The Hunger Games

by

Suzanne Collins–

Remake by

ZER025

Di ubah seperlunya, di uat atas dasar kesenangan semata.

.

.

BAGIAN 1

PARA PESERTA

Saat aku terbangun, bagian ranjang sebelahku ternyata dingin. Jemariku terulur, mencari kehangatan Miyoung tapi hanya menemukan kain kanvas kasar yang menutupi kasur. Dia pasti mengalami mimpi buruk dan naik ke ranjang ibu kami. Tentu saja, dia pasti mimpi buruk. Hari ini hari pemungutan.

Aku bertumpu pada sikuku. Ada cukup cahaya dikamar tidur sehingga aku bisa melihat mereka. Adik perempuanku, Miyoung, bergelung menyamping, menyelusup menempel pada tubuh ibuku, pipi mereka bersentuhan. Dalam tidurnya, ibuku tampak lebih muda, masih kelihatan capek tapi tidak tampak kelelahan setengah mati. Wajah Miyoung sesegar tetesan hujan, semanis bunga primrose. Ibuku dulu juga sangat cantik. Begitulah yang mereka ceritakan

.

Duduk dilutut , menjaganya, adalah kucing paling jelek di dunia. Hidungnya pesek, setengah dari satu telinganya hilang, warna matanya seperti ketela busuk. Miyoung menamainya Buttercup, berkeras menyatakan bahwa warna bulunya yang berwarna kuning lumpur mirip seperti warna bunga yang cerah.

Kucing itu membenciku. Atau paling tidak dia tidak percaya padaku. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, kurasa dia masih ingat bagaimana aku berusaha menenggelamkannya di dalam ember ketika Miyoung membawa pulang. Kucing kudisan, dengan perut penuh cacing dan digerogoti kutu. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah mahkluk lain yang harus kuberi makan. Tapi Miyoung memohon dengan amat

sangat, bahkan sampai menangis, sehingga aku harus mengizinkan kucing itu tinggal. Hasilnya ternyata lumayan. Ibuku berhasil menyingkirkan kuman dari tubuhnya dan kucing itu pandai menangkap tikus. Bahkan kadang-kadang bisa menangkap tikus-tikus besar. Kadang-kadang sehabis berburu, kuberikan isi perut binatang buruanku Buttercup. Dia sudah tidak lagi mendesis marah setiap kali melihatku.

Isi perut binatang. Tidak ada desisan. Inilah hubungan termesra yang bisa kami jalani.

Aku mengayunkan kedua kakiku turun dari ranjang dan memakai sepatu bot berburuku. Sepatu itu berbahan kulit lentur yang sudah tercetak dengan kakiku. Kupakai celana panjang, kemeja, dan kuselipkan kepang rabut panjangku yang berwarna gelap kedalam topi, lalu kuambil tas berburuku. Di atas meja, dibawah mangkuk kayu, untuk melindunginya dari tikus dan kucing kelaparan, tersembunyi sepotong kecil keju kambing yang terbungkus daun basil. Hadiah Miyoung untukku pada hari pemungutan. Kusimpan keju itu dengan hati-hati ke dalam sakuku ketika aku menyelinap keluar.

Bagian wilayah kami di Distrik 12 ini dijuluki Seam, pada jam sepagi ini biasanya disesaki para penambang batu bara yang sedang menuju tempat kerja memulai shift pagi. Pria dan wanita dengan bahu-bahu bungkuk, buku-buku tangan yang bengkak, sudah lama berhenti berusaha mencungkil sisa – sisa lapisan arang batu bara yang terselip di antara kuku mereka yang patah, atau di garis - garis wajah mereka yang cekung. Tapi hari ini jalan-jalan yang hitam karena sisa arang tampak kosong. Daun-daun jendela di rumah-rumah kelabu kecil tampak kosong. Pemungutan berlangsung jam dua siang. Lebih baik tidur saja lagi. Seandainya kaumasih bisa tidur.

Rumah kami nyaris berada di ujung Seam. Aku hanya perlu melewati beberapa pagar untuk tiba dilapangan tak terurus yang disebut Padang Rumput. Memisahkan Padang Rumput dari hutan, dan yang melingkungi seluruh Distrik 12, adalah rangkaian pagar besi tinggi dan puncaknya dipasangi kawat berduri. Secara teori, seharusnya pagar itu dialiri arus listrik selama 24 jam sehari untuk menghalau binatang-binatang pemangsa yang hidup dihutan -kawanan anjing liar, macan kumbang yang berburu sendirian, dan beruang yang dulu mengancam jalanan-jalanan kota kami. Tapi sejak kami bisa dibilang cukup beruntung jika mendapat listrik selama dua atau tiga jam pada malam hari, pagar ini biasanya jadi aman untuk dipegang. Meskipun begitu, aku selalu menunggu sejenak seraya mendengarkan apakah ada dengungan yang berarti pagar ini dialiri listrik. Sekarang, pagar ini setenang batu. Kukempiskan perutku dan kusorongkan tubuhku ke bawah bagian pagar yang longgar sekitar setengah meter. Celah itu sudah ada selama bertahun-tahun, namun tertutup dibawah sesemakan. Masih ada beberapa bagian longgar di pagar ini, tapi celah yang satu ini paling dekat dengan rumah sehingga aku hampir selalu masuk ke hutan lewat bagian ini.

Ketika aku berada di antara pepohonan, aku langsung mengambil busur dan anak-anak panah dari batang kayu yang berongga. Entah dialiri listrik atau tidak, pagar itu berhasil menjaga binatang pemakan daging agar tetap berada diluar Distrik 12. Di dalam hutan, mereka berkeliaran bebas, dan masih ada pula tambahan kekuatiran lain seperti ular-ular berbisa, anjing-anjing gila, dan tak ada jejak yang bisa diikuti. Tapi ada juga makanan jika kau tahu bagaimana menemukannya. Ayahku tahu dan dia mengajariku sebagian caranya sebelum dia meledak berkeping-keping dalam ledakan tambang. Bahkan jasadnya nyaris tak tersisa untuk bisa dikuburkan. Umurku sebelas waktu itu. Lima tahum kemudian, aku masih terbangun sambil berteriak pada ayahku agar lari dari tambang.

Walaupun melanggar batas dan memasuki hutan dianggap perbuatan ilegal dan berburu tanpa izin bisa dihukum berat, tapi banyak orang berani mengambil risiko itu jika mereka memiliki senjata. Tapi kebanyakan orang tidak punya cukup nyali untuk keluar hanya bermodalkan pisau. Panahku adalah benda langka, dibuat oleh ayahku bersama sejumlah benda lain yang kusembunyilan dengan baik di hutan, kubungkus dengan hati-hati dengan pembungkus tahan air. Ayahku bisa mendapat uang banyak jika dia mau menjualnya, tapi jika pihak yang berwenang mengetahuinya dia bisa dieksekusi didepan umum karena menghasut pemberontakan. Sebagian besar Penjaga Perdamaian menutup mata pada

segilintir kami yang berburu karena mereka juga lapar daging sama seperti semua orang. Sesungguhnya, mereka pelanggan-pelanggan terbaik kami. Tapi gagasan bahwa ada orang yang mungkin saja bisa mempersenjatai Seam selamanya takkan pernah diperbolehkan.

Ketika umurku masih muda, aku membuat ibuku benar-benar ketakutan dengan kata-kata yang kuocehkan tentang Distrik 12, tentang orang-orang yang menguasai kami, Panem, dari kota nun jauh di sana bernama Capitol. Pada akhirnya aku paham bahwa ocehan semacam itu hanya akan membuat kami semakin dalam tertimpa masalah. Jadi aku menggigit lidahku lalu menampilkan wajah cuek dan tak peduli sehingga tak seorang pun bisa mendengar pikiranku. Melakukan pekerjaanku dengan tenang disekolah. Hanya bicara basa-basi sedikit demi kesopanan di pasar umum. Mendiskusikan sedikit lebih banyak tentang hal di luar perdagangan di Hob, yaitu pasar gelap tempatku banyak menghasilkan uang.

Bahkan di rumah, di tempat yang tidak terlalu menyenangkan buatku, aku menghindari obrolan tentang topik-topik yang rumit, seperti pemungutan, atau kekurangan makanan, atau Hunger Games. Minyoung mungkin saja mengulangi kata-kata yang kuucapkan dan bagaimana nasib kami jika itu terjadi?

