Love Has Left.

CASTS: KIM MINSEOK

LUHAN

KIM JONGDAE

EXO OT12 (minus Kyungsoo, Lay, dan Jongin)

GENRE: ANGST / FLUFF

Length : 1 of 2

Rate: M, untuk kekerasan dan kata-kata kasar. gaada adegan 'anu' disini ya teman-teman. MAAP KALO KECEWA /UHUK/

Pair: Main is XIUHAN. gue udah lama keabisan ff xiuhan yang romantis, jadi gue bikin sendiri dengan harapan xiuhan di ff gue mendapat dukungan dan kesan positif. harapan kedua, supaya Kim Minseok lebih terkenal. gue jarang baca ff dia di ffn, sedih banget T_T

Disclaimer: Casts obviously beyond my authorities. gue ga punya hak cipta buat pake nama mereka di ff gue, tapi kan mereka janji buat senengin fans dan ini cara gue HEHEHE

AUTHOR: REYNA.

Guys, ini ff pertama gue. mohon dukungannya ya! kritik dan saran sangat diterima di kolom review, boleh langsung komen dibawah kalo mau tanya-tanya ttg ff ini kalo masih kurang jelas. gue pasti bales HEKHEK.

SUMMARY:

Love doesn't left. It just disappeared – and it will come back at some turning point.

Mobil mewah dengan kecepatan sedang itu memasuki gerbang sekolah yang hampir ditutup. Disaat semua orang harus berlari tergesa-gesa, mobil itu hanya perlu berjalan santai menuju lahan parkir.

Ketika mobil itu melewati jalan setapak khusus penumpang mobil, "Kau turun disini ya untuk hari ini, Minseok,"

Minseok terkejut untuk beberapa saat. Tidak seperti biasa, kekasihnya memintanya untuk turun mendahului dirinya, tapi dia tetap menurut. "Terima kasih, Lu."

Minseok tidak membantah banyak dan langsung turun dari kursi disebelah pengemudi. "Aku akan mengunjungi jam istirahat nanti, Sayang. Sampai bertemu lagi." Luhan memberi kalimat perpisahan sekaligus janji untuk kekasihnya itu. Berharap Minseok akan memaafkan dirinya karena sedang tergesa-gesa.

"Tidak apa-apa. Aku akan menunggumu." Jawab Minseok cepat, tanpa ingin menahan Luhan lebih lama lagi. Dia agak berlari menuju kelasnya dengan pikiran yang mengganjal tentang Luhan hari ini.

Tidak butuh waktu lama untuk memaafkan Luhan. Hari itu juga, Luhan langsung mentraktirnya di kedai favourite mereka sepulang sekolah tadi. Luhan juga menyampaikan permohonan maaf untuknya, dengan sebuah kecupan manis yang sangat menenangkan hati dan pikiran Minseok. Yang mengingatkan Minseok bahwa Luhan masih mencintainya.

"Ehm." Luhan membuka sebuah percakapan baru lagi. "Sepertinya aku harus meminta maaf lagi padamu besok," Sambung Luhan.

Minseok mengernyit bingung. "Apa?" Katanya singkat. Tidak suka dengan kesalahan lain yang akan Luhan perbuat. "Hari ini aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku harus mengantar Baekhyun ke toko buku." Minseok tidak suka. "Kenapa harus kau? Memangnya tidak ada orang lain lagi?"

Luhan meletakkan sendok dan garpunya, tidak berharap Minseok langsung mengerti. "Minseok, kami berdua sekelompok. Setidaknya agar tugas ini lebih cepat selesai, tolonglah." Jawab Luhan pelan, tidak ingin memulai pertengkaran seperti kemarin.

"Apa itu juga sebabnya kau menurunkanku didepan jalan pagi ini, Luhan? Karena hal yang sama?" Tanya Minseok menuntut. Ini sudah menjadi beban pikirannya sejak masuk tadi, walaupun luhan menepati janjinya untuk datang ke kelasnya pada jam istirahat. "Kau, dengan Baekhyun hari ini?" Air mata sudah berkumpul di sudut matanya. Menahannya mati-matian.

Luhan menghela nafas berat, dia kembali menjawab dengan lelah, "Sudahlah, kau terlalu berlebihan. Aku minta maaf, aku tidak ingin merusak mood mu di pagi hari-"

"Tapi kau sudah." Potong Minseok cepat. Berlebihan, katanya? "Kau tidak tau kalau aku memikirkan begitu lama apa yang sedang kau lakukan setelah aku turun tadi. Mengapa kemarin kau tidak datang-"

"Kim Minseok." Luhan menundukkan kepalanya berat. "Kau ingin kita bertengkar terus setiap hari? Bersikap biasalah. Kau itu, Kenapa sih?" Tanya Luhan tidak sabar.

"Aku? Kenapa?" Minseok sudah menangis di tempat duduknya. Tidak menyangka Luhannya sudah tidak mengerti lagi tentang perasaannya. "Aku tidak apa-apa. Sana, pergi dengan Baekhyunmu. Kan kau harus mengerjakan tugas." Jawab Minseok ketus dan meninggalkan makanannya yang tinggal setengah dan membereskan barang-barangnya.

"Minseok, aku-"

Sudah sudah, aku bisa pulang sendiri. Sepertinya aku sudah harus terbiasa pulang dan pergi tanpamu, ya? Aku bayar makananku sendiri." Jawab Minseok lagi tanpa membiarkan Luhan berkata apapun.

Luhan tidak bisa membiarkan Minseoknya membayar, uangnya tidak boleh dihabiskan untuk hal seperti ini. "Tidak usah, aku yang selalu membayar untukmu. Ini uang saku untuk dijalan. Hati-hati." Perkataan Luhan tidak dibalas. Minseok menunggu sebentar. tidak mendapati 'Aku mencintaimu' di akhir kalimat Luhan, Minseok beranjak dari kursinya dan Luhan bisa melihatnya menaiki bus menuju rumahnya.

"Aku minta maaf untuk kemarin." Luhan memulai pembicaraan melalu ponsel ketika ada jawaban dari seberang sana. "Aku benar-benar terpaksa untuk mengantar Baekhyun."

Minseok hanya bernafas, memikirkan jawaban apa yang tepat untuk dia berikan. "Sayang? Kau masih disana?" Minseok kembali dari lamunannya, membetulkan posisi duduknya. "Iya, tidak apa-apa. Aku juga minta maaf kemarin tidak bisa mengerti."

Luhan mengembangkan senyumnya yang tidak bisa dilihat Minseok . "Kemarin itu salahku, aku terlanjur bilang mau mengantarnya. Seharusnya aku bertanya padamu dulu." Lanjut Luhan. "Kau memaafkanku, kan?"

"Ada alasan untuk bilang tidak?"

"Terima kasih, Sayang. Kau yang terbaik," Luhan merebahkan dirinya diatas kasur. "Besok aku jemput seperti biasa, 'kan?"

"Tentu saja." Jawab Minseok, juga merebahkan dirinya di atas kasurnya. "Selamat malam, Luhan."

Luhan tidak menjawab teleponnya sama sekali. Pesan juga tidak dibalas. Minseok benar-benar khawatir, mengenai apa yang sedang Luhan lakukan sekarang. Tengah malam dia menelepon Luhan terus, tapi tidak lama Luhan menjawab teleponnya.

"Halo, sayang."
"Luhan. Kau ada dimana? Kenapa tidak pernah mengangkat panggilanku?"
"Aku bilang kan aku akan datang kalau urusanku sudah selesai, aku sibuk."
"Itu tidak menjelaskan apa-apa."
"Sudah dulu, ya. Nanti aku akan datang kalau sempat."
"Kalau sempat? Ya sudah. Kalau tidak ada waktu lebih baik tidak usah datang."
"Oh? Maumu begitu? Baiklah. Kau sudah punya orang lain lagi untuk mengantarmu."
"Aku tidak bilang begitu! Kalau sedang sibuk sebaiknya kau mengabariku."
"Aku kan sudah bilang kalau akan datang kalau sudah selesai!"
"Kau tidak datang selama 2 minggu, Luhan!"
"Lalu? Apa masalahnya? Mandiri 2 minggu saja kau tidak bisa?"
"Bukan begitu, tapi kau tidak mengabariku sama sekali."
"Terserah lah! Aku akan datang untuk memberimu uang saku dan uang sewa rumahmu saja!"
"Luhan-"

Telepon sudah ditutup oleh Luhan.

"Maaf sudah merepotkanmu lagi, Jongdae," Kata Minseok ketika dia berhasil turun dari sepeda motor yang sudah terparkir rapih. "Aku selalu merepotkanmu belakangan ini."

Jongdae hanya memasang senyum lebar andalannya. "Tidak masalah, aku kan selalu berangkat pagi jadi kita pasti tidak terlambat. Tapi kenapa belakangan Luhan tidak menjemputmu?"

Minseok diam sesaat. "Oh, Tahun ini kan kalian ujian akhir, jadi dia sedang sibuk. Ayo naik." Jawab Minseok cepat tanda tidak ingin melanjutkan percakapan ini lebih lama lagi. Minseok sendiri sudah memikirkan perubahan sikap Luhan yang drastis ini untuk berhari-hari, dan berbohong adalah pilihan tepat supaya Jongdae tidak bertanya lebih lanjut lagi. Karena dirinya sendiri tidak tahu alasannya.

