A/N: It's my first fic. akhirnya setelah bertahun tahun jadi silent reader saya beranikan diri bikin account juga dan ngepost story sendiri *malu*. cerita ini terjadi 6 tahun setelah scene trio gryffindor di king cross, jadi sekitar 25 tahun setelah perang hogwarts. semoga cerita ini ga mengecewakan karena saya bener2 nervous as hell -"
dan kalo ada sesuatu yang salah, mungkin peletakkan genre atau apa mohon dimaklumin dan di ingetin ya, krn saya bener2 baru disini ._.
enjoy my story, pals! :)
Disclaimer © J.K. Rowling
If I Didn't
Chapter 1 - Prologue
.
Aula besar sudah ramai dengan suara berdenting sendok dan garpu saat Rose sampai disana. Lily terlihat mengunyah sosis panggangnya dengan malas saat Rose mengambil tempat di samping kirinya.
"Morning, Lils." Ujar Rose saat ia melihat Lily mengunyah sosisnya lebih lambat dari seekor sapi.
"Morning." Jawab Lily tak jelas. Suaranya serak dan nyaris lebih terdengar seperti troll yang mencoba belajar berbicara bahasa Inggris.
"Kau oke?" Rose bertanya menyelidik melihat sepupunya yang seperti habis dikecup oleh dementor itu.
"Jika latihan quidditch sampai hampir tengah malam di udara sedingin ini bisa disebut oke, maka ya aku baik-baik saja." Ia meneguk jus labunya sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Oh ya dan tambahan, setelahnya kau lupa mengerjakan essay transfigurasi sepanjang satu meter dan harus terjaga sepanjang malam untuk menyelesaikannya. Aku hampir mati Rose." Lily berucap sebal dan hanya ditanggapi oleh kekehan dari sepupunya itu.
"Sudah kubilang kan, quidditch itu bukan hal baik." Rose meletakkan dua potong sosis panggang di piringnya. Lalu menuang kopi ke dalam piala setelahnya. "Ini, mungkin bisa membuatmu lebih baik dibanding jus labu." Rose menyodorkan piala berisi kopi itu kehadapan sepupunya. "Trims." Ucap Lily singkat.
Keduanya lalu mulai melanjutkan menyantap sarapan mereka. Rose benar-benar kelaparan setelah ia melewatkan makan malamnya kemarin gara-gara harus mengurusi anak kelas dua yang diganggu oleh Pevees. Ia sedang menyendok kentang tumbuk ke piringnya saat Lily meluncur nyaris menghilang ke bawah kursi dan mendesah malas. Matanya mengikuti kemana arah tatapan Lily, seorang anak laki-laki kelas tujuh berdiri di pintu masuk Aula besar –Alexander Wood, kapten Quidditch Gryffindor. "Oh tidak." Rose sempat mendengar Lily mendesah sekali lagi sebelum Wood sampai di hadapan mereka.
"Morning Potter," Kata Wood santai.
"Morning Wood." Lily menjawab singkat.
"Hanya ingin mengingatkanmu, bahwa kita punya jadwal latihan nanti setelah makan siang. Aku sudah memeriksa jadwal kalian semua, dan bagus sekali bahwa kalian semua kosong siang nanti." Wood menjelaskan sambil menarik sudut bibirnya –tersenyum simpul.
Mata coklat madu Lily membulat hampir keluar saat mendengar ucapan Wood. "Latihan? Tapi kita baru latihan tadi malam. Dan sampai tengah malam kalau kau lupa Alexander."
"Tepat sekali. Dan kita satu-satunya tim yang bisa memakai lapangan dua kali berturut-turut." Wood berucap bangga tanpa memperdulikan tatapan horror Lily. "Baiklah, sampai jumpa siang nanti Potter." Wood hendak melenggang pergi sebelum matanya menangkap Rose berada tepat di samping Lily dan sedang menahan tawa. "Morning Weasley. Ada yang lucu?" Wood bertanya heran melihat wajah Rose yang memerah karena menahan tawa.
