Distance
( we're mean to each other, but we can't be )

JinV

Karena Taehyung tahu, garis takdirnya dengan Seokjin tidak akan pernah menyatu.


.

.

.


Taehyung mengedarkan pandangannya. Ribut angin menerbangkan jubahnya, namun hal itu sama sekali tak mengganggunya. Kuda hitamnya berdiri gagah dengan dirinya di atasnya. Obsidiannya memandang datar ke ribuan pasukan di hadapannya. Ia melirik ke serdadunya. Sama sekali tak gentar sekalipun mereka kalah dalam hal jumlah.

Saat itu, Taehyung tersenyum tipis. Dikeluarkannya pedang kebanggaan dari sarungnya. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, memberi komando kepada seluruh serdadunya. Dengan seluruh tekadnya, Taehyung mengarahkan ujung mata pedangnya ke depan. Seketika itu juga, dirinya beserta para serdadunya berlari dengan kuda-kuda mereka. Menerjang pasukan musuh yang juga berlari menerjang mereka.

Perang di perbatasan tak terelakkan. Kedua kubu tak ada yang ingin mengalah. Saling menyerang satu sama lain, dengan tombak dan pedang-pedang mereka. Zirah dengan cipratan darah, tubuh-tubuh tak bernyawa yang tergolek di sana-sini dengan pedang yang menancap di tubuh mereka, semua itu hal biasa. Hal yang sudah menjadi santapan sehari-hari seorang Wang Taehyung.

Wajahnya terciprat darah, pedangnya berlumur darah. Sang dewa kematian menyeret pedang merahnya menuju jenderal pasukan lawan. Diayunkannya pedang itu, dentingan nyaring terdengar ke penjuru wilayah. Taehyung menggeritkan giginya, menahan pedang besar yang nyaris menyentuh wajahnya. Tenaganya tak main-main. Namun Taehyung tak menyerah, ia mendorong kuat-kuat pedangnya. Sang ksatria pedang terbaik dari Goryeo tak akan kalah, dan demi Gwangjong, rajanya. Ia tak boleh kalah, dan ia menanamkan tekad itu di dalam dirinya.

"Bocah sepertimu tak akan bisa mengalahkanku."

Taehyung menarik sudut bibirnya menanggapi ucapan sombong sang jenderal. Ia menggenggam pedang dengan kedua tangannya. Kakinya menyeret salju bercampur kerikil dan darah di bawahnya. Posisinya bersiap, dan langsung menerjang jenderal dengan besar tubuh dua kali lipat dari dirinya. Hanya demi rajanya.


Goryeo, 974
Tahun ke-25 masa pemerintahan Gwangjong

Sorak sorai mengiringinya. Ribuan rakyat berbaris membuat jalan untuknya. Kemenangan kesekian kalinya berhasil ia raih. Mematahkan pandangan miring rakyat Goryeo sejak dirinya dilantik menjadi jenderal. Wang Taehyung dengan kuda hitamnya berdiri di depan gerbang kerajaan. Dengan sebagian serdadunya yang setia mendampinginya. Para penjaga gerbang membungkuk hormat dan kemudian membukakan gerbang untuknya.

Taehyung turun dari kudanya, membiarkan salah satu serdadunya menuntun kuda itu. Ia sendiri berjalan masuk. Langkahnya tegas menapaki pelataran kerajaan. Tubuhnya masih penuh dengan darah, tak ada waktu untuk membersihkannya selagi ia harus cepat-cepat memberi tahu berita kemenangannya langsung pada rajanya.

Ia membungkuk, menaruh segala hormatnya pada sang raja. Tak berani bahkan untuk membuat kontak mata dengan pria yang menyelamatkannya saat ia kecil dulu. Gwangjong tersenyum bangga. Pria itu menyuruh Taehyung untuk berdiri, sekalipun Taehyung tetap tak berani menatapnya langsung.

"Kau sudah melakukan hal yang benar-benar hebat, Jenderal Wang. Tak sia-sia aku mengangkatmu dulu." Taehyung semakin menunduk, menahan senyuman bahagianya saat dipuji oleh sang raja.

"Terima kasih, Yang Mulia."

"Kau boleh membersihkan diri dan beristirahat sekarang. Hadiahmu akan menyusul nanti."

"Baik, Yang Mulia. Kalau begitu, saya permisi." Taehyung membungkukkan tubuhnya 90 derajat. Ia baru saja hendak mundur saat sebuah suara dari penjaga pintu menggema ke seluruh ruangan.

