.

EVEN YOU'RE THE CACTUS

"PILOT"

.

.

.

Pagi hari di kantor seharusnya menjadi hari yang menenangkan sebelum mulai bekerja. Tapi sepertinya hal itu tidak akan berlaku sebentar lagi. Seorang pria sedang duduk di meja kantornya membaca beberapa memo yang ada di sana. Memo-memo tersebut di tulis di atas kertas bewarna. Sama seperti hari-hari biasanya, di meja pria itu akan ditemukan beberapa memo dengan warna yang berbeda seperti biru, hijau, dan kuning. Namun, ada satu warna memo yang paling mencolok di mejanya pada hari itu.

Pria itu membaca memo merah itu dengan cermat. Ia segera meremas memo itu setelah membacanya. Menghela nafas beberapa kali. Isinya hanya sebuah perintah untuk menemui atasnnya di ruangannya. Namun, perasaannya bisa mengatakan bahwa ini bukanlah hal yang menyenangkan. Sepertinya hari ini akan terasa sangat panjang baginya.

Sebuah pesan muncul di layar komputernya ketika dihidupkan. Isinya sudah tidak mengagetkannya lagi. Hanya ada dua kata yang muncul di sana. Beberapa saat kemudian pesan dari orang yang sama muncul lagi. Beberapa kali sampai pria itu jengah membacanya. Ia mengetik satu kata dan mengirimnya dengan cepat. Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu ruangan kerjanya. Ia hanya diam tak ingin diganggu. Namun ketukan pintu itu tak juga berhenti dan semakin keras.

"Masuk," ujarnya malas.

"Mati aku! Mati aku! Ini pertama kalinya aku mendapatkan memo merah. Ini pasti karena ulah kau, Sasuke."

Pria yang dipanggil Sasuke itu hanya duduk di sana menggaruk dahinya sambil memejamkan mata.

"Sudah ku bilang, idemu itu sangat buruk. Apa aku akan dipecat? Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan. Apa yang harus ku lakukan?!" Pria itu menjambak rambut putihnya dengan kencang. "Tolong, katakan sesuatu jangan diam saja, hey!"

"Keluarlah," ucapnya masih dengan nada tenang tanpa membuka matanya.

"Rekan kerjamu sedang panik begini harusnya kau tenangkan, bukan? Bagaimanapun juga kau turut andil dalam masalah ini." Keluhnya lagi.

"Suigetsu, cepat keluar dari sini." Sasuke membuka matanya dan menatap lawan bicaranya.

"Aku akan menghantuimu jika nanti aku dipecat lalu bangkrut, hidup sebatangkara, dan mati sendirian karena tak bisa menikah! Ingat itu Sasuke." Tambah pria yang dipanggil Suigetsu tersebut.

"Berhentilah membuat keributan dan keluar dari sini," keluh pria tersebut tak tahan mendengar keluhan rekan kerjanya.

"Aku benar-benar serius soal menghantuimu." Ujarnya sekali lagi meyakinkan rekan kerjanya tersebut.

"Sekarang!" Kesabaran Sasuke sudah mulai habis hingga ia mengeluarkan suara yang cukup keras.

"Baiklah, aku akan keluar," jawab Suigetsu. Pria itu berjalan lemas ke arah pintu dan membukanya. Namun sebelum ia berjalan keluar, ia berbalik ke arah rekan kerjanya itu.

"Ya, mudah saja bagimu untuk melakukan hal seenaknya karena kau punya saham yang cukup banyak di sini." Suigetsu tertawa dengan terpaksa walaupun raut cemas di wajahnya tak sedikitpun berkurang.

"Astaga! Demi Tuhan, aku hanya butuh ketenangan saat ini. Lagipula kau tidak akan dikeluarkan. Tak usah berlebihan seperti itu." Sasuke bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan ke arahnya.

"Kembali ke ruanganmu, biar aku saja yang bertemu dengan Orochimaru." Tambahnya.

"Sungguh?" Tanya Suigetsu kaget.

Sasuke hanya menghela nafas tak tertarik untuk menjawabnya.