Di dalam hutan sudah menunggu satu-satunya orang yang bisa membuatku menjadi diriku sendiri. Sehun. Aku bisa merasakan otot-otot wajahku mulai santai, langkahku semakin cepat ketika aku mendaki perbukitan menuju birai batu, tempat pertemuan kami yang dari sana memperlihatkan pemandangan di bawah bukit. Semak-semak berry yang tebal melindunginya dari mata-mata orang-orang yang tidak di inginkan. Melihatnya berdiri menunggu di sana membuatku tersenyum. Sehun bilang aku tak pernah

tersenyum kecuali saat aku berada di hutan.

"Hei, Shitao," panggil Sehun. Nama asliku Zi Tao, tapi ketika pertama kali aku menyebutkan namaku padanya, suaraku tidak lebih keras daripada bisikan. Jadi dia pikir aku bilang namaku Shitao. Kemudian ada lynx-kucing liar besar ukuran sedang-yang sinting dan mulai mengikutiku selama dihutan menunggu sisa buruanku, maka nama Shitao resmi jadi nama julukanku. Aku akhirnya terpaksa membunuh lynx itu karena dia menakuti buruanku. Aku nyaris menyesalinya karena binatang itu teman yang lumayan. Tapi aku memperoleh harga yang memadai atas kulit bulunya.

"Lihat apa yang kupanah." Sehun mengangkat sebongkah roti dengan panah ditengahnya, dan aku tertawa. Itu roti sungguhan buatan tukang roti, bukan roti tawar bantat dan keras yang kami buat dari gandum hasil ransum kami. Kuambil roti itu, kutarik lepas panahnya, dan kutempelkan hidungku pada bagian roti yang berlubang, kuhirup aroma yang membuat mulutku dibanjiri liur. Roti enak seperti ini untuk acara khusus.

"Mm, masih hangat," kataku. Sehun pasti sudah ada di toko roti subuh dini hari untuk membarternya. "Apa yang kau tukar untuk mendapatkannya?"

"Hanya seekor tupai. Kurasa lelaki tua itu agak sentimental pagi ini," kata Sehun. "Bahkan mengucapkan semoga beruntung padaku."

"Yah, kita semua merasa nyaris habis keberuntungan hari ini, ya kan?" kataku, bahkan tanpa perlu repot untuk memutar bola mataku. "Minyoung menyisakan keju untuk kita." Aku mengeluarkan kejuku.

Wajah Sehun langsung cerah melihat hadiah dari Minyoung. "Terima kasih, Minyoung. Kita akan pesta sungguhan." Mendadak aksen Sehun berubah jadi aksen ala Capitol ketika dia meniru Jessica Jung, wanita heboh penuh semangat yang datang setahun sekali untuk membacakan nama-nama saat pemungutan "Aku hampir lupa! Selamat Hunger Games!" Sehun memetik beberapa buah blackberry dari semak-semak di sekitar kami, "Dan semoga keburuntungan-" Dia melempar sebutir berry dalam lemparan melengkung

yang sangat tinggi kearahku.

Kutangkap buah itu dengan mulutku dan kuremukkan kulit buah yang tipis itu dengan gigiku. Rasa pahit manis yang tajam meledak dilidahku. "-selalu berpihak padamu!" Kuselesailan kalimatnya dengan semangat yang sama. Kami harus bisa bercanda tentang hal ini karena pilihan lain selain bercanda adalah merasa ketakutan setengah mati. Selain itu, aksen Capitol sangat penuh kepura-puraan, sehingga nyaris setiap kata yang diucapkan terdengar lucu.

Aku memperhatikan Gale mengeluarkan pisaunya dan memotong roti. Dia bisa saja menjadi kakak lelakiku. Rambutnya hitam lurus dengan kulit putih kuning pucat, kami bahkan sama - sama memiliki warna mata kelabu. Tapi kami bukan bersaudara, paling tidak bukan bertalian darah. Kebanyakan keluarga yang bekerja di tambang mirip satu sama lain seperti ini.

Itulah sebabnya mengapa ibuku dan Prim, dengan rambut mereka yang berwarna pirang dan bermata biru, selalu tampak salah tempat. Karena sesungguhnya mereka memang salah tempat. Orangtua ibuku merupakan kelas pedagang kecil yang melayani pejabat, Penjaga Perdamaian, dan kadang-kadang pelanggan dari Seam. Mereka memiliki toko obat-obatan di wilayah yang lebih bagus dari Distrik 12. Karena nyaris tak seorangpun sanggup membayar dokter, ahli obat-obatan ini menjadi dokter kami. Ayahku mengenal ibuku karena dalam perburuannya kadang-kadang dia menemukan tumbuh – tumbuhan obat dan dia menjualnya di toko ibuku agar bisa diramu jadi obat. Ibuku pasti sangat mencintai ayahku hingga rela meninggalkan rumahnya untuk tinggal di Seam. Aku berusaha mengingat semua itu ketika aku hanya bisa melihat wanita yang duduk diam, kosong, dan tak terjangkau, sementara anak-anaknya kelaparan hingga tinggal tulang berbalut kulit. Aku berusaha memaafkannya demi ayahku. Tapi sejujurnya, aku bukan tipe orang yang pemaaf.

Sehun mengoleskan keju kambing yang halus di atas potongan-potongan roti, dengan hati -hati menaruh daun basil di atas setiap roti sementara aku mengobrak-abrik sesemakan untuk mencari buah berry. Kami duduk santai di celah di antara bebatuan. Dari tempat ini, kami tidak kelihatan tapi bisa mendapat sudut pandang yang jelas ke arah lembah, penuh dengan kehidupan musim panas, ikan berwarna-warni di bawah sinar matahari. Hari tampak cemerlang, dengan langit biru dan embusan angin sepoi-sepoi. Makanannya lezat, dengan keju yang meresap kedalam roti yang hangat dan buah-buah berry yang meletup didalam mulut kami. Segalanya akan sempurna jika ini benar-benar liburan, jika sepanjang hari libur ini berarti menjelajahi pegunungan bersama Sehun, berburu untuk makan malam. Tapi kami harus berdiri di alun-alun pada jam dua siang menantikan nama-nama yang akan disebutkan.

"Kau tahu, kita bisa melakukannya," kata Sehun pelan.

"Apa?" tanyaku.

"Meninggalkan distrik. Lari. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa berhasil," sahut Sehun.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Gagasan ini terlalu sinting.

"Jika saja kita tidak punya begitu banyak anak," imbuh Sehun cepat.

Tentu saja, mereka bukan anak-anak kandung kami. Tapi bisa kami anggap seperti itu. Dua adik lelaki dan satu adik perempuan Sehun. Minyoung. Dan sekalian juga tambahkan ibu-ibu kami, karena bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup tanpa kami? Siapa yang bisa mengisi perut mereka yang selalu minta tambah? Meskipun kamu berburu setiap hari, masih saja ada malam-malam ketika hasil buruan kami harus ditukar dengan minyak, tali sepatu, atau kain wol, masih ada malam-malam ketika kami tidur dengan perut berkeruyuk.

"Aku tidak kepingin punya anak," kataku.

"Aku mungkin saja kepingin. Jika aku tidak tinggal di sini," ujar Sehun.

"Tapi kau tinggal disini," tukasku kesal.

"Lupakan saja," sahutnya.

Rasanya seluruh percakapan ini terdengar salah. Pergi? Bagaimana aku bisa pergi meninggalkan Minyoung, yang merupakan satu-satunya orang didunia yang tanpa keraguan sedikitpun ku cintai setengah mati? Dan Sehun berbakti pada keluarganya. Kami tidak bisa pergi, jadi kenapa repot-repot membicarakannya? Bahkan jika kami bisa pergi... bahkan jika kami pergi... dari mana asal omongan tentang kepingin punya anak ini? Antara aku dan Sehun tak pernah ada hibungan romantis. Saat kami pertama kali bertemu, aku hanyalah anak kurus berusia dua belas tahun, dan walaupun Sehun hanya dua tahun lebih tua daripadaku, dia sudah tampak seperti lelaki dewasa. Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa berteman, untuk berhenti saling menawar atas setiap pertukaran dan mulai saling membantu.

