.
.
.
.
Twelvelight Present's
.
.
.
Chapter one: Interested
.
.
Kaisoo (GS)
.
.
Hope you all like it!
.
.
.
.
.
Sepasang langkah kaki pria dengan sepatu hitam yang dominan, memasuki pekarangan rumah mewah nan megah sembari menyeret koper besarnya. Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, menambah kesan tampan yang tak kunjung luput walau ia sendiri hendak menginjak kepala tiga. Setelah beberapa langkah, ia disambut oleh seorang pria tua dengan seragam maid, lalu di susul oleh beberapa maid dibelakangnya.
Melangkah mendekat, sang pelayan tua paling depan membungkuk sopan padanya, "Selamat datang kembali, Tuan Muda Jongin." Jongin, hanya mengangguk sekilas. Lalu menengok ke arah pintu yang sudah terbuka lebar. Itu karena mereka sangat menyambut kepulangannya. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada pelayan tua yang tadi menghampirinya.
"Well, dimana Pa dan Ma, Kang ahjussi?"
"Tuan besar ada di ruang baca, sedangkan nyonya besar memasak di dapurnya. Dan Tuan Muda Joon—"
Jongin mengibaskan tangannya dengan wajah jengah, "Haish—Jangan memberitahuku. Aku sedang marah pada si sialan itu," Kang ahjussi mengangguk singkat, lalu memanggil pelayan yang berdiri di depan pintu untuk membawa barang tuan mudanya itu.
Seorang pelayan yang masih berdiri di depan pintu besar rumahnya, langsung membungkukan tubuhnya ketika sepasang langkah kaki tuannya mendekati pintu masuk. Jongin melangkah masuk dengan senyuman yang sumringah. Ia merindukan rumah yang merupakan tempat ia dibesarkan ini. Pergi untuk kuliah diluar negeri, membuat ia tak punya waktu untuk pulang ke rumahnya karena tugas yang merepotkannya. Ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk agar mereka saja yang mengunjunginya, ia menolak keras. Alasannya adalah ia juga bisa belajar hidup mandiri selama di sana. Dan inilah hasilnya. Jongin lulus dengan nilai memuaskan dari tempat sekolah akhirnya itu.
Melepaskan kacamata, mata abu-abunya menatap ke sekelilingnya.
Tetap sama. Tak ada yang berubah.
Melangkah mendekati dapur, ia mendapati seorang wanita paruh baya terlihat sedang memasak dengan uletnya di dapur. Membuat ia tak tega mengganggunya. Masakan ibunya memang sangat menggunggah selera. Lihatlah bagaimana perutnya meraung meminta makan hanya dengan mencium aroma rempah masakan yang bahkan belum matang itu.
Terkekeh sebentar, Jongin melangkahkan kakinya secara perlahan ke ruang baca yang mana berada kepala keluarga Kim yang sedang menikmati masa santainya. Ia tersenyum kala sang ayah menangkap kehadiran anak bungsunya yang ia rindukan setengah mati dalam 4 tahun terakhir. Sedikit berlari, Jongin merentangkan kedua tangannya, begitu juga dengan ayahnya yang langsung menerima pelukan anaknya.
Taemin –ayah Jongin—tersenyum sembari menepukkan tangannya pada punggung anaknya yang semakin lebar semenjak mereka terakhir bertemu. Jongin melepaskan pelukannya ketika sudah merasa puas dengan pelukan hangat ayahnya.
"Lihat, lihat! Siapa yang semakin tinggi sekarang?" Taemin meninju lengan Jongin main-main. Lihat? Mereka saja bukan seperti ayah dan anak, tapi lebih terlihat seperti sahabat yang sudah lama tak bertemu.
Jongin meringis, "Tentu saja. Mana mungkin aku memilih untuk selalu berdiri di bawah ketiakmu?" keduanya terkekeh bersamaan. Tak menyadari seorang wanita yang umurnya hendak menginjak kepala lima, tetapi, orang-orang pasti mengira ia masih kepala tiga karena wajahnya yang masih tetap terawat.
Sang wanita tersenyum bahagia melihat punggung tegap anaknya yang sedang membelakanginya itu.