"Oke, kalau begitu kau tak boleh berubah pikiran." Suigetsu segera berjalan keluar dari ruangan Sasuke. Ia menggumamkan kata yang sama berulang-ulang hingga tak kelihatan lagi.

Sasuke berjalan ke ruang CEO yang berada tak jauh dariruangannya. Ia mengetuk pintu ruangannya sebelum masuk ke dalam. Orochimaru sedang duduk di mejanya. Tangan kanannya masih memegang ponselnya yang ia letakan di telinga kanannya. Sasuke hanya duduk di salah satu kursi yang berada di ruangan tersebut. Wajahnya sama sekali tak terlihat antusias. Ia melirik atasannya itu. Tak berniat sama sekali bertanya berapa lama lagi ia harus menunggu.

Orochimaru mematikan teleponnya dan meletakan ponselnya setelah lima menit kemudian. Ia kini duduk di kursinya.

"Dimana Suigetsu? Bukankah aku menyuruh kalian berdua untuk datang ke ruanganku?"

"Suigetsu hanya menjalankan tugas yang ku suruh. Hanya itu. Dia tidak ada hubungannya." Jawab Sasuke tegas.

"Aku akan tetap memarahinya karena menuruti perintah bodohmu itu." Ujar atasannya itu dengan nada sedikit kesal.

"Cepat katakan kenapa kau menyuruhku kemari, aku tidak ingin buang-buang waktu."

.

.

.

Sementara itu di sebuah taman yang cukup luas, seorang wanita sedang berdiri dengan gelisah. Beberapa kali menghentakkan kakinya berusaha menahan amarah. Pekerjaannya dimulai lebih awal dari biasanya tapi sepertinya tidak berjalan sesuai kehendaknya. Ia menatap monitor sekali lagi, tapi hasilnya tetap saja tak sesuai dengan kehendaknya.

"Bagaimana ini? Modelnya benar-benar terlihat kaku sekali," bisik seorang wanita yang berada di sebelahnya.

"Aku tahu," jawabnya kesal setengah berbisik.

"Ya, kita akan istirahat lima menit selagi mengganti lensa." Ujar sang photographer. Pria itu menyerahkan kameranya ke asistennya dan menghampiri kedua wanita tersebut.

"Aku benci mengatakannya, tapi ia benar-benar buruk..."

"Sangat buruk." Potong wanita berambut pirang yang berada di sebelah wanita itu. "Upps, sorry." Ujarnya setelah sadar apa yang ia ucapkan.

"Tak perlu minta maaf, kau memang benar." Jawab sang photographer tersebut. Ia mengalihkan pandangannya kembali pada wanita berambut merah muda tersebut. "Aku meluangkan jadwalku demi masa lalu kita, tapi dia benar-benar buruk. Benar-benar bencana. Darimana kau mendapatkannya?"

"Dia keponakan CEO-kami. Aku tak kuasa menolaknya begitu saja." Terang Sakura.

"Sejak kapan kau menjadi lembek begini?" Tanyanya dengan nada sedikit kesal. "Lupakan, apa kau tak punya model lainnya?"

"Selain model yang berada di sini, kami tak bisa menjanjikan model lainnya. Maksudku membuat janji darurat saat ini sepertinya tidak memungkinkan kecuali kita mengatur ulang jadwal pemotretannya." Ujar Sakura khawatir.

"Aku tidak yakin bisa meluangkan jadwalku dalam waktu dekat ini. Jadwalku bulan ini sangat padat, Sakura."

"Apa tak ada cara lain untuk menyelematkan sesi pemotretan ini?"

Pria itu menatap kedua wanita di depannya tersebut secara bergantian. Ia menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Bahkan ia mengitari kedua wanita tersebut dengan pandangan seperti elang yang sedang menatap mangsanya.

"Kau bilang gaun utamanya itu dari rumah mode Vera Wang, bukan? Ini gila, tapi lepaskan pakaianmu sekarang juga."

"Apa-apaan kau menyuruh Pemred-kami seperti itu? Kau pikir bisa melecehkan wanita sesuka hatimu, huh?!"