Lagi pula, kalau dia kepingin punya anak, Sehun tidak akan kesulitan mencari istri. Dia tampan meski memiliki kulit terlalu putih, cukup kuat untuk bekerja di tambang, dan bisa berburu. Kau bisa melihat bagaimana gadis-gadis bergosip tentang Sehun ketika melihatnya berjalan di sekolah dan betapa mereka menginginkannya. Hal itu membuatku cemburu tapi bukan dengan alasan yang dipikirkan orang-orang. Pasangan berburu yang baik sukar ditemukan.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku. Kami bisa berburu menangkap ikan, atau mengumpulkan makanan.

"Ayo kita menangkap ikan di danau. Kita tinggalkan galah kita dan mengumpulkan makanan dihutan. Mencari sesuatu yang enak untuk nanti malam," kata Gale.

Malam ini. Setelah hari pemungutan, semua orang seharusnya merayakan hari ini. Dan banyak orang yang memang melakukannya, karena lega anak mereka lolos dari maut selama setahun lagi. Tapi paling tidak ada dua keluarga yang akan menutup daun jendela mereka, mengunci pintu, dan berusaha mencari tahu bagaimana mereka bisa melewati minggu-minggu menyakitkan yang akan datang.

Hasil kami lumayan bagus. Binatang pemangsa mengabaikan kami pada hari ketika mangsa yang lebih mudah dan lebih nikmat berlimpah. Menjelang siang, kami berhasil mengumpulkan selusin ikan, sekantong sayuran hijau, dan yang terbaik di antara segalanya, segalon stroberi. Aku menemukan sebidang tanah beberapa tahun lalu, tapi Gale yang punya ide untuk mengikat mata jala di sekelilingnya untuk menjaga binatang agar tidak masuk.

Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Hob, pasar gelap yang terdapat di gudang terbengkalai yang dulu jadi tempat penyimpanan batu bara. Ketika mereka menemukan sistem yang lebih efisien untuk mengangkut batu bara langsung dari tambang ke kereta api, gudang itu perlahan-lahan menjadi Hob. Sebagian besar toko tutup pada hari pemungutan, tapi pasar gelap masihlah sibuk. Dengan mudah kami menukar enam ekor ikan dengan roti lezat, dan dua ekor lainnya dengan garam. Go Ahra, wanita tua bertubuh kurus yang menyediakan sup panas dalam ceret besar dan menjualnya dalam mangkuk - mangkuk,

mau menerima setengah sayuran hijau kami dan menukarnya dengan bongkahan-bongkahan lilin. Di tempat lain kami mungkin bisa melakukan pertukaran dengan lebih baik, tapi kami berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan Ahra. Dia satu-satunya orang yang bisa diharapkan untuk membeli anjing liar. Kami tidak melukainya secara sengaja, tapi kalau kau diserang dan kau membunuh satu atau dua ekor anjing, daging tetaplah daging. "Kalau sudah di dalam sup, aku menamainya daging sapi," kata Ahra sambil mengedipkan mata. Tak ada seorang pun di Seam yang jijik makan daging paha anjing liar, tapi para Penjaga Perdamaian yang datang ke Hob punya uang lebih untuk memilih makanan lain.

Ketika urusan kami dipasar telah selesai, kami berjalan menuju pintu belakang rumah Wali Kota untuk menjual setengah buah stroberi kami, karena kami tahu dia menggemarinya dan sanggup membayar harga yang kami minta. Putri Wali Kota, Luhan, membuka pintu untuk kami. Dia berada di angkatan yang sama denganku disekolah. Dengan menjadi putri Wali Kota, orang-orang pasti mengira dia bakalan sombong, tapi dia ternyata menyenangkan. Dia penyendiri dan tidak suka ikut campur urusan orang. Seperti aku. Karena tak satupun dari kami benar-benar memiliki kelompok teman, tampaknya kami jadi sering bersama-sama di sekolah. Makan siang, duduk berdampingan di ruang pertemuan, berpasangan

untuk kegiatan olahraga. Kami jarang bicara, dan itu cocok buat kami.

Hari ini seragam sekolahnya yang membosankan sudah diganti dengan gaun putih mahal, dan rambut pirangnya di gelung ke atas dengan pita pink. Pakaian hari pemungutan.

"Gaun yang cantik," kata Sehun.

Luhan melotot memandangnya, berusaha mencari tahu apakah pujian tadi tulus atau Sehun hanya menyindir. Gaun itu memang cantik, tapi dia takkan memakainya pada hari biasa. Luhan mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat kemudian tersenyum. "Yah, jika aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku ingin kelihatan cantik, kan?"

Sekarang giliran Sehun yang kebingungan. Apakah Luhan serius dengan perkataannya? Atau Luhan hanya menggodanya. Kurasa gadis itu hanya mengejek.

"Kau takkan pergi ke Capitol," kata Sehun tenang. Matanya tertuju pada pin bundar kecil yang menghiasi gaun Luhan. Emas sungguhan. Perhiasan yang terukir indah. Benda itu bisa membeli roti untuk sebuah keluarga selama berbulan-bulan. "Kau memasukkan berapa nama? Lima? Aku memasukkan enam nama saat umurku baru dua belas."

"Itu bukan salahnya," kataku.

"Ya, itu bukan salah siapa pun. Karena memang aturannya begitu," tukas Sehun.

Wajah Luhan tampak gusar. Dia menaruh uang untuk membayar stoberi ke tanganku. "Semoga beruntung, Zi Tao."

"Kau juga," kataku, lalu menutup pintu.

Kami berjalan menuju Seam tanpa bicara. Aku tidak suka Sehun menusuk Luhan seperti tadi, tapi dia benar. Sistem pemungutan ini tidak adil, karena orang miskin mendapat kemungkinan terburuk dari pemungutan ini. Namamu disertakan dalam pemilihan pada saat kau berulang tahun kedua belas. Pada tahun itu, namamu dimasukkan satu kali. Pada umur tiga belas, namamu dimasukkan dua kali. Dan begitu seterusnya sampai umurmu delapan belas, tahun terakhir kau bisa ikut pemungutan, saat namamu tujuh kali masuk ke undian. Itulah yang terjadi pada semua warga di dua belas distrik dalam seantero negara Panem.

Tapi ada udang dibalik batu. Misalkan kau miskin dan kelaparan seperti kami, kau bisa memasukkan namamu lebih banyak untuk ditukar dengan tessera. Setiap tessera bisa ditukar dengan persediaan setahun gandum dan minyak untuk satu orang. Kau juga bisa melakukan ini untuk anggota keluargamu yang lain. Jadi pada usia dua belas tahun, namaku dimasukkan empat kali. Satu, karena memang diharuskan, dan tiga nama lagi untuk tessera untuk gandum dan minyak bagiku, Minyoung, dan ibuku. Sesungguhnya, setiap tahun aku harus melakukan hal ini. Dan setiap tahun nama yang dimasukkan bersifat kumulatif. Jadi kali ini, pada usia enam belas tahun, namaku dimasukkan dua puluh kali dalam pemungutan. Sehun yang berusia delapan belas dan membantu atau bisa dibilang seorang diri menafkahi keluarganya yang terdiri atas lima orang selama tujuh tahun, tahun ini akan memasukkan namanya 42kali.

Yah, jadi bisa dimaklumi kenapa orang seperti Luhan, yang tak pernah membutuhkan tessera, bisa membuat Sehun naik darah. Kemungkinan nama Luhan terambil dalam pemungutan sangat kecil dibanding dengan kami yang tinggal di Seam. Bukannya tidak mungkin, tapi kecil sekali. Walaupun peraturan tersebut diterapkan oleh Capitol, bukannya oleh distrik masing-masing dan jelas bukan oleh keluarga Luhan, sulit rasanya untuk tidak kesal pada mereka yang tidak perlu mendaftar untuk tessera.