Setelah pertengkaran terakhir mereka, Luhan tidak menjemputnya lagi. Luhan hanya datang untuk memberi uang saku untuknya dan uang untuk biaya sewa rumah. Dia tinggal sendiri, sementara orang tuanya sudah meninggal. Dari banyak lelaki yang menyukainya, Luhan lah yang paling tampan dan yang paling mapan, dan lelaki itu yang dipilih Minseok. Bukan karena uang yang dia miliki melainkan karena lelaki itulah yang paling berhasil memenangkan hatinya. "Jaga dirimu, Minseok. Maafkan aku terus mengabaikanmu minggu ini dan untuk minggu berikutnya," Minseok selalu ingat percakapan terakhir tanpa bertengkarnya dengan Luhan, hal itu sangat penting untuknya. "Aku mencintaimu, Luhan."

"Kemana kita hari ini, Luhan?" Baekhyun bertanya dengan nada merayu sambil melingkarkan tangannya dilengan Luhan yang bebas. "Bagaimana kalau kita ke rumahku?"

Luhan tampak risih dan berusaha melepaskan lingkaran tangan Baekhyun. "Baek, ayolah. Ini tempat umum. Kalau Minseok lihat bagaimana?"

"Minseok kan sangat patuh padamu, Lu. Dia pasti langsung pulang begitu kau suruh." Jawab Baekhyun yakin. "Lagi pula ini sudah diluar lingkungan sekolah, tidak ada anak sekolah kita yang akan melihat. Ayolah, Lu, rangkul tanganku sebentar saja?" Baekhyun meminta manja.

Luhan hanya tertawa melihat tingkah Baekhyun. "Seperti aku tidak pernah merangkul tanganmu saja, Sayang." Jawab Luhan dan langsung merangkul badan Baekhyun yang lebih kecil darinya. "Jadi, kita kerumahmu, Baek?"

Minseok berjalan resah didalam rumahnya. Luhan sama sekali tidak mengabarinya selama seminggu ini. Disekolah, seperti biasa. Luhan memang rutin mengunjunginya di jam istirahat, tapi Minseok takut seseorang akan lebih sering bertemu dengan Luhan daripada dengannya. Seseorang akan membuat Luhan tertawa lebih sering daripada dengannya. Seseorang akan menemani Luhan lebih sering daripada dirinya.

"Minseok, kumohon duduklah. Aku pusing melihatmu seperti itu terus. Ayo makan, aku sudah memanaskannya untuk kita." Jongdae memanggil setelah dia sampai di ruang tengah. Minseok memang meminta Jongdae untuk datang kerumahnya akhir-akhir ini sekalian untuk membantu tugas dan menemaninya.

"Jongdae," Panggil Minseok dengan suara pelan. "Apa aku merepotkanmu?" Tanyanya tidak kalah pelan, seperti ingin menangis.

Jongdae menjawabnya dengan senyum. "Kau tidak merepotkanku. Aku senang membantumu dan mengetahui kau baik-baik saja," Jawabnya sambil mengisi piring Minseok dengan nasi. "Ayo, setelah ini kita mengerjakan tugas."

"Aku lihat akhir-akhir ini kau dekat dengan Baekhyun. Apa kau menjalin hubungan dengannya?" Chanyeol baru memiliki waktu senggang setelah beberapa hari ini berkutat dengan rumus-rumus, sama seperti Luhan.

Luhan melirik Chanyeol sekilas, kemudian menjawab, "Well, Untuk kali ini kau terlambat mengetahui berita tentangku, Chanyeol."

Chanyeol membulatkan matanya. yang dirumorkan oleh anak klub basket selama ini benar. "Serius kau? Sejak Kapan? Kau, Bagaimana dengan Minseok?"

"Menurutmu, orang seperti Luhan akan tertarik dengan orang seperti Kim Minseok?"

"Kau brengsek, Luhan." Chanyeol menyeringai. "By the way, Apa yang kau harapkan dari lelaki miskin seperti Minseok?"

Luhan mengangkat bahu sekilas, "Tidak ada. Aku hanya merasa kasihan dengannya. Bagaimana dia berangkat kesekolah dan makan setiap hari kalau tidak ada aku?"

"Aku jadi tidak mengerti apa kau ini iblis atau malaikat." Chanyeol menjawab dengan nada angkuh. "Tapi tentu saja, Baekhyun adalah pilihan tepat untukmu."

"Luhan, Aku membuatkan bekal untukmu. Kita makan berdua ya?" Ketika Luhan berada didepan kelas hendak datang ke kelas Minseok, didepannya sudah ada Baekhyun yang menunggu. Luhan tidak tau harus bagaimana. "Hmm, aku tidak bisa Baek. Aku harus bertemu dengan Minseok hari ini. Aku sudah mengabaikannya terlalu lama. nanti dia bisa curiga, Sayang."

"Sudahlah, Kau kan rutin mengirimkan uang untuknya? Tidak ada yang dia butuhkan darimu selain uangmu. Tapi aku, aku sangat membutuhkan kehadiranmu, Lu. Jadi lebih baik sekarang kau temani aku makan bekal ini ya di koridor?"

Minseok melihat semua itu. Suap-suapan itu. Sentuhan yang masing-masing diberikan Baekhyun dan Luhan untuk satu sama lain. Hal yang seharusnya Luhan lakukan hanya untuk Minseok, bukan pada lelaki lain. Seharusnya, dia tidak usah mencari Luhan kalau Luhan sendiri tidak mencarinya, Luhan memang tidak membutuhkannya. Apa yang dicari Luhan dari lelaki miskin seperti dirinya? Luhan memang berhak dapat yang lebih baik darinya, kalau dipikir-pikir Minseok memang tidak memiliki nilai lebih dibanding Baekhyun.

"Lu, aku ke kantin sebentar. Ada yang ingin kau titipkan?" tanya Chanyeol begitu dia melewati Luhan yang sedang makan bekal bersama Baekhyun di koridor.

"Aku ingin kau lihat keadaan Minseok dikelasnya, dan beritahu aku. Belikan dia 2 buah susu strawberry dan berikan padanya, katakan itu dariku. Permintaan maaf." Jawab Luhan.

Chanyeol memandang jijik kearah Luhan. "Cih, Munafik. Sudah ada satu lelaki lalu untuk apa yang itu masih kau urusi?"

"Setidaknya dia harus diberi pemberitahuan, Chan. Sudah sana lakukan perintahku saja."

"Pemberitahuan itu harus diberikan secepatnya, Lu. Kau tidak ingin menyakiti lelaki miskin itu lebih lama lagi." Perintah Chanyeol yang menuntut itu tidak dipikirkan Luhan. Dia punya caranya sendiri untuk Minseok.

Langkah Chanyeol terhenti ketika dia melihat Minseok sendirian dibalik tembok koridor. 'Minseok pasti sudah dengar dan melihat semuanya,' pikir Chanyeol. Sosok yang terluka itu memandang kosong kelantai. Chanyeol mendekati Minseok, "Sudah tau siapa Luhan, kan? Kalau kau masih punya otak sebaiknya kau tinggalkan dia setelah ini."

Minseok kembali dari lamunannya, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengeluarkan satu bulirpun air mata untuk orang yang tidak mencintainya. Minseok balik bertanya, "Sudah berapa lama aku dikhianati, kalau boleh tau?"

"Kau pantas mendapatkannya." Jawab Chanyeol ketus. "Kau pikir saja dengan logika. Memangnya orang popular seperti Luhan berhak didapatkan oleh lelaki miskin sepertimu? Dari awal, Luhan hanya kasihan padamu. Maafkan dia kalau kau merasa dia mencintaimu, yang nyatanya tidak-"

Luhan mendengar suara Chanyeol dibalik temboknya. seperti berbicara dengan seseorang, Luhan menghampiri sumber suara itu, "Chanyeol, kau kan kusuruh-" Luhan mematung ditempatnya. " Minseok?"

Minseok bersusah payah mempertahankan sisa kebahagiaan yang dia miliki untuk menarik sudut bibirnya yang menangis. "Hai, Luhan. Aku datang untuk menanyakan kabarmu." Keadaan berubah canggung.

"Oh." Balas Luhan pendek. "Chan? Apa yang kau bicarakan dengan Minseok?" Luhan bertanya menyelidik.

Chanyeol hanya tersenyum santai menanggapi pertanyaan Luhan. "Aku ke kantin dulu, membeli 2 susu strawberry untuk tuan putri kesayangan Luhan. Bukankah kau merindukannya, Lu?" Sindir Chanyeol.

"Luhan?"

"Hmm?"

Lagi, lagi dan lagi. Minseok seharusnya sadar. Tatapan lelah dan suara tidak bersahabat yang dia dapat akhir-akhir ini bukan karena Luhan sedang banyak pikiran, tapi karena Luhan memang tidak mencintainya. Dia salah tentang Luhan. Salah selama dua tahun.

"Aku ingin bertanya," Buka Minseok ketika mereka berada di atap sekolah. "Apa?" Kembali, hanya jawaban malas yang dia dapat dari Luhan.

"Mengenai Kau, Aku, dan. Baekhyun." Jawab Minseok mantap, tanpa berpikir bahwa dia salah sedikitpun. Luhan, hatinya sedih. Lelaki brengsek seperti dirinya harus menyakiti hati Minseok yang polos itu. Namun kesedihannya itu berhasil dia sembunyikan dibalik tampang tak pedulinya yang dia latih hanya untuk Minseok.

"Kau sudah tahu? Baguslah kalau begitu."

Brengsek! Bisa-bisanya kau bicara setenang itu untuk masalah serumit ini, Luhan? Minseok tidak percaya akan ucapan Luhan. Tanpa seizinnya, bulir air mata mengalir dari sudut mata indahnya yang biasa hanya dia gunakan untuk tertawa, bukan menangis.

"Aku lihat kau sangat dekat dengan si kutu buku itu." Kata Luhan dingin. "Dia juga temanku, aku tau pasti kalau dia menyukaimu. Sangat cocok, Kau dengan si pengurus organisasi itu, haha." Luhan mengangkat sudut bibirnya, tertawa malas. Meremehkan.