"Putra Mahkota datang untuk menemui Yang Mulia." Pintu terbuka. Menampakkan seorang laki-laki dengan jubah kerajaannya. Tangannya terlipat ke belakang. Taehyung segera menepi dan memberi jalan kepada sang putra mahkota. Ia tetap menundukkan kepalanya, menghormati laki-laki muda yang derajatnya jauh lebih tinggi dibanding dirinya.

"Salam pada Yang Mulia." Sang putra mahkota membungkuk, memberi salam kepada sang raja. Sekilas melirik pada Taehyung lalu tersenyum hangat. Taehyung membalas senyum sang putra mahkota. Sejujurnya kedua jarang bertemu, hanya momen-momen seperti inilah mereka bertemu. Hanya momen-momen kebetulan.

"Jenderal Wang, selamat atas kemenangannya."

"Terima kasih, Putra Mahkota. Saya permisi dulu."

Ia mengangguk. Wang Seokjin, sang putra mahkota terus saja tersenyum memandangi Taehyung yang tengah berjalan keluar dari ruangan itu. Mengabaikan jubah hitam laki-laki itu yang berlumuran darah, rambut hitam panjang yang masih berantakan, wajah yang masih kotor karena darah dan juga tanah. Seokjin sama sekali tak menghiraukannya. Di matanya, sosok itu tetaplah cantik.


Seokjin hanya berjalan-jalan di sekitar Damiwon sembari melihat-lihat pekerjaan yang tengah dilakukan para dayang. Hingga ia berhenti tepat di dekat kolam pemandian dan melihat sang jenderal tengah tertidur sembari berendam di air hangat yang tampak nyaman. Semua yang tinggal di kerajaan sudah tahu jika Jenderal Wang memang diizinkan langsung oleh raja untuk menggunakan fasilitas kerajaan.

Tubuhnya terpaku mengamati paras elok sang jenderal. Tanpa ia sadari, kakinya sudah membawanya ke laki-laki itu. Mengamatinya lebih dekat. Seokjin tersenyum, entah sudah berapa lama dirinya mengamati sang jenderal lebih dari yang seharusnya. Entah sejak kapan dirinya diam-diam menyimpan nama sang jenderal di dalam hatinya.

Seokjin berjongkok, tangannya terjulur hati-hati untuk menyentuh rambut panjang itu. Merasakan halusnya rambut hitam yang tengah tergerai. Mengamati wajah polos itu saat sang jenderal tertidur. Wajah yang sangat jarang ia lihat karena laki-laki itu selalu memasang topeng dingin dan tegas di luar sana. Senyuman tak pernah hilang dari wajah tampannya saat ia mengamati wajah itu.

Ia melihatnya. Bagaimana kulit kecokelatan itu sedikit memucat karena terlalu lama berada dalam air. Bola matanya bergulir mengamati bekas-bekas luka di tubuh itu, tak terhitung banyaknya. Entah kenapa itu menambah kesan maskulin namun tetap tak menghilangkan kesan cantik dari laki-laki itu.

"Mm,"

Seokjin terpaku. Dengan gugup ia menepuk-nepuk pundak sang jenderal. Bertingkah seolah-olah akan membangunkan laki-laki itu. Alibi agar ia tak ketahuan mengamati sang jenderal. Dan perlahan, kedua kelopak mata itu terbuka. Mengerjab beberapa saat sebelum laki-laki itu tersentak kaget.

"Putra Mahkota. Apa―apa yang anda lakukan disini? Maksud saya―"

Seokjin tertawa kecil. Tak menyangka jika Jenderal Wang yang tengah salah tingkah akan selucu ini. Kemudian ia berdehem kecil. "Sepertinya kau terlalu lama berendam, Jenderal."

Taehyung nampak benar-benar salah tingkah. Dengan cepat ia menyambar pakaiannya dan memakainya buru-buru. Ia pun langsung membungkuk pada Seokjin. "Maafkan saya, Putra Mahkota."

"Untuk apa meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apapun." Seokjin menggeleng-geleng. Ia kemudian melepas sepatunya dan menggulung celananya. Tanpa beban apapun, ia mendudukkan dirinya di pinggir kolam. Kedua kakinya ia rendam di dalam air hangat itu. "Kemarilah. Maaf sudah membangunkanmu. Aku hanya khawatir karena tubuhmu sudah memucat."

Sang putra mahkota menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Dengan canggung, Taehyung mendudukkan dirinya. Ia menyisakan sedikit jarak hanya agar tidak terlalu dekat. Entah kenapa, setiap bertemu dengan sang putra mahkota akhir-akhir ini jantungnya berdebar jauh lebih cepat. Kepalanya tertunduk, sementara tangannya meraih pedang miliknya. Menyibukkan diri dengan mengelap pedang itu.

