Prolog:
Pada suatu hari, sampailah kita pada masa damai di Konoha. Perang sudah selesai, Akatsuki sudah musnah, Sasuke kembali ke Konoha, dan Naruto sedang mengejar mimpinya untuk menjadi Hokage dengan terlebih dahulu berniat mengambil ujian chuunin. Sasuke dan Naruto telah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, dan semuanya baik-baik saja, sampai... mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke taraf yang lebih tinggi; berhubungan intim.
Masalahnya?
Keduanya ingin menjadi seme dan tidak ada yang berminat untuk menjadi uke!
Maka, dimulailah sebuah 'persaingan' tak tertulis di antara mereka di mana orang yang menjadi seme dalam hubungan mereka haruslah terlebih dahulu berhasil meluluhkan hati yang satu sampai-sampai kekasihnya tersebut sudi menjadi uke.
SasuNaru versus NaruSasu—GAME START.
SasuNaru vs. NaruSasu
a drabble game by k i z u n a s
.
Naruto is a manga created by Masashi Kishimoto, and we do NOT claim anything from it, nor we create any profit from making this. This is purely fan-made, and made by fun and entertaining purposes only.
—1 Januari—
Pukul tujuh pagi, dan jam beker di kamar Naruto berbunyi. Sang empunya kamar menggeliat, menjulurkan sebelah tangan untuk mematikan bunyi alarm. Kristal biru itu membuka dengan semangat.
'Akhirnya.'
Ia melompat dari tempat tidurnya—dan menyesali perbuatannya karena luka di kakinya terbuka kembali, kemudian mengambil handuk dengan langkah terseret dan bergegas pergi ke kamar mandi. Namun, senyum sumringah tak bisa disembunyikan dari bibirnya, jantungnya berdebar kencang. Ingin rasanya ia terbang ke langit-langit kamarnya, berteriak dari atas gunung tempat wajah-wajah Hokage bertengger, mengelilingi Konoha 500 kali sembari menemani Lee—eh, salah. Pokoknya dia senang, amat senang.
Bagaimana ia tidak senang, coba?
Perang sudah usai. Dunia ninja telah aman. Seluruh Akatsuki telah musnah, begitu pula dengan OrochiKabuto—entah bagaimana makhluk itu dipanggil—tak lupa juga dengan Danzo dan Madara jadi-jadian. Ia telah mengenal nama Kyuubi, ia juga telah berhasil berteman dengan Bijuu-Bijuu lain—oh, sempurna.
Tapi ada satu hal yang benar-benar membuatnya senang, amat senang. Benar-benar senang sampai tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.
Dan tahukah apa itu?
Sasuke pulang.
PULANG.
P-U-L-A-N-G.
Dan yang membuatnya lebih merasakan euforia adalah bujukannya kepada Nenek Tsunade yang akhirnya mempan—Sasuke tidak dieksekusi. Ia dibolehkan pulang, kembali ke Konoha, kembali ke pelukannya—ehem, ralat, kembali ke tim 7, kembali menjadi shinobi Konoha, kembali memakai ikat kepala berlambang daun. Ia kembali. Ia pulang. Ya Tuhan, tidak ada lagi momen yang lebih menyenangkan daripada ini!
Berbanding terbalik dengan saat-saat di mana ia mengejar Sasuke—yang terasa begituuu luaaamaaa—detik-detik saat perang berakhir kemarin terasa begitu cepat.
Ia di sana, bersama-sama dengan shinobi Konoha lain dan juga para bijuu dan jinchuuriki-nya, bertarung bersama. Sasuke ada di sana... Naruto juga tidak begitu ingat detilnya. Yang ia ingat hanyalah keinginannya untuk menerjang pemuda itu, memeluknya, menyatakan perasaannya dan... seterusnya kau tahu.
Dan... ia berniat untuk melaksanakan keinginannya itu hari ini.
Naruto menggenggam erat ikat kepala milik Sasuke, mengecupnya, sebelum akhirnya melangkah keluar dari apartemennya.
'Sasuke...'
"..."
Sumpek.
Rumah ini sumpek, sumpah.
