Gedung kantor pusat percetakan itu terlihat begitu besar bahkan dari luar. Paling tinggi dan mencolok di area perindustrian itu, berdiri kokoh di antara gedung tinggi lainnya. Dari sana pria itu menatap jauh ke balik jendela ruangannya di siang hari seperti biasa. Hanya matanya entah menangkap kemana, memancar rasa gundah yang sangat sunyi.
Sepanjang siang itu, punggungnya menghadap komputer kerja yang tak kunjung di nyalakan dan sebuah ponsel di genggamannya.
.
.
.
I do not own Shingeki no Kyojin
Original Story by Black Tofu
.
.
"Kau tahu aku tidak berminat kesana lagi setelah tadi pagi."
Mikasa mencuri dengar spontan melirik ke arah seberang mejanya. Dari balik layar komputernya gadis blonde itu memasang wajah ogah-ogahan sambil mengangkat kedua tangannya, dan salah satu pria terdekatnya yang berdiri di hadapan Annie –si gadis blonde sambil menyodorkan serangkaian dokumen di tangan.
"Hei, ini kerjaanmu kan." Eren bersikeras menyandarkan pinggangnya di ujung meja. Merasa percakapan ini akan sedikit panjang.
"Aku sudah cukup dengan tingkah bossynya yang biasa, hari ini semakin buruk saja." Annie kembali mengetikan sesuatu di komputernya berusaha terlihat sibuk.
"Itu saja? Kau dibayar untuk itu, ini pekerjaanmu, kau ini harus professional Ann, ini hanya mengecek, dan menyerahkan draft."
"Katakan itu pada Mikasa, dia juga asisten produksi."
Mendengar namanya disebut Mikasa kembali pada pekerjaannya di depan layar komputer. Ia tentu tidak mau ketahuan sedang menguping mereka –biarpun tampaknya Annie sudah menyadarinya sejak awal. Sambil sedikit mendengus Eren berjalan ke meja Mikasa.
Eren tahu Mikasa juga punya kesan buruk terhadap kepala produksi mereka, sama seperti Annie. Maka ia berharap dalam hati untuk mendapat respon yang lebih baik dari wanita itu.
"Mikasa," Sahut Eren sedikit melagu.
"Uh-huh?"
"Mau mengecek ini untukku?"
Mikasa melirik pria yang sengaja memasang tampang manis itu sambil menggenggam erat amplop coklat di tangannya. Mikasa paling sulit bilang tidak pada seorang berwajah manis. Atau dalam kasus ini, Eren.
Gadis itu mengambil amplop tersebut lalu berdiri menyingkir dari mejanya. "Aku bekerja professional, benar Ann?"
"Semangat," Sahut Annie masih asyik dengan komputernya.
Biasanya Mikasa tidak masuk ke ruangan kepala produksi sesering Annie, biasanya ia lebih sering mengontrol bawahannya yang lain dan hanya bertemu dengan sang kepala produksi sebulan sekali untuk laporan pekerjaan, atau jika Annie menolak tugas bagiannya karena suatu hal seperti hari ini.
.
.
.
Gadis itu menahan sedikit pegal di tumitnya. Ia benci high-heels dan kadang berharap jika kantornya mengijinkan ia bekerja memakai sneakers. Terutama disaat ia harus berdiri lama sambil menunggu pengecekan draft edisi bulan ini selesai. Pantas saja Annie menolak. Sang kepala produksi, Levi jelas-jelas menguar aura malas bekerja sampai mengecek draft saja bisa selama ini.
"Apa begitu sudah bagus? Kalau sudah saya akan segera menghubungi pihak penerbit."
Pria dihadapannya menatap sinis. Dahinya berkerut.
"Kau bisa melihatku masih mengeceknya?" kemudian kembali membulak-balikan kertas-kertas tersebut.
Oh, I'm sorry your-highness. Gerutu Mikasa dalam hati seraya memutar matanya.
"Kemana gadis itu? Si pirang."
"...Uh… Siapa?"
"Asisten produksi. Si pirang." Katanya ketus.
"…Annie? Ia sedang… mengerjakan yang lain… sekarang." Mikasa berpikir mencari-cari alasan bagus.
"Katakan pada Si pirang untuk menemuiku setelah ini."
"Namanya Annie, sir." Gadis itu menekan nada bicaranya.
"Ya, ya." Dan akhirnya ia mulai menggunakan penanya untuk menandai hal-hal yang harus di revisi.
