Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

My Boyfriend is a Gigolo © Black Hat

Warning: OOC, multichap, typo(s), AU, ide pasaran, bertele-tele, abal dan masih banyak lagi kekurangan lainnya di dalam fic ini.

A/N: Jika ada kesamaan cerita itu bukanlah kesengajaan. Plot fic ini murni punya saya dan jika menemukan kesamaan dengan cerita lain, mohon dikonfirmasi ke saya yah. Hope You like, Minna ^^

.

Don't like, don't read.

Yamanaka Ino, wanita cantik bersurai blonde panjang dengan iris sebiru batu aquamarine adalah salah satu wanita yang paling diincar di perusahaan tempatnya bekerja. Menjadi kepala divisi keuangan perusahaan ternama dengan etos kerja dan profesionalitas yang tinggi membuat semua karyawan baik pria maupun wanita akan merasa iri, baik dari segi kesuksesan karir hingga kecantikan alami yang tak main-main.

Kulitnya yang putih bercahaya dengan tubuh langsing tinggi membuatnya dicap sebagai barbie hidup. Tentu saja gelar tersebut bukan hanya isapan jempol semata. Ia benar-benar seperti barbie—dimulai dari ujung rambut blonde panjang hingga kaki bersih tanpa cacat sedikitpun. Ya, ia menjadi kiblat wanita idaman di seluruh penjuru perusahaan, bahkan ia mulai terkenal di wilayah tempat perusahaan tersebut berdiri. Ia pernah ditawari menjadi model sebuah majalah namun ditolaknya secara halus karena lebih mementingkan segudang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya—kejadian ini lantas menjadi perbincangan hangat dan menjadi nilai plus bagi dirinya.

Bulan September tahun ini ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 26. Jumlah yang cukup untuk dirinya memikirkan hal 'lain' selain pekerjaan. Yap, saking cintanya pada pekerjaannya ia sampai melupakan bagaimana cara bersenang-senang dengan lawan jenis.

Tidak, ia bukan tidak tertarik pada pria. Hanya saja dirinya bukan tipe wanita yang dengan mudah dapat dekat dengan pria manapun. Ia cenderung selektif dalam memilih teman apalagi pria yang akan menjadi teman hidupnya. Ia suka keindahan, namun sayangnya tidak semua pria—walau tampan—memiliki keindahan seperti keinginannya. Ia ingin pria yang selain tampan, juga berwawasan—setidaknya setara dengannya, dan dapat memerlakukan wanita dengan sopan. Sayangnya, dalam 25 tahun hidupnya ia belum menemukan pria dengan kriteria seperti itu, kecuali ayahnya yang tersayang.

Maka paling tidak tiap bulan sekali kedua orangtuanya yang berada di Konoha akan merecokinya dengan pertanyaan seputar pria 'masa depannya'. Tak tahan dengan tekanan tersebut membuat Ino mau tak mau melakukan sedikit kebohongan. Yap, sedikit. Ia mengatakan bahwa ia telah menemukan calon suami. Bagaimana? Itu hanyalah kebohongan kecil bukan?

Ya, awalnya memang kecil. Namun ia lupa fakta bahwa orangtuanya adalah tipe orangtua yang ingin tahu segala hal tentang putri bungsunya. Dari A sampai Z. Dari akar hingga ke pucuk daun yang paling tinggi. Maka kebohongan kecilpun perlahan berubah menjadi kebohongan besar. Tiap ponsel pintarnya berdering, tiap itu juga ia membuat satu kebohongan kecil lagi. Tiap minggu dalam setengah tahun terakhir. Sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kebohongan yang tercipta akibat tekanan yang tiap saat diberikan.

Dan puncaknya adalah ketika kakak sulungnya akan melangsungkan pernikahan minggu depan. Kedua orangtuanya memintanya untuk membawa sekaligus memperkenalkan calon suami idamannya. Saat itu juga dunianya seketika hancur. Mau cari di mana pria dengan ciri-ciri; tampan, tinggi, maskulin, berkharisma, berpendidikan tinggi, seorang dokter, berwawasan luas, kaya raya, sopan dan tahu cara memerlakukan wanita dengan baik hingga pria yang memiliki senyuman memikat?

Ah bunuh saja ia di rawa-rawa.

Rasanya Ino ingin mengatakan bahwa semuanya adalah kebohongaan. Calon suami idaman yang selama ini selalu ia banggakan adalah hasil imajinasinya saja, tidak ada dan tak akan pernah ada pria sempurna seperti itu. Ia hanya perlu mengatakan, 'okaa-san, otou-san, maafkan aku. Sebenarnya aku belum memiliki calon suami.'

Yap, mudah. Sangat mudah jikalau sang ayah yang tercinta tidak mengidap penyakit jantung dan jika ia nekat membeberkan kebohongannya tersebut, ia bisa membunuh ayahnya saat itu juga. Tidak, tidak ... ia begitu menyayangi ayahnya jadi kekonyolan tersebut harus segera disingkirkan.

Disaat ia telah putus asa, sahabat sekaligus rekan kerjanya menawarkan bantuan yang bagi Ino itu adalah suatu oase dan pertolongan dari Tuhan yang ternyata masih menyayanginya. Ia begitu semangat dan setuju apapun saran yang sahabatnya itu tawarkan.