"Nona Yamanaka tidak bisa memakainya karena aku tidak yakin gaunnya akan muat padanya. Kau lihat dada dan pinggulnya cukup besar, bukan?"

"HEI!" Ujar Ino kesal tak terima dengan ucapan sang photographer tersebut.

"Anggap saja itu sebagai pujian, Nona." Ucapnya pada Ino seraya mengedipkan sebelah matanya. "Aku akan mengganti konsepnya, jadi sekarang kau harus segera siap-siap. Waktumu hanya dua puluh menit untuk bersiap-siap dan berdandan sebelum kita mulai pemotretannya, Sakura."

Sakura menarik lengan wanita yang berada di sebelahnya dengan tergesa-gesa. Ia berjalan ke ruang ganti dan segera menanggalkan pakainnya ketika sudah berada di dalam sana. Ino hanya melongo dibuatnya. Ia tak bergerak sedikitpun dari sana.

"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat kemari dan bantu aku!" Ujar Sakura tergesa-gesa.

Wanita berambut pirang itu segera berlari menghapiri Sakura yang sedang kesulitan memakai gaun tersebut. "Apa ini tidak apa-apa, Pemred? Apa kau yakin dengan yang diucapkan Tuan Sasori? Ini ide yang sangat gila, bagaimana dengan reaksi Tsunade-sama nanti?"

"Aku percaya dengan Sasori. Dia tidak akan berkata bohong. Aku sudah mengenalnya jauh sebelum ia terkenal seperti sekarang. Soal reaksi dari Tsunade-sama biar nanti saja. Setidaknya kita harus selamatkan sesi pemotretan ini dahulu. Aku tidak bisa membiarkan edisi spesial valentine ini gagal. Bukannya kau juga tahu itu, Ino?"

.

"Terima kasih untuk hari ini, kalian sudah bekerja keras." Ujar Sakura sembari menyalami semua orang yang sudah bekerja keras untuk pemotretan hari ini.

"Harusnya kita minum kopi bersama setelah pemotretan usai, tapi aku rasa tidak bisa." Ujar Sasori. Raut wajahnya sedikit kecewa.

"Aku tahu, kita bisa minum kopi bersama lain kali. Aku sangat berterima kasih untuk hari ini. Entah konsepnya akan berakhir seperti ini atau diubah, tapi terima kasih karena sudah menyelematkan pemotretan kali ini. Aku berhutang padamu." Wanita itu tersenyum tulus dan mengelurkan tangannya untuk memeluk pria itu.

Sasori membalas pelukan Sakura erat. Pria itu melepaskan pelukannya beberapa saat dan mencium pipi wanita tersebut ketika akan berpisah. Sebelum benar-benar pergi Sasori mengedipkan sebelah matanya pada Ino dan tersenyum lalu pergi menghilang dengan kendaraannya.

"Ugh, sebagai temanmu aku akan mengatakan kalau dia benar-benar pria...yang genit, Sakura." Ujar Ino dengan raut wajah jengkelnya.

"Biarkan saja, dia memang seperti itu denganku. Aku sudah terbiasa," ujar Sakura enteng. Dia bahkan tertawa sembari mengatakannya.

"Astaga!" Ujar wanita pirang itu kaget.

"Aku hanya bercanda. Dia tidak seburuk yang kau pikirkan. Lebih baik kau bantu aku sekarang. Aku tidak ingin gaun ini kotor."

"Gaun ini sangat cantik," ujar Ino sembari membantu Sakura melepaskan gaun tersebut. "Aku harap aku bisa memakai gaun yang secantik ini saat musim gugur nanti ketika aku menikah."

"Huh?" Tanya Sakura bingung.

Ino hanya tertawa pelan sebelum melanjutkan pekerjaannya.

.

.


EVEN YOU'RE THE CACTUS


.

.

Dua orang pria kini sedang duduk berhadapan. Di depan mereka terdapat sebuah panci berukuran sedang. Terlihat asap mengepul dari sana karena masakannya baru saja matang dengan sempurna. Seorang dari mereka mematikan apinya dan mengambil makanan dari sana.

