Pagi cerah ini dengan latar belakang sakura bermekaran dan musik dari cicip burung-burung yang ceria menikmati hari mereka. Musim semi baru tiba seminggu yang lalu, melelehkan tumpukan salju dan mengusir angin dingin dari kota kecil di prefektur Gifu dengan tingkat keamanan dan pedopil berkualitas paling baik ini.

"Hm... etto,"

Di depan stasiun kereta satu-satunya Namimori yang lengang, dengan sebuah koper cokelat besar, seorang remaja karamel berambut cokelat model api unggun berdiri canggung. Kertas kecil dengan coretan ceker ayam yang sulit terbaca sudah tidak berbentuk berkat tumpahan jus jeruk dan lipatan-lipatan hasil terjejal sembarangan di saku celana kargo hijau lumutnya.

Malu bertanya, sesat di jalan. Itu kata pepatah yang berlaku. Tapi tiba-tiba semua orang seolah menghilang dan membiarkan remaja ini sendirian dengan isi pikiran macam-macam karena tidak bisa pulang. Benang takdirnya yang sudah biasa kusut mulai berulah. Intuisinya berjalan baik dengan memberi komando segera melangkah pergi walau entah kemana tujuannya. Sementara di ambang pintu stasiun sana, seorang nanas sedang digeret skylark tampan karena terduga modusin bocah sekolah dasar di toilet pakai guna-guna nggak guna bentuk gula-gula.

Disclaimer, Amano Akira

"Ossu!" senyum blink-blink adalah yang pertama menjadi kesan dari remaja terlampau tinggi badannya juga moodnya. Remaja karamel yang dihitung pendek untuk anak laki-laki seusianya ini sampai mendongak, lupa dirinya menghadap matahari yang belum terlalu tinggi hingga mungkin bisa membutakan pengelihatannya, ditambah cahaya gigi-gigi terawat yang bernutrisi susu sapi tiap pagi.

"Ano... boleh tukar posisi?" pertanyaan bodoh memang, tapi demi menyelamatkannya dari kebutaan dini ini jalan terbaik. Remaja bongsor di depannya hanya berwajah 'v' dan menurut saja. "Terima kasih." walau sekarang silau gigi-gigi putih itu malah memantulkan cahaya matahari.

"Jadi, ada apa?" ah, si cokelat pendek baru ingat tadi ingin menanyakan alamat.

"Ano, apa kau tahu di mana rumah Sawada?" to-the-point, berhubung tidak sopan kalau tidak bertatap wajah dengan lawan bicaramu dan tentu ia tidak mau buta.

"Oh! Rumah Sawada! Itu ada di sisi lain kota." jawabnya antusias hingga orang yang bahkan belum dikenalnya ini menguarkan hawa ingin pergi ke pojokan terdekat dan pundung pun tidak ia sadari. Si brunette merutuk, kenapa menuruti intuisinya dan melangkah asal tanpa bertanya sesegera mungkin dengan orang yang ditemuinya di jalan. "Apa mau aku antar? Kebetulan aku dalam perjalanan pulang." tangannya mengangkat kantung belanjaan yang mengembung besar dan terlihat berat, sejajar dengan dadanya.

"Ah? Apa tidak akan merepotkan?"

"Tentu tidak, jika tujuanmu rumah Sawada, maka kita searah."

Dalam hati remaja karamel pendek berwajah moe ini bersyukur bertemu orang yang baik namun juga berdoa semoga kota ini tak se'ramah' ini pula. Kasihan matanya.


"TSUUUU-CHAAANN!" dua bule kelewat atraktif melebihi monyet sirkus menghambur keluar dari rumah ber-plat Sawada di samping gerbang masuknya. Entah sudah kebiasaan atau hanya intuisinya, remaja cokelat yang baru sampai di kota yang terbilang tentram-tentram menghanyutkan ini menghindar dua langkah dari jalur lari dua makhluk pirang penghuni kediaman Sawada. Remaja baik hati yang mengantar si brunette hanya tertawa tanpa dosa seolah ini film anak-anak penuh komedi yang tayang tiap pagi di TV.

"Oh! Kau sampai lebih cepat dari perkiraan Tuna-fish." seorang remaja menuju dewasa dengan muka seperempat niat berambut hitam mengikal yang ditata seadanya bersandar di ambang pintu asal keluarnya dua remaja yang masih tumpang tindih di trotoar.

"Ha- hai, Alfonso-nii..." sweatdrop besar menggantung berat di belakang kepala ber-duri remaja paling pendek di antara lima orang di sana.

"Nah, tugasku sudah selesai! Aku pulang dulu..." sang remaja penolong berhenti bicara, ingat belum berkenalan dengan makhluk moe yang sedari tadi berjalan bersamanya.

"Ah, Tsunayoshi. Sawada Tsunayoshi, salam kenal." dan sebuah angelic smile menohok jantung hati pikiran napsu empat remaja tinggi-tinggi di sana.

"Sa- salam... kenal..." demi menjaga imege-nya, remaja baik hati ini menutupi hidungnya yang sudah mulai berdarah tak kuat menerima serangan moe yang membuat hatinya kyun-kyun tak karuan. "Ya- Yamamoto Takeshi..." dan segera ia kabur karena bendungan telapak tangannya sudah tidak mampu menanggung beban cairan yang spontan keluar dengan sangat deras.

"Eeh?"

TBC


Halo, eum... gimme review... ? ... please.. ? *bow*