Tokimeki Memorial Girl's Side © KONAMI

.

Disapperance

.

.

Main Cast :

Sakurai Ruka

Daisy (Heroine TMGS 2)

.

.

Bambi.. menghilang. Dan primroses bukanlah lagi kunci peri hutan yang dulu dibicarakan. Tak bisa mengabulkan permintaan. Tak bisa membawaku kesana. Lantas, aku ini apa.. tanpamu?

.

.

.


.

Better never to have met you in my dream than to wake and reach for hands that are not there. —Otomo No Yakamochi

.


.

.

Gemerisik ilalang yang panjang terdengar ketika kami berdua melewatinya. Tanganku menggenggam tangannya yang mungil. Aku melihatnya sekilas, senyum bahagia terpampang disana. Senyum yang selalu menyelamatkanku, pikirku.

Suara samar-samar terdengar dan aku membalasnya dengan ucapan, "Mada da yo!" Kita berdua berhenti dibalik semak lalu aku mengisyaratkannya untuk duduk. "Sst. Kou tidak akan menemukan kita disini," senyum lima jariku kutujukan padanya isyarat bahwa semuanya baik-baik saja.

Angin musim panas berhembus kembali, rambutnya yang kemerahan mengalun lembut. Tangannya mengadah. "Eto, pelangi."

Kulihat arah pandangnya. Tangan mungilnya menangkap bias cahaya. Dari gereja. "Sst," kupegang lagi erat tangannya. Menuntunnya kearah gereja yang tidak terlalu jauh dari tempat persembunyian kita.

Matanya berbinar, takjub akan pemandangan di depannya. Kaca warna warni yang terpatri indah di jendela belakang jendela. "Aku tahu," ujarnya tiba tiba, "Putri akan terus menunggu. Pasti."

Aku mengangguk. "Unn." Aku sangat mengerti gadis itu. Dia menyukai cerita itu sejak dulu. Dan sejak saat itu, pekarangan di belakang gereja menjadi tempat favorit kita bertiga. Walau acap kali dia menimpali dengan ucapan, Bukankah itu sedikit menyedihkan? Putri akan terus menunggu Pangerannya, tapi bagaimana bila akhirnya Pangeran itu sendiri tak pernah ada. Dan Putri akan melewati harinya sendirian. Rasanya sedikit.. sepi. Setelah mengucap kata-kata barusan, matanya pasti berkaca-kaca dan Mama akan menyiapkan cokelat hangat kesukaannya.

"—Ruka-kun?"

Aku berjongkok, memungut bunga berwarna merah muda. "Ini bunga primrose. Ini adalah kunci peri."

Gadis itu memasang wajah lucu dan tak mengerti.

"Kunci yang akan membawamu ke tempat orang yang namanya tertulis di hatimu," aku membalasnya dengan sebuah senyumannya. "Dengan ini, Putri tidak akan kesepian."

Senyum gadis itu mengembang. "Kau sungguh-sungguh, Ruka-kun?"

Aku baru akan mengangguk saat suara Kou yang lantang sedikit membuatku terlonjak. "Ketemu. Ruka, kau yang gantian jaga!"

Aku sedikit bersungut lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Hei, Kou. Lihat apa yang kami temukan."

Kou memasang wajah tak berminat.

"Bunga ini, adalah kunci dari peri. Dia dapat membawamu—"

"Bohong," ujar Kou.

Gadis itu sedikit terlonjak.

"Aku bersungguh-sungguh."

"Tidak. Percaya," Kou masih memasang wajah tak minat.

Aku menatap tajam mata kelam Kou. Sedikit berkedip. Melirik kearah gadis disampingku. Lalu menatap mata kelam itu lagi. "Aku bersungguh-sungguh."

"Kalian berdua—" gadis itu membuka suara.

"Ck." Dan Kou pergi dengan mendecih.

Ada tatapan mata yang aneh di gadis itu. Mungkin lega. Mungkin takut. Mungkin senang. Tapi ketika Kou menyebutkan bahwa Mama akan memasak pie hari ini, dapat kupastikan ada tatapan hangat disana.