"Makanlah, bukankah kau sendiri yang mengajakku pergi makan malam denganmu." Ujar Suigetsu. Ia meletakan mangkuk berisi makanan itu pada rekan kerja yang berada di depannya.

Sasuke memandang mangkuknya sebentar. Ia meraih sendok yang berada di dekatnya. Ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Getaran di meja membuatnya ia menghentikan aktifitasnya tersebut. Ia melirik ponselnya. Terlihat sebuah nama yang muncul di layarnya.

"Kau tak mengangkatnya?" Tanya Suigetsu padanya.

Sasuke hanya diam tak menjawab. Ia hanya membalik ponselnya. Beberapa detik kemudian ponselnya bergetar kembali. Kali ini getarannya singkat. Ia membalik lagi ponselnya. Terlihat sebuah pesan singkat tertera di layarnya.

'Kapan kau akan pulang? Apa kau akan lembur lagi?'

Ponselnya kini bergetar untuk kedua kalinya.

'Baiklah. Selamat bekerja. Aku merindukanmu 3 3 3'

"Ey, apa kau tak akan membalas pesan dari pacarmu itu?" Goda Suigetsu.

"Makan saja makanannmu itu," jawab Sasuke malas. Ia menaruh beberapa sendok bubuk cabai ke dalam mangkuknya.

"Apa hubunganmu sedang tidak lancar?" Suigetsu meletakan sendoknya. "Ceritakan padaku, bagaimana awal mulanya? Aku termasuk orang yang cukup ahli dalam masalah berkencan."

Sasuke hanya diam sembari menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya. Pria itu masih diam seribu bahasa tak tertarik membahas masalah pribadi terutama percintaannya. Ia masih memikirkan ucapan Orochimaru saat ia pergi ke ruangannya sendiri. Ia meletakan sendoknya dan mengambil ponselnya.

"Kau lanjutkan saja makannya, aku yang akan membayarnya." Ujarnya singkat sembari pergi meninggalkan teman makannya itu sendirian. Tak lupa membayar tagihan makan mereka sebelum pergi meninggalkan restoran tersebut.

Sasuke berjalan keluar dari restoran tak antusias. Nafsu makannya hilang karena teman makannya terlalu banyak bicara. Ia berjalan ke area parkiran dimana ia memarkirkan mobilnya. Ia segera menyalakan mesin mobil dan pergi dari sana. Suasana di dalam mobil benar-benar sunyi senyap. Pria itu bahkan tak menyalakan stereo di dalam mobilnya itu. Ia hanya fokus menatap jalan raya yang dipenuhi dengan banyak kendaraan.

"Sial!" Makinya pelan.

Walaupun nafsu makannya hilang, tapi sepertinya perutnya berkata lain. Ia mengubah haluan mobilnya. Mobil sedannya melaju dengan kecepatan tinggi hingga ia sampai di tempat tujuannya. Ia mematikan mesin mobilnya dan keluar dari mobilnya secepat mungkin. Ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Walaupun sudah memasuki musim semi, nyatanya suhu di malam hari tetap saja masih dingin.

Seorang pramusaji wanita menyambutnya ketika ia memasuki restoran tersebut. Terlihat wanita itu sedikit salah tingkah ketika melihat wajah pria tersebut. Walaupun wajahnya terlihat dingin, tak bisa dipungkiri bahwa paras pria tersebut lumayan tampan. Sementara pria yang sedang dipandangi tersebut terlihat acuh tak acuh.

"Aku pesan dua ramen pedas untuk dibawa pulang," ujarnya. Ia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu debit miliknya untuk membayar tagihannya.

"Apakaha ada pesanan lainnya?" Tanya pramusaji itu dengan suara sedikit bergetar.

"Tolong berikan ekstra bubuk cabai," jawabnya singkat. Ia mengambil ponselnya dan mengetikan sesuatu di ponselnya.

"Maaf, tuan. Tapi ramen kami sudah sangat pedas, apa tuan yakin akan menambahkan ekstra bubuk cabai?" Tanya pramusaji itu ragu.

