"Ichigo! Kita nonton teater, yuk!"

Kata-kata Inoue waktu itulah, yang menjadi awal kekagumanku pada gadis itu.

Gadis bermata violet bersuara merdu, yang menenangkanku di bawah siraman cahaya matahari yang biasanya sangat kubenci.

Namun siapa yang tahu?

Di balik kecantikan rupanya dan keindahan raganya, ia menanggung kerapuhan di pundak mungilnya itu.


EJEY series Present

Summer Song

Chapter 1-Who is She?

Disclaimer

BLEACH by Tite Kubo

Warning: fic pertama saya di fandom ini. Jadi sangat GILA, GEJE, dan OOC.

But, please RnR.


Aku berjalan menuju sekolah dengan lunglai. Padahal hari masih pagi, tapi keringat sebesar butir jagung sudah mengucur deras dari pelipisku. Di langit, tak terlihat satu awanpun. Angin sama sekali tidak berhembus. Jus jeruk yang sedang kuminum pun tidak cukup ampuh untuk menyegarkanku. Sial, aku benci musim panas! Di saat-saat seperti ini, aku jadi merindukan tempat dudukku di kelas yang letaknya tepat di sebelah jendela dan agak 'terbelakang'. Jadi, kalau aku ketiduran di tengah pelajaran saking asyiknya menikmati angin yang menyusup lewat celah jendela, guru takkan memergokiku. Benar-benar tempat duduk favoritku!

Aku mengocok-ngocok kaleng jus yang kupegang. Cih, habis. Kalengnya bocor atau bagaimana, sih? Kok cepat sekali habisnya? gerutuku dalam hati sambil melempar kaleng tersebut ke tong sampah yang ada di dekat pohon di tepi jalan. Aku mengusap keringat yang membasahi dahiku. Argh, kalau saja Ayah tidak memaksaku pergi sekolah, aku pasti akan tidur seharian di kasurku yang empuk dan nyaman. Dibandingkan berjalan di bawah teriknya cahaya matahari, lebih enak tidur, bukan?

"Ayah sialan," gumamku jengkel, menendang sebuah kerikil di depanku.

Tanpa sengaja, samar-samar aku mendengar suara seorang gadis yang asyik bersenandung. Oh, ternyata asalnya dari gadis berambut hitam sebahu yang sedang berjalan tak jauh di hadapanku. Dari caranya berjalan, gadis itu seolah-olah sedang menari. Tas motif kupu-kupunya ikut bergoyang setiap dia bergerak. Ck, entah mengapa aku jadi gerah melihat gadis itu bersenandung. Di musim panas begini, emosiku gampang berubah-ubah, seperti bunglon yang suka mengubah warna kulitnya. Kalau semenit yang lalu aku tertawa-tawa girang, menit berikutnya aku bisa marah-marah nggak jelas. Jadi, jangan coba-coba menggangguku di musim panas kalau kau masih mau pulang ke rumah dengan selamat.

Tapi... suara gadis itu merdu juga. Seperti suara lonceng gereja. Ketika tersadar, aku sudah sampai di persimpangan jalan. Masih bersenandung dan menari, gadis itu berbelok ke kanan. Sedangkan aku berbelok ke kiri. Mataku mengikuti setiap langkahnya, telingaku mendengar setiap senandung yang meluncur dari bibirnya. Setidaknya sampai ia menghilang di belokan berikutnya. Langkahku terhenti, memandangi belokan itu. Dahiku berkerut dalam. Kenapa aku merasa kecewa?


Aku baru saja duduk di kursiku ketika Orihime Inoue menghampiriku dengan riangnya. Satu lagi manusia ceria yang kutemui di musim panas. Aku merasa heran, bisa-bisanya dia sesenang itu di hari yang sepanas neraka ini! Tanpa menunggu reaksiku, Inoue mengoceh, "Ichigo, Sabtu nanti kita nonton teater, yuk!"