Haruno Sakura, wanita bersurai gulali itu memberi saran bahwa ada baiknya Ino menyewa seorang pacar di situs-situs terpercaya atau ia bisa mendatangi langsung salah satu club di Shibuya yang memang 'menjajakan' pria-pria tampan. Awalnya Ino menolak, namun karena tak ada pilihan lain mau tidak mau ia mengiyakan saran Sakura.

Namun semua tak berjalan mulus. Dari semua situs dan tempat yang mereka datangi untuk mencari pacar sewaan, tak semua memenuhi kualifikasi dari calon suami idaman Ino. Banyak pria tampan, namun sekali lagi tak banyak pria yang mempunyai keindahan seperti yang Ino gambarkan ke ayah ibunya.

Bukan Sakura namanya kalau ia tidak mempunyai rencana cadangan. Rencana akhir ini memang sedikit ekstrim, namun ia yakin akan banyak membantu Ino ke depannya. Dan rencana tersebut adalah ...

Mencari seorang pelacur pria, atau istilah kerennya biasa disebut dengan 'gigolo'.

.

.

.

Suara dentingan jam, peralatan makan yang beradu, suara bising orang-orang bergosip hingga kendaraan terdengar jelas di telinga Yamanaka Ino yang saat ini berada di salah satu cafe sederhana di pusat kota Tokyo, hanya beberapa blok dari tempatnya bekerja.

Iris aquamarine-nya melirik jam yang tergantung di tengah ruangan. 10.15 AM. Sudah lewat 15 menit dari kesepakatan yang mereka buat. Namun karena dirinya yang butuh mau tak mau membuat Ino harus bisa ekstra bersabar hari ini.

Yap, Senin pagi ini ia telah membuat janji temu dengan 'calon suami idaman' yang berhasil Naruto—pacar Sakura—pilihkan untuknya. Ia dan Sakura akhirnya memutuskan untuk menggunakan plan b, namun resiko untuk mencari dan berhubungan langsung dengan mucikari terlalu besar maka Sakura meminta bantuan pacarnya untuk meng-handle sekaligus memilihkan seorang pria dengan kriteria yang Ino berikan.

Dan inilah hasilnya. Ino sama sekali tak tahu bagaimana rupa dari pria pilihan Naruto—yang katanya perfect. Entahlah, di situasi terjepit seperti ini membuat pikiran negatif selalu menghampirinya.

"Yamanaka Ino?"

Suara bariton yang berasal dari arah belakang menggelitik telinga Ino. Wanita 25 tahun itu menoleh dan mendapati sosok pria tinggi dengan rambut merah bata sedang menatapnya datar. Ia tinggi dengan badan atletis yang ditutupi oleh kemeja ketat yang menampilkan otot-otot bisepnya yang sempurna.

"Ya, aku Yamanaka Ino," ujar Ino menyalami pria tersebut. "Silahkan duduk."

Pria dengan alis tipis tersebut duduk tepat di depan Ino. Dan Ino berdehem grogi. Ah baru kali ini ia berada di situasi canggung tidak mengenakkan seperti ini.

Untuk menghilangkan kegugupan, Inopun memesan minuman untuknya dan pria di depannya. Sejauh ini sepertinya 'calon suaminya' tipe pria yang pendiam. Terbukti tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain kalimat awal tadi.

"Jadi," ujar Ino memulai setelah waiters mengantarkan pesanan mereka, "nama Anda?"

"Gaara."

"Marga keluarga?"

"Rahasia."

Ino mengernyitkan alisnya bingung mendengar jawaban Gaara. "Rahasia?"

"Tiap gigolo merahasiakan marga keluarga mereka demi kepentingan privasi. Tapi aku akan menggunakan marga Shimura untuk pekerjaan."

"Ah sou ka," angguk Ino paham. Tentu saja mereka harus merahasiakan marga keluarga mereka. Gigolo adalah salah satu pekerjaan yang masih dipandang sebelah mata di masyarakat, jadi merahasiakan kehidupan pribadi mereka adalah pilihan terbaik.

"Jadi, kita mulai dari mana?"

Gaara menatap Ino diam. "Apa yang kau inginkan dariku?"

"Tak banyak." Ino menegakkan punggungnya dan mengibas rambutnya yang ia gerai hari ini. "Kau hanya perlu menjadi calon suamiku di depan seluruh keluargaku. Hari sabtu, 3 hari dari sekarang adalah pernikahan kakak sulungku, Deidara. Orangtuaku memintaku untuk membawa calon suami yang selama ini selalu kuceritakan—"

"Kau berbohong pada mereka?"

Tembakan Gaara yang tepat sasaran membuat Ino membisu. "A-aa ya, aku berbohong pada mereka. Aku berbohong soal aku telah mempunyai pacar—tapi kuharap kau tak menghakimiku soal itu."

Gaara hanya mengangguk singkat atas permintaan Ino dan meminta wanita di depannya untuk melanjutkan.

"Kau hanya perlu berpura-pura menjadi sosok calon suami idaman. Kau harus bisa mengimbangi pembicaraan mereka, berwawasan luas, mampu bersikap baik dan protektif terhadap diriku dan tentu saja bersikaplah seolah-olah aku adalah wanita yang paling kau cintai di dunia ini."