Yah, memangnya siapa yang mau datang ke kompleks perumahan Uchiha, coba? Siapa juga yang rela membersihkan rumahnya, coba? Satu-satunya orang yang rela melakukan itu telah punya kegiatan yang jauh lebih penting, yaitu... uhm... mengejarnya.
Sasuke merasakan keinginan lebih untuk menjedotkan kepalanya ke tatami.
Tuhan, kenapa ia begitu bodoh selama ini.
Ia membunuh Kakaknya sendiri, dan malah ingin balas dendam ke Konoha. Ditipu sama Madara jadi-jadian, pula. Aduh. Kemarin apa sih yang dia pikirkan? Hanya balas dendam?
Menghela napas, ia melirik ke atas meja. Ada satu set baju baru... yah, Tsunade memberikan itu padanya kemarin. Setidaknya meski ia sudah diterima kembali, jangan pakai baju yang kesannya minta di-rape... uhuk, salah. Maksudnya, jangan pakai baju dari Akatsuki maupun Orochimaru. Bagaimanapun, ia diterima kembali sebagai shinobi Konoha. Terima kasih untuk Naruto.
Ngomong-ngomong soal si Bodoh itu...
Sasuke mengelus baju yang ada di hadapannya, namun pikirannya terbang ke tempat lain. Begitu banyak yang ada di pikirannya saat ini sampai dia tidak bisa memilih untuk memikirkan yang mana terlebih dahulu—tapi yang jelas hatinya memaksanya untuk memikirkan pemuda itu.
Pemuda berambut pirang itu, yang benar-benar memenuhi janjinya untuk membawa Sasuke pulang bagaimanapun caranya, yang telah berubah menjadi kuat untuk melampauinya, yang telah menatapnya dengan tatapan tegas namun hangat dari mata birunya, yang telah mengejarnya seperti orang bodoh selama bertahun-tahun.
Dan juga, Uzumaki Naruto yang telah menemani mimpinya selama bertahun-tahun.
Berbohong juga tak ada artinya. Ia juga tahu kalau ikatan yang mereka punya lebih dari pertemanan, lebih dari hubungan saudara... ia sudah tahu. Ia juga paham kalau apa yang hatinya bisikkan adalah sebuah perasaan yang ia sendiri tak mampu katakan, ia juga mengerti kalau sebenarnya Naruto merasakan hal yang sama dengannya.
Ia hanya belum yakin.
Belum yakin dengan apa yang dirasakan hatinya, dan belum yakin apakah Naruto sungguh-sungguh dengan apa yang ia rasakan. Apakah Naruto benar-benar mencintainya, atau apakah dia benar-benar ingin menjadikan Naruto orang yang ia sayangi. Ia belum yakin. Paham dan yakin itu adalah sesuatu yang berbeda, kau tahu.
Bagaimanapun, belum ada yang mengutarakan perasaan mereka kepada yang lain...
"...sebentar," ia menjedukkan kepalanya ke meja, membenamkannya di antara baju-baju itu. "Ini aku yang bertingkah seperti gadis di komik-komik shoujo... atau otakku sudah terlalu capek sampai bisa salah berfungsi?"
Sepertinya pilihan kedua yang benar. Dia belum tidur sejak kemarin, khawatir kalau-kalau ada ANBU yang disuruh membunuhnya diam-diam. Hei, kalau boleh jujur, dia tidak percaya kalau Konoha menerimanya begitu saja setelah apa yang telah ia perbuat—
—um, mungkin tidak juga. Dia membunuh Danzo, dan Konoha lebih baik tanpa Hokage keenam yang punya bau-bau Hitler itu.
"Mungkin sebaiknya aku mandi," ia menghela napas.
Mandi air hangat mungkin bisa membantunya berpikir jernih kembali.
Pemuda berkulit putih itu membuka yukata yang ia pakai perlahan, disusul dengan perban-perban lukanya. Ia meringis sedikit saat luka besar di punggungnya terkena udara pagi yang dingin, dan kemudian melanjut membuka ikatan tali ungu besar yang berfungsi bak obi untuk mengikat bawahannya. Dia hampir menyelesaikan kegiatan membuka simpul itu ketika—
"SASUKEEEE!"