Sasuke hanya meliriknya dengan tatapan singkat yang membuat pramusaji itu merinding. Pramusaji itu langsung saja membuatkan pesanan pria tersebut dan berkata untuk menunggu beberapa menit. Pria itu mengambil kartu debit miliknya dan kembali menatap ponselnya. Ia menyelesaikan kalimat yang belum selesai ia ketik tadi dan segera mengirimkannya.

Beberapa detik kemudian ia menerima balasan singkat 'ok'. Ia hendak memasukan kembali ponselnya ke dalam sakunya ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama kontak yang tertera di sana dan mengangkatnya setelah beberapa detik.

"Apa kau sudah makan? Aku bisa membuatkan makanan untukmu saat ini juga." Ujar seorang wanita dari sebrang sana.

"Bukankah itu terlalu merepotkan? Lagipula, aku sudah memesan makanan." Jawab pria itu tak antusias.

"Sayang sekali," ujar wanita tersebut lemas.

"Ini pesanan anda, tuan." Seorang pramusaji menyerahkan bungkusan makanan itu pada Sasuke.

Sasuke langsung saja mengambilnya dan keluar dari restoran tersebut. Ia masih memegang ponselnya di tangan kirinya.

"Apa kau lembur lagi?" Tanya wanita tersebut.

"Tidak," jawab pria itu singkat.

"Emm... kapan kau akan pulang?" Tanyanya dari sebrang sana.

"Sebentar lagi, mungkin." Jawab pria itu cepat.

"Bagaiaman kalau saat kau pulang nanti kita menonton film di rumahmu? Aku sangat ingin menonton film itu." Ujarnya manja.

"Tidak bisa, aku terlalu lelah saat ini," Sasuke berusaha merogoh sakunya untuk mengeluarkan kunci mobil. Tetapi karena tangannya terlalu sibuk memegang bungkusan dan juga ponselnya ia sedikit kesulitan. "Apa kau sudah selesai?" Tanyanya cepat dengan nada sebiasa mungkin.

"Ah, baiklah. Kalau begitu selamat menikmati makan malammu." Ujar wanita itu dari sebrang sana.

"Hn," jawabnya cepat lalu mematikan ponselnya.

.

.

.

Sementara itu seorang wanita dengan rambut merah muda panjang sepinggang terlihat sedang berdiri sendirian di depan bangunan apartemen tempat tinggalnya saat ini. Ia terlihat sedang memegang ponselnya di tangan kanannya. Wajahnya terlihat memerah walaupun udara malam sedang dingin-dinginnya. Ia berusaha menahan amarahnya. Tangan kirinya terlihat memerah karena sudah beberapa menit ia gunakan untuk meremas blazzer yang ia kenakan tersebut.

"Apa yang sedang anda lakukan di sini, nona?"

Sakura langsung menghadap ke arah sumber suara tersebut. Seorang pria paruh baya berjalan ke arahnya. Pria tersebut memakai seragam keamanan dan juga membawa senter.

"Tidak ada," balasnya cepat. "Selamat malam," lanjutnya seraya meninggalkan pria itu.

Sakura berjalan ke arah lift dan langsung masuk ketika pintunya terbuka. Ia memencet tombol salah satu tombol yang berada di sana lalu bersandar di dinding lift. Ia hanya diam mengamati bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat pucat dan juga sangat lelah. Pikirannya berkecamuk dengan beberapa prasangka buruk yang ia dapatkan karena pekerjaannya sedang tidak lancar. Ditambah lagi dengan telepon barusan.

Suara lift membuyarkan lamunannya. Sakura segera bergegas keluar dari lift dan berjalan ke arah pintu apartemen tempat tinggalnya saat ini. Ia memasukan kode pintunya dan segera masuk ke dalam sana. Wanita itu melepaskan heels yang sejak seharian tadi ia pakai dan menggantinya dengan sendal rumahan. Ia segera melepaskan blazzer yang ia gunakan tersebut dan menyandarkannya pada kursi meja makan. Sakura berjalan ke arah kulkas di dapurnya dan mengambil beberapa botol bir dingin dari sana. Mengambil pembuka botol dan duduk di salah satu kursi meja makan lainnya. Ia membuka botol bir dan langsung meminumnya hingga isinya tinggal setengah.