"Kau seusia denganku, tapi kau jauh lebih hebat dariku." Kedua manik kelam Seokjin seakan tak bisa lepas dari sosok sang jenderal. Senyuman pun tak pernah pudar tiap kali ia menangkap gerakan kecil dari laki-laki itu. Seketika, kedua pasang obsidian bersitatap. Taehyung mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke arah Seokjin.

"Tidak juga. Saya bukan apa-apa dibandingkan Putra Mahkota. Saya hanya gelandangan dari Hubaekje yang beruntung dapat bertemu dengan Yang Mulia."

"Bukan itu maksudku. Kemampuanmu, Jenderal."

Taehyung tertawa kecil. Dan hal itu sukses membuat sang putra mahkota tertegun. Cantik. Sepasang mata elang yang menyipit dengan pipi yang tertarik ke atas. Kedua belah bibir yang terbuka dan sudut-sudutnya tertarik membentuk kurva yang begitu indah. Seokjin tidak mengerti, bagaimana seorang laki-laki dapat seindah dan secantik ini saat tertawa?

"Sudah saya katakan, saya hanya gelandangan dari Hubaekje, Putra Mahkota. Bukan apa-apa."

"Baiklah kalau kau menganggap seperti itu."

"Bagi saya, Putra Mahkota-lah yang hebat. Anda menduduki gelar sebagai putra mahkota sejak anda kecil. Menurut saya itu suatu beban. Bukankah anda juga harus belajar banyak hal agar kelak menjadi raja yang baik? Saya selalu mengagumi anda sedari dulu."

Sekali lagi, Seokjin tertegun. Dirinya masih ingat bagaimana seorang bocah gelandangan yang berani melawan ayahnya dulu. Ia melihat sosok itu mengayunkan pedang pada sang raja. Bocah berusia enam tahun yang tak kenal takut. Bocah yang bertekad melindungi haknya untuk hidup. Bocah sebatang kara yang tertegun saat sang raja tersenyum padanya. Seokjin menyaksikan semuanya. Menyaksikan sepasang obsidian yang selalu berkilat tajam sedak dulu. Mata itu tetap sama dengan yang sekarang ia lihat.

Bocah yang tumbuh bersama dirinya. Tentunya dengan perlakuan yang jauh berbeda. Bocah yang menjadi guru bela dirinya sejak tujuh tahun lalu. Bocah yang sejak dulu mengatakan jika dirinya mengagumi sang putra mahkota. Ternyata masih sama, tak berubah sedikitpun.

"Kau tidak berubah, Tae."


"Hyungnim!"

Taehyung menoleh. Seorang remaja laki-laki dengan jubah kerajaan tergopoh-gopoh mengejarnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, kedua tangannya bersilang di dadanya.

"Ada hal apa hingga anda tergopoh-gopoh menghampiri saya, Wangjanim?"

Sang pangeran berdiri dengan bertumpu di lutut di hadapannya. Terengah setelah berlari cukup lama. "Aku dengar, kau menang lagi."

"Apa saya pernah kalah, Wangjanim?" Taehyung terkekeh. Tangan yang tadinya bersilang di dadanya kini berpindah ke pinggangnya. Berkacak pinggang dengan dagu yang sedikit naik. Ditambah dengan senyuman miring yang menyebalkan menurut sang pangeran.

Wang Jungkook menggeleng. Kini ia telah bersedekap. "Hoo. Begitukah, Jenderal Wang yang luar biasa?"

"Tentu saja, Wangjanim. Jenderal Wang Taehyung memang tidak terkalahkan."

Dan keduanya pun tertawa bersama. Tanpa segan, Jungkook merangkul bahu Taehyung. Mereka berdua pun berjalan beriringan diselingi dengan obrolan ringan. Sedari dulu memang Jungkook dekat dengan Taehyung. Jungkook selalu menganggap Taehyung sebagai sosok kakaknya. Tanpa memandang masa lalu dan status Taehyung sekalipun.

Jungkook pun membawa Taehyung ke kandang kuda. Taehyung mengernyit, dipandanginya Jungkook heran.

"Anda mengejar saya hanya untuk ini?" Sang pangeran hanya mengangguk. "Sudah kukatakan untuk jangan terlalu formal kepadaku saat kita hanya berdua, hyungnim." Jungkook pun menghilang di balik pintu kandang dan keluar dengan menunggangi seekor kuda bersurai cokelat tua. Dengan isyarat kepalanya, ia menyuruh Taehyung untuk mengambil kudanya juga.

