disclaimer: Masashi Kishimoto
warning: crack pair HidanxHinata, OOC, AU.
playlist: mich hat die liebe gekannt by rosenstolz
ablaut: renjana
prolog
Hidan menyandarkan tubuhnya pada tembok. Tangannya sibuk pada ponselnya yang menyala di bawah pencahayaan luar sebuah toko roti. Sesekali ia berdecak kesal ketika ponselnya menampilkan tulisan 'kalah'. Ia menggeser layar ponsel ke bawah. Pukul 21.34, masih kurang setengah jam lagi. Ia kembali pada permainannya.
Menembus partisi bening yang membatasi toko, seorang pegawai perempuan menatap gusar dari balik etalase roti melon. Seorang pelanggan menunggu dengan gemas. Tidak sabar, ia kembali mengetukkan jari telunjuknya pada roti melon yang langsung mengalihkan pandangan pegawai tersebut.
"Ah, maaf, maaf," ucap pegawai itu sambil menundukkan kepalanya dua kali.
Ia mengambil dua buah roti melon yang mengembang sempurna, memasukkannya ke dalam kantong kertas kuning pastel. Ia lalu berdiri memberikan pesanan pelangggan, juga seutas senyum.
Senyum pada Hyuuga Hinata masih bertahan hingga pelanggan tadi melintasi pintu keluar. Pandangannya menggeser pada sosok di luar sana yang masih terus menunggunya sejak sejam lalu.
Seorang pegawai lain yang baru keluar dari dapur tampak langsung mengerti pada kegusaran Hinata.
"Hampiri saja, Hinata," gumamnya sambil menarik keluar beberapa nampan kosong dari etalase.
Hinata melepaskan ketegangannya. "Aku tidak ingin berhubungan lagi pada orang gila itu, Sakura. Bahkan memar di pergelangan tanganku saja masih terlihat."
Dengan masih berkonsentrasi menumpuk nampan kosong, temannya berkata lagi, "Sudah hampir seminggu dia menunggu selama itu. Aku tidak yakin kau dapat lepas begitu saja. Dan sepertinya kau juga masih mencintainya, 'kan?" Terdengar nada godaan di ujung kalimat.
Hinata mendengus pelan. Dari relungnya, ia membenarkan semua kalimat teman yang telah dikenalnya tiga tahun lalu. Bilangan yang sama dengan usia pekerjaannya.
"Menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Hinata ragu.
Sakura mengangkat lima nampan yang telah ditumpuk ke atas etalase. Ujung-ujung rambut merah muda itu menari pelan saat ia menatap bandana kuning pastel bergambar karakter roti Hinata. Sedetik kemudian, ain zamrud itu turun menatapnya.
"Katakanlah dia mencintaimu—meskipun aku tidak membenarkan perlakuannya, dan kau juga masih memiliki perasaan yang sama. Kau memutuskannya sepihak, jelas dia tidak akan terima. Dan sepertinya dia tidak punya niatan putus."
"Lalu?"
"Hadapi dia. Susah memang mengubah sifat seseorang. Aku pun tidak meminta kau mengubahnya. Cukup selami dirinya, mungkin kau bisa mengerti sesuatu yang selama ini tidak masuk akal bagimu. Setiap orang memiliki ekspresi tersendiri dalam menyampaikan perasaannya, dan jangan salahkan cintanya padamu. Jika cintanya murni, maka kau akan beruntung memilikinya. Kau cukup mengikuti alur, masuk ke dalamnya, dan buat dia berubah dengan sendirinya."
"Tapi …."
"Kau masih mengharapkannya, 'kan? Jangan bohongi perasaan yang tertimbun dari tatapan gusar itu."
"Iya, aku mencintainya, sungguh. Ta—"
"Kalau kau mencintainya, kau akan bersamanya sekarang. Seperti Hidan yang hampir seminggu ini berusaha untuk membujukmu untuk kembali. Bukan malah menghindarinya terus, Hinata. Kau hanya akan membuat dirimu kelelahan berlari. Selesai."
Sakura mengangkat tumpukan nampan ke dapur tanpa peduli pada gerak bibir yang terbuka kosong.
Pukul 21.52. Sudah ada tiga pelanggan yang masuk sejak percakapan terakhirnya. Ia berusaha berkonsentrasi meskipun sulit. Perkataan Sakura benar; jika ia mencintainya, ia akan bersamanya, menyelami dirinya, membuatnya perlahan berubah dengan sendirinya.
Delapan menit menuju tutup toko, Hinata membuang napas yang membebani hatinya selama beberapa hari belakangan. Memantapkan segalanya untuk kembali.
Ketika ia beranggapan bahwa masa depannya bukan pada Hidan, hati kecilnya bergemuruh. Ia tidak rela hubungan yang terjalin selama empat tahun selesai tanpa konklusi. Bukan begini akhirnya. Hinata menyadari benang merah mereka tetap bersatu, hanya saja ia harus menguraikan kekusutan yang ada di antaranya.
Ujung benang itu adalah Hidan.
Ujung benang lainnya adalah Hinata.
Ketika penglihatan itu terpaku pada sosok di luar, sosok di luar mengangkat wajahnya. Memandang ke mata yang sama. Menaikkan satu tangannya dengan kaku. Membiarkan mobil di ponselnya melaju tanpa kendali. Ia tidak lagi peduli pada tulisan 'kalah' yang kemudian tertampil.
Bagaimanapun caranya, Hidan tidak akan menyerah.
Bersambung ….