Aku mengangkat alis dan menolaknya tanpa pikir panjang. "HAH? Maaf, kau tahu sendiri kan, aku tidak suka teater. Kau ajak orang lain saja," Aku mengibaskan tangan.

"Yang lainnya sudah ada acara sendiri. Ayolah, Ichigo. Aku sudah terlanjur janji pada temanku untuk menonton pertunjukan teaternya." bujuk Inoue.

Aku menghela napas panjang. Asal tahu saja, aku paling malas bepergian di musim panas. Pergi ke sekolah saja aku sudah malas, apalagi menonton teater! Apa asyiknya, sih? Apa Inoue tidak bisa membaca ekspresiku yang jelas-jelas tidak berminat? Sial.

"Kenapa kau tidak pergi sendiri saja?" balasku, tidak mau kalah.

"Aku tidak suka pergi sendirian. Selain itu," Inoue merogoh-rogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kertas berwarna biru. Ia menyerahkan kertas itu padaku. "Lihat, di sana jelas-jelas tertulis 'tiket berlaku untuk dua orang'. Dicetak tebal pula," Telunjuk Inoue mengarah pada tulisan yang paling bawah.

Aku terdiam sejenak lalu menghela napas. "Baiklah, aku akan menemanimu." desahku pasrah sambil mengembalikan tiket itu padanya.

"Benarkah? Terima kasih, ya, Ichigo! Kujamin, pertunjukannya pasti bagus, deh!" Inoue mengacungkan jempolnya lalu kembali ke mejanya. Huft, baguslah dia sudah pergi. Aku tidak tahan mendengar ocehannya. Di saat yang sama, bel masuk berbunyi dan guru Matematika pun datang ke kelas. Aku mendesis. Pelajaran menyebalkan di musim yang menyebalkan! Shit!


"Kau ceria sekali, Rukia." ujar Hisana, kakak kembar Rukia, ketika gadis bermata violet itu masuk ke kelas seraya bersenandung. "Pasti karena pertunjukanmu sudah dekat," tebaknya sementara Rukia menaruh tasnya di atas meja.

"Tentu saja senang. Karena tahun ini semua anggota ikut dalam pertunjukan. Tidak seperti tahu sebelumnya. Ada saja yang absen. Entah karena ada acara keluarga atau sakit," Rukia menghela napas sambil mengangkat bahu.

"Tapi jangan sampai sakit, lho. Latihannya sampai malam, kan? Apalagi kau Wakil Ketua Panitianya. Jaga kondisimu." Hisana mengingatkan. Dia benar-benar tipe kakak yang baik. Hisana sangat perhatian dan perangainya pun lembut. Selain itu, ia dianugerahi wajah yang amat rupawan. Pantas saja Byakuya, orang nomor satu di OSIS, memilih Hisana sebagai kekasihnya. Kemanapun mereka pergi, semua orang akan terpana melihat mereka berdua. Termasuk Rukia. Sejak kecil, ia sangat mengagumi kakaknya. Tapi...

"Rukia, kau dengar tidak?" Ucapan Hisana menembus otak Rukia.

"Ah? Kau bilang apa?" tanya Rukia linglung.

Hisana mendesah. "Kubilang, jaga kondisimu. Makan tepat waktu dan sering-sering minum. Apalagi kondisi tubuhmu seperti itu."

Rukia mengernyitkan kening. Seharusnya Hisana tahu betul kalau ia sangat tak suka membicarakan topik yang satu itu. Apalagi di saat-saat menyenangkan seperti ini! Tampaknya Hisana menyadari kekesalan yang terpancar di wajah Rukia. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan, "Ngomong-ngomong, kau sudah mengerjakan PR Matematika?"

Rukia terperangah. Tidak butuh waktu lama bagi Hisana untuk mengetahui arti ekspresi adik kembarnya itu. Hisana menggeleng-gelengkan kepala dan mengambil sebuah buku bersampul merah jambu dari tasnya.

"HISANA! PINJAM PR-MU!" pekik Rukia panik.