—Naruto datang dan mendobrak pintu rumahnya dengan bersemangat.
Sasuke terkejut, jelas saja. Lha, orang lagi khidmat membuka baju kok tiba-tiba ada manusia muncul di depan pintu! Tali ungu itu pun terjatuh dan tak mau kalah, kain ungu itu juga menyusul.
"..."
"...eng..."
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
"KELUAR DARI RUMAHKU, BODOH!"
Chidori pun melayang.
Naruto masih sibuk mengelap hidungnya ketika Sasuke keluar dari kamar mandi. Dia hanya bisa nyengir inosen. Sasuke membuang mukanya, menggerutu pelan sembari mengelap rambutnya. Ia sudah memakai baju baru yang disediakan. Tidak buruk juga, baju itu berwarna biru tua dengan lambang Uchiha kecil di belakang, dan celana dengan bahan kain yang senada ditambah tali putih yang dikenakan sebagai ikat pinggang terlihat pas di badannya.
"Sasuke."
Pemuda berkulit putih itu menoleh.
"Apa?"
Naruto hanya menatapnya... tanpa berkata apa-apa.
"Hoi."
Lihat dia. Betapa inginnya Naruto mendekap tubuh itu hingga ia tak bisa lepas lagi. Betapa inginnya Naruto membisikkan bahwa ia mencintainya, membisikkannya berulang kali hingga Sasuke merasa muak, hingga semua rasa yang terpendam di dadanya mengalir keluar dan membuat Sasuke terikat dengannya selamanya.
Ia benar-benar ingin melakukannya... tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya.
"Dobe?"
Sentuhan dingin di keningnya menyadarkannya.
"Eh! Ah, umm..." Naruto berusaha untuk mendaratkan matanya di manapun SELAIN pada tetesan air di leher Sasuke. "Tidak, aku hanya..." dia berdehem sedikit, dan Sasuke menarik tangannya dari kening Naruto, matanya masih memancarkan aura datar. "Aku hanya berpikir untuk mengikuti ujian Chuunin."
Sasuke mengerjapkan matanya.
"Hah?"
"Yah... kau tahu," Naruto menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Aku bersungguh-sungguh soal cita-citaku menjadi Hokage... dan sehebat apapun mereka menganggapku, aku tidak yakin ada yang ingin mengakuiku sebagai Hokage kalau aku masih Genin," ia meringis.
Sasuke hanya diam, membiarkan Naruto berbicara. Namun, pemuda bermata oniks itu perlahan duduk di sampingnya.
"Aku tahu kalau kau tidak begitu peduli soal gelar yang seperti itu," Naruto menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke. "Dan kalau boleh jujur, aku juga merasa itu merepotkan... tapi kurasa sekarang hanya itu yang bisa kulakukan," mata biru itu menangkap oniks Sasuke. "Lagipula, aku tidak rela membiarkan Guru Kakashi mengambil julukan Hokage Ketujuh," ia tertawa kecil.
"Bagaimana denganmu, Sasuke? Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
Jujur, napas Naruto di bahunya membuatnya agak sulit berpikir... tapi Sasuke berusaha untuk memasang wajah datarnya.
"...kau bodoh."
"Hm?" Naruto mendongak.
"Kau kira mereka akan membiarkan mantan missing-nin mengikuti prosedur seperti itu?" ia menatap lurus ke depan, pandangannya menerawang. "Kau harusnya tidak lupa satu hal, bodoh. Kau pahlawan, aku penjahatnya."
"Kau bukan penjahat, Sasuke. Kau shinobi Konoha," Naruto mengernyitkan dahinya, meluruskan posisi duduknya untuk menatap Sasuke dalam-dalam. "Kau sudah kembali, kenapa tidak menganggap dirimu sebagai salah satu dari penduduk Konoha lagi?"
"Mudah karena kau berpikir begitu, tidak seperti yang lain."