Tak ada ekspresi berarti yang Gaara keluarkan. Pria itu hanya mengangguk paham, seolah ini adalah pekerjaan yang telah berpuluh tahun ia kerjakan. Ah tentu saja, Gaara adalah gigolo, jadi untuk urusan akting ia pasti bisa mengerjakannya dengan baik.

"Kita akan pergi sabtu pagi, sekitar pukul tujuh. Upacara pernikahan Dei-nii berlangsung pukul sepuluh, kurasa kita punya waktu yang cukup untuk tidak terlambat sampai ke Konoha. Esoknya, keluarga besarku berencana akan mengunjungi villa yang mereka sewa, tepatnya di ujung Konoha, kurang lebih dua jam perjalanan. Setelah itu, pukul lima sore kita pulang. Aku tak berani ambil resiko membawamu berlama-lama dengan mereka. Kau tahu, kadang keluargaku begitu licik untuk mengetahui kebohongan sekecil apapun."

"Ada anggota keluarga yang perlu ku waspadai?"

Ino berpikir sejenak. "Kurasa tak ada. Mereka orang yang easy going. Tapi kau harus berhati-hati pada ayahku. Dia terlalu over protective."

Lagi, Gaara mengangguk dalam diam.

"Aku akan mengirimkanmu file yang berisi foto-foto dari anggota keluargaku beserta biodataku dan kriteria apa saja yang harus kau penuhi. Karena sejujurnya, aku terlalu melebih-lebihkan ciri-ciri pacarku pada mereka."

"Aku paham. Kadang wanita memang menginginkan pria yang sempurna."

Ino membenarkan dalam hati. Semua wanita memang seperti itu.

"Jadi, bagaimana untuk bayarannya?"

Pertanyaan dari Ino rupanya begitu menarik untuk Gaara terbukti pria tampan tersebut memperbaiki posisi duduknya dan terlihat begitu semangat. Tentu saja pria tersebut bersemangat, tujuan utama ia melakukan pekerjaan ini adalah karena uang, kan?

"Aku biasanya dibayar perjam."

"Berapa?"

"Harga standar, 5.000 yen."

'Itu termasuk mahal!' Ino bersungut, tapi memilih diam karena bayaran tersebut cukup sepadan dengan apa yang pria tampan tersebut miliki. Oh lihatlah rahangnya yang tegas itu, tatapan mata yang tajam dengan lingkaran hitam di bawahnya menambah kesan maskulin, tato berkanji 'ai' di dahi kirinya, bibir yang penuh, rambut yang bersinar, tinggi proporsional dan badan atletis tentu saja bayarannya akan mahal juga. Ah sial, kenapa dirinya menjadi mesum dengan memerhatikan Gaara sedemikan detail?

"Jadi, berapa total bayaran untuk waktu yang kutawarkan tadi?"

"Kalikan dengan harga perjam. Bayaranku naik lima kali lipat jika kau ingin berhubungan intim—"

"Aku tidak butuh itu!" Potong Ino cepat. "Yang kubutuhkan hanyalah kau menjadi calon suamiku, bukan 'suamiku'." Saat mengatakannya wajah Ino telah merah padam karena malu dan ia berusaha mati-matian untuk menutupinya walau ia rasa percuma saja, Gaara pasti telah melihat wajah memalukannya itu.

"Baiklah," angguk Gaara.

Ino kemudian mengeluarkan sebuah cek dan pulpen yang langsung diserahkan pada Gaara. Meratapi uang tabungannya yang akan ludes akibat kebohongan yang ia mulai. Pria tersebut menuliskan jumlah nominal yang menjadi bayarannya dan setelah transaksi mereka selesai, mereka kembali berjabat tangan.

"Di mana aku harus menjemputmu?" tanya Ino saat mereka berdua siap untuk keluar cafe.

"Aku akan mengirimkan alamatnya padamu beserta biodataku."

Ino mengangguk. "Ku harap kita bisa bekerja sama, Gaara-san."

"Panggil aku Gaara saja. Kau tentu tidak mau rencana kita gagal hanya karena kau memanggilku dengan suffix -san."

"A-aa ..." Ino tergagap. Baru menyadari kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal. Kentara sekali dirinya sama sekali tak berpengalaman di bidang ini. "Kau benar, terima kasih Gaara."

"Ya. Sampai berjumpa di hari sabtu, Ino." Setelah mengucapkan salam perpisahan, Gaara langsung meninggalkan Ino sendirian di cafe. Iris Ino mengikuti arah ke mana Gaara keluar. Pria itu menyeberangi jalan dan menghilang di kerumunan pejalan kaki. Ino menghela napas. Tiba-tiba pikiran negatif kembali menghantuinya.

Pria itu memang hampir mendekati kriteria yang ia ajukan. Ia tampan, berkharisma dan sepertinya aktingnya bisa dipercaya. Namun bagaimana jika tidak berhasil? Bagaimana jika Ia maupun Gaara melakukan kesalahan yang berakibat terbongkarnya status asli Gaara? Bagaimana jika Gaara tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya yang mana ia sendiri yang mengatakan kalau calon suaminya adalah pria yang berpendidikan dan berwawasan luas? Padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Gaara tidak mungkin berpendidikan tinggi—jika iya, mana mungkin ia mau melakukan pekerjaan haram ini, kan?

.

.

.