Singkat cerita, hari Sabtu pun tiba. Aku melangkahkan kakiku dengan enggan menuju SMA Swasta Soul Society yang langsung disambut dengan spanduk besar berwarna hitam, biru dan putih yang bertuliskan 'Selamat Datang'. Saat itu, lampu-lampu mulai dinyalakan karena hari sudah mulai gelap. Kalau tidak salah, pertunjukannya dimulai pukul tujuh malam. Aku sama sekali tidak berniat menonton pertunjukan ini sampai selesai, jadi semenjak aku berangkat kemari, aku sudah memutuskan kalau aku akan pulang di tengah pertunjukan, tidak peduli Inoue mau atau tidak. Kuhampiri Inoue yang berdiri di dekat gerbang.

"Kau lama sekali, Ichigo. Kalau tidak datang cepat, nanti kita tidak dapat tempat yang bagus, lho." Cih, aku baru datang dia sudah mengomel.

"Kau cerewet sekali!" tukasku kesal, memasukkan kedua tanganku di saku jeans.

"Maaf. Aku lupa kalau sekarang musim panas," Ia menutup mulutnya dengan tangan, tapi di wajahnya sama sekali tidak terlihat tanda-tanda berdosa. Dasar cewek nggak peka!

Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari dalam tas Inoue. Ia tersentak, mengaduk-aduk isi tasnya dan mengambil sebuah ponsel berwarna putih. Inoue meminta maaf padaku lewat isyarat tangan dan menjauh dariku. "Halo?" sapanya pada orang di seberang. Kuamati ekspresinya. Awalnya ia terlihat sumringah. Tapi lama-kelamaan ia terlihat sedikit murung. Hmm, apa yang mereka bicarakan?

"Siapa?" tanyaku ketika ia kembali menghampiriku.

"Temanku yang memberi tiket," jawabnya singkat. "Eh, kita ke lapangan basket saja, yuk. Lagipula nanti masuknya lewat situ. Aku mau tempat paling depan," Inoue menarik-narik ujung bajuku sambil menunjuk ke arah lapangan basket. Aku menoleh mengikuti arah yang ditunjukkannya. Ternyata di lapangan basket sudah banyak orang yang berkumpul. Beberapa ada yang memakai jaket biru yang di punggungnya tertulis 'Soul Society Senior High School' dan beberapa lagi memakai baju hitam dengan name tag tergantung di leher atau pinggang mereka. Yang pertama pastilah murid-murid SMA SS. Dan yang kedua pasti panitia pertunjukannya.

Aku mengikuti Inoue sambil mengamati seluruh sekolah. Aku sering mendengar berita tentang SMA SS, tapi baru kali ini aku menginjakkan kaki di halamannya. Ternyata sekolahnya lebih bagus dari yang kubayangkan. Lapangan basketnya luas, tamannya asri dan banyak pepohonan yang teduh. Selain itu gedung-gedungnya besar dan mewah. Heh, SMA Karakura kalah saing, nih. Sementara itu, di balik pagar lapangan basket, tepatnya di lapangan upacara, berdirilah panggung besar yang dibalut dengan kain berwarna hitam pekat dan lampu sorot di kanan dan kirinya. Beberapa orang berpakaian hitam tampak berlalu lalang di atasnya. Mengatur sound system, menaruh properti, dan lain-lain.

Karena merasa bosan, aku pergi untuk membeli sekaleng cola. Namun tanpa sengaja kulihat sesosok gadis berambut hitam yang memakai pakaian serba putih. Aku tercekat. Apa dia gadis bersuara merdu yang kulihat waktu itu? Ya. Tidak salah lagi, aku masih ingat seperti apa tampak belakang gadis itu. Tunggu. Kalau dia berada di balik pagar lapangan basket, apa dia ikut pertunjukan juga?


"Oh yeah, biarpun aku sudah pernah memakainya, tetap saja celana ini aneh untukku." Rukia memandangi celana longgar putih yang dipakainya.

