drabble singkat tentang keadaan rukia tanpa ichigo. no romance soalnya saya lagi skeptis-skeptisnya.
...
"Kurasa ini waktunya mengcapkan selamat tinggal."
Selamat tinggal? Selamat tinggal, kurasa.
…..
Ini bukan masalah rela atau tidak rela. Takdir? Kau tidak rela memaksa dirimu menjadi makhluk terpaku oleh asumsi. Hei, ini bukan masalah rela atau tidak rela. Tapi tatapan buta itu mengharuskanmu rela, walau kau tidak tahu kau rela atau tidak. Bukan itu masalahnya, tuh kau mengutuk dirimu sendiri lagi 'kan. Hentikan dong.
"Rukia, Abarai mencarimu."
"Nii-sama. Maaf, maukah kau berkata pada Renji aku sedang sibuk?"
"Aku akan bilang kau sedang sibuk mempersiapkan yukata untuk pesta musim semi."
"Terima kasih, Nii-sama."
Bagi dunia, mortal maupun abadi, roda kembali berputar, pelatuk dilepaskan, padi bertunas, paku terakhir ditancapkan, tetes embun baru hinggap di sana sini, ah, manis sekali. Hukum alam menerima persembahannya. Bagimu, langit berangsur-angsur kolaps, cerulean menjadi kelabu. Detik melaju mundur. Ah, benarkah demikian? Kau tidak rela situasi menghancurkanmu di bawah kakinya. Tentu saja tidak demikian. Matahari masih bersinar kok. Cerulean masih disangga pilar ukiran elips itu di wajahmu. Tapi relakah kau serpihannya dibawa angin ke tujuh samudera? Kayaknya tidak rela. Tidak akan pernah rela.
"Kuchiki-san, ada segelintir hollow yang berkeliaran di Karakura. Aku ingin kau membereskannya."
"Maaf, Taichou. Tapi Inoue-san, Sado-kun, dan Ishida-kun telah berjanji padaku mereka akan menjaga Karakura. Untuk… menjaga daya tahan… kata mereka"
"Ah, baiklah. Kuchiki-san, benarkah kau tidak mau pergi ke Karakura? Aku bisa saja memberimu tugas disana, memasang radar atau mengawasi perangkap…"
"Terima kasih, Taichou. Tapi aku tidak ingin pergi ke Karakura."
"Benarkah?"
"Iya."
"Baiklah kalau begitu."
Berapa tahun ya? Kau sering memikirkan pertanyaan itu sambil menarik ujung cabang pohon sakura yang tengah berjalan menuju puncak keelokkannya. Dua tahun? Tiga tahun? Ah, kau kan berumur hampir seabad. Dua atau tiga tahun itu seperti pucuk rapuh ini. Krek. Patah, hilang sudah. Apa keseluruhan pohon elok itu tumbang? Tidak. Tapi apa kau rela? Tidak.
"Rukia."
"Apa, Rudolph hidung merah?"
"Heh, julukannya kuno tau. Itu kan pas kita pertama kali ke Hueco Mundo. Udah berapa tahun tuh?"
"Bodo."
"Rukia."
"Apa sih?"
"Kau bodoh, tau nggak?"
"Sori, kayaknya ada yang salah disini."
"Kenapa kau nggak jujur aja sih?"
"Jujur apa? Jujur kalo aku yang ngecat hidungmu? Jujur kalo aku yang naro ember di atas pintu ruanganmu? Ya, maaf, tapi kamu lucu tau pas la-"
"Rukia."
"Renji, kumohon. Hentikan."
"Kau kan nggak bisa begini terus. Kalau kau memang nggak bisa mencegahnya, paling tidak hentikan kepura-puraanmu. Kau tahu, semu-"
"HENTIKAN!"
"Maaf…"
"Tidak apa-apa. Maaf, Renji. Aku… pergi dulu. Anggap saja percakapan ini tidak pernah ada."
Apa kau rela? Masalahnya bukan rela atau tidak rela, kau tahu itu kan dari awal? Jadi apa dong? Luka memang butuh waktu untuk pulih, tapi yang kau alami ini luka atau apa? Tidak tahu. Relakah kau terpendam dalam ketidaktahuan? Tidak. Masalahnya bukan rela atau tidak rela, sayang. Lihat, di tebing dengan tiga batu nisan ini lagi kau melepas topengmu. Berlindung dari mereka yang prihatin dan mengerti di hadapan mereka yang pernah berdenyut dalam nadi guna menguatkan pohon yang sekarang hampir elok ini. Hampir.
Selamat tinggal? Benarkah? Relakah kau?
...
aneh? kayaknya tulisan saya belakangan ini makin nggak jelas. tapi saya suka, gimana dong?
yaudah deh. review ya karena review sangat sangat menghibur saya.
pencet tombol review itu dan anggep aja kamu udah menyelamatkan anak ini dari kegalauan :3