"Dengar... Aku tak peduli apa yang mereka pikirkan," Naruto mengelus sisi kepala Sasuke, pelan. "Kau ada di sini, di sampingku, itu sudah cukup. Yang kupedulikan hanyalah sudut pandangmu terhadap Konoha. Terhadapku. Bukan sudut pandang orang lain."
"...sejak kapan kau jadi pandai berbicara?" Sasuke berusaha mengacuhkan panas di dadanya karena sentuhan halus Naruto di kepalanya. "Aku tak membenci Konoha sekarang."
"Entah kenapa itu terdengar seperti `Aku benar-benar menyukai Konoha` di telingaku," Naruto terkekeh pelan, menangkupkan kedua tangannya di pipi Sasuke. "Kau harus mencoba jujur, Teme."
"..."
Sasuke membuang wajahnya. Sesuatu terasa sangat aneh di perutnya dan ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Berhenti bicara, berhenti bicara, itu mantra yang terus dirapalkannya. Jika Naruto terus berbicara, ia tidak tahu ke mana arah pembicaraan mereka ini berakhir.
"Aku benar-benar bersyukur kau pulang," setetes air mata jatuh, mengenai tangan Sasuke. Naruto menempelkan keningnya dengan Sasuke, dan Sasuke bisa merasakan hangat napas pemuda itu di bibirnya. Hidung mereka bersentuhan, mengirimkan sensasi menggelitik pada keduanya. "Kau tahu, aku—"
Dan Sasuke menghentikan perkataan Naruto dengan sentuhan di bibirnya.
Sentuhan itu lembut, pelan, dan tanpa gerakan yang berarti, namun keduanya tahu kalau di sinilah semua perasaan mereka dicurahkan. Emosi yang begitu kuat membuat dada mereka bergejolak, dan keduanya tidak ingin melepaskan diri. Debaran yang terdengar menyatu hingga mereka tidak tahu itu debaran mereka sendiri atau yang lain, air mata yang tumpah dari mata keduanya terasa asin di bibir mereka.
Mereka saling mencintai.
Saat ini, Sasuke maupun Naruto telah meyakini itu.
Untaian bibir itu terlepas perlahan, dan keduanya berusaha menghapus air mata mereka. Wajah keduanya yang memerah tidak bisa disembunyikan, tapi toh tidak ada yang peduli dengan keadaan itu sama sekali.
"...kau terlalu banyak bicara," Sasuke menenggelamkan wajahnya di ruang antara leher dan bahu Naruto, menghirup aroma pemuda yang selama ini ia sayangi. Ia dapat merasakan Naruto tertawa kecil, sebelum keduanya kembali tenggelam dalam ciuman yang lebih... panas.
Lidah keduanya beradu, saling menginginkan, dan tak mau kalah. Keduanya saling menjelajahi mulut lawannya dengan sengit, hingga Naruto menggigit bibir bawah Sasuke dan membuat perhatian pemuda itu teralih. Ia mendorong Sasuke pelan—Naruto tidak ingin pemuda itu merasa sakit di lukanya—hingga posisi Sasuke berada di bawahnya, dan dia menciumi wajah putih tanpa cela itu dengan ciuman kupu-kupu. Bibir, pipi, dan kini turun hingga ke leher.
"Ngh—tunggu," Sasuke menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Naruto masih melanjutkan dengan gigitan kecil di atas titik sensitif di dadanya. "Bodoh, kubilang tunggu," namun tangan Naruto hampir menemukan ujung lilitan kain putih yang mengikat celana Sasuke, dan—
"Tunggu, kubilang!"
—tendangan mengenai sesuatu di bawah sana. Ugh.
"Gyaaa! Untuk apa kau lakukan ithuuuu!" ngilu, sakit, dan nikmat bercampur jadi satu, membuat Naruto berguling-guling di pojokan. "Dan kita baru saja mencapai mood untuk melakukan sesuatu!"
"Harusnya aku yang tanya itu!" Sasuke menarik napas, mengembalikan rona merah dari wajahnya. "Kau mau aku yang `di bawah`, hah?"
"Memangnya apa yang salah dengan itu?" Naruto berteriak frustasi.