"Kau...jangan cari gara-gara denganku saat ini," ujarnya wanita itu dingin.

"Kau juga," balas seseorang yang duduk di depannya tersebut tak kalah dinginnya.

.

.

.

To be continued


Epilogue - Sasuke's Point of View

[Akhir musim dingin, 1 bulan yang lalu]

Ponselku lagi-lagi bergetar. Aku berusaha mengacuhkannya untuk kesekian kalinya. Inilah hal yang paling tidak kusukai ketika mempunyai pacar. Aku melirik dengan malas pada ponselku. Ada lima panggilan tidak terjawab darinya dan sepuluh pesan masuk yang belum ku baca sedari siang tadi. Aku sama sekali tak berminat mengeceknya karena isinya hanya seperti pengulangan dari pesan-pesan terdahulu. Benar-benar membosankan. Ponselku sekarang begetar kembali. Aku melihat nama kontak yang tertera di sana dan langsung membacanya saat itu juga.

'Cepat kemari!' Tulisnya. Yang disusul dengan alamat tempat dimana ia menyuruhku pergi ke sana.

'Apalagi sekarang!' Keluhku dalam hati.

Aku mematikan ponselku dan meletakannya jauh dari jangkauanku. Aku kembali menatap layar laptopku dan kembali bekerja.

"Sial!" Umpatku keras limat menit kemudian setelah tak bisa fokus dengan pekerjaanku.

Aku segera menutup laptopku dan memasukannya ke dalam tas. Menggapai ponsel serta kunci mobilku. Aku sedikit terburu-buru ketika mengambil mantelku sehingga aku sedikit kesusahan. Aku mengeluh lagi dan lagi dalam hati karena mantelku tersangkut gagang pintu saat aku hendak keluar dari ruangan kerjaku.

"Sasuke, kau mau kemana? Aku sudah menyelesaikan laporannya!" Potong rekan kerjaku yang bernama Suigetsu. Ia menghadang jalanku dengan kedua tangannya. "Kau harus memeriksanya terlebih dahulu, kalau tidak, aku tak akan bisa pulang."

"Sial!" Umpatku.

Mukanya terlihat kesal karena mendengar umpatanku.

"Maksudku aku sedang terburu-buru saat ini, berikan laporannya padaku!" Aku segera merebut laporannya dan berjalan menjauh. "Aku akan memberi feedback besok. Sekarang kau boleh pulang!" Ujarku seraya berteriak khawatir Suigetsu tak mendengarnya.

Aku langsung berlari ketika sampai di basement ke arah mobilku. Melemparkan semua barang-barangku ke kursi penumpang dan segera menyalakan mesin mobil dengan panik. Aku memacu mobilku dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai tempat tujuan. Aku memakirkan mobilku dan keluar dengan cepat dari mobilku ketika sudah sampai tempat tujuanku.

Aku berlari-lari ketika sampai di tempat tujuan. Aku bahkan tak sempat memakai mantelku pada saat turun tadi. Aku bisa merasakan udara musim dingin yang menusuk sesaat. Aku menurunkan kecepatan lariku ketika aku melihatnya sedang duduk di salah satu meja yang berada di sana. Ia sedang memakan sepotong buah di sana sembari menopang dagunya dengan tangan kirinya.

"Kau terlambat," ujarnya malas ketika aku duduk di depannya. Ia menaruh gelas kosong di depanku dan menuangkan minuman dari pitcher.

Aku hanya memegang gelas pemberiannya tersebut.

"Minumlah dulu! Kau terlihat kacau." Ujarnya.

.

.

.

Entah sudah berapa lama kami berada di sana tapi kami berdua sudah menghabiskan dua pitcher bir. Kepalaku sedikit pusing tapi aku masih sepenuhnya sadar dengan lingkungan sekitarku dan pembicaraan kami. Sementara lawan bicaraku sudah mulai terlihat mabuk. Wajahnya terlihat memerah daripada warna blush on yang biasa ia pakai.