"Kau jangan mengeluh begitu, dong. Hari ini kan hari yang sangat kau nanti-nantikan!" sela Ran'giku Matsumoto, satu angkatan di atas Rukia, yang juga memakai celana bermodel sama. Rambutnya disanggul dan dihias dengan permata-permata kecil. "Seharusnya kau bangga, karena bisa mendapat posisi sebagai Wakil Ketua Panitia merangkap pemain, padahal kau masih anak kelas dua!" Ran'giku menunjuk-nunjuk wajah Rukia.

"Iya, iya. Aku tahu." gumam Rukia. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Orang itu tak terlihat di manapun. Ke mana dia pergi di saat-saat penting seperti ini? Bukankah seharusnya dia yang paling sibuk? Apalagi dia juga merangkap sebagai pemain, sama sepertiku. Rukia membatin.

"Kau mencari siapa?" tanya Ran'giku.

"Ketua. Dia tidak ada di sini." jawab Rukia.

"Aaah, maksudmu Ulquiorra? Dia pasti pergi mencari tempat yang sepi. Kau tahu sendiri kan, seperti apa Ulquiorra itu? Dia takkan betah dengan suasana seberisik ini." sahut Ran'giku.

Rukia mengangguk-anggukan kepala, membenarkan ucapan Ran'giku. "Yah, kalau begitu aku akan keluar mencarinya. Tidak lama lagi kita mesti berkumpul," ujar Rukia.

"Tolong ya!" seru Ran'giku ketika Rukia berjalan menuju pintu.

Ulquiorra, teman seangkatan Ran'giku, menjabat sebagai Ketua ekskul Teater, Ketua Panitia, sekaligus pemain. Kadang-kadang aku bingung, Ulqui itu aktif atau serakah, sih? Semua jabatan dia embat. Aku dengar dari Ran'giku, dulu dia bersaing ketat dengan Byakuya untuk memperebutkan posisi sebagai Ketua OSIS, tapi pada akhirnya, Ulquiorra kalah dalam pemilihan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

Dia adalah lelaki yang dingin dan terkesan kasar. Tapi bakatnya dalam bidang teater sungguh luar biasa! Multitalenta! Disuruh berakting, bisa. Disuruh bermonolog, bisa. Disuruh bernyanyi, bisa. Disuruh bermain gitar apalagi. Amat sangat luar biasa. Rukia sudah kehabisan stok kata-kata untuk menggambarkan bakatnya yang berlimpah. Rukia tak perlu waktu lama untuk menyadari perasaan sukanya pada lelaki bak es itu. Semenjak pertama kali bertemu pun, ia sudah tahu, makna dari debaran-debaran manis yang memukul rongga dadanya tiada henti. Bisa dibayangkan betapa girangnya hati Rukia ketika Ulquiorra menunjuknya langsung sebagai Wakil Ketua Panitia. Ia berlari-lari keliling lapangan upacara sambil berteriak-teriak nggak jelas. Para guru dan murid yang melintas terbengong-bengong melihat ulah gadis satu itu.

"Halo? Hime?"

Rukia langsung bereaksi terhadap suara favoritnya itu. Kakinya bergerak menuju sumber suara tanpa perlu dikomando lagi. Ternyata dia ada di sini, ujar Rukia dalam hati ketika ia melihat Ulquiorra berdiri di bawah pohon yang terletak di dekat panggung. Tapi... tunggu sebentar. Dia bilang apa? 'Hime'? Siapa itu 'Hime'? Serpihan-serpihan rasa cemburu mulai membakar hati Rukia. Ia mendekati Ulquiorra tanpa suara, berusaha menguping pembicaraan Ulquiorra. Tapi yang ia dengar hanyalah...

"Maaf", "Aku sibuk", "Jangan cemberut" dan "Aku menunggumu duduk di baris terdepan".