"Kenapa, kau mempermainkanku?" Tanya Minseok singkat. Tidak mengindahkan apa yang dikatakan Luhan. Dia rasa pertanyaan itu sudah cukup untuknya.

"Karena kau hanya cocok jadi mainanku." Jawab Luhan dingin. "Jujur saja ya, aku merasa terbebani dengan kehadiranmu. Lupakan hal yang kita lakukan bersama. Lupakan waktu yang sudah kita habiskan bersama. Kim Minseok, kau tidak bisa apa-apa tanpaku karena hidupmu bergantung pada uangku." Luhan memutuskan untuk pergi, melangkah melewati Minseok yang hanya bersandar pada tembok disebelahnya.

"Apa yang berkecamuk di hatimu saat mata kita saling bertemu, Luhan?"

Langkahnya terhenti ketika suara parau Minseok sampai pada pendengarannya. Dia tidak pernah menyangka pertanyaan seperti itu, dia tidak berlatih untuk pertanyaan itu. Luhan tau, dia mencintai lelaki polos yang juga mencintainya itu, tapi saat ini dia lebih mencintai Baekhyun. Menyangkal rasa yang dia miliki, Luhan menjawab dingin, "Tidak ada."

"Minseok?" Jongdae melihat sahabatnya itu dalam keadaan kacau. "Ada apa?"

Minseok tidak ingin terlihat kacau, ini masih jam sekolah. Tapi, hatinya tidak memiliki cukup kebahagiaan untuk dia tampilkan. "Luhan…"

Jongdae hanya butuh kata itu untuk dapat mengerti pikiran Minseok. Luhan, lelaki brengsek itu. "Hari ini kau menginap dirumahku saja. Sampai kau merasa baikan, Minseok." Jongdae bersumpah, setelah 2 tahun waktu yang mereka habiskan, kemana perasaan Luhan pergi? Untuk apa Luhan selalu memberinya uang dan tidak pernah lupa membayar sewa rumah Minseok?"

"Katanya aku hanya cocok jadi mainannya." Kata Minseok dingin, dengan pandangan kosong ke langit-langit kamar Jongdae. "Memang benar, aku hanya cocok jadi mainannya. Coba lihat Baekhyun? Impian semua lelaki ada pada dirinya. Aku? Siapa yang memperhatikan Kim Minseok, si miskin itu?" sambungnya sambil mengingat kembali kalimat Luhan. Yang menyakitkan itu.

"Kau pantas dapat yang lebih baik." Jawab Jongdae singkat. Dia berusaha memperbaiki suasana hati Minseok. "Kau masih punya aku. Mulai sekarang kau boleh tinggal dirumahku, kan sudah tidak ada lagi yang membayarnya. Aku minta maaf, aku tidak mampu membayar 2 rumah sekaligus. Aku hanya bisa menawarkan rumah ini. kau tidak perlu membayar-"

"Tidak bisa." Potong Minseok cepat. "Aku sudah banyak menyusahkan Luhan, aku tidak mau kau lelah denganku juga."

Jongdae hanya tertawa menanggapi jawaban Minseok. "Kau tidak menyusahkanku. Aku sudah katakan, aku senang membantumu dan mengetahui kau baik-baik saja."

Disebelahnya, Minseok sudah menangis. Menjambak rambutnya frustasi. "Aku tidak tahu. Biarkan aku berusaha sendiri, Jongdae." Minseok menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

"Aku benar-benar ingin membantumu, kau juga harus fokus pada banyak hal." Hanya senyum yang dapat diberikan Jongdae untuknya. "Besok kau sudah boleh pindah ke rumahku."

"Menurutmu begitukah?" Jongdae semakin melebarkan senyumnya, senang mendapati Minseoknya akan tinggal di rumahnya sebentar lagi. "Aku akan membantu." Jawab Jongdae akhirnya sambil bangun dan merapihkan tempat tidur untuk Minseok.

Minseok memang setuju untuk pindah ke rumah Jongdae dan berhenti menyewa rumah lamanya. Tapi, sikapnya berubah drastis. Minseok tidak tertawa lagi. Minseok tidak fokus pada pelajarannya. Di rumah pun, Jongdae mengakui bahwa nafsu makannya terus berkurang. "Minseok, ayo dimakan," Kata Jongdae dengan nada memaksa, melihat Minseok tidak menyentuh makanannya sama sekali. "Nanti kau semakin lapar."

Tanpa melihat wajah khawatir Jongdae, Minseok menjawab dingin, "Aku tidak nafsu makan."

Jongdae semakin memperlihatkan wajah khawatirnya. "Kau sudah makan sesuatu hari ini? mungkin diluar?"

Masih memandang kosong makanan yang berada di depannya, Minseok menjawab pelan, "Aku belum makan apapun dari pagi."

"Kau selalu suka makan. Kemana perginya semua nafsu makanmu itu?" Tanya Jongdae menuntut, karena ini bukanlah Minseok yang biasanya, bukan Minseok sahabatnya.

"Pergi." Minseok menghela nafas sebentar. "Pergi bersama Luhan."

Berbanding terbalik dengan kehidupan Minseok yang menderita, Luhan dapat menebar senyum indahnya setiap hari. Selalu terlihat bahagia dan mesra dengan kekasih barunya itu. Seperti sekarang ini, sepasang kekasih itu sedang berbagi pelukan hangat di koridor sekolah, tidak mengindahkan tatapan tajam Jongdae yang tertuju pada mereka.

Jongdae menggertakan giginya, tangannya terkepal kuat. Mengontrol emosinya mati-matian. Bisa-bisanya dia bahagia dengan semua luka yang dia berikan pada Minseok. Tak mampu lagi menahan amarahnya yang memuncak, Jongdae melangkah gelisah menhampiri Luhan. Mengapit lengan lelaki itu dan menyeretnya paksa ke atap sekolah.

"Luhan," Jongdae memanggil marah ketika dia menghantamkan Luhan ke tembok dibelakangnya, melepaskan cengkramannya dengan kasar.

Luhan hanya memandang santai kearah Jongdae. "Santai, kawan. Jangan emosi begitu." Jongdae benar-benar ingin menghajar lelaki dihapadannya. Menahan emosinya mati-matian. "Kenapa, kau mempermainkan Minseok?" Jongdae berusaha setenang mungkin.

"Karena aku tidak mencintainya." Jawab Luhan santai.

Jongdae memandang tajam, "Lalu kenapa kau seolah mencintainya? Menjalin hubungan dengannya? Peduli padanya?"

"Kau pikir saja, Jongdae. Dia pasti sudah tinggal di jalanan atau mati kalau tidak ada uangku." Jawab Luhan dengan nada meremehkan, matanya memandang Jongdae santai. Berbanding terbalik dengan Jongdae yang setengah mati menahan marah. "aku hanya kasihan padanya."

Jongdae menggertakan giginya, emosinya benar-benar tersulut. "Demi Tuhan! Kau penjahat!" Jongdae mendengus kasar. "Dia mencintaimu, Luhan!"

"Dengarkan aku, Kim Jongdae. Aku sudah memutuskan hubungan dengan jelas. Lagipula, kenapa dia harus bertahan dengan cintanya itu? Apa dia bodoh?"

Kepalan tangan Jongdae semakin kuat. Benar-benar ingin menghajar lelaki dihadapannya sampai mati. Tapi dia tau itu tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan sisa pengendalian diri yang ada, Jongdae berkata dingin, "Mulutmu, brengsek! Mulut manismu satu-satunya hal yang membuatnya bertahan pada cinta yang tidak pernah ada!"

Luhan semakin tertawa meremehkan, melangkahkan kaki jenjangnya kearah Jongdae. Masih dengan nada remehnya, "Sampaikan pada temanmu itu. Dia terlalu bodoh untuk mengharapkan lelaki populer seperti Luhan."

"Kalau dia terus mencintaimu dengan semua luka yang kau berikan, kau masih tega meninggalkannya demi orang lain?"

Luhan terdiam. Lagi, dia tidak pernah menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar. Tidak ada satupun dari mereka yang bergerak, dua pasang mata itu bertemu. Mencoba bicara melalu tatapan.

Luhan memutuskan kontak mata itu, mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat. Melangkahkan kakinya melewati Jongdae, "Kau tau pilihanku. Aku mencintai Byun Baekhyun."

Maafkan aku Jongdae. seharusnya kau sudah menghajarku dengan kepalan tanganmu itu, tapi kau memilih untuk menahannya. Aku memang benar, Minseok sangat cocok denganmu. Kalian berdua sama-sama sangat baik.

"Maafkan aku Jongdae." Minseok membuka percakapan ketika melihat Jongdae membuka pintu. "aku dengar, kau berkelahi dengan Luhan?"

Jongdae kembali memberikan senyum hangat untuk Minseok. "Dari mana kau dengar itu? Aku sama sekali tidak berkelahi dengan Luhan. Beradu mulut, yeah."

Minseok mengerutkan keningnya bingung, "Beradu mulut seperti perempuan, maksudmu?"

"Terima kasih, aku anggap itu pujian, Kim Minseok." Jongdae memilih untuk tertawa ketika mendengar jawaban Minseok. "Tapi aku lebih suka pilihan seperti lelaki, karena suara kami tidak melengking."

Minseok juga ikut tertawa, "Well, Aku menerima itu. Kau beradu mulut seperti lelaki." Jawab Minseok sambil mengikuti langkah Jongdae ke dapur. "Kenapa, kau melakukan itu? Maksudku, dengan Luhan?"

Jongdae mengangkat kedua bahunya, dia juga tidak tahu kenapa. "Aku hanya merasa aku harus melakukan itu. Aku tidak bisa membiarkan Luhan terus tertawa sementara kau terus menangis."