"Anak ini—Oh! Lihat siapa yang datang, sayang!" ucap Taemin kepada istrinya yang semakin melangkah mendekat ke arah mereka. Yang lebih muda membalikkan badannya, dan matanya bersiborok dengan mata jernih ibunya yang tersenyum karena bahagia luar biasa.
Senyum Jongin semakin merekah kala melihat wanita yang melahirkannya ke dunia itu. "Kejutan!" Jongin nyengir. Sooyoung—ibu Jongin—langsung memeluk anaknya yang bahkan ia masih ingat bagaimana pertama kali anaknya itu berjalan.
"Dasar anak kurang ajar! Berani sekali kau melarangku bertemu denganmu!" Sooyoung semakin mempererat pelukannya
Melepaskan pelukannya, Jongin menatap ibunya yang sudah berkaca-kaca sembari menghapus air matanya. "Maafkan aku, Ma..."
"Setidaknya jangan menolak uang yang kami kirimkan untukmu setiap bulan. Kau tau bagaimana khawatirnya Ma-mu itu, Jongin." Taemin menyeletuk membuat rasa bersalah timbul dihatinya. Ia sama sekali tak berniat membuat khawatir siapapun. Ia hanya mencoba untuk melatih dirinya tanpa bantuan siapapun.
Lahir dengan sendok perak dimulutnya, bukan berarti Jongin menggampangkan sesuatu dengan uang ayahnya. Ia hanya tak ingin mendapat hujatan karena ayahnya yang seorang milioner dan ia hanya tinggal menunggu warisannya saja.
Untuk itu, ia harus membuktikan pada semua orang kalau ia bisa, bukan karena ia anak dari orang terkaya di Korea.
"Yah, yang penting, sekarang kau sudah kembali." Taemin mengedikkan bahunya. "Kau harus cepat membantu kakakmu itu. Joonmyeon selalu bermain perempuan, walau ia tetap serius dalam bekerja, tapi kita tahu bagaimana ke depannya jika dia selalu begitu. Kau tahu apa maksudku, bukan?" Jongin mengangguk. Membuat Sooyoung mendesah putus asa. Tentu saja, perilaku Joonmyeon yang hangat menjadi sangat 'dingin' itu, tak jauh dari masalah percintaan.
"Aku akan membunuh jalang itu." Geram Sooyoung sembari mengepalkan telapak tangannya.
Taemin mengelus pundak istrinya, "Sayang, sudahlah." Sooyoung menghela nafas pasrah. Jongin menatap ibunya khawatir.
Tetapi, sang ibu langsung mengubah raut wajahnya menjadi sangat ceria. Walau Jongin dan ayahnya tahu kalau ibunya memang sangat mengkhawatirkan anak sulungnya.
"Ayo, kita makan siang. Aku baru saja membuatnya."
.
.
.
Dering telfon Jongin berbunyi nyaring, membuat ia terbangun dengan mata yang masih terpejam. Ia meraba meja nakas samping tempat tidurnya. Ketika mendapati ponselnya, ia membuka matanya malas dan membaca nama penelfon yang ia sebut tidak tahu diri itu.
Matanya mengerjap-ngerjap. Saat nama Albino Sakit Jiwa tertangkap oleh retinanya, Jongin mendengus kesal. Sahabat sintingnya ini membuatnya muak setengah mati. Setelah berjam-jam naik pesawat dari Canada ke Korea yang menempuh beberapa jam tanpa tidur, yang ia butuhkan saat ini hanyalah tidur. Tetapi, sahabat yang menelfonnya kini malah mengacaukan segalanya.
Padahal ia sudah memasuki alam mimpi bersama dengan wanita-wanita cantik.
"Hoamm—Ada apa, sialan?" Jongin menggerakkan tubuhnya menjadi menyamping. Menghadap ke arah tembok. Karena hari sudah siang dan jendela kamarnya tak ditutup, membuat matanya silau terkena pancaran sinar matahari yang memantul.
"Come on, princess! Kita harus merayakan hari kepulanganmu!"
Mata Jongin, sedikitnya, terbuka. "Apa yang kau maksud dengan kita, albino sialan?" pikirannya mendadak menandakan hal buruk akan terjadi padanya. Tepatnya, pada dompet dan kartu kreditnya.