"Setidaknya cobalah untuk memanggil nama pekerjamu dengan baik." Rasa sebalnya mendadak memberinya keberanian untuk bicara. Benar kata Annie, bosnya hari ini dua belas kali lipat lebih menyebalkan.
"Aku tak dibayar untuk mengeja nama orang, dan kau tidak kubayar untuk menasihatiku."
"Maaf sir, bahkan sebagai pekerjamu kami juga menginginkan perlakuan yang baik, bukankah kau bisa selalu memperlakukan asisten produksi sebelumnya dengan ba-"
BRUK!
Gema tumpukan kertas draft menghantam meja bahkan sampai memotong pembicaraan Mikasa. Dan ia tahu itu saatnya ia berhenti protes. Sang kepala produksi kini benar-benar dalam suasana hati yang buruk.
"Baik, ini kuselesaikan pekerjaanku. Dan biar kuluruskan sesuatu, nona." Pria itu bangkit dari kursinya berjalan memutari meja perlahan. "Aku disini yang memegang segala sesuatu tentang bayaran bulanan kalian. Dan kau sebagai asisten produksi kuberi bayaran yang bagus sekali." Pria itu berhenti tepat beberapa centimeter di hadapan Mikasa. Wajah gadis itu tegang merasa terintimidasi. Atasannya sudah berbicara soal gaji, sialan.
"Aku bisa saja mengambil sedikit bagian dari bagianmu ke orang yang lebih membutuhkan jika kau tak bisa mengontrol kesopananmu di hadapanku." Pria itu bicara rendah.
"Siapa namamu?"
"Mikasa. Mikasa Ackerman."
"Aku akan mengingatmu."
.
.
.
Jumat siang hari itu seperti biasa, sekumpulan karyawan memenuhi sebuah kafe di samping kantor. Kebanyakan memilih tempat itu karena tempat yang nyaman dan harga yang bagus. Begitupun kelompok Eren, Mikasa, Armin, Sasha, Jean, dan Annie yang kini tengah menikmati waktu istirahat mereka di salah satu meja sambil makan dan bercakap-cakap.
"Kudengar kepala produksi kita membatalkan rencana pertunangannya." Oceh Sasha tiba-tiba di tengah kunyahan karenya. Seketika meja itu hening dalam beberapa detik hingga ketiga pria yang duduk disana berteriak kaget.
"Maksudmu dengan… Miss Petra yang sekarang jadi sekertaris direktur?" Jean mulai penasaran. Sasha mengangguk.
"Bohong… padahal mereka terlihat akur sekali." Kata Armin.
"Miss Hanji bilang sendiri padaku. Tapi katanya berita itu sudah cukup lama. Seminggu yang lalu mungkin?" terka Sasha sambil memainkan nasinya.
Mikasa kemudian ingat pertemuan terakhir dengan pria ini yang sedang dibicarakan kira-kira seminggu yang lalu di kantornya. Shit, pantas saja… auranya mendadak tidak enak ketika ia secara tak sengaja membawa-bawa nama Petra –yang dulunya adalah asisten produksi kemudian di gantikan Annie.
Seminggu yang lalu…
"Uh, sial…" Mikasa mendadak merasa tidak enak perut.
"Mikasa, kenapa?" Tanya Eren cemas.
"Bicara tentang kepala produksi aku baru ingat harus menyerahkan laporan hari ini." Dan seketika lima orang yang lainnya sama-sama merasa tidak enak perut. Dari kabar tidak begitu baik yang di sampaikan Sasha sudah jelas alasan kenapa mood Levi memburuk akhir-akhir ini, bahkan sampai tadi pagi. Dan kini salah satu teman mereka akan memasuki –lagi ruangan pria yang tengah di rundung asmara itu.
Mikasa masih berpikir bagaimana ia harus berhadapan dengan Levi nanti. Karena pertama, karena kejadian minggu lalu yang jelas meninggalkan kesan buruk. Kedua, karena ia tidak tahu caranya menghadapi pria patah hati.
Gadis itu mendengus menatap jam kecil di mejanya sambil memperhatikan mesin printernya bekerja. Ia hanya harus menyerahkan laporan ini, lalu pulang. Pikirnya.
Lalu telpon berdering.
"Ya halo?"
'Aku pulang lebih dulu hari ini. Aku lupa mengambil laporan"
"Oh, okay… kalau begitu aku akan kirim via e-mail." Kata Mikasa sedikit merasa lega.
"Tidak, antarkan ke apartemenku sekarang."
Oh, double shit. Ia tak memikirkan kemungkinan ini.
"Tapi, sir… aku tidak tahu alamatmu."