Minseok menunduk, memilin ujung bajunya. "Aku rasa dia tidak mau tau hal itu."

Jongdae ikut duduk di depan Minseok, menghela nafas berat. "Aku minta maaf, aku hanya tidak tahan melihat perubahanmu. Kau seharusnya tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini."

"Chanyeol bilang, aku pantas mendapatkannya."

Jongdae menarik sudut bibirnya tajam sambil mendengus kasar. "teman brengseknya itu sama saja, Minseok. Dan kau masih percaya saja pada ucapan orang tidak punya otak?"

Minseok menatap Jongdae dengan sudut matanya yang membendung air, "Lalu aku harus bagaimana? Itu yang dia katakan padaku. Seperti itulah kenyataannya dan itu terdengar masuk akal."

Jongdae membalas tatapan lelah itu. "kenyataannya Luhan memang brengsek. Dan kau mencintai lelaki brengsek itu."

"Aku tau." Minseok tertawa kecil, meremehkan dirinya sendiri. "Aku memang bodoh, kan?"

"Kau harus buktikan kalau kau bisa bahagia tanpa dia. Dia tidak pantas mendapatkan setetespun air mata mu."

"sayangnya, sejak hari pertama pun aku sudah meneteskan air mata untuknya." Minseok menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku tidak mengerti kenapa dia begitu sih, tapi memang Baekhyun kan cocok dengan Luhan-"

Minseok memotong kalimatnya sendiri, teringat sesuatu. "Baekhyun memang sangat pandai merebut Luhan."

Jongdae tertawa terbahak menanggapi kalimat Minseok. "Setidaknya, kau harus berterima kasih padanya karena sudah menjauhkan orang jahat darimu." Jongdae beranjak bangun dari tempat duduknya, "Kau masak apa?"

Minseok ikut bangun dan berjalan mengambil peralatan makan, "Aku juga baru sampai, tadi bus-nya mogok di tengah jalan." Jawabnya sambil mengambilkan nasi. "aku hanya sempat masak nasi dan ikan tumis. Yah, lumayan kan?"

Jongdae kembali tertawa, rumahnya jadi lebih hangat dengan kehadiran Minseok. "Tentu, tanpamu aku pasti hanya merebus ramen dan kimchi."

Minseok juga mengambilkan beberapa potong ikan untuk dia dan Jongdae. "Jangan terlalu sering makan ramen, Jongdae. Makanan itu tidak baik." Minseok masih berjalan kesana kemari, mengambil air dan menyalakan lampu dapur sementara Jongdae sudah duduk rapih. "Tapi mengenai ucapan terima kasih untuk Baekhyun, akan aku sampaikan itu lain kali." Jawabnya sambil tertawa, meremehkan Baekhyun?

"Selamat ulang tahun, Baekhyun. Aku mencintaimu," Luhan bersusah payah membuat surprise untuk ulang tahun Baekhyun ditengah jadwal belajarnya yang padat. Ketika Baekhyun sampai dirumah, dia bisa melihat banyak balon beterbangan dan sebuah kue di ruang tamunya.

Baekhyun menatap kagum semua itu. "Wa! Terima kasih, Luhan!" matanya nanar menatap keseluruhan ruangan, tidak mendapati satupun bungkus kado. "Omong-omong, mana hadiah untukku?"

"Aku tidak akan lupa," kata Luhan sambil merogoh sesuatu dari saku celananya. "Satu buah kado untuk Byun Baekhyun, dari orang yang paling mencintaimu."

Baekhyun menatap kado itu antusias, langsung membukanya. Ketika kertas kado itu tidak lagi menghalangi hadiah didalamnya, raut wajahnya berubah tak suka. "Apa ini? jam tangan?"

Luhan mengernyit bingung. "Kenapa?" Luhan tidak mengerti.

"Aku tidak menginginkan ini!" jawab Baekhyun kasar sambil melemparkan hadiah itu ke sofa. "Aku ingin tas yang waktu itu aku tunjuk di toko!"

Luhan menatap sedih hadiahnya yang Baekhyun lempar begitu saja. "Aku minta maaf. Aku akan belikan tas itu untukmu. Tapi setidaknya, jangan lempar jam tangan itu. Aku membelikannya khusus untukmu." Luhan merasa marah dan tidak dihargai.

"Biarkan saja! Karena aku memang tidak menginginkannya!" Sahut Baekhyun ketus sambil berjalan marah menuju kamarnya, tanpa mengindahkan kehadiran Luhan yang mematung diruang tamunya.

Luhan memandang kosong jam tangan itu - hadiahnya yang tidak diinginkan Baekhyun – terduduk di lantai, menangis. Luhan mengingat kembali ulang tahun Minseok – walaupun hanya dua tahun waktu yang dia berikan untuknya - tapi Minseok tidak pernah menolak satupun pemberiannya. Minseok selalu menghargai semua hal yang Luhan berikan untuknya.

"Kim Minseok, aku merindukanmu."

"Apa yang kau pikirkan?" Baekhyun membuka percakapan begitu dia melihat wajah kusut Luhan. "Kau menampilkan raut wajah seperti itu lagi."

Luhan mengalihkan pandangannya pada Baekhyun, memberikannya senyuman indah. "Tidak, aku tidak sedang memikirkan apa-apa."

Baekhyun masih memandangi Luhan, tidak mendapatkan kata-kata lain lagi. "Apa?" tanya Luhan, merasa risih dengan tatapan menyelidik dari Baekhyun.

"Tidak." Jawab Baekhyun singkat, mengalihkan pandangannya dari Luhan. "tidak biasanya kau menjawabku sesingkat itu."

Luhan memegang kepalanya, menatap langit-langit kamarnya. "Kepalaku sedikit pusing, mungkin karena aku terlalu-"

"terlalu banyak berkutat dengan rumus-rumus?" Potong Baekhyun cepat. "Sampai kapan kau akan memberikanku alasan seperti itu? Omong kosong."

Luhan tidak bisa menjawab, dia memang sedang memikirkan banyak hal. Ujian akhirnya yang semakin dekat, latihan tambahan disekolah dan lainnya. Juga perkataan terakhir Jongdae. tentang Minseok.

"Sampai kapan, Lu?" Pertanyaan Baekhyun menuntut. Semakin menuntut. "Aku tidak tau. Aku hanya sedang pusing."

"Jangan berbohong padaku." Baekhyun melipat tangannya di dada. "Ada yang kau sembunyikan dariku?"

Luhan memandang Baekhyun. Memberikannya tatapan setenang mungkin, berharap Baekhyun tidak bisa melihat keresahannya. "Lihat, aku tidak menyembunyikan apa-apa."

Baekhyun menatap mata Luhan lama, kemudian dia mengalihkan pandangannya. "Baiklah, aku percaya padamu. Tapi sebaiknya kau merubah sikap mencurigakan mu itu. Aku jadi agak khawatir padamu, Luhan."

Luhan memberi senyuman lagi untuk Baekhyun, dalam hati menghela nafas lega. "Aku minta maaf membuatmu khawatir, tapi aku tidak apa-apa." Aku hanya merindukan Minseok, itu saja.

Minseok berbicara sendiri ketika dia tiba sepulang sekolah. tidak mendapati hal lain yang bisa dia lakukan, dia bosan. "Aku sebaiknya belajar memasak makanan lain sebelum Jongdae bosan dengan masakanku." Akhirnya Minseok memilih untuk langsung mandi dan mengganti baju, mengambil tasnya. Juga mengirim pesan untuk Jongdae supaya dia tidak khawatir. Aku pergi ke supermarket. Tidak usah mengantarku ok?

Tidak lama dia langsung mendapat balasan dari Jongdae. Tidak boleh! Tunggu aku, sebentar lagi aku pulang. Minseok kembali duduk di meja makan, menaruh ponselnya dan berpikir. Tidak lama dia kembali mengetik balasan untuk Jongdae. Tidak perlu, aku akan buat surprise untukmu hari ini. jangan makan diluar ya!

"Hmm." Minseok kembali berpikir dan berbicara sendiri. "Aku akan coba memasak sesuatu yang tidak pernah aku buat." Sambil menunggu sampai di supermarket, Minseok memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan mencari resep makanan.

"Bagaimana kalau yang berkuah? Jongdae kan suka ramen." Pikirnya sambil memilih-milih resep yang cocok. "tapi kalau mencoba sekarang sepertinya tidak sempat. Cari resep yang praktis saja."

Minseok terus memilih-milih resep, tidak ada yang terlihat disukai Jongdae. "Ah, aku belum pernah memasak kimbap untuk Jongdae." Minseok memilih resep itu pada akhirnya, melihat variasi kimbap dari resepnya. "Kimbap telur dan salmon? Baiklah."

Begitu sampai di supermarket, Minseok sudah tau apa yang akan dia buat. Dia langsung mengambil keranjang dan berjalan menuju blok ikan. Memilih-milih untuk beberapa saat, dan mengambil potongan salmon yang paling cerah dan lumayan murah, tentunya.

Minseok mengitari supermarket, sambil berpikir apalagi yang harus dia tambahkan di kimbap nanti selain salmon dan telur yang tidak ada dirumah. "menambahkan wortel sepertinya tidak apa-apa," mengingat Jongdae tidak begitu menyukai sayuran, dia tetap mengambilnya. "Warnanya kan sama seperti salmon, dia pasti tidak menyadarinya," Minseok tertawa sendiri, mengakui pikiran liciknya.

Dia juga mengambil rumput laut dan beberapa bumbu, pergi ke kasir dan membayar semua itu. Ketika dia sedang menunggu bus, dia mendapat pesan dari Jongdae. Aku mengancam akan merebus ramen kalau kau tidak membiarkanku menjemputmu. Aku. Sangat. Lapar. Minseok tertawa melihat pesan dari Jongdae, tapi juga langsung membalasnya. Kebetulan aku masih menunggu bus. Jemput aku, kalau begitu?