"Oh, brother. Kau tentu tahu apa maksud pria tampan ini," Jongin mendelik tak suka pada ponselnya.
"Jonginie!" –Oh, Tuhan, telingaku. Itu Xi Luhan. Wanitanya Oh Sehun, si keparat yang menelfonnya di jam tidurnya sekarang.
"Jong, ayolah, aku meninggalkan anakku sendirian di rumah saat ini." –ini suara Kim Jongdae. Sahabat kotaknya yang sudah ia kenal semenjak SHS.
"Chanyeol, dimana eyeliner-ku?!" –ini sudah pasti Byun Baekhyun. Pendamping hidup sang pemilik telinga paling lebar kedua setelah gajah di dunia, Park Chanyeol. terkadang ia terpikir, kalau hidung lebarnya yang ternyata semakin lebar itu karena Baekhyun yang selalu menariknya kalau sedang kesal.
"Lu, bukankah itu Junki yang kau suka sewaktu kita JHS?" –ini Kim Minseok. Istri dari Jongdae sang kepala kotak yang lembutnya luar biasa.
"Ya! Xiumin noona—Lu—" –dan suara pria yang membuatnya kesal setengah mati di hari yang sangat terik ini. Oh Sehun, siapa lagi memangnya?
"Aku tidak tahu—Tapi, Baek, dimana kau letakkan susu Taehyung? Ma mengirim pesan bahwa ia tak menemukannya di rak—" suara berat ini—dengus Jongin dalam hati. Karena pemilik suara berat itu sudah pasti pria tinggi menjulang dengan telinga lebarnya, Park Chanyeol.
"Dimana Jongin?" Huft— dan ini Zhang Yixing. Seperti biasa, pelupa, tak ingat lingkungan sekitar dan –ehm—sedikit bodoh. Tetapi, dia menjadi dokter, dan dia dokter tercerdas di tempat kerjanya. Orang lain mungkin tak akan percaya dengan hal ini.
Jongin menjauhkan ponselnya dari jangkauan telinganya. Oh, yang benar saja. Ia dapat mendengar suara teman-temannya. Ia sangat berterima kasih kepada keparat Sehun yang sudah membuatnya gagal untuk tidur siang dan mengganggu waktu hibernasi kartu kredit dalam dompetnya.
"Bajingan. Aku tiba di sana dalam setengah jam." Ia menutup sambungannya sepihak, dan diakhiri dengan dengusan kesal.
Jongin pun memilih untuk pergi daripada mendapat tendangan hapkido gratis dari Baekhyun.
.
.
.
Saat jam menunjukkan pukul 10 malam, Jongin dan sahabat-sahabatnya memilih untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Luhan telah pulang lebih awal karena Ma dan Baba-nya yang baru sampai di Korea, mau tak mau ia harus mengundurkan diri lebih awal dan menjemput kedua orang tuanya itu. Begitu juga dengan Minseok dan Jongdae yang mengkhawatirkan keadaan anaknya, Jongseok, yang dititipkan pada adik perempuan Xiumin, Sohee.
Ah, Jongin bahkan tak tahu dimana keberadaan Sehun karena anak itu mendadak hilang seperti hantu.
Mungkin albino gila itu sudah pulang –pikir Jongin, simpel.
Sedangkan Baekhyun berada di hadapan Jongin untuk melepas rindu karena terlalu lama tak bertemu.
"Terima kasih, Nini!"
Jongin mendelik, "Noona! Jangan memanggilku dengan sebutan kekanakkan begitu!" sungut Jongin pada Baekhyun yang hendak pulang. Yang lebih tua, terkekeh.
Bibir Baekhyun mengerucut, "Ah, kau tetap adik kecilku, Nini." Baekhyun mendekap Jongin erat. Sedangkan Jongin tersenyum kecil padanya. Baekhyun adalah wanita kesayangannya setelah ibunya. Terlebih lagi, Baekhyun adalah sahabatnya sejak ia TK. Itulah yang membuat mereka sangat dekat sampai sekarang.