Ah, entah mengapa aku ingin selalu seperti ini.

Kita bertiga. Selamanya. Seperti ini.

.

.

.

Kala itu musim dingin. Tidak ada gemerisik ilalang. Tidak ada suara merpati. Tidak ada primroses. Hanya ada salju putih dan sebuah salam perpisahan.

"Kau benar-benar akan pergi?"

Syal merahnya menutupi hampir setengah wajahnya. Dia hanya bisa mengangguk pelan. Aku bergantian melihat Kou, dapat kulihat Kou mencoba untuk tetap kuat tetapi tangannya yang menggenggam erat seakan bukti pembelaan bahwa dia menahan diri untuk tidak menangis.

"Mengapa kau tidak tinggal disini?" tanganku seakan membeku. Kenapa tanganku tak berkerja saat kuperlukan. Bisa saja kugenggam kedua tangannya sekarang. "Kau bisa tinggal disini bersamaku, bersama Kou juga!"

Dia hanya menundukkan kepalanya. "Papa ada pekerjaan. Dan mungkin—" air matanya jatuh.

Kou terbelalak.

Pemandangan seperti ini adalah pemandangan yang sangat tidak ingin kami lihat. Aku melihat kearah Kou. Seakan tahu isyaratku, dia mengangguk. Kami berdua berhamburan memeluk tubuh mungilnya.

"…."

"Akan kutemukan primroses. Pasti."

"…."

"Hingga saat itu tiba, kumohon bersabarlah."

Andai saja kala itu…

Andai—

.

.

.

.

Hari kelulusan bisa dihitung hari. Seperti kebiasaan pemuda berambut pirang bernama Ruka, dia akan rutin ke belakang gereja. Mencari primroses. Dia tak akan lupa. Tak akan pernah lupa. Tentang gadis itu, gadis yang menyelamatkan dirinya lewat senyumnya. Dirinya yang sekarang jauh lebih baik dari yang dulu.

Dirinya sangat mengingat bagaimana hari-hari dimana sebelum dia dipertemukan dengan gadis itu. Seorang berandalan yang seringkali keluar masuk kepolisian, yang selalu membuat orang tua Kou khawatir. Pemuda itu menghela nafas panjang.

Bila mencari sepucuk bunga seperti ini, seketika ingatannya kembali pada masa kecilnya. Dia akan mengendap-endap pada malam hari hanya untuk mencari primroses yang akhirnya tidak dapat dia temukan dimanapun.

Kunci dari peri, eh?

Yang dapat membawamu ke orang yang namanya terpatri di hatimu, eh?

Sangat aneh memang percaya pada mitos yang dia buat sendiri.

Ruka merasa bodoh. Tapi dia akan merasa lebih tak berguna jika dia membiarkan gadis yang dicintainya seumur hidup pergi begitu saja tanpa dia mengusahakan sesuatu.

.

"Kau tahu, Ruka-kun? Yang menakutkan itu bukan kehilangan, Ruka-kun, tapi kebiasaan saat kau bisa hidup tanpanya. Lama kelamaan kenanganmu dengan orang itu juga ikut menghilang."

Dan Ruka tiba-tiba limbung dan terjerembab.

.

.

.

.

Kalau diberi kesempatan, dia ingin melihat isi gereja itu lagi. Dia berusaha membukanya tapi usahanya tidak membuahkan hasil. Dia menyusuri gereja, yang dia dengar sejak tiga tahun lalu, gereja ini memiliki sebuah legenda tersendiri. Bukan, bukan soal primroses. Tapi soal Putri yang selalu menunggu Pangeran di dalam gereja. Keduanya lantas hidup bahagia selamanya. Hanya anak kecil yang akan percaya.

Lantas, lebih meyakinkan jika kau memiliki kuncinya. Kan?

Primroses.