Tidak lama, pesannya langsung dibalas. Yes. Di supermarket biasa kan? Beri aku 5 menit. Minseok tertawa senang, mendapati kebahagiaan dari Jongdae mengembalikan senyumnya yang dulu. Aku menunggu.

Tidak sampai 5 menit, Jongdae sudah kelihatan. "Ada apa kau ke supermarket? Aku lihat nasi masih banyak, ramen juga masih banyak." Jongdae memasang senyum lebarnya yang tidak bisa dilihat Minseok.

"Aku tampar kau kalau masih membicarakan ramen." Minseok memberikan tatapan tajam untuk Jongdae, "Pokoknya aku akan berikan surprise, aku harap kau masih lapar dan belum merebus ramen."

Jongdae tertawa sambil memberikan helm untuk Minseok. "Aku memegang janji lho. Aku langsung menjemput kesini karena aku sangat lapar. Ayo naik."

Minseok menerima helm dari Jongdae dan langsung naik. "Sedikit pesan saja untukmu, surprise ku adalah makanan." Jongdae kembali tertawa, dia sudah menebak. "Kau dari supermarket. Tentu saja kau akan memasak nanti 'kan?"

Minseok mempererat pegangannya pada jaket Jongdae. "karena kau sudah lapar, aku tidak sangka kau akan menggunakan otakmu untuk berpikir."

"Aku anggap itu pujian, Kim Minseok."

Ketika sampai, Minseok langsung menuju dapur. memasak nasi, memotong salmon dan menggoreng telur sendirian, sementara Jongdae sudah duduk rapih di meja makan. Dilarang bergerak kemanapun.

"Aku hanya berpikir aku bisa membantumu." Jongdae memainkan sendok dan garpu di piring kosong yang diberikan Minseok. "Akan selesai lebih cepat, kan?"

"Kalau kau membantu, nanti jadi tidak surprise lagi." Jawab Minseok, tanpa mengalihkan pandangannya dan melanjutkan menggoreng.

"Wa," Jongdae menatap kagum Kimbap itu, "Terlihat enak. Kau belum pernah masak ini, ya?"

"Memang belum. kan surprise untukmu, Jongdae." Jawab Minseok, sambil menaruh telapak tangan didagunya dan memandang Jongdae. "Aku hanya pernah membeli kimbap dari restoran cepat saji, dan aku juga belum pernah makan kimbap isi telur." Jawab Jongdae, masih melihat-lihat potongan kimbap itu. "Kau sangat tahu aku suka telur."

Minseok tersenyum senang, tampaknya dia berhasil memasak sesuatu yang baru. "Sudah boleh kau coba, semoga kau suka ya." Jongdae memasukkan satu potong Kimbap besar kedalam mulutnya, mengunyah dan langsung membulatkan matanya. "Yaampun, ini enak sekali." Katanya sambil lanjut mengunyah. "Aku belum pernah makan yang seperti ini, dari restoran sekalipun."

"Kau sedang memuji masakanku?" Tanya Minseok, kembali mengembangkan senyumnya. "Aku tidak tahu kalau rasanya akan enak."

"Kau juga harus coba, aku tidak bohong. Rasanya memang enak." Jawab Jongdae, juga menaruh beberapa potong kimbap ke piring kosong Minseok. "Well, sejauh ini masakanmu selalu enak, sih."

Minseok juga memasukan satu potong kimbap kedalam mulutnya. Masih agak panas, tapi enak. Dia juga bisa merasakan wortel disitu, sedikit heran kenapa Jongdae belum protes juga. "kau tau kan kalau aku juga memasukkan wortel kedalam kimbap ini?"

Jongdae membulatkan matanya kearah Minseok, "Masukkan apa? Wortel?" Tanyanya sambil mengunyah. "Aku tidak menyadarinya – tampaknya aku bisa makan sayuran itu."

Minseok mencapai 2 langkah baru hari ini: memasak makanan baru dan menambah daftar sayuran yang disukai Jongdae.

"Kita bicarakan ini nanti, Baek," Luhan memijat kepalanya yang penat ketika dia tidak bisa langsung mengerti tentang materi yang sedang dia pelajari. "Aku sedang sibuk."

Baekhyun yang sedang menceritakan acara shopping ke mall bersama teman-temannya kemarin berhenti, melirik Luhan dan mengerucutkan bibirnya. "Kau hanya sedang mengerjakan soal?"

"Ya. Itu artinya aku sedang sibuk." Luhan menjawab singkat, dan kembali berkutat dengan buku soalnya, mendapati Baekhyun berhenti dan keadaan berubah tenang.

Baekhyun yang duduk di kasur Luhan merubah posisinya menjadi bersila dan menyilangkan tangannya di dada. "Aku hanya ingin membagi ceritaku. Jadi sekarang kau lebih melilih soal-soal dibanding aku." Baekhyun semakin mengerucutkan bibirnya.

Luhan tidak menjawab sama sekali, pandangannya terpaku pada buku tugas dan soal yang ada di hadapannya sekarang. "Bahkan sekarang kau sudah berani mengabaikanku!"

"Byun Baekhyun, kau terlalu berisik. Nanti setelah aku selesai kau boleh cerita, untuk sekarang tahanlah. Kepalaku jadi pusing." Baekhyun benar-benar tidak bersuara lagi, tapi matanya tidak pindah; memandang Luhan. "Baiklah, aku akan pergi keluar sebentar. Nanti aku akan kembali lagi setelah kau selesai mengerjakannya. Kan kau harus fokus."

Kali ini Luhan mengangkat kepalanya, melihat Baekhyun yang membereskan barangnya dan bersiap-siap. Akhirnya, Baekhyun dapat mengerti. "Terima kasih, Baek. Aku tau kau bisa mengerti-"

"Aku tidak sedang mengerti. Aku sedang marah." Baekhyun hanya memandang Luhan tajam, meninggalkan Luhan dengan pikirannya sendiri yang tidak dia mengerti tentang Baekhyun.

"Hari ini aku bisa mengantarmu pulang, Minseok." Seperti biasa, Jongdae mengantarkan Minseok ke sekolah dan mereka sudah sampai di parkiran. "Aku akan menyelesaikan rapat hari ini lebih cepat, Aku juga ingin mengajakmu ke mall."

"Ke mall? Tumben sekali?" Minseok mengerutkan keningnya, bingung. "Memangnya ada keperluan apa?"

Jongdae mengambil helm yang diberikan Minseok, menyimpannya dan mengikuti langkah Minseok ke lingkungan sekolah. "tidak ada apa-apa, hanya ingin mengajakmu jalan-jalan."

"mengajakku kencan, begitu?" Pipi Jongdae merona merah. "Yah, kau boleh menganggapnya begitu kalau kau suka," Sebenarnya mengajakmu kencan sih, hanya mengatakannya secara halus.

"Kau tidak perlu berlatih soal? Lebih baik kau fokus. Ujian akhir semakin dekat."

"Aku sudah bosan berlatih." Jawab Jongdae santai. "Lebih baik berjalan-jalan denganmu, kan? Kau juga butuh jalan-jalan. Setiap hari kau pulang sendirian dan dirumah juga sendirian sementara aku mengerjakan soal terus."

Minseok tidak tau ini senyumnya yang keberapa, tapi tanpa sadar dia sudah tersenyum. "Dasar anak pintar yang sombong," balasnya sambil memukul kecil tangan Jongdae, "Tapi aku menerima tawaran kencanmu."

Jongdae membalas dengan senyuman lebar andalannya, tertawa kecil. "Sekarang aku tahu kenapa banyak lelaki yang menyukaimu, Minseok," Sepanjang jalan menuju kelas Minseok, Jongdae memperhatikannya. "Aku selalu merasa bahagia ketika bersamamu. Terima kasih sudah bersedia menghangatkan rumahku dan kembali tersenyum."

Rasanya Minseok hampir menangis, Tidak tahu kalau ada orang yang merasa bahagia dengannya. "Kau juga sudah banyak membantuku. Kau melakukan banyak hal, termasuk membagi rumahmu denganku."

"Aku tidak menyesal," Jawab Jongdae sambil tertawa, "Tentu saja. Itu hal terbaik yang pernah aku pilih." Tidak ada sekalipun dia tidak tersenyum ketika bersama dengan Minseok. Tidak tahu bagaimana, kehadiran Minseok selalu membuat nyaman. "Jangan lupa, nanti aku jemput di kelasmu, ya?"

Minseok mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Ketika Jongdae tidak kunjung datang, Minseok mengirim pesan kalau dia ingin menunggu dikantin saja, kakinya sudah lelah berdiri. Dengan sebuah permintaan maaf, Jongdae juga berjanji tidak akan lebih lama lagi. Menunggu adalah hal paling membosankan, apalagi menunggu di sekolah.

Pikirannya jadi teringat akan Luhan. Sebenarnya, sampai hari ini dia tidak bisa melupakan Luhan. Dulu, lelaki itu yang selalu ada disisinya. Dia memberikan waktunya hanya untuk Luhan, tidak ada siapa-siapa lagi. Tapi mengingat dia bukan satu-satunya yang diinginkan Luhan, membuatnya membenci lelaki itu. Luhan tidak perlu mengasihaninya sejauh ini, sampai menyakiti hatinya dan membuatnya menangis tanpa sepengetahuan Jongdae. Dia juga sadar, Jongdae sudah berusaha untuk mengembalikan senyumnya dan membuatnya melupakan Luhan.

Minseok mendapati gambaran bayangan hitam yang menghampirinya. Ketika dia sadar dari lamunannya, itu bukan Jongdae. Tapi siapapun itu, Minseok tidak mengenalnya.