Jongin pun masih ingat saat mereka berdua masih TK, dimana Jongin yang sedang terserang penyakit. Ia masih ingat dengan pasti, bagaimana wajah jelek Baekhyun yang menangisinya sewaktu ia sakit karena tivus. Baekhyun menangis terlalu kencang, bahkan nyaris tersedak liurnya sendiri. Hal itu karena ia ketakutan melihat Jongin yang terlalu pucat dan badannya yang panas sekali. Ia bahkan pernah bertanya seperti ini,
"Apa Nini-ku akan mati, Kim ahjumma? NINI TAK BOLEH MENINGGALKANKU! HUEEE~!"
Jongin terkikik pelan ketika mengingat kejadian itu. Kejadian yang bahkan tak akan pernah ia lupakan.
Saat Jongin masih asyik memeluk tubuh hangat Baekhyun, ia mulai merasa adanya aura hitam yang menyelimutinya. Jongin menatap Chanyeol yang sedang menatapnya tajam di dalam mobilnya. Ia menyengir, lalu melepaskan pelukan Baekhyun padanya.
Chanyeol memang terlalu protective.
"Nini, kau tidak pergi lagi, bukan?"
"Tidak, noona. Setelah ini, aku membantu Joonmyeon hyung di perusahaan."
Baekhyun mengangguk kecil sembari tersenyum senang. Lalu memutuskan untuk pamit, lalu pulang terlebih dahulu karena memikirkan anaknya yang masih berumur 6 bulan dirumahnya. Kakinya berlari kecil menuju Chanyeol yang sudah lama menunggunya di dalam mobil. Jongin tersenyum kecil, lalu ia merasakan tangan kekar yang mengalung pada lehernya. Oh Sehun.
"Bro—"
Jongin memutar bola matanya malas, "Your fucking car is broken again, right?"
Sehun menyengir ke arah sahabat kulit tan-nya.
"Kau memang selalu mengerti diriku."
Jongin langsung berlalu dengan Sehun yang berteriak dibelakangnya.
.
.
.
Mobil sport berwarna biru gelap berhenti tepat di depan mansion keluarga Oh. Sehun keluar dari mobil Jongin sembari menguap karena mengantuk. Kakinya melangkah masuk ke arah rumahnya, sedangkan Jongin yang masih terdiam tanpa niat melajukan mobilnya untuk pulang. Ia terlihat sedang melamun.
Tanpa Jongin sadari, Sehun membalikkan badannya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Oh, ya, Kkamjong. Kau sudah menemukan cinta sejati yang kau cari-cari itu?" Sehun menyeringai ke arahnya ketika wajah Jongin berubah menjadi sangat masam.
Ya, benar sekali. Jongin pergi keluar negeri karena alasan mencari cinta sejatinya. Tetapi, Jongin, dengan gaya cool-nya, mengubah sebutan 'cinta sejati' dengan 'wanita pilihan'. Sehun selalu terbahak kalau Jongin menyebutnya.
"Sialan,"
Sehun terkekeh, "Percaya padaku, wanitamu hanya berada di Korea. Sok sekali mencari di luar negeri." Jongin hendak melempar sepatunya, tetapi kaki panjang sahabatnya itu lebih dulu terbirit memasuki rumah tinggalnya.
"Oh, ya!"
Jongin mendelik ke arah Sehun yang melongokkan kepalanya di sela pintu berwarna putih gading rumahnya, "And, you must move on from Krystal. Dia itu seorang jalang," ia memberi jeda sejenak, lalu memunculkan senyum tipisnya.
"Dan kau tahu? Baekhyun noona memiliki saudara sepupu yang saa~ngat imut sekali—walaupun aku hanya melihatnya di foto, sih—but, you must meet her! Kulihat, dia wanita yang ramah dengan senyuman love shape dibibir tebalnya." Jongin memutar bola matanya malas, ia menyalakan mobilnya hendak meninggalkan rumah Sehun karena mulai merasakan perubahan mood-nya.
Sehun mengerucutkan bibirnya, sediih, dan itu tampak menjijikan dimata Jongin. Mengingat, hanya ada cerminan wajah pangeran es yang dimiliki Sehun selama masa hidupnya.
"Tetapi, dia sudah—YAK! HEY! KKAMJONG! AKU BELUM SELESAI BICARA!"
.
.
.