"Oh, morning Wood. Tidak, aku hanya mengingat Peeves tadi malam, dan yah kurasa itu sedikit lucu." Rose berucap asal sambil menyendok kembali kentang tumbuk ke piringnya. "Kentang, Wood?" Rose mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh trims Weasley, tapi tidak terimakasih." Wood menatap heran ke arah Rose lalu pergi setelah mengucapkan selamat tinggal pada Lily yang sekarang tengah bersandar lemas pada Rose.
"Kau lihat dia. Dia itu apa sih. Ingin membunuh kami semua? Kenapa tidak sekalian saja gunakan mantra untuk membunuh kami." Lily berucap sebal saat ia memastikan Wood sudah berada jauh dari mereka.
Rose tidak menjawab, ia sudah meledak di antara tawanya yang sedari tadi ia tahan di depan Wood. Rose benar-benar tidak bisa untuk tidak tertawa saat melihat tatapan horror Lily yang seolah tidak disadari oleh Wood dan hanya membalas dengan tatapan berbinar anak kecil yang baru mendapat permen.
"Kurasa dia hanya mencoba untuk membuat Gryffindor menang." Ucap Rose saat ia sudah bisa mengendalikan tawanya. Lily masih mendengus sebal disampingnya.
"Dia benar-benar seperti Wood yang Dad ceritakan." Lily menatap sebal ke arah anak kelas tujuh berkumpul dan Wood tengah tertawa diantara mereka. "Dad bilang, Mr. Wood pernah membangunkannya saat subuh untuk latihan. Itu benar-benar gila."
"Yeah kurasa kau harus bersyukur setidaknya ia tidak mendatangimu saat subuh seperti itu Lils haha." Rose tertawa lagi dan hanya dibalas dengan desahan nafas oleh Lily.
Rose masih sibuk mentertawai nasib buruk Lily saat Albus tiba di meja Gryffindor dan menimbulkan suara gedebruk keras. Hampir setiap kepala di meja Gryffindor menoleh sebal ke arahnya.
"Sedang apa kau?" Tanya Lily.
"Kau lihat aku sedang apa Lils, aku sedang sarapan." Jawab Al malas. Ia mengambil sepotong muffin keju dan melahapnya dengan rakus.
Lily memutar bola matanya sebal. "Sedang apa kau di meja Gryffindor?"
"Merlin! harus berapa kali kukatakan padamu? Aku sedang sarapan Lil. Sa-ra-pan." kali ini gantian Albus yang memutar bola matanya. Lily merengut sebal mendapat jawaban kakanya itu.
"Di meja Gryffindor?" Kali ini Rose yang bertanya.
"Kalian ini kenapa sih? Alergi benar dengan Slytherin sepertinya." Kata Albus dengan nada sebal yang dibuat-buat.
"Terserah kau saja." Lily menyerah berbicara dengan Albus dan mulai mengunyah ayam menteganya.
"Adrian terus mengganguku tentang anak kelas satu yang naksir aku. Mana bisa aku menelan makanan jika ia terus berisik dan mengoceh bermacam hal yang membuatku mual seketika." Albus menjelaskan.
Lily hampir menyemburkan ayam menteganya saat mendengar ucapan Albus. Ia terkikik geli. Albus memang terkenal akan reputasinya sebagai Cassanova dari Slytherin, dan bukan hal baru jika setiap tahun penggemarnya bertambah. Apalagi mengingat ia adalah anak dari the boy who lived yang telah menyelamatkan seluruh masyarakat sihir.
"Tumben kau repot dengan anak kelas satu." Ujar Rose.
"Hukan hitu hahsalahnya-" Muffin di mulut Albus berloncatan keluar saat ia mengatakannya.
"Itu menjijikan Al, telan makananmu!" Lily mendelik. Albus lalu mengunyah muffinnya dengan cepat dan menyambar asal piala Lily yang berisi jus labu lalu meneguknya.