"Ke atap sekolah." Yang paling pendek dari mereka berbicara. Minseok ditarik dengan paksa oleh ketiga orang itu, dia tidak bisa melawan.

Salah satu dari mereka menarik kasar Minseok sampai dia jatuh dan menabrak tembok. Membuka kacamata dan masker hitamnya. Itu Luhan. "Hai, Minseok. Kita bertemu lagi. Dan pertemuan kali ini, tidak akan menyenangkan."

Dua lelaki lain ikut membuka kacamata dan maskernya. Chanyeol dan Sehun. "Kau harus tau siapa saja orang yang akan membuatmu terluka." Chanyeol memaksa Minseok berdiri dan bersender di tembok. "Luhan sudah memberikan luka di hatimu, aku akan membantu memberi luka secara fisik."

Chanyeol menendang dan menginjak Minseok di kepala dan dadanya. Membuat Minseok terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Minseok hanya bisa meringkuk, tidak tau kenapa dia hanya bisa menerima dan berharap Jongdae akan datang. Masih belum cukup, Sehun mencekik lehernya kuat sampai Minseok berdiri dan bersender di tembok lagi. Menghajarnya dengan kepalan tangan kuat. Mengangkat Minseok sampai sejajar dengan tinggi Sehun, dan membenturkan kepalanya pada tembok dengan keras.

Setelah itu, kedua lelaki itu meninggalkan dia sendiri dengan Luhan. Situasi yang sangat tidak dia harapkan. Dengan wajah lebam dan darah di sudut bibirnya, Minseok bertahan tanpa air mata sedangkan Luhan menatapnya dengan senyum. "Aku harap setelah ini kau akan membenciku. Jangan hadir lagi di pikiran dan mimpiku, Kim Minseok. Jangan membuatku kembali mencintaimu."

Minseok tidak mengerti arti semua itu. Dia hanya melihat Luhan berjalan meninggalkannya disudut atap dengan darah yang juga keluar dari kepalanya. Dia mencoba bangun, tapi pandangannya kabur dan kepalanya berat. Hal terakhir yang dia lihat adalah beberapa orang yang menghampirinya, dan salah satunya adalah Jongdae.

"Brengsek!" Jongdae mengumpat keras begitu Minseok sampai dirumah sakit dengan selamat. "Kenapa tidak ada yang melihat sesuatu, hah? Memang sekolah begitu sepi sampai tidak ada siapapun di kantin?!"

"Jam sore kantin memang sudah tutup, dan yang tersisa di sekolah hanya tinggal pengurus organisasi saja-"

"Harusnya begitu, kan?" Jongdae memotong cepat. Emosinya benar-benar berada di puncak kepalanya. "orang yang memukul Minseok sampai pingsan tidak mungkin pengurus kan?"

"Tentu saja, Jongdae. kami semua baru meninggalkan ruangan setelahmu." Joonmyeon menjawab semua pertanyaan Jongdae dengan takut. Sebagai ketua organisasi, dia bertanggung jawab atas siswa yang masih berkeliaran di jam sore.

"Aku benar-benar marah." Jawab Jongdae sambil mendengus nafas kasar. "Bagaimana kalau sesuatu terjadi dengan Minseok."

"Aku juga tidak berharap hal seperti itu akan terjadi," Jawab Joonmyeon. "Kita akan bertanya pada Minseok ketika dia sadar. Lebih baik sekarang kau beristirahat, masih ada Tao dan Yifan yang menjaga Minseok."

"tidak perlu, lebih baik kalian pulang saja." Jongdae duduk di depan ruangan Minseok, kepalanya menghadap langit-langit rumah sakit. "Minseok tanggung jawabku."

Joonmyeon membalas dengan senyum. "Kami akan membantumu, bagaimanapun hal ini terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah juga akan bertanggung jawab."

Minseok sadar setelah dia koma selama tiga hari. Selama itu juga, Jongdae tidak masuk sekolah. Untuk masalah ini, Sekolah bertanggung jawab atas semua biaya sampai Minseok keluar dari rumah sakit.

"Aku benar-benar takut kehilanganmu, Kim Minseok." Jongdae membuka pembicaraan, ketika dia sedang menyuapi Minseoknya dengan bubur. "Ceritakan padaku apa yang terjadi."

Minseok menelan dengan susah payah, menarik nafas dalam. "Aku tidak tau siapa saja mereka, tapi mereka meminta uang padaku. Mungkin mereka tidak tau aku ini orang miskin atau apa, jadi karena aku tidak memiliki uang aku dihajar sampai pingsan."

Minseok yakin, berbohong adalah pilihan yang tepat. Menutupi kesalahan Luhan, lelaki brengsek yang masih dicintainya itu supaya tidak berurusan dengan amarah Jongdae dan teman-temannya. "Tetap saja, mereka harus ditemukan dan aku akan memberikan pelajaran pada mereka."

Minseok kaget setengah mati, membulatkan matanya. "Kumohon Jongdae, jangan. Sebentar lagi ujian akhir, aku tidak ingin kau terlibat masalah. Ini tidak perlu diperpanjang."

"Bagaimana tidak? Aku sangat yakin orang yang melakukan ini padamu pasti anak sekolah kita." Jawab Jongdae sambil memberikan air pada Minseok. "Dia tau lokasi supaya tidak ada yang melihatmu."

Minseok juga khawatir, takut Jongdae akan nekat melakukan sesuatu. Tapi dia juga senang Jongdae berhasil menemukannya sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri. "Bagaimana kau bisa menemukanku waktu itu?"

"Aku benar-benar khawatir ketika tidak mendapatimu di kantin. Benar-benar takut. Kebetulan semua pengurus tau aku akan pulang bersamamu, mereka membantu mencarimu juga. Semua kelas dan lab sudah dikunci jadi tidak mungkin kau berada disana. Satu-satunya tempat yang terpencil adalah atap sekolah. Jadi kami mencari disana, dan aku menemukanmu dibalik tembok itu."

Ini kali pertama Minseok melihat Jongdae menangis. "Aku minta maaf. Ini semua salahku," Jongdae meraih tangan Minseok, mengusapnya halus dan menggenggam tangan itu. "Seharusnya kau pulang duluan seperti biasanya-"

"Bukan salahmu," Minseok memotong kalimat Jongdae, balas memegang tangan Jongdae. "Bukan salah siapa-siapa, seharusnya aku yang meminta maaf. Kita tidak jadi kencan ke mall."

Jongdae jadi tertawa mendengar balasan Minseok, "Aku berjanji akan mengajakmu kencan setelah ujian akhir ini, Minseok. Kali ini kau akan tinggal di kamar dan tidak boleh kemana-mana."

"Waktu itu aku hanya kaget jadi tidak bisa melawan," Jawab Minseok, mengamati gurat khawatir Jongdae, "Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Kalau begitu, buktikan itu padaku," Jongdae meletakkan mangkuk bubur yang dia pegang di nakas sebelah Minseok. "Aku juga berharap kau berhenti menangis untuk lelaki brengsek itu."

Minseok hanya bisa membulatkan matanya, terkejut. "Selama kau koma, kau terus mengucapkan namanya dan menangis." Jawab Jongdae sambil menunduk. "Aku tidak tau harus bagaimana. Aku tidak mau kau terus terluka karena dia."

Minseok terdiam membisu. Menunduk, tidak bisa mengatakan apa-apa. Ternyata tanpa dia sadari, dia juga menyakiti perasaan Jongdae dengan kebenaran.

"Aku tau melupakannya mungkin sulit, tapi dia tidak baik untukmu. Aku tidak percaya kau masih bisa tersenyum setiap hari diatas luka yang dia berikan padamu."

"Aku minta maaf. Aku bukannya tidak bisa melupakannya. Tapi, dia memberikan luka yang cukup untuk membuatku terus mengingatnya." Minseok memandang Jongdae yang hanya menunduk, dia juga takut Jongdae akan melakukan hal-hal aneh.

"Kau istirahat saja, Aku akan kembali dan mengambil beberapa pakaian." Kata Jongdae akhirnya sambil beranjak bangun dari kursinya. "menurut dokter, besok kau sudah boleh pulang."

"Kalau begitu kau jemput aku besok? Hari ini tidak perlu kembali lagi." Jawab Minseok, kali ini dia benar-benar sudah menyusahkan lelaki itu. "Apa yang kau bicarakan? kau mau aku mati khawatir dirumah? Aku akan kembali mungkin 2-3 jam lagi." Bantah Jongdae, sambil mengambil helmnya dan berjalan menuju pintu.

"Jongdae," Panggil Minseok ketika dia sudah hendak membuka pintu kamarnya, "Terima kasih, aku benar-benar sudah merepotkanmu."

Jongdae membalas dengan senyumnya, "Tidak apa-apa, aku sudah sangat senang melihatmu kembali lagi."

Setelah Jongdae keluar dari kamar Minseok, Joonmyeon dan Yifan juga ikut bangkit berdiri.

"Luhan, kita akan menemui Luhan."

Joonmyeon melangkahkan kaki paling gusar. Sebagai anak teladan disekolah, berkelahi bukan pilihan untuknya. Berbeda dengan Yifan dan Jongdae yang senang berkelahi, melangkah dengan mantap didepannya. "Aku mengerti kalau kita melihat Luhan waktu itu, tapi bukan berarti dia pelakunya," Buka Joonmyeon. Wajahnya memberikan gurat khawatir paling jelas.

Yifan menoleh sedikit ke arah Joonmyeon, "Tidak tahu kenapa, aku justru berpikir kalau dia pasti pelakunya," Jawab Yifan dan melihat kearah Jongdae. "Setidaknya, aku tidak ingin ada perkelahian diantara kalian." Joonmyeon menyerah untuk menghentikan semua ini.