Jongin tampak sedang memusatkan perhatiannya pada Macbook kantornya. Ia melihat bagaimana perkembangan perusahaannya semenjak kakaknya yang mengambil alih. Terlihat di sana bagaimana diagram keuntungan perusahaan yang melesat naik semenjak kakaknya yang naik jabatan. Ia tersenyum senang karena kakaknya sangat giat dalam bekerja.
"Permisi,"
Jongin mendongakkan kepalanya. Matanya mengarah pada wanita cantik di depan pintu kerjanya dengan beberapa map berwarna hijau dan merah di dekapannya. Ia cukup mengenalnya.
"Lami-ssi. Masuklah. Ada perlu apa ke ruanganku?" Lami tersenyum dengan sangat cantik. Kakinya melangkah mendekati meja kerja Jongin yang mana membuat Jongin meneguk ludahnya kasar karena pakaian terbuka Sekertaris kakaknya itu.
Si sialan Kim Joonmyeon—
"Oh, sebelumnya, maafkan aku jika mengganggu pekerjaanmu, Mr. Kim Jongin. Tetapi, Mr. Kim Joonmyeon mengirimkanku untuk memberikan map-map ini padamu," Lami meletakkan lima map berwarna hijau di mejanya, sedangkan yang berwarna merah tetap berada dalam pelukannya.
"Beliau berkata, ini adalah data-data calon Sekertaris anda yang melamar Minggu kemarin. Beliau juga bilang bahwa ia menunggu jawaban anda sampai sore ini."
Jongin mengangguk sembari mengambil satu map itu dan membukanya. "Baiklah. Kau boleh kembali bekerja, Lami-ssi." Lami mengangguk, lalu berjalan keluar dari ruangannya dengan suara sepatu hak-nya yang nyaring.
Jongin menatap salah satu data calon Sekertarisnya yang bergender perempuan. Ia berpikir bahwa wanita lebih ulet pada pekerjaannya dibanding lelaki. Ia membaca profile karyawannya itu. Matanya berhenti pada namanya yang sepertinya terdengar sangat unik di telinganya; Do Kyungsoo.
"Wow, she's cute."
Melihat beberapa riwayat pekerjaan dari profile yang bernama Do Kyungsoo itu membuatnya tertarik. Ia bekerja di perusahaan-perusahaan ternama, salah satunya Park Enterprises, milik Chanyeol. Selama menjelajahi beberapa data tentang Do Kyungsoo, bibirnya tak segan mengatakan 'woah' atau 'daebak'.
Tangannya meraih gagang telefon yang sudah tersedia di sisi meja kerjanya. Tanpa basa-basi, ia menelfon Joonmyeon dengan segera. Jarinya mengetuk tak sabaran pada meja kerjanya. Sampai akhirnya, sambungan telfon itu diangkat oleh kakaknya.
"Ada apa, Jong?"
"Aku menginginkan Do Kyungsoo. Besok, ia sudah harus berada di sini."
.
.
.
Baekhyun terlihat sedang menyetir mobil barunya ke daerah apartement terkemuka di Seoul. Mata sipitnya menatap tajam jalanan, dengan kegesitan dan keahlian menyetirnya, perjalanan yang seharusnya menempuh waktu setengah jam dari rumahnya, hanya ia tempuh selama 15 menit.
Memasuki daerah apartement, ia memakirkan mobilnya di basement yang tersedia di sana. Setelah menempatkan mobilnya diblok yang kosong, ia segera melangkah menuju lift yang tak jauh dari tempatnya memarkir mobilnya.
Setelah menekan tombol lantai atas, ia pun menunggu pintu lift terbuka di hadapannya sembari mengutak-atik ponselnya. Lalu ia tempelkan ponselnya pada telinganya, menunggu jawaban dari seberang sana.
"Baekhyun?"
Baekhyun tersenyum manis saat mendengar sahutan dari seorang wanita yang merupakan saudara sepupunya itu.
"Aku akan tiba di kamarmu dalam waktu 3 menit."
"Wah, tumben sekali kau mengunjungiku di hari biasa seperti ini. Ada apa? Apa karena Chanyeol?" Baekhyun terkekeh, yang mana membuat perempuan di sana mendengus ketika mendengarnya.
TING!