9.47 AM.

Ino beserta Gaara sampai di salah satu gereja besar di Konoha, tempat diberlangsungkannya upacara pernikahan kakak sulung Ino—Deidara dan calon istrinya, Konan. Begitu turun dari mobil, mereka langsung disambut hangat oleh Yamanaka Hana, ibu Ino yang memiliki bentuk wajah yang sama dengan putrinya.

Mereka berdua langsung dipersilahkan masuk untuk mengambil tempat dan tak lama dari itu upacara pernikahanpun dimulai. Semua berjalan lancar dan hikmat. Ino bahkan sampai meneteskan air mata bahagia melihat kakak satu-satunya, teman bermainnya saat kecil telah menjadi milik orang lain. Itu artinya kasih sayang kakak padanya akan terbagi, ah rasanya Ino makin sedih menyadari fakta tersebut.

Setelah upacara selesai, keluarga besar kedua mempelai berkumpul dalam beberapa meja berbeda untuk makan bersama di halaman belakang gereja. Ino dan Gaara dengan apesnya berada satu meja dengan orangtua beserta kedua mempelai. Awalnya tak ada yang menyinggung tentang Gaara, mereka semua sibuk membicarakan pengantin baru yang berencana akan bulan madu di New Zealand minggu depan maupun hal-hal sepele mengenai hobi dan pekerjaan ayahnya dan besan mereka.

Namun suasana tenang tersebut tak belangsung lama. Hal tersebut bermula ketika kakaknya, Deidara mulai membuka suara meminta adik kesayangannya untuk mengenalkan pacarnya pada mereka semua. Mendapat permintaan mendadak tersebut—sebenarnya ia telah menyiapkan mental untuk ini—membuatnya sontak berkeringat dingin. Bayang-bayang akan kegagalan rencana mereka terus menghantuinya dari semalam menyebabkan ia tak bisa tidur nyenyak. Namun tiba-tiba genggaman Gaara ditangannya dan tatapan meneduhkan yang ia terima membuat rasa gugupnya berkurang. Tatapan Gaara barusan sungguh berbeda dari tatapan dingin yang ia tunjukkan saat pertama kali bertemu. Rupanya akting Gaara telah dimulai saat ini.

"Perkenalkan, namanya Shimura Gaara. Umurnya 28 tahun dan bekerja sebagai salah satu dokter di rumah sakit di Tokyo." Semua orang yang berada di meja itu terkesiap mendengar jawaban Ino, atau lebih tepatnya saat mereka mendengar kata 'dokter' mereka mulai bereaksi secara luar biasa. Para wanita yang di meja itu langsung saling berbisik, mungkin saling memberi nilai atau untuk diinfokan pada putri mereka mengenai pria hot di sampingnya. Sedangkan para pria hanya mengangguk-angguk bangga.

Semua orang terkesima, kecuali ayahnya. Oh shit!

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan keluargamu, Gaara-kun?" ibunya mulai bertanya.

Sebelum menjawab, senyum kecil mampir di wajah tampan Gaara. "Ayah saya memiliki bisnis yang bergerak dibidang teknologi dan alutsista. Ibu saya sebenarnya hanya ibu rumah tangga biasa, namun akhir-akhir ini ia mulai tertarik untuk membuka butik."

Lagi, jawaban sempurna Gaara menimbulkan decak kagum dari orang-orang yang semeja dengan mereka. Dan Ino mati-matian untuk tidak mencekik leher Gaara karena berhasil membuat kebohongan yang jauh lebih berbahaya ketimbang dirinya. Oke, salah satu kriteria calon suami hayalannya adalah kaya raya, tapi tidak sekaya hingga punya perusahaan teknologi dan alutsista!

"Saya adalah anak bungu dari 3 bersaudara. Kakak sulung saya, Temari adalah seorang profesor di Todai dan seorang ibu bagi 2 balita. Sedangkan kakak kedua saya, Kankurou merupakan seorang businessman mengikuti jejak ayah saya. Ia mulai turut membantu ayah bekerja di perusahaan."

Semua kembali berdecak kagum. Dan Ino makin migrain.

"Lalu kau sendiri adalah dokter, kan?" tanya Deidara yang dijawab berupa anggukan kecil dari Gaara. "Kalau boleh tahu, dokter spesialis apa?"

Duaar!

Pertanyaan dari sang kakak membuat saraf Ino menegang seketika. Dokter spesialis apa!? Ino bahkan lupa untuk memberitahu Gaara bagian itu. Yang Ino pikirkan hanyalah pacarnya seorang dokter, tak pernah terpikirkan ia dokter di bidang apa. Ah bisa gawat kalau Gaara menjawab asal dan terlalu narsis yang ujungnya akan menjebak dirinya sendiri begitu ia tidak tahu mengenai bidang tersebut.

Sebelum menjawab Gaara nampak berpikir, dan sepanjang itu pula Ino menahan napas. Terus berkomat-kamit dalam hati agar jawaban Gaara tak terlalu narsis seperti kisah 'keluarga'nya tadi.

"Sebenarnya saya adalah dokter bedah, hanya saja akhir-akhir ini saya lagi tertarik dengan ilmu psikologi."

"Wah dokter bedah yah."

"Ya ampun, ia juga mempelajari ilmu psikologi."