"Lihat di kartu namaku, bodoh."
Ya, Mikasa. Kau bodoh sekali. Dan kini tidak ada kesempatan kedua untuk berkilah, Mikasa segera merapikan perlengkapannya sambil mengambil selembar kartu nama milik sang kepala produksi.
Sepanjang perjalanan Mikasa berharap suasana hati Levi akan lebih baik. Atau semoga ia tidak perlu menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mengantarkan berkas laporan. Dan berita buruknya, Mikasa lupa memperhatikan cuaca dan kini hujan deras tepat sebelum ia sampai di depan gedung apartemen.
"Wow…" MIkasa menengadah cukup terkejut dengan dimana ia tengah berdiri sekarang. Sedetik kemudian keterkejutannya menghilang begitu saja karena dipikir-pikir tidak aneh jika orang seperti Levi yang mempunyai jabatan tinggi mempunyai kehidupan yang sedikit lebih mewah.
Dan dalam waktu 5 menit Mikasa sampai di depan pintu bernomor 2510 tengah menunggu pemilik kamar itu keluar. Matanya memperhatikan pintu datar di hadapannya berdecit bergeser menampilkan Levi dengan pakaian yang terlihat asing di matanya.
Oh, jadi orang sepertinya akan memakai tshirt dan celana jeans juga. Pikir Mikasa. Sementara mata Levi tidak terlalu puas dengan penampilan Mikasa yang setengah basah karena hujan. "Masuklah,"
Tanpa berkata Mikasa menurut dan mengikuti punggung pemilik kamar apartemen tersebut. Levi menyuruhnya duduk, dan ia lagi-lagi menurut.
Pria itu pergi mengambil handuk dan kembali ke ruang tengah sambil duduk di sofa lain. "Kau sudah selesaikan laporannya?" katanya sambil menukar handuk di tangannya dengan berkas laporan. Mikasa mengangguk masih merasa tidak enak untuk bicara dan mulai mengeringkan rambutnya.
Gadis itu berpikir untuk minta maaf. Karena bagaimanapun kejadian minggu lalu adalah karena kelancangannya. Bagaimanapun ia hanyalah bawahan pria ini. Mikasa menundukkan kepalanya.
"Saya… ingin minta maaf soal kejadian waktu itu, sir." Ucap Mikasa pelan. Dan ia tahu Levi masih sibuk dengan berkas laporannya. "Saya tidak tahu keadaan anda waktu itu."
Levi meletakan berkas tersebut di meja. "Maksudmu Petra?"
"Ah… Saya tidak bermaksud-"
"Tidak apa, kurasa sudah banyak yang tahu tentang hal itu." Kata Levi memalingkan pandangannya seraya mendesah kecil. "Itu sudah biasa." Jelas ia bohong.
"Hujannya tidak akan segera berhenti, berteduhlah disini dulu." Kata Levi sambil berdiri diikuti Mikasa yang merasa tidak enak berlama-lama.
"Tidak apa-apa, saya akan pulang sekarang." Katanya masih merasa tidak enak berjalan pelan menuju pintu.
"Di luar masih hujan, Mikasa."
"Saya bisa memanggil taksi." Gadis itu sedikit gemetar ketika tahu langkah orang dibelakangnya sedikit lebih cepat.
"Aku bilang diam, Mikasa!"
Rasa takut gadis itu semakin menjadi ketika ia hampir sampai di pintu masuk, pria di belakangnya bersuara semakin kencang. Lengannya ditarik dan tanpa sadar tubuhnya tersudut diantara dinding dan Levi. Ia ketakutan.
"Diam sebentar."
"…Kau mau apa…" pekiknya kecil ketika genggaman di kedua lengannya semakin kencang. Wajah Levi tampak berusaha terlihat baik, namun jauh di dalamnya pria itu benar-benar kesakitan.
Mikasa menutup matanya masih meronta ketika Levi melayangkan kecupan di sekitar lehernya. Tubuhnya semakin mendekat hingga benar-benar membuat Mikasa tak bisa bergerak.
"S-sir… apa yang kau lakukan…"
"Ssh… Aku tidak akan melakukan hal buruk…" bisiknya seraya menggigit-gigit kecil telinga MIkasa.
Kedua tangan gadis itu sedikit gemetar, namun sensasi dari setiap sentuhan tangan dan bibir Levi entah bagaimana benar-benar sukses melemaskannya.
Ia tipe pria yang bisa meluluhkan lewat sentuhan, pikir Mikasa merasa masih harus meloloskan diri dari sana ketika kedua tangan Levi secara halus meremas lengan dan pinggulnya sementara bibirnya terus menyerang leher gadis itu.