Mereka sampai di depan rumah Luhan, memencet bel beberapa kali. Tidak berapa lama, Baekhyun lah yang membuka pintu. "Yifan? Ada keperluan apa?"

"Yang pasti bukan denganmu, kecil," Jawab Yifan ketus dan melewati pandangannya ke atas kepala Baekhyun, melihat isi rumah itu. "Panggilkan Luhan."

Baekhyun mengerjapkan matanya bingung, "Ada keperluan apa dengan Luhan?" Yifan memutar matanya lelah, Tidak tahan lagi untuk langsung melihat Luhan. "Cerewet sekali, sih? Panggilkan saja!"

Baekhyun bergetar kaget menanggapi kalimat ketus Yifan, membuka pintu lebih lebar lagi, "Si-Silahkan masuk kalau begitu." Lalu Baekhyun berlalu masuk ke dalam dan tidak lama dia keluar bersama Luhan. "Ada apa?"

"Suruh si kecil itu masuk, kami tidak punya urusan dengannya," Kembali, Yifan terus memberikan jawaban ketus. "Duduk disitu, Luhan."

Yifan memimpin pertemuan kali ini dengan sangat baik, bukan Joonmyeon yang biasanya memimpin rapat. "Tiga hari lalu, aku lihat kau masih berkeliaran di lingkungan sekolah di sore hari. Kau tau kan, pengurus organisasi sedang rapat dan hanya kami lah yang masih berhak berada disekolah. Kau ada keperluan apa waktu itu?"

Luhan terdiam sesaat, memandang Yifan tenang. "Aku memang kembali lagi untuk mengambil buku tugasku di rak barang tertinggal."

"Lalu?" Yifan tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, "Aku tau kau melakukan hal lain,"

Luhan memandang mereka satu persatu dengan tatapan bingung, "Hal lain apa?"

"Misalnya, menghajar Kim Minseok sampai pingsan?" Tidak ada yang mengatakan apapun lagi. Jongdae memandang Yifan tenang, dia mengajak orang yang tepat. "menghajar Minseok apa?" Jawab Luhan sambil mengerutkan keningnya.

"Minseok koma selama tiga hari, dan kami yakin kau yang membuatnya seperti itu." Sambung Yifan yang sudah tidak sabar ingin menangkap basah Luhan. "Aku tidak tahu, dan aku rasa itu tidak ada hubungannya denganku." Jawab Luhan sambil bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu. "Kalau tidak ada urusan lain, sebaiknya kalian segera pergi. Teman-teman, ujian akhir 4 hari lagi. Aku hanya mengingatkan." Kata Luhan sambil menebar senyumnya.

Yifan mendengus kesal, tidak habis pikir. "Baiklah, aku harap kau akan mengaku lain kali." Yifan sudah mengepalkan tinjunya kuat, siap menghajar Luhan. Tapi Joonmyeon menarik tangan kekasihnya itu. "Wu Yifan, kumohon."

Suasana berubah dingin, Jongdae tidak kalah kesal dengan Yifan. Masalahnya, dia sangat yakin lelaki itu adalah penjahat dibalik semua ini. Tapi dia juga mengingat Joonmyeon, Joonmyeon pasti tidak suka kalau namanya tercemar akibat berkelahi; apalagi kalau ada yang melukai kekasihnya itu. "Yifan, kita tinggalkan saja."

Yifan hanya mendesah putus asa dan kesal, kecewa karena tidak memiliki bukti. "Luhan, lebih baik kau tahu apa yang kau lakukan. Jangan berurusan dengan Wu Yifan, kau tahu itu." Kata Yifan ketika mereka berjalan menutup pintu yang telah dibukakan oleh Luhan.

Luhan menutup pintu itu perlahan, sambil melihat ketiga temannya berlalu meninggalkan rumahnya. Akhirnya, dia bisa bernafas lagi.

"Sial."

"Luhan? Apa maksud Yifan? Kau berkelahi dengan Minseok?" Baekhyun keluar dari balik kamar, rupanya dia mendengar percakapan mereka.

Luhan menghela nafas berat. "Bertemu dengannya saja tidak, Sayang. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, yang pasti tidak ada hubungannya denganku." Jawab Luhan sambil merangkul Baekhyun dan kembali ke kamarnya.

"Kau benar-benar mencurigakan, kau tau?" Baekhyun memberi tatapan menyelidik untuk Luhan, tidak tahu sudah yang keberapa. "Aku tidak suka melihatmu begini."

Luhan membalas tatapan menyelidik itu, "Tunggu sampai ujian akhir selesai, aku akan mengajakmu keluar, Baek. Lagipula sekarang kau juga harus belajar dan fokus."

Bertemu dengannya saja tidak apanya. Aku bertemu dengan Minseok, bahkan melihat wajahnya yang menyedihkan itu. Tidak berbicara sedikitpun, menampar saja tidak. Minseok tidak seperti mu Baekhyun, cerewet.

Luhan benar-benar pusing, dia sudah tidak tahan dengan Baekhyun. Suara cerewetnya, kemauannya yang banyak, perintah-perintah yang dia berikan. Ditambah sifat keras kepalanya yang sangat menjengkelkan dan tidak merubah suasana menjadi lebih baik.

Sangat bukan Minseok. Luhan tidak melihat Minseok di dalam Baekhyun. Dia kira, Baekhyun akan menjadi segalanya. Tapi kenyataannya, mendekati saja tidak. Baekhyun lebih tampan – tapi bukan itu yang Luhan cari. Semua yang Luhan butuhkan ada pada Minseok, tapi dia sudah membuang Minseok; melukainya dan menyiksanya. Kebahagiaan yang Luhan dapat bersama Baekhyun hanya terukur dimasa-masa awal. membagi ciuman dan pelukan, hanya terjadi pada masa awal mereka. Semakin lama, Luhan bisa melihat sifat Baekhyun yang sebenarnya.

"Luhan, tolong jemput aku dan teman-teman di toko buku Jin"

"Luhan, aku tidak bawa uang. Bisa tolong kau yang bayar?"

"Aku tidak mau makan ini, kemarin kan sudah." "Aku juga tidak mau disini, aku bosan."

Sifat Baekhyun yang pemarah, yang Luhan tidak bisa mengerti. Luhan tidak tahu kapan dia marah kapan dia tidak, karena semua tergantung pada Baekhyun. Ketika dia bilang tidak, dia bisa saja sedang menyimpan dendam. Dan ketika Luhan tidak bisa menyadari perubahan, Baekhyun menjadi semakin cerewet :

"Kau tidak mengerti lagi tentangku" "Kau benar-benar sudah tidak mengerti lagi"

"Tidak, aku tidak marah. Kau saja yang berlebihan." "Aku bilang aku tidak marah!"

"Kau sudah tidak peduli lagi padaku, untuk apa bertanya lagi?"

Minseok sedang asik memasak ketika dia mendengar ada yang mengetuk pintu. "Jongdae, ada yang mengetuk pintu."

Jongdae bangkit dari duduknya di dapur dan berjalan menuju pintu, membukanya, dan mengerutkan keningnya dengan gurat tidak suka. "Luhan?"

Luhan mendongak, mendengar namanya dipanggil. "Oh, Jongdae. Aku pikir Minseok yang akan membukakan pintu."

"Dia sedang sibuk." Jawab Jongdae singkat, tatapannya lurus ke mata Luhan, sementara Luhan hanya menatap tenang. "Aku yang masuk atau dia yang keluar, kalau begitu?"

Jongdae hanya mendengus kasar menanggapi pertanyaan Luhan, tapi kemudian dia membuka pintu lebih lebar. "Silahkan masuk," Luhan mengikuti langkah Jongdae yang duduk di ruang tamu, menatapnya. "Aku juga punya urusan denganmu Jongdae."

Jongdae menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?" Luhan ikut duduk di sofa panjang itu, menyilangkan sebelah kakinya, "Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Langsung saja ke intinya." Jawabnya singkat, ia menunggu. Jantungnya juga berdegup kencang, dia merasa ada sesuatu yang berhubungan dengan Minseok.

"Mengenai Minseok," Kata Luhan, menghela nafas berat. "Aku yang membuatnya babak belur seperti itu."

Jongdae membulatkan matanya, kaget. Detik berikutnya dia langsung bangkit berdiri, dengan tinju yang terkepal kuat di tangan kanannya. Mengangkatnya tinggi dan mendaratkannya di pipi kiri Luhan. "Pengecut! Tidak berani mengaku waktu itu, hah? Bajingan! " Jongdae terus mendaratkan tinjunya di pipi Luhan, membuat wajah pucat itu menjadi merah dan mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya.

Luhan tidak membalas sama sekali, hanya menunduk. Badannya tersungkur duduk tapi dia terus bangun lagi, walaupun dia tau dia hanya akan mendapatkan tinju dari Jongdae. "Aku minta maaf."

Sementara suara menggoreng menutupi apa yang sedang terjadi di ruang tamu, Minseok gelisah kenapa Jongdae tidak kunjung kembali ke dapur. Akhirnya dia memutuskan untuk mematikan kompornya dan menyusul Jongdae. Tapi yang dia lihat ketika dia sampai bukan Cuma Jongdae, tapi juga ada Luhan. Yang berdarah-darah.

"Kim Jongdae!" Minseok menjerit histeris melihat sahabatnya memukuli lelaki di hadapannya seperti orang kesetanan seperti itu. "Sudah, berhenti!"

Mereka berdua melihat Minseok, tapi Luhan tidak bisa terus mengangkat wajahnya karena pelipisnya juga sudah berdarah-darah.