Mati sudah! Semua sandiwara konyol ini akan terbongkar hanya karena masalah si gigolo tampan ini tak bisa mengontrol mulut soknya. Apa katanya? Dokter bedah? Ilmu psikologi? Yang benar saja! Ilmu dokter bedah saja ia tak tahu apalagi psikologi! Shimura Gaara benar-benar sudah hilang akal!

"Keluarga Yamanaka benar-benar beruntung mempunyai calon menantu seorang dokter bedah sekaligus seorang psikolog."

"Benar, otou-san. Jadi kita tak perlu khawatir jikalau ada salah satu diantara kita yang butuh penanganan medis segera."

"Kau benar, nak."

Konan beserta ayahnya ikut menimpali akan kehebatan sang Shimura Gaara yang membuat semua orang makin terpana. Ino memijit pangkal hidungnya, merasakan kepalanya akan segera pecah saat itu juga. Untung saja tidak ada satupun yang menyadari tingkah lakunya yang mencurigakan tersebut. Namun ternyata Ino salah, mata yang beriris sama dengannya terus memerhatikan gerak gerik sang putri bungsu.

"Begini nak Gaara." Suasana yang semula biasa saja tiba-tiba berubah mencekam begitu suara—yang paling tidak Ino harapkan untuk berbicara saat ini—mulai terdengar di seberang mejanya dan Gaara. Takut-takut Ino melirik sang ayah yang memasang muka santai, namun siapa sangka dibalik wajah santai itu tersimpan beberapa pertanyaan yang dirinya yakin dapat membuat sandiwaranya terbongkar saat ini.

"Paman memiliki penyakit jantung," Inoichi memulai percakapan. "Beberapa teman menyarankan untuk segera melakukan operasi agar kerusakan jantung paman tidak semakin parah." Semua diam memerhatikan dan tangan Ino makin dingin.

"Jadi paman ingin mendengar saran darimu. Apakah paman harus segera operasi atau ada saran yang lebih bijak dari seorang dokter bedah?"

Ino terperangah bahkan untuk menelan salivanya pun rasanya begitu sulit. Sambil meremas jarinya, ia melirik pria yang di sampingnya. Ia pikir Gaara akan mengeluarkan mimik yang sama dengannya, namun diluar dugaan pria itu masih bisa mengontrol dirinya menjadi setenang mungkin, seolah pertanyaan yang ayahnya lontarkan adalah pertanyaan yang tiap hari ia dengar.

"Tergantung bagaimana jenis penyakit dan tingkat kerusakan jantung paman," ujar Gaara setenang mungkin. "Untuk penyakit jantung koroner, biasanya dilakukan operasi bypass. Dalam beberapa kasus operasi tersebut hanya dilakukan jika penderita telah mengalami nyeri dada terus menerus atau obat-obatan yang diberikan dokter maupun pola hidup yang sehat sama sekali tak memberikan perubahan. Jadi saran saya, selama jantung paman masih mampu, operasi harus dihindari. Paman hanya perlu meningkatkan pola hidup sehat dan rajin minum obat."

Singkat dan jelas. Begitu kira-kira penjabaran yang Gaara berikan pada Inoichi. Semua orang tak terkecuali Ino terperangah, bukan karena isi dari penjelasan tersebut tapi lebih ke kharisma yang Gaara keluarkan saat ia berbicara. Begitu lancar dan tenang, seolah ia benar-benar seorang dokter bedah yang tahu akar hingga pangkal dari bidang tersebut. Ino sampai speechless, tak menyangka bahwa si gigolo tampan ini mampu berakting sedemikian rupa walau ia bertanya-tanya darimana Gaara tahu mengenai penyakit jantung—padahal ia tak menyebutkan penyakit ayahnya di biodata keluarga.

Merasa suasana sedikit tegang, Hana berusaha mencairkan suasana. Mereka beralih ke topik lain dan kembali fokus pada pengantin baru. Ino menoleh pada Gaara, jemarinya menggenggam tangan Gaara yang rupanya sama dinginnya dengannya. Ino terkekeh menyadari bahwa dibalik wajah tenangnya, Gaara tetap merasakan perasaan gugup.

Gaara pun ikut terkekeh samar. Ia menghela napas panjang, membasahi bibirnya dengan air mineral dan ikut menggenggam jemari Ino. Ia butuh itu saat ini, disaat jantungnya hampir saja copot akibat aura tak bersahabat dari paman Inoichi. Jujur saja, ia sering mendapat tekanan yang jauh lebih besar saat ia melakukan pekerjaannya, namun sedingin apapun aura yang ditampilkan orang lain masih kalah jauh dibanding aura yang diberikan calon mertuanya. Yah, 'calon mertua'.

.

.

.

Pada pukul 9 malam Ino dan Gaara baru bisa bernapas lega. Mereka berdua memutuskan untuk pulang lebih awal karena selain untuk menghindari kejadian seperti siang tadi, Ino merasakan punggungnya hampir remuk akibat melakukan tarian 'Yamanaka' bersama ayah dan kakak sulungnya. Kedua orangtuanya memilih untuk tetap tinggal sedikit lebih lama, sebab para tamu penting ayahnya baru saja tiba.

Ino membuka pintu depan rumah orangtuanya, susunan perabotan ruang tamu masih sama sejak ia pulang sekitar setengah tahun yang lalu. Sofa besar di sudut ruangan, meja kecil, guci besar kesayangan ibunya, bingkai foto yang menampilkan potret dirinya, Deidara dan orangtuanya tergantung rapi di tengah ruangan serta beberapa hiasan kecil lainnya menambah keindahan ruang tamu mereka.