Tanpa sadar bibirnya melengkung keatas. Di hadapannya tersaji dengan jelas pemandangan kaca warna-warni yang menampakkan sosok putri. Dia ingat bagaimana mereka bertiga—Kou, Ruka, dan gadis itu—mencoba mencari tahu isi di dalamnya. Pada akhirnya, Kou yang akan berada di paling bawah, disusul Ruka, dan gadis itu yang akan berada di paling atas dan mencuri pandang. Pada akhirnya, mereka bertiga akan jatuh tersungkur karena Kou yang tak tahan lagi menahan beban keduanya. Gadis itu akan mengaduh namun setelahnya akan tertawa.

Gemerisik ilalang terdengar. Ruka mencari tahu asal suara.

Bambi, begitu Karen dan Miyo sering memanggilnya, berjongkok di bawah pohon yang cukup besar. Ruka baru akan memanggilnya saat tiba-tiba Fujiyama Arashi berada di belakang gadis itu.

Keduanya tersenyum.

Meninggalkan luka dalam di hati Ruka.

Andai—

.

.

.

Sakurai Ruka. Siswa Habataki Gakuen tahun kedua, tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Seakan baru kemarin dia melihat gadis itu dengan Fujiyama Arashi berciuman tepat di depan matanya. Dan satu ucapan Arashi membuatnya geram.

"…., siapa?"

Nama gadis itu tidak dapat diingatnya jelas dan mengiang samar di pikirannya. "Kau jangan bercanda! Fujiyama!" satu pukulan mendarat di pipi Arashi.

Pemuda berambut oranye itu mengaduh, memegang pipinya yang lebam dengan darah di sudut bibirnya. "S—Sakurai Ruka-kun," dia mencoba berdiri.

Si pirang yang terpanggil mengepalkan tangannya kuat kuat, yang dia tahu, rasa ini sama seperti saat dia bertarung dengan Yotakado High. "Kembalikan."

"Apa? Apa yang kau bicarakan, Sakurai?" ujar Arashi tak mengerti.

"Manager," ucap Ruka serak.

"A—Ano," suara lembut seorang perempuan memecah keheningan. Ruka menatap gadis itu. Bersurai coklat dengan mata amber. Tidak. Bukan dia.

"Siapa kau?"

Gadis itu mundur beberapa langkah, kakinya sedikit gemetar.

"Bicara apa kau, Sakurai? Dia manajer klub Judo sejak kelas satu," Arashi menatap Ruka dengan tanda tanya.

"Bohong. Kau bohong, Fujiyama!" Ruka meraih kerah seragam Arashi. Mata mereka beradu.

Arashi membiarkan dirinya terseret, menatap mata tajam Ruka mencari penjelasan. Tapi keduanya juga tak saling tahu apa yang mereka cari. Arashi dapat melihat teriakan depresi Ruka lewat matanya, dan Ruka mencoba menyangkal bahwa apa yang dikatakan Arashi adalah benar.

"A—Aku kan memanggil Sensei!" teriak gadis itu, lalu pergi keluar gym.

Ruka melempar Arashi sambil mendecih. Pemuda pirang itu terduduk. Arashi hanya bisa melihat Ruka, tak pernah dia lihat Ruka sedepresi ini. Hanya ada keheningan saat itu dan beberapa rintihan Ruka yang menyedihkan. Tiba-tiba pemuda itu berdiri tepat saat kemudian Himuro datang dengan gadis itu.

"Sakurai Ruka-kun."

Dia tak berkata sepatah apapun, melewati Himuro dan berjalan gontai menuju koridor.

.

.

.

"Kau bohong, Sensei. Aku yakin benar aku melihatnya, bahkan kenangan itu. Sangat nyata."

"Namanya?"

"Ah," Ruka menundukan kepalanya, jantungnya berdegup kencang, adrenalinnya terpacu dan kepalanya seakan ingin pecah. Dia mencoba mengingat nama. Sebuah nama yang dulu selalu diucapkannya tiap kali ke kuil. Inikah balasanmu, Tuhan?

Karen yang ada di sampingnya hanya memandangnya dengan tatapan sedih. Beberapa menit yang lalu, dia diberondong pernyataan yang sama bahwa Karen telah membohongi seorang Sakurai Ruka.