Sehun tahu kemarahannya pada Luhan salah alamat. Pernah dulu, jauh didalam hutan, aku mendengarnya mengoceh tentang tessera sebagai cara lain untuk menimbulkan penderitaan di distrik kami. Suatu cara untuk menananmkan kebencian antara para pekerja yang kelaparan di Seam dengan mereka yang tiap malam bisa makan dan pada akhirnya membuat kami takkan bisa saling percaya. "Memecah belah kita adalah demi keuntungan Capitol," katanya hanya kepadaku, itu pun setelah memastikan tak ada telinga lain yang mendengarkan. Jika saja hari ini bukan hari pemungutan. Jika saja gadis dengan pin emas dan tidak perlu mendaftar untuk tessera tidak perlu mengatakan apa yang kuyakini sebagai komentar tanpa maksud jahat. Saat kami berjalan, aku menoleh memandang wajah Sehun yang tampak masih membara dengan kejengkelan di balik ekspresinya yang tegar.

Kemarahannya tampak tak ada gunanya bagiku, meskipun aku tak pernah mengatakannya. Bukannya aku tak sependapat dengannya. Aku setuju dengannya. Tapi apa gunanya berteriak tentang Capitol di tengah hutan. Itu takkan mengubah apa pun. Itu juga tidak membuat keadaan jadi adil. Itu tidak membuat perut kami kenyang. Nyatanya, teriakan itu membuat takut buruan kami. Tapi kubiarkan saja dia berteriak. Lebih baik dia berteriak di hutan dari pada di distrik.

Aku dan Sehun membagi hasil buruan kami, sisa dua ekor ikan, beberapa potong roti bagus, sayuran, seperempat bagian stroberi, garam, parafin, dan sedikit uang kami bagi dua.

"Sampai bertemu di alun-alun," kataku.

"Pakai baju yang cantik," sahut Sehun datar.

Di rumah, aku melihat ibuku dam adikku sudah siap berangkat. Ibuku mengenakan gaun indah bekas peninggalan masa ketika dia bekerja di toko obat. Minyoung mengenakan pakaian hari pemungutan yang pertama, rok dan blus berkerut-kerut. Pakaian itu agak terlalu besar untuknya, tapi ibuku membuatnya pas dengan peniti. Meski begitu, bagian belakang blus Prim masih tampak longgar.

Seember air hangat sudah disiapkan untukku. Aku menyeka debu dan keringat sehabis dari hutan, bahkan sempat mencuci rambut. Yang membuatku terkejut, ibuku sudah mengeluarkan salah satu gaun indahnya untukku. Gaun biru yang halus lengkap dengan sepatu yang serasi.

"Ibu yakin?" aku bertanya. Aku berusaha melewati keingiman untuk menolak tawaran bantuan dari ibuku. Sesaat, aku merasa sangat marah, aku tidak membiarkan ibuku melakukan apa pun untukku. Dan gaun ini merupakan benda istimewa. Pakaian - pakaian ibuku dari masa lalu sangat berharga untuknya.

"Tentu saja. Ayo kita gelung rambutmu juga," kata ibuku. Kubiarkan ibuku mengeringkan rambutku dengam handuk, mengepangnya, lalu menggelungnya ke atas. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri saat memandang bayanganku di cermin retak yang disandarkan di dinding.

"Kau tampak cantik," ujar Minyoung dengan suara berbisik.

"Dan sama sekali tidak mirip diriku," jawabku. Kupeluk Minyoung, karena kutahu beberapa jam berikutnya akan sangat sulit dan berat. Hari pemungutan pertamanya. Dia bisa dibilang aman, karena namanya hanya dimasukkan satu kali. Aku tidak mengizinkannya menukar tessera. Tapi Minyoung mengkhawatirkanku. Dan membayangkan kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi.

Aku melindungi Minyoung dengan segala cara yang bisa kulakukan, tapi aku tak berdaya melawan pemungutan. Kemarahan yang selalu kurasakan saat Minyoung menderita membuncah dalam dadaku dan sebentar lagi akan tampak diwajahku. Kuperhatikan bahwa bagian belakang blusnya keluar dari roknya dan kutahan diriku agar tetap tenang. "Masukkan ekormu, bebek kecil," kataku, seraya meluruskan blusnya ke dalam rok.

Minyoung tergelak dan berkata pelan, "Kwek."

"Kwek sendiri sana," sahutku sambil tertawa kecil. Jenis tawa yang hanya bisa dihasilkan Minyoung pada diriku. "Ayo kita makan," kataku dan kucium puncak kepalanya dengan cepat.

Ikan dan sayuran sudah direbus, tapi itu disimpan untuk makan malam. Kami memutuskan untuk menyimpan stroberi dan roti tukang roti untuk makanan malam nanti, supaya makan malam jadi istimewa. Kami minum susu Lady, kambing milik Minyoung, dan makan roti kasar yang dibuat dari gandum tessera, meskipun tak satupun dari kami masih punya nafsu makan.

Pada pukul satu, kami menuju alun-alun. Kehadiran kami di sini wajib hukumnya kecuali kau dalam keadaan sekarat. Nanti malam, para petugas akan datang memeriksa apakah kau hadir atau tidak. Jika tidak, kau akan dipenjara.

Sungguh sayang mereka mengadakan pemungutan di alun-alun-satu dari sedikit tempat di distrik 12 yang bisa jadi tempat menyenangkan. Alun - alun dikelilingi banyak toko, dan pada hari pasar, terutama saat cuaca cerah, suasananya terasa seperti liburan. Tapi hari ini, walaupun banyak umbul-umbul cerah yang digantung di gedung-gedung, ada nuansa suram di udara. Kru-kru kamera yang nangkring di atap – atap seperti elang menambah efek suram yang ada.

Orang-orang mendaftar dan masuk tanpa bicara. Hari pemungutan juga kesempatan yang baik bagi Capitol untuk mengetahui jumlah penduduk. Pemuda-pemudi berusia dua belas hingga delapan belas tahun digiring menuju area yang sudah dibatasi berdasarkan usia, mereka yang paling tua berada di depan, sementara yang muda, seperti Minyoung, berbaris di belakang. Anggota-anggota keluarga berkerumun di dekat garis batas, berpegangan tangan dengan orang-orang disebelah mereka. Tapi ada juga orang-orang yang tidak memiliki orang yang mereka cintai dalam undian pemungutan itu, atau mereka yang tidak lagi peduli, yang berada di antara kerumunan, bertaruh pada nama dua anak yang akan diambil dalam pemungutan. Kemungkinan selalu lebih besar pada mereka yang usianya lebih tua, tidak peduli mereka warga Seam atau pedagang, apakah mereka luluh dan menangis. Banyak orang yang menolak berurusan dengan pemeras tapi mereka juga harus hati-hati dan waspada. Orang-orang ini biasanya juga informan, dan siapa yang tak pernah melanggar hukum tinggal di tempat ini? Aku bisa ditebak setiap hari karena berburu, tapi nafsu makan mereka berusaha melindungiku. Tidak semua orang bisa mendapat perlakuan yang sama.

Aku dan Sehun sependapat bahwa jika kami harus memilih antara mati kelaparan dan mati karena peluru dikepala, peluru akan jadi kematian yang jauh lebih cepat.

Tempat ini jadi seolah makin sempit, semakin banyak orang yang datang membuatnya sesak. Alun-alun ini lumayan luas, tapi tidak cukup untuk menampung sekitar delapan ribuan warga Distrik 12. Orang - orang yang datang belakangan diarahkan menuju jalan-jalan di dekat alun-alun, di sana mereka bisa menonton peristiwa yang berlangsung di layar-layar televisi karena acara ini disiarkan secara langsung oleh negara.

Aku berdiri di antara gerombolan remaja berusia enam belas tahun dari Seam. Kami saling mengangguk cepat lalu memusatkan perhatian kami pada panggung non-permanen yang dibangun di depan gedung pengadilan. Di sana ada tiga kursi, podium, dan bola kaca ukuran besar, satu bola untuk nama lelaki dan satu lagi untuk anak perempuan. Ku perhatikan baik-baik kertas-kertas nama dalam bola anak perempuan. Dua puluh diantaranya bertuliskan nama Huang Zi Tao dengan tulisan tangan yang

indah.

Dua dari tiga kursi itu diisi oleh ayah Madge, Wali Kota Xi-yang bertubuh jangkung dan mulai

botak, dan Jessica Jung, pengiring Distrik 12, dikirim langsung dari Capitol lengkap dengan seringainya yang putih menakutkan, rambut berwarna merah jambu, dan pakaian berwarna hijau cerah. Mereka bergumam pada satu sama lain kemudian memandang kursi kosong yang tersisa dengan pandangan cemas.

