaanmu sangat tepat sasaran. Kau tahu? Pikiranku memang terganggu, bahkan aku ragu jika detik ini aku masih waras."
"Hmm, ya sejujurnya melihat perilakumu beberapa waktu belakangan ini, aku memang meragukan kewarasanmu." Ujar Seokmin sambil mengusap tengkuk canggung diiringi senyum segan.
"Yaish!" sentak Mingyu dengan tangan seolah-olah akan memukul Seokmin.
"Ahahahaha, hei kewarasanmu bahkan diragukan oleh sahabatmu sendiri, Mingyunie."
Mingyu melototkan matanya pada sosok tak kasat mata itu, sayang bukannya takut, hantu itu justru terkikik melihat ekspresi Mingyu yang baginya terlihat menggemaskan.
Lain halnya dengan Seokmin, ia mengikuti arah fokus sepasang netra Mingyu, dan pada akhirnya ia mengernyit heran karena tidak mendapati apapun. "Mingyu-ya? Apa pekerjaanmu belakangan ini begitu padat? Ku rasa kau harus banyak beristirahat." Ujar Seokmin sambil menatap Mingyu prihatin.
Mendapati tatapan itu dari sahabatnya, Mingyu hanya mengerang dan mengusap wajah kasar.
"Mingyunie sedang stress karena pekerjaan ya? Aigoo pengantinku kasihan sekali. Seharusnya kau bercerita padaku, karena jika aku masih menjadi manusia, pastilah aku akan menjadi pendamping hidup yang wajib menemanimu dalam keadaan apapun."
"Diamlah!" bentak Mingyu, membuat Seokmin dan Wonwoo terperanjat kaget.
Diam-diam Seokmin mengusap dada dan berbisik lirih, "Ya ampun, ada apa denganmu, Bro?"
.
.
.
"Mingyunie?"
"Hm."
"Hei, Mingyu-ya."
"Hmm."
"Kim Mingoo~"
"Hmmm."
"Pengantinku~"
"Ck." Mingyu lantas menatap sinis sosok yang berjalan tepat di sampingnya."Apa?!"
"Hehe tidak kok, aku hanya ingin memanggilmu saja." Jawab sosok tak kasat mata itu dengan senyum lebarnya.
"Kurang kerjaan." Lirih Mingyu.
"Bukan kurang lagi, aku bahkan memang tidak memiliki pekerjaan apapun selain mengobrol denganmu, Mingyunie."
Mingyu mengurut pangkal hidungnya, entah bagaimana namun sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan barunya belakangan ini.
"Lebih baik kau diam jika tidak ingin aku memarahimu, dan membuatku dipandang aneh ole–"
Mingyu refleks menghentikan ucapannya saat mendengar suara tawa yang ditahan, ia menoleh dan rasanya ingin menenggelamkan diri ke inti bumi detik itu juga.
Bagaimana tidak?
Mingyu mendapati empat gadis muda yang berdiri tidak jauh darinya tengah mencuri-curi pandang pada Mingyu, namun tidak seperti biasa dimana Mingyu akan mendapati tatapan terpesona, kali ini ia harus menelan pil pahit karena diyakini jika kumpulan gadis itu tengah membicarakan dan menertawakannya yang kedapatan bicara sendiri –sebab sosok Wonwoo pasti tidak terlihat di mata mereka.
"Eh? Hei, Mingyunie. Mereka melihat ke arah sini! Woah, apa pesonamu memang sehebat itu sampai membuatmu selalu menjadi pusat perhatian?"
Mingyu menajamkan penglihatannya, dan berbisik dengan penuh penekanan,"Tidak! Ini semua karena ulahmu, hantu aneh! Dan berhentilah mengikutiku!"
Tepat setelah menggertak, Mingyu segera meninggalkan tempat itu dan tentu seperti biasa, Wonwoo akan memiringkan kepalanya dengan wajah bingung. "Memangnya apa yang sudah ku lakukan? Mingyunie aneh." Ujarnya sambil mengendikkan bahu sambil mengejar langkah Mingyu.
"Tunggu, Pengantinku~"
Mingyu mempercepat langkah kakinya sambil mengusak rambut kasar. Ia sebenarnya hanya berniat menghabiskan sore harinya dengan berjalan di pinggir Sungai Han, berharap pikirannya dapat jernih setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang begitu melelahkan.
Namun, sejak hantu yang mengaku-ngaku sebagai pengantinnya itu ada, Mingyu rasa ketenangan hanyalah angan-angan semu dalam hidupnya.
.
.
.
Seiring berjalannya waktu, Mingyu mulai terbiasa dengan kehadiran makhluk halus itu. Merasa semua ucapan dan perlakuannya sia-sia, pada akhirnya Mingyu hanya pasrah dengan keadaan dan membiarkan sosok itu masuk lebih dalam menyelami hidupnya.
Mingyu tidak tahu saja, jika hal itu berakibat fatal pada hatinya.