Setelah melihat-lihat sebentar, Ino bergegas menuju ruangan ternyaman di rumah ini, kamarnya. Ia membuka pintu bercat ungu tersebut dan seketika bau bunga lili langsung menyerbu indera penciumannya. Tak ada yang berubah dari kamarnya, masih rapi dan bersih. Sepertinya ibunya selalu menyempatkan diri untuk membersihkan kamarnya yang perabotannya serba berwarna ungu ini.

"Aku tidur di mana?"

Ino terlonjak kaget begitu Gaara muncul dari belakangnya. Saking terhipnotis akan masa lalunya, ia jadi melupakan pacar sewaannya ini. Ia memutar ke belakang, melihat Gaara yang berdiri menatapnya diam dengan satu koper berukuran sedang di tangan kanannya.

"Kau bisa tidur di kamar Dei-nii."

"Apa itu tidak menimbulkan kecurigaan?"

"Eh?"

"Normalnya, sepasang kekasih akan lebih memilih untuk tidur bersama jika kesempatan terbuka lebar."

Ino mengerjap matanya beberapa kali. "Jadi?"

"Orangtuamu akan curiga akan hubungan kita jika aku lebih memilih tidur di kamar Deidara-san."

"Kenapa bisa seperti itu?"

Pria dengan tubuh sempurna itu menatapnya diam. Bertanya-tanya apakah ia sedang berbicara dengan wanita 26 tahun atau gadis 18 tahun?

"Lelaki manapun akan memilih tidur bersama kekasihnya dibandingkan sendirian."

"Aa-aa begitu?"

"Ya."

Ino menggaruk tenguknya, mulai paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Kalau begitu, masuklah." Ino mundur selangkah memberikan Gaara ruang untuk bisa memasuki kamarnya.

Pria tinggi tersebut meletakkan kopernya di sudut ruangan, bersebelahan dengan lemari besar berwarna putih-ungu. Ia kemudian membuka dan mengeluarkan satu kaos hitam tanpa lengan dan celana pendek berwarna biru gelap. Merasa diperhatikan oleh Ino, ia lantas menoleh. "Ada apa?"

"Ti-tidak apa-apa." Kentara sekali Ino gugup. Wajahnya yang seputih susu itu menjadi merah padam karena ketahuan menatap pria seksi itu dengan intens. "Kau bisa mandi duluan. Kamar mandi di sebelah sana," tawar Ino.

Tanpa mengatakan apapun, Gaara langsung melesat ke kamar mandi dengan peralatan seadanya; sikat gigi, handuk, kaos dan celana pendek.

Setelah Gaara selesai memakai kamar mandi yang dilanjutkan dengan Ino, mereka berdua memutuskan untuk langsung beristirahat. Sempat terjadi perdebatan kecil apakah Gaara harus tidur seranjang dengannya atau di lantai. Namun mengingat mereka adalah 'sepasang kekasih' membuat mau tak mau Ino menyetujui ia berbagi tempat tidur malam ini. Tak begitu buruk, namun membuatnya tak nyaman.

Ino menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan semua yang telah terjadi dalam seminggu ini. Awal pertemuannya dengan Gaara hingga kejadian di meja makan siang tadi yang hampir saja membuatnya memiliki penyakit jantung seperti ayahnya. Untung saja Gaara dengan tenang bisa mengatasi masalah yang sebenarnya berasal dari dirinya sendiri.

"Lain kali buatlah cerita senormal mungkin, Gaara," ujar Ino memecah keheningan.

"Apa maksudmu?" tanya Gaara yang membelakangi Ino sehingga wanita pirang ini tidak bisa melihat dengan jelas wajah Gaara ditambah minimnya pencahayaan yang hanya bersumber dari bulan di luar jendela.

"Seperti cerita fantasimu tentang keluarga dan profesi dokter. Setidaknya kau harus memilih bidang yang mudah dan kau ketahui walau sedikit. Misalnya spesialis anak?"

"Hanya dua bidang itu yang terlintas di otakku."

"Kalau begitu kau harus memikirkannya baik-baik sebelum kau ucapkan."

"Yang penting aku bisa menguasai keadaan."

Rasanya Ino ingin membantah namun ia urungkan karena apa yang dikatakan Gaara ada benarnya. Yang penting pria itu bisa mengusai keadaan.

"Ngomong-ngomong ..." Ino masih melanjutkan, "bagaimana kau bisa menjawab dengan sempurna pertanyaan ayahku tadi?"

"Kakekku juga menderita penyakit jantung. Dan aku sering menemaninya untuk pemeriksaan."

Ino manggut-manggut. Ah pantas saja Gaara seolah menguasainya.

"Bagaimana dengan keluargamu? Kedua kakakmu?"

"Itu benar. Kakakku bernama Kankurou dan Temari."

"Dan orangtuamu?"

"Mereka masih hidup."

Ino mengernyit. Jika kedua orang tuanya masih hidup mengapa ia harus melakukan pekerjaan kotor seperti ini?

"Apa alasanmu mau melakukan pekerjaan ini, Gaara?"