Baekhyun melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift, lalu menekan tombol berangka 13. Ia bersindekap, "Kenapa kau bertanya? Mengunjungi sepupuku tercinta yang sedang bersantai, apa salahnya? Lagipula, aku rindu dengan Kyungin."
"Apa-apaan nada bicaramu itu? Aku hanya beristirahat sebentar dari pekerjaanku!—Lagipula, seharusnya kau bicara padaku sebelum datang! Aku tak punya bahan makanan—"
Baekhyun terkekeh kecil. "Dear, don't worry. Aku akan memesan makanan untuk kita berdua. Lagipula, kau sedang beristirahat¸ bukan? Anggap saja aku sedang menyelamatkan isi dompetmu," goda Baekhyun yang mana membuat wanita seberang sana mengerang karena kesal.
"FINE! TERSERAH KAU SAJA!"
Dan panggilan itu di sudahi oleh pihak yang pasti bukan Baekhyun. Baekhyun menatap ponselnya dengan senyum yang tersungging dibibir tipisnya.
Setelah beberapa detik, pintu lift-nya terbuka. Melangkahkan kaki, Baekhyun mendekati pintu dengan nomor 112. Dengan gemas, ia mengetuk pintunya. Selang beberapa waktu, pintu itu terbuka, menampakkan wajah wanita imut yang menatapnya penuh delikan tajam dan sumpah serapah yang keluar dari bibir tebalnya. Walaupun pada akhirnya nanti, mereka kembali tertawa seperti tak mengalami apapun.
.
.
.
Esoknya, Jongin berangkat ke Royal Inc. –nama perusahaannya—dengan semangat dan senyuman ceria yang terpasang otomatis dibibirnya. Ia tak tahu mengapa. Mungkin karena ibunya yang memasakkan makanan kesukaannya? Atau Joonmyeon yang memberikan black card baru padanya? Atau karena sekertaris barunya nanti akan tiba?
Entahlah.
Yang penting, ia merasa sangat bahagia hari ini.
"Pagi, Mr. Kim."
Jongin mengangguk sekilas saat Lami menyapanya. Ia memasuki ruang kerjanya dan langsung diPari oleh banyaknya dokumen yang harus ia cek. Meregangkan otot kanannya, ia mulai bergerak lincah dengan kacamata berlensa tipis yang baru saja ia pakai.
Bahkan ia sampai tak sadar saat wanita berperawakan tubuh kecil dengan mata yang lumayan besar memasuki ruangannya. Jongin tetap tak menyadari kehadirannya sampai si mungil berdeham.
"Maaf mengganggu, Mr. Kim." Jongin mengangkat kepalanya. Matanya bersiborok dengan mata belo yang menatapnya mengintimidasi. Mungkin, karena matanya yang besar?
Jongin mengangguk sekilas, ia cukup mengenali siapa yang sedang berbicara padanya tadi.
Mengisyaratkan agar si mungil duduk di bangku yang sudah disediakan, Jongin menegakkan tubuhnya saat wanita itu berjalan mendekatinya. Sang wanita mendudukkan dirinya dengan nyaman. Suasana mereka sangat canggung, karena Jongin bahkan tak tahu apa yang harus ia katakan. Jadi;
"Selamat datang di Royal Inc., Kyungsoo-ssi. Semoga kita dapat saling bekerja sama." Jongin mengulurkan tangannya. Kyungsoo membalasnya selang beberapa detik.
"Ya, semoga kita dapat bekerja sama, Mr. Kim Jongin. Dan saya pamit undur diri untuk mulai bekerja." Jongin menarik uluran tangannya, lalu tersenyum ramah pada karyawan barunya. Yang mana membuat Kyungsoo juga ikut tersenyum tipis. Tipis, sekali. Bahkan hampir tak kelihatan oleh pandangan tajam Jongin.
Kyungsoo bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangannya.
Jongin menatap punggung wanita itu heran.
"Tatapan matanya—mengerikan." seketika, ia merasakan bulu kuduk sekitar lehernya berdiri saat ia mengatakan hal itu. Tetapi, ia buang jauh-jauh pikiran buruknya terhadap karyawan barunya itu.
Namun setelahnya, senyuman menawannya kembali muncul.
"Tapi—ia memang manis jika dilihat secara langsung."
Jongin merona.
.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
.
