First
A SaiIno Fanfiction
Naruto milik Masashi Kishimoto
Penulis tidak mengambil keuntungan secara materiel dalam fanfikisi ini
Special for Almaidah (Request)
Note: Rate17+ dan Out of Character
Kemeja putih kami, sama-sama basah. Dihantam hujan air sejak dua puluh menit yang lalu. Tak ada payung yang menjadi perisai kami. Dan ini mungkin faktor kesengajaan yang aku lakukan di saat kencan pertama tiba.
Ah, kencan pertama ya?
Sebenarnya bukan begitu. Aku dan Ino hanya ingin belajar bersama usai sekolah dibubarkan. Masih memakai seragam sekolah musim panas kami berjalan ke arah rumahnya. Saat itu, awan kelabu sudah mendominsai awan putih. Suara petir bergaung di telinga seolah memberi peringatan. Namun, tak satu pun dari kami berusaha mengeluarkan payung. Karena kami—mungkin—memang sengaja tidak membawanya.
Sengaja mengabaikan ramalan cuaca.
Sengaja membiarkan hujan mengguyur.
Sengaja membasahi seragam ini.
Dan sengaja memanfaatkan kesempatan ini.
"Sai," panggil Ino manja.
Ia menutup pintu kamar dengan sambil menatapku malu-malu. Seragamnya masih basah, sama sepertiku. Paras jelitanya terlihat kemayu dan berubah memerah. Aku suka ekspresinya hari ini. Mau, tapi malu. Dan aku wajib menggoda kekasihku ini.
"Ino, aku kedinginan."
Pelan-pelan Ino melangkah ke arahku. Bola mataku dapat menyaksikan sebuah panorama yang menarik. Bra hitam Ino tercetak jelas dan memeberi kesan seksual. Berahiku memuncak. Memberi perintah ke otak untuk memberi semangat si 'batang' yang sebelumnya sudah tegang karena hawa dingin.
"Begini boleh?"
Aku masih dalam posisi duduk bersandar dinding kamar saat Ino tiba-tiba memelukku dari depan. Kedua tangannya bergelayut di leher dan kepalanya bertumpu di bahu. Meski begitu, aku dapat mendengar deru napas Ino yang menggelitik menggoda. Membuat aliran darahku berkumpul pada satu titik.
"Masih dingin," bisikku.
Ino menatapku. "Bagaimana caranya agar kau tidak kedingin lagi?" tanyanya sambil merapatkan pelukan. Entah sadar atau tidak, Ino menggerakkan tubuhnya membuat si 'batang' merasa nikmat akibat gesekan. "Kalau begini?"
Tentu saja nikmat dan hangat, ucapku dalam hati. Aku tak menyangka Ino akan berbuat senakal ini di kencan pertama. Mungkin ini karena faktor berteman dengan Uzumaki Naruto dan Inuzuka Kiba. Dua orang teman dekat Ino yang sudah jauh berpengalaman dibanding kami.
Gesekan itu semakin lama semakin panas. Diam-diam aku pun mendengar desahan kecil dari bibir Ino. Ternyata bukan aku saja yang ingin, Ino jelas menginginkannya. Karena otakku larut akan situasi panas ini, tak kuasa aku pun melumat bibir Ino dengan bibirku sendiri.
Satu telapak tangan memegang belakang kepala, dan satu lagi mengusap punggungnya. Lidahku tak berhenti menyerang. Berputar-putar dan berusaha melilit milik Ino. Tak sampai satu menit, ia menarik kepala. Oksigen kami menipis, dan mulut kami terbuka cukup lebar untuk membuang karbon dioksida. Meski terlihat lelah, Ino mulai membuka kancing-kancing seragamku. Namun, aku menepisnya dan berdiri sambil membuka resleting celana.
"Sa-Sai..."
Kutanggalkan celana dan kemeja seragam hingga yang tersisa hanya celana dalam berwarna abu-abu. Tanpa basa-basi lagi, aku menindih Ino dan menjilati lehernya. Mata Ino terpejam dan aku dengan penuh suka cita melepas kancing seragamnya. Kedua 'gunung' Ino mulai tampak jelas di mataku. Tidak besar, tapi juga tidak kecil. Mulailah aku bermain di sana. Menyesap setiap madu yang terkubur di ujung 'gunung'.
Setelah lama bermain 'gunung' Ino, aku mulai menurunkan area jamahanku. Saat itu, Ino sudah melepas segala kain yang menempel di tubuh. Dengan bebas aku pun merenggangkan kedua kakinya. Basah sudah area itu, dan aku haus; butuh yang segar-segar. Sang Iblis sudah membisikku untuk segera bekerja di sana. Tanpa hitungan lagi, aku mulai mencari permata kecil yang kata orang bisa membuat bahagia pemiliknya jika dimainkan.
Satu kali jilatan, Ino sudah menutup mata dan menegang. Kuberanikan diri melakukan jilatan kedua dan seterusnya hingga Ino mengeluarkan bunyi 'ah' ratusan kali, menatap plafon putih di kamarnya, dan menciptakan bahagia hingga desahan panjang mengakhiri penjelajahanku.
"Aku keluarkan di luar, boleh?" pintaku dengan lembut.
Ino mengangguk dan aku menusuk. Meski ia menjerit kesakitan, aku berusaha tuli mendengarnya. Baru kali ini kubiarkan Ino sakit dan kuabaikan permintannya untuk berhenti. Karena mungkin memang jiwaku tak ada di sana. Sudah terbang bebas ke suralaya. Aku terlena dengan kenikmatan ini. Hingga tak sadar, nutfahku sudah keluar di dalam. Dan aku tergeletak di samping Ino.
"Sai."
Aku menoleh dan mengelus pipinya. "Maaf." Hanya itu yang terucap dari bibirku. Namun, Ino hanya tersenyum dan tak lama memelukku dengan erat.
"Tidak apa. Aku senang, kau menjadi yang pertama untukku."
Terima kasih, Ino. Kau juga yang pertama dan terakhir untukku.
oOo