Jeda sejenak membuat Ino tak enak hati. Apakah pertanyaannya membuat Gaara tersinggung? Ah tentu saja, pertanyaannya begitu sensitif—

"Untuk masa depanku."

Jawaban yang lugas dan Ino tidak berani untuk bertanya lebih lanjut. Tentu saja untuk masa depannya. Di dunia serba modern ini kebutuhan hidup sangat meningkat drastis, kadang pekerjaan orangtua belum tentu cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup. Jadi wajar saja Gaara terpaksa memilih pekerjaan sebagai gigolo. Selain mudah, ia dengan cepat bisa mendapatkan uang.

Ah padahal dengan wajah dan postur tubuh seperti itu, ia yakin dunia modeling sangat menjanjikan untuk Gaara.

Melihat betapa kerasnya kehidupan yang Gaara jalani entah kenapa membuat Ino sedikit iba. Ia harusnya berterima kasih pada pacar sewaannya ini. Kalau bukan karenanya, ia tidak akan selamat dari amukan, kekecewaan orangtuanya dan—

"Gaara."

"Hn?"

"Terima kasih."

Hening sesaat, membuat Ino kembali melanjutkan. "Terima kasih karena telah menyelamatkanku hari ini. Jika tidak ada dirimu, mungkin orangtuaku akan kecewa, penyakit jantung ayahku mungkin saja kumat dan aku akan dijodohkan dengan Sasori."

"Itu yang mendorongku untuk membohongi ayah dan ibu," cerita Ino. "Aku begitu takut untuk dijodohkan dengan Sasori. Ia pribadi yang baik hanya saja ... hanya saja ..."

Sekelebat ingatan masa lalu kembali menghantui Ino. Ingatan yang selama ini berusaha ia pendam kembali muncul ke permukaan dengan mudahnya. Bagaikan roll film yang dengan mudah terus berputar dan sama sekali tak bisa dihentikan membuat dada Ino menjadi sesak.

"Malam itu ... di musim dingin, aku—aku berusaha kabur, tapi Sasori begitu kuat," tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipinya, "ia terus memaksaku. Ia bahkan merobek bajuku dan terus menamparku tiap aku memberontak. Saat itu aku pasrah ... aku tidak tahu harus berbuat apa, tenagaku hilang—" cerita Ino terhenti sesaat begitu Gaara memutar tubuh menghadapnya.

"Sampai akhirnya aku berhasil memukul kepalanya dengan balok kecil ... aku—aku berhasil kabur. Aku berhasil kabur, Gaara. Kejadian itu aku ceritakan pada ayah, tapi Sasori berhasil menipunya." Ino makin terisak dan refleks mencengkram jemari Gaara.

"Sa-sasori mengatakan bahwa ... bahwa kami dipukuli oleh para perampok dan sebagai bukti bahwa ia berusaha menyelamatkanku adalah luka di dahinya. Pa-padahal itu akibat aku memukulnya dengan balok, bukan karena berusaha menolongku."

"Karena ayah percaya kalau ia adalah penyelamatku, ia berencana akan menjodohkanku dengannya saat kami sudah dewasa. Aku tidak mau. Gaara, dia—dia jahat. Dia hampir memperkosaku diumur 12 tahun. Tahun lalu dia bahkan memaksaku untuk segera menerima lamarannya, ma-makanya aku berbohong pada semua orang kalau aku sudah punya kekasih ... Gaara, tolong aku. A-aku benar-benar takut. Bantu aku, Gaara. Aku takut ... aku takut harus menikah dengannya."

Ino begitu kalut. Tubuhnya menjadi basah akibat keringat dingin, seluruh wajahnya menjadi pucat, tangannya gemetaran serta tangisannya makin menjadi. Gaara berusaha menenangkan dengan terus meremas jemari Ino. Namun karena ia yakin cara tersebut tak efektif, maka ia memutuskan untuk mendekap Ino seerat mungkin. Ia terus mengusap surai pirang Ino, menggosok-gosok punggungnya hingga mengucapkan kata-kata penenang yang ia juga tak yakin apakah akan berhasil atau tidak.

"Gaara, bantu aku ..." Ino terus mengulang kalimat tersebut dan selalu dibalas dengan jawaban, 'ya, aku akan membantumu' dari Gaara.

Sampai akhirnya, disaat Ino sudah mulai tenang, Gaara menjauhkan wajah Ino dari dada bidangnya. Ia bisa melihat air mata yang masih mengotori dan membasahi wajah Ino. Ia usap perlahan menggunakan ibu jarinya dan memberikan senyum menenangkan berharap dengan itu wanita pirang ini bisa sedikit lebih tenang.

"Tenang saja, Ino. Kau tidak perlu khawatir. Selama ada aku disisimu, Sasori tidak akan berani menyentuhmu."

"Be-benarkah?"

"Tentu. Jadi, tenanglah. Kau akan aman bersamaku."

"Aku tidak akan menikah dengannya, kan?"

Gaara menggeleng. "Tidak akan pernah. Aku bertaruh dengan nyawaku."

"Kau berjanji?"

"Ya, aku berjanji, Ino." Bersamaan dengan kalimat janji yang ia ucapkan pada Ino, Gaara perlahan mendekatkan wajahnya pada Ino dan kemudian mengecup perlahan bibir yang pucat itu. Tak lama, hanya sekitar lima detik ia lalu menjauhkan wajahnya. Hal pertama yang iris jade-nya tangkap ialah wajah terkejut Ino yang juga telah berubah menjadi merah.