"Kudaku sudah lelah, kau tahu? Dan aku juga lelah. Ayolah, beri aku waktu untuk istirahat." Taehyung menghela napas berat. Tapi akhirnya ia menyeret kakinya ke dalam kandang kuda dan dengan malas menunggangi kuda berwarna putih entah milik siapa.

Jungkook merapatkan jubah putih tebalnya dan melemparkan satu kepada Taehyung. "Kau tidak ingin mati kedinginan, bukan?" Taehyung memutar kedua bola matanya malas. Dan terpaksa mengenakan jubah putih itu. Amat kontras dengan pakaiannya yang selalu berwarna gelap. Namun selaras dengan salju yang berada di sekitarnya.

Kuda-kuda mereka berjalan perlahan menembus tumpukan salju. Taehyung yang tak mengenakan tudung jubahnya pun terpaksa tertimpa tumpukan salju dari beberapa batang pohon. Menyebabkan surai kelam yang hanya bagian atasnya ia kuncir basah. Tapi Taehyung membiarkan itu dan sama sekali tak berniat untuk mengenakan tudungnya. Jungkook menggeleng. Biarkanlah, ia sudah aneh sedari dulu.

"Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama." Langsung saja Taehyung memandang Jungkook heran. "Kita hanya satu bulan tidak bertemu, Wangjanim. Kau manja sekali akhir-akhir ini." Dan Taehyung pun tertawa. Dibalas dengan dengusan dari sang pangeran. Ia menahan diri mati-matian agar tidak melemparkan pedangnya pada laki-laki yang hanya tiga tahun lebih tua darinya.

"Kalau begitu, yang pertama kali sampai ke gerbang dia yang menang. Kau boleh meminta apapun dari yang kalah." Dengan berakhirnya kalimat itu, Taehyung langsung memacu kuda putihnya secepat kilat. Meninggalkan Jungkook yang masih mencerna maksud ucapan sang jenderal.

"Sialan! Tunggu aku!"

"Kejar aku, Wangjanim!"

Sementara di atas sana, Wang Seokjin tengah mengamati kedua laki-laki itu dari jendela menara. Entah apa yang membuat dadanya kini terasa panas. Seokjin tidak mengerti. Bukan hangat seperti yang biasa ia rasakan saat mengamati jenderal muda itu. Ini benar-benar berbeda. Melihat Taehyung akrab dengan orang lain, tertawa karena orang lain, bersenang-senang dengan orang lain sekalipun itu adalah adiknya sendiri, Wang Jungkook.

Seokjin meremat kusen jendela kuat-kuat. Menahan gejolak aneh dalam dirinya. Di sampingnya, Kim Namjoon berdiri dengan wajah bingung. Sering kali melihat sang putra mahkota bertingkah aneh seperti sekarang, namun sama sekali tak tahu apa penyebabnya.

Maka dari itu ia memutuskan untuk mendekati Seokjin dan melihat ke luar jendela. Namun nihil. Ia tak melihat apapun selain tumpukan salju di tanah lapang kerajaan dengan jejak kaki kuda yang mulai memudar. Namjoon pun semakin bingung dibuatnya.

"Namjoon, apa kau pernah menyukai seseorang?"

Namjoon tertegun. Dipandanginya lekat-lekat sang putra mahkota yang kini juga memandanginya. Dan ia pun menggeleng. Makin heran saat melihat laki-laki itu menghela napas berat. Seokjin menopangkan dagunya dan menatap kosong ke luar. Memandangi jejak-jejak kaki kuda yang kian memudar.

"Ada apa sebenarnya, Putra Mahkota? Apa anda, menyukai seseorang?" Namjoon bertanya dengan hati-hati. "Maaf, tapi saya benar-benar tidak mengerti tentang hal ini. Maksud saya―" Namjoon berdehem sejenak. "Cinta. Saya menghabiskan hidup saya dengan mengabdi pada kerajaan. Saya tidak memilki waktu untuk hal seperti itu. Maafkan saya, Putra Mahkota."

Aku bertanya pada orang yang salah.

"Lihat! Aku yang menang!" Jungkook turun dari kudanya dan menghampiri Taehyung yang masih setia duduk di pelananya. Taehyung tertawa kecil lalu ikut turun. Ia mengusak surai Jungkook sekilas. "Kau hanya beruntung karena aku sedang lelah, Wangjanim. Lalu, apa yang kau minta?"

Baru saja Jungkook hendak mengatakan permintaannya, seorang kasim datang menghampirinya. Jungkook mengerang malas. Ia memandang Taehyung dengan wajah memelasnya, membuat Taehyung makin mengusak rambutnya.