"Bagaimana bisa kau mengabaikan seluruh pesan dan panggilan dari pacarmu?" Tanyanya padaku dengan nada kesal.

"Itu urusanku," ujarku sambil memakan sepotong buah anggur. Sejujurnya aku benar-benar tak ingin menghubunginya lagi. Mungkin dia tak mengerti dengan pesanku beberapa bulan yang lalu itu.

"Apa kau tahu, Ino selalu menggangguku ketika kau tak bisa dihubungi. Padahal aku ini atasannya. Bukankah itu keterlaluan?" Keluhnya padaku.

"Itu masalahmu, Sakura," jawabku seraya teresenyum sinis.

"Aku harap masalahku hanya itu saja..." suaranya terdengar semakin lemas.

"Ya ini dia," ujarku pelan pada diriku sendiri karena akhirnya kami bisa membicarakan apa alasannya memanggilku kemari untuk menemaninya minum.

"Aku harus keluar dari apertemenku karena tak boleh memperpanjang sewaku. Kau tahu bukan, aku baru bisa pindah ke apartemenku yang baru tiga bulan lagi. Bayangkan tiga bulan lagi...dan dia tak mengizinkanku untuk menyewa apartemennya selama tiga bulan lagi."

"Hhh, pemilik apartemenmu sangat pelit." Timpalku. "Tapi itu juga kesalahanmu."

"Apa? Salahku? Bagaimana itu bisa menjadi salahku?" Tanyanya kesal.

"Kau membeli mobil dan apartemen dalam jangka waktu yang dekat. Bukankah sudah ku bilang untuk memilih salah satunya terlebih dahulu. Kau terlalu boros, Sakura," Jawabku tak kalah kesalnya.

"Tapi waktu itu aku benar-benar membutuhkan mobil baru," suaranya terdengar kecil sekali. Aku sudah hafal sekali jika ia bersuara seperti itu. Ia sedang membela dirinya.

"Ya, tapi ku rasa kau tak butuh mobil SUV sebesar itu. Siapa yang mau mengendarai mobil sebesar itu di dalam kota begini!" Ujarku kesal mengingat ukuran mobilnya yang sangat besar dan harganya yang terbilang cukup mahal.

Ia hanya mengedarkan pandangannya ke arah lain tak berani menatap mataku.

"Oy, kapan kau akan pindah dari apartemen lamamu?" Tanyaku berusaha tenang sembari menenggak birku.

"Lusa." Jawabnya singkat.

"Lalu kau akan pindah kemana?" Lanjutku.

"Entahlah, hotel.. tidak-tidak, aku akan bangkrut jika menyewa hotel tiga bulan penuh. Motel atau kantor mungkin... ah entahlah... yang jelas aku tak punya banyak uang saat ini. Minum saja birmu, aku benar-benar sangat stress sekarang." Ia menuangkan bir lagi ke dalam gelasku dan gelasnya.

.

.


EPILOGUE - EVEN YOU'RE THE CACTUS


.

.

Aku terbangun dari tidurku karena merasa dingin. Menarik selimut dan kembali mencoba untuk tidur kembali. Aku hanya ingin bermalas-malasan selama hari Minggu. Namun sialnya, aku masih merasa dingin. Selimut yang menutupi diriku hampir sepenuhnya bahkan tak banyak membantu untuk membuatku hangat. Aku melirik ponselku dan melihat jam yang ada di sana. Sudah pukul sebelas siang. Aku meletakan kembali ponselku dan bangkit dari kasurku.

Aku berjalan malas keluar dari kamarku. Di luar kamar benar-benar terasa dingin. Padahal sebelum tidur aku ingat sekali menyalakan pemanas ruangan. Ada yang tidak beres sepertinya. Aku berjalan ke arah pengatur pemanas ruangan yang berada di ruang tengah.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Ujar seorang wanita.