Ketika jam kota menunjukkan tepat pukul dua, sang wali kota melangkah ke podium dan mulai membaca. Kisah yang sama setiap tahunnya. Dia menceritakan sejarah Panem, negara yang muncul dari sisa-sisa tempat yang dulunya bernama Amerika Utara. Dia mengurutkan daftar malapetaka, kekeringan, badai, kebakaran, perang brutal demi memperebutkan sedikit makanan yang tersisa. Hasilnya adalah Panem, Capitol yang bersinar dikelilingi tiga belas distrik, yang membawa perdamaian dan kemakmuran

pada warga negaranya. Kemudian tiba Masa Kegelapan, gejolak kebangkitan perlawanan distrik terhadap Capitol. Dua belas distrik dikalahkan, dan distrik ketiga belas dimusnahkan. Perjanjian Pengkhianatan memberi kami undang-undang baru untuk menjamin perdamaian, dan sebagai pengingat setiap tahunnya agar Masa Kegelapan itu tak terulang lagi, Capitol memberi kami Hunger Games.

Peraturan Hunger Games sebenarnya sederhana. Sebagai hukuman atas perlawanan kami, masing – masing distrik harus menyediakan satu anak lelaki dan satu anak perempuan, yang dinamakan sebagai para peserta, untuk berpatisipasi. Dua puluh empat peserta akan dipenjata di arena luar yang luas, yang berupa padang pasir tandus yang panas menyengat hingga tanah pembuangan yang dingin membeku. Selama beberapa minggu, mereka harus bersaing dalam pertarungan sampai mati. Peserta terakhir yang masih hidup adalah pemenangnya.

Mengambil anak-anak dari distrik kami, memaksa mereka untuk saling membunuh sementara kami menontonnya- ini adalah cara Capitol untuk mengingatkan kami betapa sesungguhnya kami berada dibawah belas kasihan mereka. Betapa kecil kemungkinan kami bisa selamat jika timbul pemberontakan lain. Apapun kata-kata yang mereka gunakan pesan yang mereka sampaikan jelas. "Lihat bagaimana kami mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kau lakukan untuk menghalanginya. Kalau kau sampai berani mengangkat satu jari saja, kami akan menghancurkan semuanya. Sebagaimana yang kami lakukan di Distrik Tiga Belas."

Untuk membuatnya lebih memalukan dan menyiksa, Capitol memaksa kami memperlakukan Hunger Games sebagai perayaan, peristiwa olahraga yang membuat satu distrik berkompetisi dengan distrik lainnya. Peserta terakhir yang hidup akan menikmati hidup enak saat pulang nanti, dan distrik mereka akan dilimpahi berbagai hadiah, yang kebanyakan berupa makanan. Sepanjang tahun, Capitol akan menunjukkan bagaimana distrik yang jadi pemenang menerima hadiah gandum, minyak, bahkan makanan lezat seperti gula sementara distrik-distrik lain harus berjuang agar tidak mati kelaparan.

"Waktunya untuk penyesalan dan berterima kasih," kata Wali Kota dengan nada mendayu.

Kemudian dia membacakan daftar pemenang tahun sebelumnya dari Distrik 12. Dalam 74 tahun, distrik kami hanya pernah dua kali menang. Hanya tinggal satu yang masih hidup. Park Yoochun, lelaki setengah baya, yang pada saat ini sedang mengoceh tidak jelas, terhuyung-huyung naik ke panggung, dan jatuh terduduk di kursi ketiga. Dia mabuk. Teler berat. Kerumunan orang menyambutnya dengan tepuk tangan, tapi dia kebingungan dan berusaha memeluk Jessica erat-erat, sementara wanita itu berusaha mengenyahkannya.

Jessica Jung yang selalu cerah ceria menjejakkan kaki ke podium dan menyampaikan salamnya yang terkenal, "Selamat mengikuti Hunger Games! Semoga keberuntungan menyertaimu selalu!" Rambutnya yang berwarna merah jambu pasti cuma wig karena ikalnya agak berubah letak sejak dia ditabrak Yoochun. Dia masih berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di sini, meskipun semua orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk bisa pindah ke distrik lain dengan pemenang - pemenang yang layak tampil sebagai pemenang, bukan pemabuk-pemabuk yang

melecehkannya di depan sepenjuru negeri.

Diantara kerumunan massa, aku melihat Sehun memandangku dengan senyum samar. Sepanjang berlangsungnya pemungutan, ada sedikit hiburan dalam pemungutan kali ini. Tapi mendadak aku memikirkan Sehun dan 42 namanya yang terdapat dalam bola kaca besar itu dan betapa probabilitas tidak berpihak padanya, apalagi jika dibandingkan dengan banyak anak lelaki lain. Mungkin dia juga memikirkan hal yang sama tentang diriku karena wajahnya berubah muram dan dia memalingkan wajah. "Tapi masih ada ribuan kertas disana." Aku berharap bisa membisikkan kata-kata itu di telinganya.

Waktunya menarik undian. Jessica mengucapkan kalimat yang selalu diucapkannya, "Anak perempuan lebih dulu!" dan berjalan menuju bola kaca yang berisi nama anak perempuan. Dia mengulurkan tangan, mengaduk-aduk ke dalam bola kaca, dan menarik selembar kertas. Kerumunan massa sama-sama menahan napas dan heningnya bisa membuat kau mendengar suara peniti jatuh, dan aku merasa mual saat mati-matian berharap semoga bukan namaku, bukan namaku, bukan namaku. Jessica kembali ke podium, meluruskan kertas itu, dan membacakan nama yang tertera di sana dengan lantang. Dan memang bukan namaku.

Tapi Huang Minyoung.

.

.

Pernah suatu ketika aku tidak bisa melihat apa-apa dari pohon, menunggu tanpa bergerak hingga binatang buruanku lewat, lalu aku ketiduran dan jatuh dari ketinggian tiga meter, dan mendarat dengan punggungku. Benturan itu seakan membuat semua udara tersembur keluar dari paru-paruku, dan aku hanya bisa terbaring di tanah berusaha keras untuk bisa menarik napas, untuk bisa melakukan apa saja.

Itulah yang kurasakan sekarang, berusaha mengingat bagaimana cara bernapas, tidak sanggup bicara, terpana tak kuasa bergerak ketika nama yang disebutkan memantul-mantul dalam tengkorakku. Seorang anak lelaki dari Seam memegangi lenganku, rasanya aku mungkin nyaris terjatuh dan dia menahanku.

Pasti ada kesalahan. Ini tak mungkin terjadi. Kertas bertuliskan nama Minyoung hanya ada satu di antara ribuan! Kemungkinan namanya terpilih teramat sangat kecil sehingga aku bahkan tidak menguatirkannya. Bukankah aku sudah melakukan segalanya? Aku yang mengambil tessera, dan melarangnya melakukan itu? Selembar nama. Selembar nama di antara ribuan. Probabilitas pemilihan ini sangat menguntungkan baginya. Tapi itu sudah tidak penting lagi.

Nun jauh di sana, aku bisa mendengar kerumunan massa bergumam tak bersemangat sebagaimana yang selalu mereka lakukan saat yang terpilih adalah anak berusia dua belas tahun karena tak seorang pun menganggap ini adil. Kemudian aku melihat Minyoung, wajahnya pias, kedua telapak tangannya terkepal keras disamping tubuhnya, jalannya kaku, dengan langkah-langkah kecil menuju panggung, melewatiku, kemudian aku melihat bagian belakang blusnya lagi-lagi keluar dan menggantung di atas roknya. Hal kecil inilah, blus yang tak dimasukkan sehingga tampak seperti ekor bebek, yang membuatku kembali ke kenyataan.

"Minyoung!" Pekikan tertahan keluar dari mulutku, dan otot-ototku mulai bergerak lagi. "Minyoung!" Aku tidak perlu mendesak kerumunan. Anak-anak lain segera membuka jalan dan membiarkanku langsung berjalan menuju panggung. Aku tiba disamping Minyoung tepat ketika dia hendak menaiki tangga. Dengan sekali dorong, aku mendesak Minyoung ke belakang tubuhku.

"Aku mengajukan diri!" pekikku. "Aku mengajukan diri sebagai peserta!"