"Bukan itu masalahnya, anak kelas satu itu hampir meracuniku dengan ramuan cintanya yang gagal." Ia melanjutkan sebelum akhirnya Rose berseru histeris. "Kau bilang apa? Anak kelas satu punya ramuan cinta? Bagaimana bisa? Darimana ia dapat? Oh yaampun, apa sih yang dilakukan oleh prefect Slytherin sampai tidak tahu kalu ada anak kelas satu di asramanya yang punya ramuan berbahaya itu. Aku benar-benar harus melaporkan ini pada Professor Slughorn."
"Whoo—hoa easy Rose easy. Aku kesini bukan untuk mendengarmu marah-marah tentang kinerja prefect Slytherin." Ujar Albus.
Rose masih mengumpat sebal di samping Albus saat Professor McGonagall menghampiri meja Gryffindor. Mata wanita tua itu sedikit memicing kaget menemukan siswa Slytherin sedang sarapan di meja asramanya.
"Morning Potter, Weasley." Ujar Professor McGonagall saat ia sudah berada tepat di belakang Rose.
"Oh, Morning Professor." Jawab ketiganya hampir bersamaan.
"Kuharap kalian sudah menyelesaikan sarapan kalian dan bisa ikut ke kantorku sekarang." McGonagall berbalik menuju pintu aula besar sebelum kembali menambahkan, "Ah ya, dan ajak adikmu juga Mrs. Weasly."
Mereka bertiga hanya berpandangan heran sebelum akhirnya Rose memanggil Hugo di deretan anak kelas empat. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju kantor Professor McGonagall. Raut wajah keempatnya menampakan kebingungan.
"Kau berbuat apa lagi dengan Gryffindor?" Lily bertanya pada kakaknya.
"Apa? Aku? Kenapa aku harus berbuat onar dengan Gryffindor Lil." Jawab Albus tidak percaya.
Lily menghentikan langkahnya sejenak lalu menatap Albus dengan wajah serius. "Aku tidak mengerti kenapa Professor harus memanggil kau juga jika bukan karena kau membuat masalah dengan siswa Gryffindor. Kau satu-satunya Slytherin di sini Al."
Albus tidak menjawab, alisnya mengkerut bingung. Ia menimbang-nimbang kemungkinan ucapan Lily ada benarnya. Ia memang satu-satunya Slytherin di sini. Tapi seingatnya ia tidak berbuat onar yang berlebihan sampai-sampai harus dipanggil oleh kepala sekolah. Beberapa permen muntah dari Uncel George yang ia dan Adrian berikan kepada anak kelas satu rasanya bukanlah masalah besar.
"Mungkinkah ini soal keluarga kita?" Hugo yang sedari tadi diam mengikuti akhirnya ikut berbicara.
"Apa maksudmu?" Tanya Rose bingung.
"Entahlah. Tapi bukankah aneh Professor menghampiri kalian secara langsung di meja Asarama. Dan lagi kenapa ia harus repot memanggilku juga yang saat itu tidak bersama kalian." Hugo menjelaskan.
"Aku harap tidak Hugo." Rose berucap pelan.
Keempatnya lalu melanjutkan lagi langkah mereka yang sempat terhenti, pikiran mereka berputar-putar tentang apa yang akan McGonagall sampaikan. Tanpa sadar mereka berempat sudah sampai di depan tangga berputar yang dijaga oleh patung Gargoyle. Rose mengucapkan sandinya. Tapi patung itu tetap terdiam.
"Oh sial. Aku lupa mereka mengganti kata kuncinya setiap akhir pertemuan." Rose mengumpat dirinya karena kata kunci yang ia ucapkan tadi tidak berguna sama sekali. Kata kunci itu adalah kata kunci yang terakhir kali ia gunakan untuk masuk ke kantor Professor McGonagall saat rapat prefect satu minggu lalu.
"Jadi sekarang bagaimana?" Tanya Albus.