Aku hampir meloncat kaget dibuatnya. Aku mengucek mataku sekali lagi untuk memastikan penglihatanku tidak salah. Sakura berdiri tepat di depan kulkas. Meraih sebotol air dingin dari dalam sana dan menutup kembali pintu kulkas.

"Kau baru bangun?" Ujarnya santai sambil meminum air dari botol dingin yang baru saja ia ambil.

"Apa yang sedang kau lakukan? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" Tanyaku dengan nada meninggi karena masih tak percaya dengan kehadirannya.

"Ku kira setelah punya pacar isi kulkasmu akan berubah, tapi ternyata sama saja. Cepatlah bersiap-siap, aku sudah lapar." Ujarnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Sakura!" Panggilku agak keras.

"Baiklah, baiklah. Aku tahu kau pasti akan begini."

Sakura berjalan melewatiku dan memasuki ruangan yang dulu digunakan oleh Itachi saat keluarga kami masih tinggal di apartemen ini. Tak beberapa lama ia keluar dengan membawa kertas dan memberikannya padaku. Aku membukanya dan membacanya dengan teliti. Aku hanya menatapnya.

"Kau bisa lihat itu tulisanmu, bahkan di situ juga ada tanda tanganmu," unjuknya ke arah tanda tanganku.

'Uchiha Sasuke dengan ini menyatakan bahwa sahabatnya Haruno Sakura bisa tinggal di apartemennya gratis sampai ia pindah ke apartemen barunya.'

"Jadi kau tak bisa mengelaknya, wlee." Sakura merebut kertas perjanjian yang bahkan aku tak ingat kalau aku membuatnya.

Aku mengatur pernafasanku karena merasa bingung dan juga kesal. Sangat kesal. Sementara Sakura terlihat santai dan duduk di sofa ruang tengahku. Ia terlihat seperti di rumahnya sendiri. Aku hanya memandangnya dengan tatapan tajam dan penuh tanya merasa seperti sudah dibodohi olehnya.

"Hhhh, kau sendiri yang bilang padaku kalau di luar itu berbahaya. Lagipula, waktu itu kau sendiri yang bilang kalau aku boleh tinggal sementara di apartemenmu. Kau punya dua kamar kosong, apa salahnya?"

Aku menggeleng mendengar jawabannya. Tak ada sedikitpun dari ucapannya yang ku ingat. Aku bahkan tak ingat bagaimana bisa aku berada di apartemenku saat kami berdua minum-minum saat Jum'at malam. Yang ku tahu, aku sudah berada di dalam kamarku dan tidur di atas sofa yang sekarang diiduduki olehnya. Sekarang aku mengutuk diriku dan kebiasaan burukku saat mabuk.

"Kau sekarang harus lebih berhati-hati saat kau mabuk! Bisa-bisa kau melakukan hal-hal gila yang tidak masuk akal atau menyusahkan orang lain!" Ia memperingatiku sembari menunjuk-nunjuk wajahku dengan jarinya.

Aku menjambak rambutku dengan sebelah tanganku dan berjalan ke arah pengatur pemanas ruanganku dan langsung menyetelnya ulang. Aku melewatinya kembali sebelum masuk ke dalam kamarku. Ia masih terlihat santai di sana. Aku berhenti di depan pintu kamarku dan berbalik ke arahnya.

"Jelaskan padaku bagaimana kau bisa masuk kemari?!"

"Ah itu... aku hanya menebak passcode-nya. Tak ku sangka kau masih memakai kode 1-2-3-3 hahaha... kau tahu bukan banyak orang berbahaya. Makanya aku sudah mengganti passcode-nya untukmu," ujarnya bangga. "Jangan khawatir kau tidak akan mudah lupa dengan passcode barunya," tambahnya.

"Apa passcode barunya?" Tanyaku.

"Tanggal ulang tahunku." Jawabnya santai.

"Sekalian saja kepemilikan apartemen ini kau rubah juga jadi milikmu! HHHHhhh!" Keluhku sembari membanting pintu kamarku ketika aku sudah berada di dalam.

Dan dari kejadian dan juga perjanjian yang bahkan tak bisa ku ingat tersebutlah, kami mulai tinggal di bawah satu atap.