Ada sedikit kekacauan dipanggung. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada yang mengajukan diri jadi peserta di Distrik 12 dan protokolnya agak berkarat. Peraturannya adalah setelah nama peserta ditarik dari bola, anak lelaki lain, jika anak lelaki yang baru dibacakan, atau anak perempuan lain, jika nama anak perempuan yang baru dibacakan, bisa maju dan menggantikan tempat anak yang disebutkan namanya. Di beberapa distrik yang menganggap memenangkan pemilihan ini adalah kehormatan besar, dan orang-orang bernafsu untuk mengorbankan diri, adanya orang yang sukarela mengajukan diri jadi peserta malah menjadi masalah rumit. Tapi di Distrik 12, dimana kata peserta kurang lebih sinonim dengan kata mayat, orang yang mengajukan diri bisa dibilang mahkluk langka.

"Bagus sekali!" kata Jessica. "Tapi menurutku ada masalah kecil antara memperkenalkan

pemenang terpilih dan menanyakan apakah ada yang mau jadi sukarela jadi peserta, dan jika ada yang mau sukarela jadi peserta kemudian kita, hmm..." Suaranya perlahan-lahan menghilang, bingung harus bicara apa lagi.

"Apa masalahnya?" tanya sang wali kota. Dia memandangku dengan ekspresi sedih di wajahnya. Sebenarnya dia tidak mengenalku, tapi samar-samar dia tahu siapa aku. Akulah anak perempuan yang membawakannya stroberi. Anak perempuan yang kadang-kadang diajak ngobrol oleh putrinya. Anak perempuan yang berdiri berdempetan dengan ibu dan adik perempuannya lima tahun lalu. Dan sebagai anak tertua, anak perempuan itu menerima mendali tanda keberanian dari sang wali kota. Medali atas nama ayahnya, yang tewas menguap di tambang. Apakah wali kota mengingat semua itu? "Apa masalahnya?" ulang sang wali kota dengan suara serak. "Biarkan saja dia maju."

Minyoung menjerit histeris di belakangku. Kedua lengannya yang kurus memelukku tak mau lepas. "Jangan, Zi Tao! Jangan! Kau tidak boleh pergi!"

"Minyoung, lepaskan aku," bentakku kasar, karena hal ini membuatku gusar dan aku tidak mau menangis. Nanti malam saat mereka menayangkan ulang acara pemilihan, semua orang akan mengingat tangisanku, dan aku akan di cap sebagai sasaran mudah. Orang lemah. Aku tak mau memberi mereka kepuasan itu. "Lepaskan!"

Aku bisa merasa ada orang yang menarik Minyoung dari punggungku. Aku menoleh dan melihat Sehun menarik Minyoung hingga kakinya terangkat dari tanah sambil meronta-ronta dalam pelukan Sehun. "Naik sana, Shitao," katanya, dengan suara yang berusaha ditahannya agar tetap tegar, kemudian dia membopong Minyoung ke ibuku. Kukuatkan diriku dan kunaiki tangga menuju panggung.

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Huang Zi Tao." kataku.

"Aku berani taruhan tadi adik perempuanmu. Kau tidak mau dia jadi jagoan ya? Ayo, semuanya! Berikan tepuk tangan yang meriah untuk peserta terbaru kita!" seru Jessica.

Penduduk Distrik 12 memang patut dipuji, karena tak ada seorang pun bertepuk tangan. Bahkan orang – orang yang memegang kertas taruhan pun tidak ada yang bertepuk tangan, padahal mereka biasanya paling tidak pedulian. Mungkin karena mereka mengenalku dari Hob, atau mengenal ayahku atau pernah bertemu dengan Minyoung, yang selalu disukai semua orang. Jadi bukannya menerima tepuk tangan, aku berdiri tak bergerak di panggung sementara mereka menunjukkan penolakan terberani yang bisa mereka lakukan. Diam. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak setuju. Mereka tidak memaafkan. Semua ini salah.

Kemudian terjadi sesuatu yang tak terduga. Paling tidak aku tidak menduganya karena aku tidak menganggap Distrik 12 sebagai tempat yang peduli padaku. Tapi terjadi perubahan sejak aku menggatikan posisi Minyoung, dan sekarang aku tampaknya menjadi seseorang yang berharga. Mulanya hanya satu orang, kemudian ada yang lain, lalu hampir semua orang yang ada di kerumunan menyentuhkan tiga jemari tengah kanan kiri ke bibir mereka kemudian mengulurkan jemari mereka ke arahku. Gerakan ini adalah gerakan lama dan jarang di gunakan di distrik kami, kadang-kadang dilakukan oleh beberapa orang di pemakaman. Gerakan ini artinya terimakasih, penghormatan, salam selamat

tinggal pada orang yang kau kasihi.

Sekarang aku benar-benar tidak bisa menahan tangis, tapi untungnya Yoochun memilih saat ini untuk terhuyung-huyung melintasi panggung dan memberikan selamat padaku. "Lihat dia. Lihat yang satu ini!" teriaknya, satu lengannya memeluk bahuku. Untuk pemabuk lusuh, pegangannya ternyata kuat. "Aku menyukainya!" Napasnya bau minuman keras dan entah kapan terakhir kalinya dia mandi. "Banyak... " Sejenak dia tidak bisa memikirkan kata apa yang hendak diucapkannya. "Nyali!" katanya dengan penuh kemenangan. "Lebih dari kalian!" Yoochun melepasku dan menuju bagian depan panggung. "Lebih dari kalian!" teriaknya, menunjuk langsung ke arah kamera.

Apakah ucapannya ditujukan untuk penonton atau saking mabuknya dia sesungguhnya mengejek Capitol? Aku tak pernah tahu apa maksudnya karena ketika Yoochun membuka mulut untuk melanjutkan, dia ambruk di panggung dan langsung tak sadarkan diri.

Pria itu menjijikan, tapi aku bersyukur. Karena kamera mereka tertuju padanya, aku jadi punya waktu berdeham kecil mengeluarkan rasa sesak di tenggorokanku dan menenangkan diriku kembali. Kulipat tanganku ke belakang dan tatapanku tertuju ke kejauhan, masih bisa kulihat perbukitan yang kudaki bersama Sehun pagi tadi. Sesaat, aku mendambakan sesuatu... gagasan bahwa kami meninggalkan distrik... hidup mandiri di hutan... tapi aku benar dengan memilih untuk tidak melarikan diri. Karena siapa lagi yang mau sukarela menggantikan Minyoung?

Yoochun dibawa pergi dengan usungan, dan Jessica Jung berusaha melanjutkan acara. "Hari yang seru!" ocehnya sambil berusaha meluruskan rambut palsunya, yang terlalu miring ke kanan. "Tapi masih ada yang lebih seru lagi! Waktunya memilih peserta laki-laki!" Wanita itu jelas masih berusaha memperbaiki keadaan rambutnya, dengan satu tangan di kepala dia berjalan menuju bola yang berisi nama anak laki-laki dan mencomot kertas pertama yang disentuhnya. Dia bergegas kembali ke podium, dan aku bahkan tidak sempat berharap semoga Sehun aman ketika dia membacakan nama di kertas.

"Wu Yi Fan!"

Wu Yi Fan!

Oh tidak, pikirku. Jangan dia. Karena aku mengenali namanya, meskipun aku tak pernah bicara langsung dengan pemilik nama itu. Wu Yi Fan.

Ternyata, keberuntungan tak di pihakku hari ini.

Kuperhatikan dia saat berjalan menuju panggung. Tingginya melebihi Sehun beberapa centi, tubuhnya bisa dikatakan berisi, rambutnya pirang menawan yang jatuh di dahinya. Keterkejutan yang dirasakan Yi Fan atas kejadian ini tertera di wajahnya, aku bisa melihat perjuangannya untuk memperlihatkan wajah tanpa emosi, tapi mata elangnya yang berwarna hitam itu menunjukkan kewaspadaan yang sering kulihat di mata mangsa buruan. Namun dia tetap naik ke panggung dengan langkah mantap dan mengambil tempat yang disediakan untuknya.