"Tentu saja itu salah, Dobe!" seru Sasuke tidak kalah frustasi.
"Oke, kau mau di atas? Tapi aku tidak yakin kau suka posisi koboi—GYAAA!" sebuah meja melayang. "Teme! Apa maksudmu?"
"Bukan itu maksudku, bodooh!" Sasuke nyaris mengambil kunai dan shuriken di rak buku. "Kalau ada yang mau di bawah, itu harusnya kau! Bukan aku!"
"Peraturan apa itu? KAU LEBIH CANTIK DARIKU, TEME!"
"DOBE! KAU LEBIH IMUT, BODOH!"
"APA? KAU YANG PUNYA KULIT PUTIH INDAH BEGITUU—"
"KAU YANG PUNYA MATA BIRU BERSINAR ITUU—"
Keduanya mematung, sebelum rona merah meledak di wajah keduanya akibat sadar apa yang telah mereka katakan itu amat-sangat... memalukan.
"...Maaf kalau aku mengganggu pertengkaran bodoh kalian, tapi..." Sakura yang tak kalah memerah muncul dari balik pintu. "...karena kalian sudah mulai membuat keributan, Tsunade-sama menyuruhku untuk mengecek kalian. Ternyata..." tangan kunoichi itu mengepal, aura setan muncul tiba-tiba, entah darimana. "Sepertinya aku tak perlu khawatir, eh...?"
Kretek. Kretek.
Buku jari Sakura berbunyi...
"Sa-sakura-chan..." Naruto memucat, dan Sasuke juga tak kalah pucatnya.
'Mati aku. Mati.'
"SHANNAROOO!"
"GYAAAA!"
"Ini salahmu, Teme," Naruto mencibir setelah Sakura pulang dan merawat luka mereka (setelah Sakura menghajar mereka tentunya). "Kalau kau menerima saja, seharusnya Sakura tidak marah-marah begini."
"Dalam mimpimu," Sasuke mendengus. "Aku tak sudi menjadi uke."
"Aku juga... hei, sejak kapan kau tahu kata itu?"
"Diamlah, Dobe!" uh-oh, kunai itu hampir saja terlempar. Sabar, Sas. Tarik napas, buang, tarik buang...yap, begitu.
Keduanya menghela napas. Keheningan muncul di antara mereka, hingga keduanya berucap...
"Pokoknya aku yang jadi seme."
Setelah mengucapkan kalimat itu bersamaan, warna biru langit dan oniks bertemu dalam kilat persaingan yang juga sama menyilaukannya. Bibir-bibir kembali terbuka, lidah pun bergerak dan sebuah kalimat terdengar—kali ini, bahkan lebih serentak dari sebelumnya.
"Tunggu saja, kau pasti menyerah nanti!"
Thus, the battle begins!
This drabble was created by: niedlichta (id 2015052) [eneng troll], beta-ed by denayaira (id 1760476) [denayaira]
Pada penasaran ini apa? Hihihi. Ini adalah 'chain-drabble' yang berintikan 'perang' antara Sasuke dan Naruto dalam memperoleh gelar seme. ;) Pemain akan 'rebutan' untuk mengerjakan drabble, bergantian antara SasuNaru dan NaruSasu dengan catatan belum ada yang official dinyatakan menjadi seme/uke (oleh karena itu, tidak boleh ada adegan seks insert tab a ke slot b). Jadi, ibaratkan collab keroyokan gitu, hehe.
Game ini dimulai kemarin, 1 Januari, di Sasuke and Naruto Shrine. Mau tahu lebih lanjut? Atau mau ikutan? Silahkan masuk ke profil akun ini, dan ikuti link yang ada di dalam kolom News! :D
Soal kepemilikan drabble, jangan khawatir. Seperti yang tertulis di atas, akan ditulis credit dari pembuat drabble dengan format: penname (nomor id) [username shrine] :D
Jangan ragu buat kasi pendapat, bertanya, dan ikutan main! XD
p.s: Buat yang penasaran baju yang dipakai Sasuke itu gimana, bisa dilihat di sini: i. imgur. com/HEiZk. jpg (hapus spasi)