"Entahlah. Aku tidak tahu kata kuncinya yang baru." Ucap Rose pelan.
"Ah! Disini kalian. Kenapa tidak langsung masuk saja? Ayo ayo kita harus cepat." Sebuah suara dari sosok di ujung lorong mengalihkan perhatian keempat anak itu dari patung di hadapan mereka.
"Hagrid!" Hugo berseru senang.
"Kenapa tidak masuk?" Tanya Hagrid.
"Kami tidak tahu kata kuncinya." Ujar Lily lemas.
"Sini sini, biar aku yang buka." Hagrid menyeruak di antara empat remaja itu. "Centaur Pixie."
Patung Gargoyle itu membuka matanya. Sayapnya lalu terkembang dan beberapa anak tangga muncul dari tanah. Hagrid melompat cepat ke anak tangga itu lalu disusul oleh Rose, Lily, Hugo dan Albus. Ini bukan kali pertama Rose dan Albus ke kantor kepala sekolah. Jadi patung yang terbangun dan anak tangga yang berputar ke atas bukanlah hal yang menakjubkan lagi bagi mereka berdua. Tapi tidak dengan Hugo dan Lily, baru kali ini mereka berada di lorong sempit dengan tangga spiral yang bergerak sendiri ke atas. Raut wajah kagum sekaligus bingung tergambar jelas di wajah keduanya.
Hagrid membuka pintu kantor McGonagall cepat. Saat pintu terbuka, Rose dan yang lainnya bisa melihat Professor Slughron juga berada di sana. Ia berdiri tegak di depan meja Professor McGonagall dengan raut muka yang tidak terbaca. Rose mulai merasakan firasat tidak enak.
"Ah kalian kenapa begitu lama?" Tanya Professor McGonagall menuntut.
"Maaf Professor, kami—" Albus baru hendak menjelaskan saat Professor McGonagall mengangkat telapak tanganya dan memotong pembicaraan Albus.
"Baiklah, baiklah lupakan itu. Nah, Potter, Weasley silahkan duduk terlebih dahulu." Ia menunjuk dua bangku kayu di depan mejanya. Lily dan Rose duduk di bangku itu sementara Albus dan Hugo berdiri di belakang mereka. Hagrid mengambil posisi di dekat Professor Slughorn yang masih berwajah aneh. Ekspresi keduanya benar-benar tidak terbaca.
"Begini. Aku tidak tahu harus memulai dari mana." Professor McGonagall seperti mencari-cari kata yang tepat dalam kepalanya.
"Katakan saja apa yang terjaid, Minerva." Ujar Professor Slughorn dengan nada berat.
Lily dan Rose berpandangan bingung mendengar ucapan Slughorn. Apa yang terjadi? Kenapa Professor McGonagall terlihat begitu bingung dan- khawatir?
"Aku tahu Horace, Aku tahu." Jawab Professor McGonagall. Ia menarik nafas dalam lalu menatap keempat siswa di hadapannya lekat-lekat. Sinar mata wanita tua itu begitu redup, alisnya berkerut nyaris bertabrakan dan bibirnya membuka lalu menutup lagi seperti kehilangan suara sebelum bisa mengucapkan sesuatu.
"Professor?" Rose bertanya ragu. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi disini. Kenapa sepertinya hal yang ingin disampaikan Professor McGonagall begitu sulit untuk dikatakan. Dan kenapa juga ada Hagrid dan Professor Slughorn disini. Perutnya sedikit melilit mengingat perkataan Hugo tadi.
"Ah ya Weasley." McGonagall terkejut dengan suaranya sendiri yang nyaris melengking karena kaget. Jelas sekali beberapa detik lalu pikirannya tidak berada di sini.
"Apa yang terjadi, Professor?" Kali ini Albus yang bertanya. Ia tidak sadar bahwa nada bicaranya terdengar begitu khawatir. Dan hal itu lagi-lagi menimbulkan ekspresi aneh di wajah Hagrid dan Professor Slughorn."