"Mingyunie~"
Telinga Mingyu sudah benar-benar panas, "Apa?" tanya Mingyu dengan juteknya, ia tetap memfokuskan diri untuk bercermin di kaca wastafel kamar mandi kantornya.
"Aku akan pergi sebentar."
Mingyu mengangguk santai sambil membenahi rambutnya,"Pergilah, dan jangan pernah kembali."
Bukannya tersinggung, Wonwoo justru terkekeh dan berdiri di sebelah Mingyu. Hantu itu menyandarkan kepalanya pada bahu kanan Mingyu,"Jangan merindukanku ya, Mingyunie?"
"Yak!" teriak Mingyu, namun sia-sia karena Wonwoo menghilang dalam sekejap mata. Nasib buruk bagi Mingyu karena tepat saat ia berteriak, masuklah salah satu karyawannya dan mengerjap kaget.
"S–sajangnim?" tanyanya tergagap.
Mingyu berdehem, ia benar-benar merutuki Wonwoo yang sudah membuat harga dirinya tercoreng di depan karyawannya sendiri.
"Ya." jawab Mingyu singkat sebelum akhirnya pergi meninggalkan karyawan yang tengah menatap kepergian Mingyu dengan dahi mengernyit.
"Aneh sekali."
.
.
.
Terhitung sudah lima jam sejak kepergian makhluk tak kasat mata yang kerapkali mengekori kemanapun Mingyu pergi.
'Dia kemana?'
'Tidak, aku tidak peduli padanya.'
'Tapi, apa yang sebenarnya dia lakukan sampai menghilang selama ini?'
'Cih, datang dan pergi seenaknya. Lihat saja, saat kembali nanti, kau akan habis ditanganku!'
'Eoh? Dia tidak pergi selamanya, kan? Dia pasti akan kembali, kan?'
'Arghhhh! Kau membuatku gila, Jeon Wonwoo!'
"Kim sajangnim!"
Mingyu tersentak saat mendapati salah satu kepala divisi ada di hadapannya tengah memasang wajah jengah. "Apa?"
"Aku sudah berkata panjang lebar dan sajangnim bertanya 'Apa?' padaku? Yak! Kemana hilangnya fokusmu itu, Kim sajangnim?" tanya lelaki bermata sipit dengan menekankan pada kata sapaan terakhir sebagai bentuk rasa kesalnya.
Mingyu hanya menghela napas,"Maafkan aku, Soonyoung hyung."
"Eh?" lelaki bernama Soonyoung itu merasa aneh. Sebab, tidak biasanya CEO muda itu akan bicara non formal di jam kerja begini.
"Ada apa denganmu, Mingyu-ya?" tanya Soonyoung pada akhirnya.
Mingyu menggeleng pelan, tidak mungkin rasanya jika ia menceritakan kegundahan hatinya hanya karena kehilangan sosok tak kasat mata.
"Tidak jadi. Letakkan saja berkas itu di sini, biar aku yang memeriksanya sendiri. Kembalilah ke ruanganmu." Ujar Mingyu tegas.
Soonyoung mengerjapkan mata bingung,'Tadi ia bersikap santai, dan sekarang formal. Ada apa dengan otaknya?!' batin Soonyoung tidak habis pikir dengan atasan yang berusia setahun lebih muda darinya itu. Karena tidak ingin mencari masalah, Soonyoung hanya mengangguk dan menuruti perkataan Mingyu.
"Baiklah. Aku permisi, Sajangnim."
Pintu tertutup dan menyisakan Mingyu yang ditemani keheningan dalam ruangan itu.
"MINGYUNIE!"
Mingyu tersentak, hampir saja mengumpat saat ia merasakan hawa dingin yang muncul tiba-tiba di sampingnya.
"KAU!"
"Iya?" tanya sosok tak kasat mata dengan wajah polosnya.
"Kau kemana saja, huh? Kau pikir siapa dirimu hingga bisa seenaknya datang dan pergi begitu saja? Kau menyebalkan! Semua karena tingkahmu yang bodoh itu hingga membuatku hilang fokus."
"Mingyunie, bernapaslah. Kau berkata dengan sangat cepat seperti kereta sinkansen."
Mingyu memejamkan mata menahan kesal. "Arghhhh! Terserah!"
"Eoh? Tunggu, Mingyunie mengkhawatirkan aku ya?"
Mingyu sontak membuka mata dan menatap Wonwoo tajam, namun ia tersentak saat melihat binar bahagia di wajah itu. Bukan hanya itu saja sebenarnya, sebab yang membuat detak jantung Mingyu berdebar tidak nyaman adalah saat bayangan Wonwoo sempat samar, bahkan hampir tidak terlihat oleh Mingyu saat sosok itu memperlihatkan ekspresi bahagianya.
'Ada apa dengannya?' batin Mingyu resah.
.
.
.
.
.
TBC
*Hai, esvi muncul lagi xD ff ini terinspirasi dari adegan salah satu chapter di komik esvi jaman dulu, judulnya the myth (kalo ga salah) hwehehe
**Mau ini fast update atau ndak?
***Mind to RnR? Gomawo^^