Dahi Rukia berkerut. Ulquiorra bilang 'maaf'? M-A-A-F? Seumur-umur, Rukia belum pernah mendengar Ulquiorra meminta maaf pada orang lain. Tapi siapapun itu, dia pasti orang yang istimewa bagi Ulquiorra. Suka atau tidak, gagasan ini membuat Rukia terusik.


Akhirnya, setelah menunggu selama setengah jam ditambah berdesak-desakan, aku dan Inoue berhasil masuk ke lapangan upacara dan mendapat tempat di barisan paling depan. Semua penonton duduk di atas tikar seperti mau piknik. Lampu sorot menyala, memperlihatkan sosok pembawa acara berpakaian hitam yang sedari tadi bersembunyi dalam kegelapan semu.

Pertunjukan dibuka dengan sambutan dari Kepala Sekolah SMA SS disusul dengan sambutan dari Ketua Panitia. Biasanya aku malas mendengar bagian ini, tapi sosok Ketua Panitia itu memenangkan perhatianku. Matanya hijau pekat, rambutnya hitam kelam bak langit malam, dan untuk ukuran laki-laki, kulitnya cukup putih. Aku agak merinding mendengar suaranya yang tegas dan tidak bertele-tele. Kulirik Inoue. Senyum sumringah tercetak di wajahnya. Heh, jangan-jangan...

Waktu terus berjalan, dan pertunjukan pun mulai bergulir. Konsep Black Teater yang mereka usung serta permainan lampu sorot yang luar biasa membuat pertunjukan malam itu tampak memukau. Mulai dari puisi, musikalisasi, monolog, drama, semuanya mereka curahkan di panggung ini. Penghayatan yang kental, suara yang berapi-api dan ekspresi yang kuat mampu membuat para penonton, termasuk aku, diam membisu, terhanyut dalam cerita yang mereka bawakan.

Perkiraanku tadi salah besar!

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Sebentar lagi pertunjukan akan berakhir. Namun gadis itu belum muncul juga.

Aku menunggu sembari berharap bisa melihat sosoknya berdiri di atas panggung.

Dan harapan itu terkabul.

Lima belas menit sebelum pertunjukan benar-benar berakhir, ia muncul dari balik kegelapan, berdiri dengan anggun di bawah naungan lampu sorot dengan tangan kanan memegang selembar kertas. Ia terlihat begitu alami, dengan kostum serba putih dan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja. Dia belum mengatakan apa-apa, tapi aku sudah merasa kalau dia luar biasa. Amat sangat luar biasa, malah. Selain itu, hanya dengan berdiri saja, dia tampak begitu anggun dan memikat. Waktu seakan-akan berhenti, berpusat pada gadis mungil itu. Indah...

Aku tidak kenal mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu namanya. Tapi kenapa jantungku berdebar begitu kencang? Mengapa debarannya menjalar ke seluruh tubuhku?

Dan kenapa dadaku terasa panas? Aku tidak demam. Mustahil kau demam di musim panas. Apa karena cuaca? Bukan juga. Aku tidak berkeringat. Bukan demam, bukan juga cuaca. Kalau begitu, mengapa?


Begitu kau membuka buku ini, kau akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan.

Pilihan-pilihan, maupun dinamika yang tak pernah kau alami sebelumnya.

Apa yang kau jawab, apa yang kau pilih, apa yang kau lakukan...

Akan menentukan kisahmu di lembar berikutnya.

Begitu seterusnya, berulang-ulang.

Hingga kau membuka halaman terakhir.

Hingga kau menghadapi akhir kisah singkatmu.

~To Be Continued~



A/N: Akhirnyaaaa~! Fic ini saya publish juga! Fic hadiah untuk saya yang sudah menyelesaikan empat tugas dalam sehari dengan baik! Begitulah yang namanya pelajar, tiada hari tanpa PR =_= Yahh... ini fic pertama saya untuk Bleach, juga yang pertama kalinya multichap (atas permintaan dan persetujuan teman saya). Jadi, cacian, makian, angpao, pujian, akan saya terima dengan tulus ikhlas.