"Ta-tadi itu apa?" Suara Ino bergetar. Bukan karena traumanya, tapi karena shock mendapat ciuman dadakan dari pacar sewaannya.

"Ciuman."

"Untuk apa?"

"Ku dengar ciuman dapat membuat seseorang menjadi rileks."

Ino mendudukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang makin bersemu akibat mendengar jawaban Gaara barusan. Untuk membuat rileks? Artinya Gaara peduli padanya hingga nekat menciumnya hanya agar ia menjadi lebih baik.

Gaara yang melihat tingkah malu-malu Ino sedikit banyak merasa terhibur. Ia menyingkirkan helain rambut yang menutupi wajah manis wanita di depannya, berusaha mendekatkan wajahnya lagi yang dibalas dengan makin tertunduknya wajah Ino.

"Ada apa? Kau tidak ingin mencobanya lagi?"

Tak ada jawaban membuat Gaara makin semangat untuk bertindak lebih.

"Hei Ino, lihat." Gaara memegang dagu Ino dan mengangkatnya. Ia tatap aquamarine yang masih meninggalkan jejak liquid. Sedangkan si aquamarine berusaha menghindar dari si jade yang entah mengapa begitu bersinar malam ini.

"Kau takut padaku?"

Ino menggeleng.

"Kalau begitu tatap aku."

Takut-takut Ino memberanikan diri untuk menatap jade Gaara langsung. Sungguh, entah magnet darimana, aquamarine-nya tak bisa lepas dari iris hijau tersebut.

"Tenang saja, untuk yang ini kau tak perlu membayar lebih."

Sekali lagi, Gaara mengecup bibir Ino yang mulai menampakkan warna aslinya. Kali ini sedikit lama, Gaara berusaha membuat wanita di dekapannya ini nyaman. Sangat berhati-hati sebab Ino rupanya memiliki trauma hebat yang bisa menghancurkannya.

Begitu dirasanya Ino mulai terbiasa, jemari Gaara mulai mengelus surai Ino. Begitu lembut, hingga rasanya ia mulai percaya pada iklan shampo yang selama ini selalu menampilkan rambut yang lembut bercahaya.

Semua berjalan lancar. Gaara maupun Ino sama-sama menikmati momen yang mungkin pertama dan terakhir kalinya bisa mereka rasakan. Tak ada tanda-tanda bahwa ciuman itu segera berakhir, sampai pada tiba-tiba pintu kamar Ino terbuka lebar membuat kedua sejoli itu terloncak kaget.

Klik. Lampu kamar Ino dinyalakan dan alangkah terkejutnya Ino melihat bahwa ayahnya lah yang mengganggu suasana romantis antara ia dan pacar sewaannya.

Sedangkan Inoichi juga sama terkejutnya dengan Ino. Ia menjadi kikuk karena menjadi pengganggu antara putri dan calon mantunya. Tanpa sepatah katapun, Inoichi mematikan kembali lampu dan menutup pintu kamar Ino.

"Maafkan ayahku, Gaara." Ino meminta maaf begitu ia merasa ayahnya telah meninggalkan kamarnya.

"Itu bagus. Dengan begini ia makin yakin bahwa kita adalah sepasang kekasih."

Mendengar kata 'sepasang kekasih' membuat jantung Ino kembali memompa dengan kencang. Baru kali ini ia merasa berbeda dengan dua kata tersebut, padahal awalnya dirinya lah yang bahkan menawari Gaara untuk status tersebut.

"Ya sudah, ayo tidur." Suara Gaara membuyarkan lamunan Ino. Dilihatnya pria gigolo itu memperbaiki posisi tidurnya dan kembali memunggungi Ino.

Wanita 26 tahun itu tersenyum tipis. Ya, waktunya tidur. Ia yakin tidurnya akan nyenyak setelah mendapat hadiah spesial dari pacar sewaannya yang entah kenapa saat ini mulai mengusiknya.

"Oyasumi, Gaara."

.

.

.

To Be Continued

A/N: Holla minna… ada yang rindu dengan Hat? #plak

Hat kembali lagi dengan fic baru kali ini Hat mau nyoba fic multichap hehehe—padahal hutang fic masih ada :') Di author note ini juga Hat mau mengucapkan banyak terima kasih buat kalian semua—para author dan readers yang udah read, review, fav, follow fic pertama GaaIno aku yang berjudul Barbie kemarin. Maafkan Hat yang gk bisa balas review kalian satu persatu, tapi percayalah Hat benar-benar bahagia dan berterima kasih atas waktu kalian udah mau ngelirik fic Hat huhuhu :'(

Fic ini adalah fic special buat first anniv Hat gabung di dunia ffn, yeaaay #plokplokplok sekaligus fic pertama mc aku buat fandom Naruto. Mungkin fic ini hanya berkisar 3-4 chap, gk banyak kok, kuusahain mentok di chap 3 deh. Ku takut semakin banyak jumlah chap, semakin besar resiko fic ini terbengkalai. Karena jujur aja, Hat kurang ahli buat fic mc :'v

Well, Hat sangat mengharapkan kritik dan saran lagi dari minna-san sekalian yah ^^

Sankyu…

Black Hat.