Jessica bertanya apakah ada yang mau sukarela menggantilan Yi Fan, tak ada serorang pun yang muncul. Aku tahu dia punya dua kakak laki-laki. Aku pernah melihatnya di toko roti, tapi salah satu kakaknya mungkin terlalu tua untuk sukarela menggantikannya dan satu lagi tidak mau melakukannya. Bagi kebanyakan orang rasa bakti terhadap keluarga ada batasnya pada hari pemungutan. Apa yang kulakukan adalah perbuatan radikal. Wali kota mulai membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang panjang dan membosankan sebagaimana yang selalu di lakukannya setiap tahun-bacaan ini adalah keharusan-tapi tidak sepatah kata pun masuk ke telingaku.

Kenapa dia? Pikirku. Lalu aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada masalah. Aku tidak bersahabat dengan Wu Yi Fan. Bahkan kami tidak hidup bertetangga. Kami tidak saling bicara. Satu – satunya hubungan nyata antara kami terjadi beberapa tahun lalu. Dia mungkin sudah melupakannya. Tapi aku tidak lupa dan aku tahu akan takkan pernah melupakannya...

Kejadiannya berlangsung pada masa terburuk. Ayahku tewas dalam kecelakaan di tambang tiga bulan sebelumnya pada bulan Januari dalam musim dingin terparah yang bisa diingat semua orang. Perasaanku yang mati rasa atas kematian ayahku sudah berlalu, dan rasa sakit itu mendadak menyerangku entah dari mana, dalam kepedihan yang berlipat ganda, dan mengguncang tubuhku dengan isakan. Dimana kau? Jeritku dalam hati. Ke mana kau pergi? Tentu saja tak pernah ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.

Distrik memberi kami sedikit uang sebagai jasa kematian ayahku, cukup untuk sebagai biaya hidup selama satu bulan masa dukacita, dan setelah itu ibku diharapkan sudah memperoleh pekerjaan. Namun ternyata dia tidak melakukannya. Ibuku tidak melakukan apa-apa selain duduk bersandar di kursi, atau lebih sering lagi, berbaring di tempat tidur meringkuk di bawah selimut, matanya tertuju pada titik di kejauhan. Sesekali ibuku bergerak, terbangun seolah karena ada urusan penting, namun kemudian jatuh lagi dalam diamnya. Permohonan Minyoung yang bertubi-tubi tampaknya tidak berpengaruh padanya.

Aku ketakukan setengah mati. Sekarang aku bisa berpikir bahwa ibuku mungkin terkunci dalam semacam dunia kesedihan yang kelam, tapi pada saat itu, yang kutahu adalah aku tidak hanya kehilangan ayahku, tapi juga ibuku. Pada usia sebelas tahun, dan Minyoung baru berusia tujuh tahun, aku mengambil peran sebagai kepala keluarga. Tidak ada pilihan lain. Aku membeli makanan di pasar dan memasaknya sesanggup yang bisa aku lakukan dan berusaha menjaga diriku dan Minyoung agar berpenampilan layak. Karena jika ketahuan bahwa ibuku tidak bisa merawat kami lagi, distrik akan mengambil kami dari ibuku dan menempatkan aku dan Minyoung di rumah komunitas. Di sekolah, aku melihat anak-anak yang tinggal di rumah itu. Aku melihat kesedihan, tangan yang marah menyisakan bekas di wajah mereka, ketidakberdayaan yang membuat mereka lemah lunglai. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi pada Minyoung. Minyoung yang manis dan mungil, yang ikut menangis saat aku menangis bahkan sebelum dia tahu alasanku menangis, yang menyisiri dan mengepang rambut ibuku sebelum kami berangkat ke sekolah, yang setiap malam masih memoles cermin yang digunakan ayahku untuk bercukur karena ayahku tidak suka melihat lapisan debu batu bara yang menempel di segala penjuru Seam. Rumah komunitas akan menghancurkan Minyoung seperti serangga yang remuk. Jadi aku menyimpan rahasia kesulitan hidup kami rapat-rapat.

Tapi kami kehabisan uang dan perlahan-lahan kami kelaparan hingga nyaris mati. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. Aku terus-menerus mengatakan pada diriku sendiri agar aku bisa bertahan sampai bulan Mei, hanya sampai tanggal 8 Mei, saat umurku tepat dua belas tahun dan aku bisa mendaftar untuk tessera lalu memperoleh gandum dan minyak yang berharga itu agar kami bisa makan. Akan tetapi aku masih harus melewati beberapa minggu lagi. Pada saat itu kami mungkin sudah mati.

Kelaparan bukanlah kejadian yang biasa di Distrik 12. Siapa yang tak pernah melihat korban-korban kelaparan? Orang-orang tua yang tidak bisa bekerja. Anak-anak dari keluarga yang memiliki terlalu banyak mulut untuk diberi makan. Mereka yang terluka di tambang. Berusaha mengais-ngais di jalanan. Dan suatu hari kau akan menemukan mereka sedang duduk tak bergerak bersandar pada dinding atau berbaring di padang rumput, kau mendengar tangisan dari rumah, dan Penjaga Perdamaian di panggil untuk mengambil jenazah itu. Kelaparan tak pernah jadi penyebab kematian secara resmi. Selalu ada penyebab lain seperti flu, terlalu lama berada di udara terbuka, atau pneumonia. Tapi penyebab kebohongan itu tidak bisa menipu siapapun.

Pada sore hari pertemuan pertamaku dengan Wu Yi Fan, hujan deras sedingin es menghantam bumi dengan bengis. Aku sedang berada di kota, berusaha menukar pakaian bayi milik Prim yang sudah tipis kainnya di pasar umum, tapi tidak ada seorang pun yang mau. Walaupun aku pernah ke Hob beberapa kali bersama ayahku, aku terlalu takut untuk pergi menjelajah ke tempat yang kasar dan keras itu seorang diri. Hujan sudah menembus hingga ke balik jaket berburu ayahku, dan membuatku menggigil kedinginan hingga ke tulang. Selama tiga hari, kami hanya minum air yang dididihkan dengan daun-daun mint kering yang kutemukan dibelakang lemari dapur. Pada saat pasar tutup, aku gemetar begitu hebat sehingga menjatuhkan buntalan pakaian bayi itu ke genangan lumpur. Aku tidak memungutnya karena takut aku bakal jatuh terjungkal dan tak bakalan sanggup lagi bangkit berdiri. Selain itu, tak ada seorang pun yang menginginkan pakaian tersebut.

Aku tidak bisa pulang. Karena di rumah ada ibuku yang matanya tidak menunjukkan tanda kehidupan dan adik perempuanku, dengan pipinya yang cekung serta bibir pecah-pecah. Aku tidak bisa melangkah masuk ke dalam ruangan dengan api berasap tebal dari ranting-ranting lembap yang berhasil kupungut dari tepi hutan setelah kami kehabisan batu bara, dan tanganku sudah kosong kehabisan harapan.

Aku berjalan terhuyung-huyung di jalanan becek di belakang toko-toko yang melayani orang-orang terkaya di kota. Para pedagang biasanya tinggal di bagian atas tempat usaha mereka. Aku ingat pokok - pokok tanah di kebun mereka belum ditanami untuk musim semi, ada satu atau dua ekor kambing di kurungan, seekor anjing yang basah kuyup terikat di tiang, duduk membungkuk dalam keadaan kotor.

Segala bentuk pencurian dilarang di Distrik 12. Pencuri bisa dihukum mati. Tapi terlintas di pikiranku mungkin ada sisa-sisa makanan di tong sampah, dan mengais tong sampah bukan perbuatan terlarang. Mungkin sisa tulang hasil sampah tukang daging atau sayuran busuk di tong sampah penjual barang pokok, sisa - sisa yang tak mau dimakan oleh siapa pun kecuali keluargaku yang sudah putus asa untuk makan apa saja. Sialnya, tong-tong sampah itu baru saja di kosongkan.

Ketika melewati toko roti, aroma roti segar memenuhi udara sampai-sampai aku merasa pusing. Panggangan roti berada di belakang dan kilau keemasan mengintip dari pintu dapur yang terbuka. Aku mengangkat penutup tong sampah tukang roti dan melihat isinya kosong melompong.