"Bambi," kata itu terucap dari bibir Ruka.

Karen menatapnya heran, "B—Bambi?"

"Kau sering menyebutnya demikian. Hanatsubaki-san."

"A—Aku—"

"Apa kau juga coba untuk tidak mengingatnnya heh?" Ruka berdiri dan memerangkap Karen dengan kedua tanganya.

"Hentikan, Sakurai Ruka-kun!" ujar Himuro setengah berteriak.

"Rambut kemerahan itu, mata coklat itu. Kau sering memanggilnya Bambi. Kau—" pemuda itu sedikit terisak "—memanggilnya Bambi. Bambi. Bambi. Kau sering melakukannya dengan Ugajin-san, makan di atas atap. Mengajaknya voli dan belanja bersama—"

Karen gemetaran. Di matanya terlukis jelas seorang Ruka yang biasanya menyembunyikan kesedihan di balik wajah cerianya kini menangis dan begitu depresi.

"—Bambi. Dia sahabat terbaikmu. Katakan kau mengingatnya."

"M—Maaf, Ruka-kun," suara parau Karen semakin membuat pemuda itu tercekat.

Ruangan Himuro hening kembali. Bahkan untuk ukuran guru yang berpengalaman, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Seorang siswa jenius Ruka yang dikenalnya seperti kehilangan akal sehatnya. Dan guru berambut perak itu tak tahu harus bersikap terhadap perubahan sifat siswanya yang begitu drastisnya.

Ruka terduduk lalu bersandar pada kursi. Yang dapat dia lihat samar-samar lewat sudut matanya adalah Kou yang dengan seenak jidat memasuki ruangan Himuro.

Haha.

Immortal Hero apanya, Ruka?

Kau sudah mati, bahkan sebelum kau tahu itu.

.

.

.

Andai—

Kata itu mengiang terus di kepalanya. Pagi ini, dia mendapati pertengkaran kecil dengan Kou dengan sedikit baku hantam. Ruka sama sekali tak mengerti mengapa Kou melupakan begitu mudahnya gadis itu. Walau tidak secara gamblang, Ruka tahu bahwa selama ini Kou selalu ingin menjadi sosok kakak bagi Ruka dan gadis itu. Tapi—Ah dia sama sekali tak mengerti.

Sepanjang jalan tadi, mereka berdua sama-sama terdiam. Ingatan samarnya menuju ke memori dimana ketiganya berjalan bersama sepulang sekolah. Gadis itu akan mendecih "Mou~" apalagi Ruka dan Kou menjahilinya dan meninggalkan ke belakang. Ruka setelahnya akan memergokinya mematung sejenak sambil tersenyum bahagia. Saat Ruka bertanya mengapa, gadis itu pasti menjawab "Unn. Nandemonai," lalu berlari sambil tertawa lepas.

"Kau ingat apa yang dikatakannya, Kou?"

Kou memandang Ruka heran.

"Setelah itu, dia akan memeluk kita dari belakang. Badannya kecil dan kau tak tahan untuk menggendongnya. Aku tahu itu," Ruka terkekeh.

Kou hanya menatap nanar adiknya satu itu lalu setelahnya mengalihkan pandangannya pada langit senja yang kemerahan. Suasana seperti ini sedikit membuatnya dejavu. Apapun yang diingat Ruka, hal itu pasti adalah hal yang paling berharga di sudut hatinya. Angin senja waktu itu sangat menenangkan. Seperti hati pemuda berambut kelam yang seakan merasakan kehadiran pihak ketiga diantara mereka berdua. "Unn."

Ruka menatap Kou. Walau hanya tipis, tapi bibirnya melengkung keatas.

.

.

.

Lebih menyakitkan mana, melepasnya atau mendapatkannya?

Bukan itu masalahnya. Yang membuat hatinya semakin menjerit adalah—

—tak ada satupun foto tentangnya.

Demi Tuhan, lantas senyum siapa yang selalu menyelamatkannya selama ini? Kepalanya semakin sakit, dia berteriak, perlahan bayangan seorang gadis semakin samar dan dia semakin meronta.