Jongdae menjauhi badan Luhan, kepalan tangannya berlumuran darah. Menghapus keringat didahinya dengan tangannya yang sama, tidak peduli kalau darah Luhan juga tercetak di dahinya. "Bajingan ini yang membuatmu terluka." Jongdae berkata marah, benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. "Minseok sudah susah menjalani setiap hari dengan luka yang kau berikan, apa kau perlu menghajarnya? Bahkan memukul saja dia tidak bisa, Luhan. Kau sudah kehilangan akal sehatmu." Jongdae melanjutkan dengan nada putus asa.

"Aku tau." Luhan menjawab lirih, menghapus darah yang ada di sudut mulutnya. "Aku melakukannya karena aku mencintainya."

Jongdae menarik sudut bibirnya tajam, bernafas kasar melalu sudut bibir itu. "Oh, kau akan segera membunuhnya juga, kalau begitu."

Minseok tidak bisa mengerti situasi dingin yang sedang berada diantaranya sekarang. Dia tidak tahu harus bagaimana, suasananya benar-benar canggung. "Hai, Minseok. Aku datang untuk menanyakan kabarmu." Luhan memaksakan sudut bibirnya untuk naik meskipun rasanya sangat perih, pandangannya juga kabur.

Minseok benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin membantu Luhan, tapi takut itu akan melukai Jongdae. Dia hanya menatap Jongdae, matanya bertanya apa yang harus dia lakukan.

"Dia datang karena ada urusan denganmu, Minseok." Jawab Jongdae, seolah mengerti apa yang ditanyakan Minseok. "Aku akan pergi keluar, aku berikan kalian waktu berdua. Aku harap kau sudah tidak ada disini ketika aku kembali, Luhan. Kalau kau tidak ingin aku menghajarmu untuk yang kedua kalinya."

Minseok membantu mengobati luka yang ada di wajah Luhan, semuanya tampak parah. Sedikit-sedikit Luhan meringis ketika kapas ber-alkhohol itu mengenai lukanya. "Aku minta maaf, Minseok. Aku kira, dengan begitu aku akan berhenti mencintaimu. Tapi aku malah semakin merindukanmu."

Minseok tidak mengerti. "Kau kan memang tidak pernah mencintaiku," Jawab Minseok singkat. "Kau mengatakannya. Chanyeol mengatakannya."

Luhan mendesah lelah, dia mengakui ini salahnya. "Aku-" dia berhenti. "Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Kau pasti tidak percaya."

"Mungkin, tapi aku sudah memaafkanmu." Jawab Minseok yang masih fokus membersihkan luka-luka itu. "Aku menghargai kalau kau mau menjelaskan sesuatu."

"Kau bersedia berjalan-jalan denganku?" tanya Luhan. "Dengan luka-luka yang ada diwajahmu?" Minseok balik bertanya sambil mengerutkan keningnya. "Baiklah."

"Aku memang sempat mencintai Baekhyun." Luhan membuka pembicaraan ketika Minseok selesai mengirim pesan pada Jongdae dan keluar dari rumah. "Tapi semua sikapnya, berbanding terbalik denganmu."

Minseok hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lanjutkan,"

"Kau benar-benar mengerti tentangku. Kau banyak mendengarkan." Luhan melanjutkan sedikit-sedikit, meringis di setiap kalimatnya. "Sementara Baekhyun, dia hanya peduli pada uangku."

"Kau juga bilang aku begitu, kan. Aku hanya butuh uangmu."

"Aku hanya mengatakan itu agar kau membenciku. Tidak mudah kan, membenci seseorang yang sudah menghabiskan waktu dua tahun denganmu?"

"Setelah kau mengatakan itu juga masih tidak mudah. Setelah temanmu menghajarku juga masih tidak mudah." Jawab Minseok, menanggapi pertanyaan Luhan. "Tentu kau harus berpikir kenapa aku tidak memberi tahu Jongdae kalau waktu itu kau pelakunya."

"kau memang memiliki hati yang terbaik, Kim Minseok." Balas Luhan, memberikan senyumnya yang terbaik untuk Minseok. "aku tidak menyesal masih mencintaimu sampai sekarang."

Minseok hanya terdiam, lebih memilih untuk mendengarkan dan tidak banyak berbicara. "Belum lagi, waktu itu kita sering bertengkar, ketika Baekhyun hadir dan menemaniku. Aku tidak sibuk, Minseok. Aku bersama Baekhyun."

"Aku tidak kaget." Jawab Minseok tenang. "Aku hanya berusaha berpikir positif walaupun aku tau kau menemukan kebahagiaan lain."

"Aku minta maaf, aku tidak sadar sudah melukaimu." Luhan menunduk dalam, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. "Aku mencintaimu, Minseok. Aku bahagia bersamamu. Mau kah kau menjadi pacarku? Lagi?"

Luhan mengeluarkan kotak hitam kecil dari sakunya dan membukanya. Luhan mengeluarkan satu buah cincin dan menunjukkan jari manis kanannya "Lihat, aku membelikan sesuatu yang serasi untuk kita," Melihat itu, Minseok hanya tertawa. "Untuk apa? Kau kembali hanya untuk pergi."

Luhan mempertahankan senyumnya sambil menutup kembali kotak itu dan memasukkannya ke sakunya. "Kau tidak perlu menjawab hari ini," Begitu dia mendapat penolakan dari Minseok. "Ayo kita kembali ke rumahmu- rumah Jongdae."

Jongdae yang membukakan pintu. "Aku masuk ya," Minseok menoleh sedikit kearah Luhan, dan mendapat anggukan darinya. "Sampai bertemu lagi Minseok."

Sementara itu, Jongdae tetap bertahan di ambang pintu. Terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. "Kalau begitu aku juga pulang, Jongdae. Aku minta maaf sudah mengganggumu."

Luhan membalikkan badannya, tapi dia berhenti ketika mendengar suara Jongdae memanggilnya. "Aku juga minta maaf. Menghajarmu." Jongdae berdeham sedikit kemudian melanjutkan kalimatnya, "bisa ku bilang –tidak sengaja. Pokoknya aku minta maaf."

"Ya, ya, tentu saja kau tidak sengaja. Aku yang sudah membuatmu marah, kau sudah susah payah menjaga Minseok tapi aku dengan mudah melukainya."

Jongdae akhirnya bisa tersenyum dengan lega, "Aku akan menghajarmu kalau kau melakukannya lagi." Dia memasukkan satu tangannya ke dalam sakunya. "Aku tau."

Dia tidak tahu rasanya kehilangan Minseok, sampai dia benar-benar kehilangan dan merasakan kosong yang menyakitkan.

Luhan berjalan pulang –sengaja tidak membawa mobil- melangkahkan kakinya menuju halte bus. Rasa pahit mulai merambat tangannya, yang tidak sempat memegang Minseok walaupun dia sangat ingin. Luhan sudah memberikan Minseok rasa sakit dengan berkata jahat –ditambah luka lebam yang terlihat. Perlahan-lahan wajahnya terasa sakit; dia kehilangan sentuhan Minseok.

Dia tidak tahu rasanya kehilangan Minseok, sampai dia benar-benar kehilangan dan merasakan kosong yang menyakitkan.

Luhan duduk di antrian paling belakang, sebenarnya tidak ingin pulang. Luhan masih ingin melihat Minseok lebih lama lagi. Belum lagi si cerewet Baekhyun, harus bagaimana menjelaskannya.

"Luhan!"

Luhan menoleh ke asal suara. "Benar-benar sial." -kalau tau seperti ini- dia tidak akan bilang akan ke rumah Jongdae. Itu Baekhyun.

"Luhan, kau tidak datang!" Belum sampai, Baekhyun sudah menggerutu sambil menghentak-hentakkan kakinya disetiap langkahnya. "Kau juga mengabaikan pesan-pesanku!" Luhan tidak mengangkat kepalanya sama sekali. Tidak berniat menanggapi.

"Luhan!" Baekhyun memukul tangan Luhan sekali, menyadarkannya kalau disana ada seseorang sedang berbicara dengannya. "Kau tau aku tidak suka saat kau mengabaikanku!" Luhan mengangkat kepalanya sedikit, memperlihatkan wajahnya yang penuh plester pada Baekhyun.

Baekhyun membentuk mulutnya seperti O besar dan menutupnya dengan satu tangan, terkejut. "Apa yang terjadi padamu!" Baekhyun menjerit, tapi itu tidak memperbaiki suasana hati Luhan. "Kau-"

"Bukan urusanmu." Bus sudah datang. Luhan bangun dari tempat duduknya, tidak memandang Baekhyun sama sekali. "Lu, jelaskan sesuatu padaku!" Baekhyun terus berteriak sementara Luhan melangkahkan kakinya perlahan menuju bus. Benar-benar tidak menginginkan Baekhyun ataupun suara melengkingnya sekarang.

Luhan berjalan menaiki bus, dibelakangnya ada Baekhyun yang masih setia mengikut dengan wajah mengkerut karena tidak mendapatkan penjelasan apa-apa. "Aku lelah, Baek. Berhenti menemuiku untuk sementara." Setelahnya Luhan hilang dibalik pintu yang menutup.

TBC

a/n: Oke. jadi ini adalah fic pertama gue di ffn -masih jaman ga si author noob- sesuai dengan yang diatas, sisa satu chapter lagi untuk ff ini. jadi bagi kalian yang mau baca endingnya, dimohon review dan follownya ya ^o^ berhubung gue author baru, gue mau lihat apa ff pertama gue berhasil atau ga, masukan apapun bebas kalian ketik di kolom review.

Dimohon dukungannya yaaaa!

Yaudah, segini dulu untuk perkenalan. kita bertemu di chapter selanjutnya, makasih udah berhenti dan bersedia baca! 💋💋💋

-Reyna.