Tiba-tiba aku mendengar orang berteriak kepadaku dan aku melihat istri tukang roti, menyuruhku pergi dari sana atau dia akan menghubungi Penjaga Perdamaian dan betapa menjijikan baginya melihat anak nakal dari Seam mengorek-ngorek tempat sampahnya. Kata-kata yang diucapkannya tidak enak didengar dan aku tidak bisa membela diri. Ketika aku menutup tong sampah dan mundur dengan hati - hati, aku memperhatikannya, seorang anak laki-laki beramput pirang mengintip dari belakang punggung ibunya. Aku pernah melihatnya di sekolah. Dia seangkatan denganku, tapi aku tidak tahu siapa namanya. Dia biasa bermain bersama anak-anak dari kota, jadi bagaimana aku bisa mengenalnya? Ibunya masuk lagi ke toko roti sambil menggerutu, tapi anak lelaki itu pasti memperhatikanku ketika aku berjalan kebelakang kurungan babi milik mereka dan bersandar di bawah pohon apel yang sudah tua. Kesadaran bahwa aku tidak punya apa-apa untuk di bawa pulang akhirnya menghantamku. Kedua lututku goyah dan aku merosot dari sandaranku di batang pohon hingga jatuh ke akarnya. Aku tak sanggup lagi. Aku terlalu sakit, lemah, dan letih, oh, betapa letihnya aku. Biar saja mereka menghubungi Penjaga Perdamaian dan membawa ku ke rumah komunitas, pikirku. Atau lebih baik lagi, biarkan aku mati di sini di bawah siraman hujan.

Terdengar suara berkelontangan di dalam toko roti dan aku mendengar wanita itu berteriak lagi diiringi suara pukulan, dan samar-samar aku penasaran dengan peristiwa yang sedang berlangsung. Kudengar langkah kaki menginjak lumpur ke arahku dan kupikir, Dia datang. Wanita itu datang untuk mengusirku dengan kayu. Tapi bukan wanita itu yang datang. Ternyata anak lelakinya. Dia membawa dua roti berukuran besar yang pasti jatuh ke dalam api karena kulitnya hangus kehitaman.

Ibunya berteriak, "Beri makan babi sana, dasar anak tolol! Sekalian saja! Tak ada orang yang mau membeli roti hangus!"

Anak lelaki itu mulai mencungkil bongkahan roti di tangannya dan melemparkannya ke antara jeruji kurungan kemudian bel pintu toko roti berdentang dan sang ibu menghilang masuk ke toko untuk melayani pembeli. Tak sekalipun anak lelaki itu melirik ke arahku, tapi aku memperhatikannya lekat-lekat. Karena roti di tangannya, karena tanda berwarna merah di pipinya. Dengan apa wanita itu memukul anaknya? Orangtua kami tak pernah memukul. Aku bahkan tak bisa membayangkannya. Anak lelaki itu menoleh sekali ke toko roti seakan memastikan bahwa situasi sudah aman, kemudian sembari memperhatikan babi di kurungan dia melemparkan roti ke arahku. Diikuti roti kedua dengan cepat, lalu dia berjalan lambat ke toko roti, dan menutup pintu dapur rapat-rapat di belakangnya.

Aku tidak percaya memandangi dua roti besar yang di lemparnya. Roti-roti ini bagus, sempurna sebenarnya, kecuali bagian yang hangus. Apakah dia sengaja membuangnya untukku? Pasti begitu. Karena roti ini sekarang ada di dekat kakiku. Sebelum ada orang yang menyaksikan kejadian ini aku buru-buru menyelipkan dua roti ini ke balik kausku, membungkus tubuhku rapat-rapat dengan jaket berburu ayahku, dan bergegas menjauh pergi. Panasnya roti ini membakar kulitku, tapi aku memeganginya makin erat, berpegangan padanya seperti menggantungkan nyawaku.

Pada saat aku tiba di rumah, entah bagaiamana roti-roti itu sudah mendingin, tapi bagian dalamnya masih hangat. Saat aku menaruh roti itu di meja, tangan Minyoung sudah terulur untuk menyobek sepotong besar roti itu, tapi aku menyuruhnya duduk dulu, memaksa ibuku untuk bergabung di meja makan dan menuangkan teh hangat. Kukorek lalu kubuang bagian hangus dan kupotong roti itu. Kami makan satu roti besar itu sepotong demi sepotong. Roti yang lezat mengenyangkan, didalamnya ada kismis dan kacang.

Aku mengeringkan pakaianku di dekat api, naik ke ranjang dan tidur nyenyak tanpa mimpi. Baru keesokan paginya terlintas dalam pikiranku bahwa anak lelaki itu mungkin sengaja menghanguskan roti – roti itu kedalam api, walaupun tahu dia bakal dihukum, lalu memberikannya padaku. Tapi aku mengenyahkan pikiran ini. Pasti roti itu hangus tanpa sengaja. Buat apa dia melakukannya? Dia bahkan tidak mengenalku. Namun, melemparkan roti-roti itu kepadaku adalah kebaikan tak terkira yang bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa menjelaskan alasan perbuatannya.

Kami makan beberapa potong roti untuk sarapan lalu berangkat ke sekolah. Seolah-olah musim semi tiba dalam semalam. Udara hangat yang manis. Awan-awan empuk. Disekolah, aku melewati anak lelaki itu di lorong, pipinya bengkak dan matanya memar kehitaman. Dia bersama teman-temannya dan tampak tidak mengenaliku. Tapi saat aku menjemput Minyoung dan berjalan pulang pada siang itu, kulihat dia memandangiku dari seberang lapangan sekolah. Hanya sedetik mata kami bertemu, kemudian dia memalingkan wajahnya. Aku menunduk, malu, dan saat itulah aku melihatnya. Bunga dandelion pertama tahun itu. Bunyi peringatan berdentang dalam benakku. Aku teringat pada waktu yang kuhabiskan di hutan bersama ayahku dan aku tahu bagaimana kami akan bertahan hidup.

Hingga hari ini, aku takkan pernah bisa menghilangkan hubungan antara lelaki ini, Wu Yi Fan, danroti yang memberiku harapan, serta dandelion yang mengingatkanku bahwa aku belum sampai ajal. Beberapa kali, aku menoleh di lorong sekolah dan mendapati tatapannya sedang tertuju padaku, tapi kemudian buru-buru dialihkannya. Aku merasa seperti berutang seperti itu. Mungkin jika aku sempat berterima kasih padanya, aku tidak akan merasa sebingung sekarang. Aku pernah berniat mengucapkan terima kasih padanya satu-dua kali, tapi tak pernah ada kesempatan untuk itu. Dan sekarang kesempatan itu takkan pernah ada lagi. Karena kami akan dilempar di arena pertarungan untuk bertarung sampai mati. Bagaimana aku bisa bilang terima kasih dalam situasi semacam itu? Entah ya, tapi terima kasihku bakal tampak tidak tulus jika aku mengatakannya sembari hendak menggorok lehernya.

Wali kota akhirnya selesai juga membacakan Perjanjian Pengkhianatan dan mengisyaratkan aku dan Yi Fan agar berjabat tangan. Jabatan tangannya mantap dan hangat seperti roti-roti yang diberikannya padaku. Yi Fan memandang mataku lekat-lekat dan meremas tanganku, kupikir maksud remasan itu adalah untuk menentramkan hatiku. Atau mungkin juga tangannya kedutan karena tegang.

Kami kembali berdiri menghadap kerumunan massa ketika lagu kebangsaan Panem dinyanyikan.

Ya sudahlah, pikirku. Ada dua puluh empat orang nanti. Kemungkinan ada orang lain yang lebih dulu membunuhnya.

Akan tetapi, belakangan ini segala bentuk hitungan kemungkinan tidak bisa diandalkan lagi.

.

.

Tbc

.

.

Nama panggilan Zitao itu tidak ada maksud buat mengolok – olok si panda manis kita, tapi lebih ke kesialan Zi Tao hari itu dan anggaplah Sehun mengalami masalah pada pendengarannya. Jadi nama Zi Tao terdengar Shi Tao. Terlebih seharian itu, Zi Tao di ikuti oleh kucing hutan, jadi di plesetin Shitao.

Jadi, THE HUNGER GAMES versi FanTao ini resmi di mulai. Hahaha

Mind to riview?

Mengkritik masalah typo mungkin atau saran siapa pantas menjadi siapa di chap – chap berikutnya?

472005

ZER025