Tidak. Aku tidak akan melupakannya. Demi Tuhan.

Tolong.

Apapun.

Sampai kapanpun.

Aku—

.

.

"—kebiasaan saat kau bisa hidup tanpanya… kenanganmu dengan orang itu juga ikut menghilang."

.

.

Sejak saat itu, Ruka akan terus mencari kebenaran. Dia kembali ke dirinya saat satu malam penuh gejolak yang dialaminya. Kou bersaksi bahwa Ruka seperti kesetanan, membongkar seluruh album kenangan masa kecilnya. Lalu Kou akan berjuta kali menjelaskan bahwa hanya ada mereka berdua di foto itu. Dia sama sekali tidak mengetahui petunjuk apapun soal seorang gadis yang disebut-sebut Ruka.

"Dia seharusnya ada disini!" dia menunjuk sebuah foto dimana keduanya memakai topeng power ranger, Kou mengenakan topeng warna hitam dan Ruka memakai topeng warna merah. "Dia! Dia jadi power ranger Pink!"

Kou ingin menangis rasanya. Melihat Ruka, adik yang dimilikinya, begitu depresi di depannya. Terduduk sambil menangis tersedu-sedu.

"Kumohon, Kou," suaranya parau.

Kou bukanlah orang yang akan berbohong hanya untuk menyenangkan adiknya. Akan lebih baik jika dia menyakitinya dengan sebuah kejujuran. Kou menyayangi Ruka, layaknya adiknya sendiri, itu satu-satunya hal yang harus dia pegang teguh. Demi Ruka.

"Power ranger pink," dia mulai terisak lagi, kali ini sambil menjambak rambutnya. "Bambi.."

Kou memeluk Ruka. Punggungnya bergetar, tidak ada tanda bahwa Ruka akan berhenti menangis. Pelukannya semakin erat. Ini bukan Kou yang biasanya. Tapi melihat adiknya begitu frutasi, dia mau membuang seluruh egonya.

"Kou.. Bambi.."

—menghilang.

.

.

.

Hidup tanpanya? Mana bisa. Cih.

Jangan kira seorang Sakurai Ruka akan diam saja tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Itu. Sangat. Bukan. Dirinya.

Pemuda pirang itu berjalan di sekitar area pertokoan stasiun Habataki. Tiga kotak pancake yang berada di tas plastik berlabel minimarket andalan Habataki ditentengnya di tangan kiri. Musim dingin tahun ini yang terburuk, pikirnya. Dirinya dan Kou berencana akan menghabiskan malam Natal di Diner. Ruka benar-benar tak berselera untuk menghadiri acara malam natal yang diadakan Habagakuin. Percuma jika semua orang tak mengenal dirinya, pikirnya lagi. Pemuda itu menghela nafas panjang.

Dia berhenti di dekat lampu merah mengikuti pengguna jalanan lainnya. Pemuda itu memasukan tangan kirinya ke saku parkanya yang tebal hingga suara ting yang khas mampir ke telinganya. Dia mulai berjalan mengikuti langkah para pejalan kaki yang lain.

Hingga di pertengahan zebracross, sosok yang begitu dikenalnya seakan melewatinya. Atmosfir ini. Daya tarik ini.

Ruka menengok cepat, mencari tahu maksud hatinya kali ini.

Dia mematung sejenak. Gadis itu memakai jaket tebal berwarna biru tua dengan skinny jeans dan boots panjang. Punggungnya menjauh, hati pemuda berambut pirang menjerit. Entah senang. Entah lega. Dia berlari menghampirinya yang hampir sampai pada pintu stasiun.

"B—Bambi!"

.

.

.

HAYO END ENGGAK HAYO!

.

.

A/N :

Wkwkw akhirnya fanfic lagi setelah sekian lama~ Iya, aku betah hiatus HAHAHAHAHA *dikeplak*

Oke, baru berani bikin fanfic setelah benar-benar memainkannya. Dan artinya, YEAH! AKU MAIN TMGS 3. SO DEM YEAH!

Review? Okaaaay :3

v

v

v