"Subuh tadi kementrian melakukan pemindahan narapidana dari Azkaban ke kementrian untuk disidang lebih lanjut pagi ini—" Ujar Professor McGonagall ragu-ragu. Ia tidak yakin apa suaranya masih terdengar jelas untuk melanjutkan. "Pasukan khusus dari departemen Auror dipilih untuk mengawal pemindahan ini."
Rasa-rasanya Rose mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Kementrian. Departemen Auror. Kepalanya berputar-putar memikirkan berbagai macam kemungkinan hal yang mungkin di ucapkan Professor McGonagall.
"Dan Mr. Weasley adalah salah satunya." McGonagall melanjutkan. "Terjadi sebuah pertempuran kecil karena ternyata salah satu narapidana itu menyimpan benda sihir yang mengandung kutukan mematikan." McGonagall berusaha mencari suaranya sebelum kembali menatap keempat anak di hadapannya.
Tanpa sadar Rose menggengam tangan Lily mendengar nama ayahnya disebut. Hatinya berharap penuh bahwa kalimat selanjutnya yang diucapkan professor dihadapannya tidak sama seperti apa yang sekarang tengah berputar di kepalanya. Di belakangnya, Albus menatap Hugo dengan tatapan khawatir.
"Para Auror berhasil mengatasinya." Kata McGonagall lagi, masih dengan suara seraknya yang hampir menghilang. Keempat anak itu hampir menghela nafas lega—"Tapi," Suara Professor McGonagall membuat keempat anak itu kembali menahan nafas mereka dalam diam.
"Mr. Weasley terkena serangan perliindungan benda sihir itu saat ia mencoba menghancurkannya—"
Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Rose berseru dalam hatinya. Nafasnya memburu cepat dan jantungnya berdetak tak karuan. Disisinya Lily memandangnya cemas dan sesekali meremas tanganya. Perutnya mual seperti dihantam oleh Troll gunung. Ia bisa merasakan sosis panggang yang tadi ia makan saat sarapan seperti melesak ingin keluar dari perutnya.
"Tidak mungkin…" Albus berseru lemah di belakangnya.
"Dad." Ujar Hugo. Kepalanya tertunduk kebawah menatap sepatu hitamnya. Jantungnya sama berdetak cepatnya dengan Rose. Tangannya mengepal erat di sisi jubahnya.
"Ini tidak mungkin Professor. Uncle Ron adalah Auror hebat. Ia tidak mungkin kalah karena sebuah benda sihir." Albus berucap tidak terima. Hatinya sama menolaknya seperti Rose mendengar kalimat yang diselesaikan Professor McGonagall tadi.
"Tidak ada waktu untuk kisah jelasnya anakku Albus, sekarang kalian harus cepat-cepat berangkat ke St. Mungo." Ujar Professor Slughorn yang sedari tadi diam. Ia lalu berjalan ke arah lemari penyimpanan di dekat pintu masuk. Ia kembali dengan sebuah piala kecil tua melayang layang di udara. Beberapa sisi piala itu sudah berkarat.
"Aku sudah mengatur Portkey ini menuju St. Mungo. Kalian bisa berangkat sekarang ditemani oleh Hagrid. Aku dan Minerva akan menyusul setelah memastikan semua anak berada di kelasnya." Slughorn menjelaskan.
Tanpa aba-aba lagi keempat anak itu segera bangkit dan berkumpul mengelilingi piala tua itu. Hagrid menyeruak menyusul tanpa suara dan beridiri di antar Hugo dan Albus.
"Jaga mereka, Hagrid." Ujar Professor McGonagall sebelum akhirnya kelima orang itu menghilang dalam pusaran bayangan cepat.
-TBC-
well, thats all. gimana? layak dilanjutin kah? atau harus saya delete aja? T_T pokoknya apapun itu tolong sampaikan lewat review ya. saya bener-bener butuh bimbingan kalian semua disini :)
last from me, Review please :))