"Kau tahu…" Levi berkata. "Hujannya tampak semakin deras."
Mikasa tahu ia sudah tak bisa kemana-mana lagi.
.
.
.
Gadis itu kehilangan akal sehatnya setiap kali Levi memberi sentuhan kecil di tubuhnya. Mikasa teguh menahan erangannya ketika pria itu mempermainkan dadanya. Ia orang baru dan Levi mengerti itu. Maka pria itu melakukannya sangat pelan-pelan. Salah satu tangannya merogoh masuk ke balik celana kain hitam wanita itu menyentuh bagian sensitive milik Mikasa.
"S-sir…!"
"Kau menyukainya?" Seringainya sambil mengelus pelan di sekitar situ. "Kau bisa berteriak jika kau mau."
"I-Ini memalukan…"
"Tidak ada siapa-siapa disini." Jemarinya mulai nakal menusuk-nusuk area tersebut. Mikasa menggelinjang kegelian.
"A-ah… Ini tetap memalukan."
"Keras kepala." Levi menggigit kecil sisi leher Mikasa sambil menurunkan sisa pakaian gadis itu, secara insting menggesekan kejantanannya ke area vital milik Mikasa. Spontan gadis itu mendesah merasa asing dengan rasa geli di area tubuhnya. Pikirannya masih merasa ini semua tidak benar, namun seolah rasa ingin tahu tubuhnya mendominasi semakin parah.
Levi menyentuh hampir ke seluruh bagian tubuhnya, Mikasa bisa merasakannya. Wajah pria itu kini ada di hadapannya. Matanya gelap dipenuhi hasrat seluruh kegilaannya pada gadis yang tertindih tubuhnya ini.
Ia bukan Petra… Pikiran itu terbesit kemudian. Persetan dengan itu.
"Pegangan padaku." Bisiknya lagi. Lalu mencoba menembus vagina gadis ini sambil melumat bibirnya mencoba mengalihkan kemungkinan rasa sakit dari Mikasa. Levi terus menggerakan pinggulnya mencoba membuat gadis itu terbiasa.
"S-sakit sekali…"
"Aku tahu." Kata Levi berusaha menenangkan gadis itu. Hingga detik berikutnya gerakan sang pria sedikit lebih cepat dan semakin cepat.
Mikasa tak bisa memikirkan apapun selain perasaan menyenangkan setiap kali kulit mereka saling bergesekan di bawah sana. Ini hal yang baru baginya, ia kini melupakan ide untuk menutup mulutnya agar berhenti mendesah setiap Levi menyentuhnya. Ruangan itu penuh dengan suara decit ranjang, kulit yang saling bertemu dan desahan mereka berdua.
"S-sir Le- ahh…!"
Gejolak di perutnya semakin menggila sampai kemudian cairan putih keluar dari balik dinding vaginanya. Tak berselang lama Levi melepas miliknya membiarkan cairan miliknya mengalir sepanjang perut gadis itu.
Keduanya saling beradu nafas berhadapan. Levi mencium Mikasa untuk kedua kalinya hari itu entah untuk apa.
"…kau… mengotori perutku…" kata Mikasa terbata.
.
.
.
TBC
.
.
.
A/N :
Hai kalian, para followers yang kemungkinan mampir membaca cerita ini sampai habis. Atau kalian yang punya sedikit kekepoan tentang cerita ini dan membaca sampai habis.
Pertama-tama saya minta maaf karena bertahun-tahun /uhuk ngga update cerita apa-apa karena… maygat bw berat…
Sempet agak stress juga karena mendadak amnesia mikir ini cara bikin cerita gimana ya… hiks
Cerita kali inipun, adalah buah jadi pertama kalinya selepas saya bw jadi pasti ada sedikit kesan ga begitu seru, dan ngga se-all out dulu. Saya musti banyak belajar lagi, uhu~ derita author amatir begini nih TwT
Dan maafkan cerita dewasa ini lol. Sejujurnya dari dulu pengen nyobain bikin cerita rate M tapi ya Tuhan sulit sekali ternyata. Dan akhirnya diberi keberuntungan bikin lemon di cerita ini, with my favorite OTP! (sfx : yaaay!)
Lemonnya masih payah… I know… saya masih belajar lagi dan lagi uhuhu
So I hope you like it as I do, dan tinggalkan sedikit komen jejak kritik saran upah atau sebungkus cireng di bagian review karena review kalian adalah moodbooster terberat saya! 3 xoxo