"Pergilah. Kita bisa melanjutkan ini lain waktu. Aku akan mengganti jadwalmu menjadi latihan bela diri bersamaku sehari besok. Itu cukup?"

Jungkook mengangguk mantap. "Kau yang terbaik, hyungnim." Jungkook langsung berbalik menghadap laki-laki pendek di belakangnya. Dengan ekspresi malas ia kembali menanyakan jadwalnya.

"Anda harus kembali mengulang materi politik, Wangjanim. Lalu sore ini, Yang Mulia mengadakan acara meminum teh. Jenderal Wang juga diminta datang oleh Yang Mulia." Laki-laki pendek dengan eyesmile itu menjelaskan dengan hati-hati. Sedikit takut melihat sang pangeran sudah kehilangan moodnya.

"Aku juga?" Laki-laki itu mengangguk saat Taehyung bertanya sembari menunjuk dirinya sendiri. Ia pun kembali memandang sang pangeran yang tetap melipat wajah tampannya. Taehyung yang menyadari keseganan dari laki-laki pendek itu pun menyenggol tangan Jungkook dengan sikunya.

Jungkook melirik risih. "Belajarlah yang benar, Wangjanim. Siapa yang tahu mungkin saja kau akan menjadi raja kelak." Jungkook merotasi onyxnya jengah. "Aku tidak pernah berminat jadi raja. Ayo, Kasim Park."

"Ah? Ye, Wangjanim." Kasim Park setengah berlari mengejar Jungkook yang berjalan dengan langkah lebar-lebar. Kemudian dirinya menoleh kala sang jenderal berteriak memanggilnya.

"Jimin-ah! Kau harus mengganti jadwal Wangjanim besok! Algenneunnya?!"

Dan sang pangeran menyembunyikan senyuman lebarnya di balik jubahnya.


Taehyung merebahkan dirinya perlahan. Hari masih siang dan ia masih mempunyai cukup waktu untuk beristirahat sebelum menghadiri acara minum teh. Kedua obsidiannya terpejam, menikmati hembusan angin dari jendela yang sengaja ia buka. Katakan ia gila dengan membuka jendela di tengah musim salju seperti ini. Tapi ia menyukainya.

Menyukai saat angin sepoi-sepoi maupun kencang menerpa dirinya. Menikmati saat satu atau dua titik salju jatuh di wajahnya dengan lembut. Ia sudah berada diambang kesadarannya saat ketukan pintu membuyarkan tidurnya. Ia menggerutu tetapi berpura-pura tak mendengar. Dirinya butuh istirahat dan tidak ada yang boleh mengganggunya. Perlahan suara ketukan itu menghilang dan meninggalkannya dalam kesunyian. Taehyung pun kembali mencoba untuk tidur.

Dalam benaknya, ia membayangkan masa lalu. Entah karena apa dirinya kembali mengingat hal itu. Memori saat dirinya masih berusia enam tahun. Saat seorang raja dari Goryeo bersama dengan putra mahkotanya mendatangi kampung halamannya. Entah untuk urusan apa. Dan saat itu dirinya sepenuhnya membenci Goryeo dan seluruh hal yang berhubungan dengan kerajaan besar itu.

Dengan gilanya ia berlari, menyeret pedang yang panjangnya bahkan dua kali lipat dari lengan mungilnya. Ia menantang sang raja, mengacungkan pedang itu tepat ke wajah Gwangjong. Para prajurit menahannya, tapi ia memandang nyalang pada sang raja. Pedangnya enggan ia turunkan. Obsidiannya enggan memutus kontak mata. Kepalanya enggan menunduk patuh dan kakinya enggan berlutut di hadapan Gwangjong.

Saat itu Gwangjong mendekatinya. Menyuruh prajurit-prajurit itu melepaskan tangan-tangan kotor mereka darinya. Gwangjong menunduk menatap dirinya, dan tanpa gentar ia membalas tatapan itu. Pria tigapuluh tahun itu mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga ia yakin hanya dirinyalah yang melihat senyuman itu. Obsidiannya berkilat, tertegun melihat senyuman sang raja yang terkenal dengan imej sadisnya di mata rakyat.

Hanya beberapa detik sebelum Gwangjong berbalik dan menjauh. Tapi ia masih mendengar titah sang raja. "Bawa bocah itu ke Goryeo." Saat itu juga Taehyung terdiam. Membiarkan para prajurit menuntunnya mengikuti sang raja. Kedua manik kembar itu memandang punggung Gwangjong dari kejauhan. Dirinya tak mengerti kenapa raja dengan perawakan keras itu ingin ia ikut serta ke Goryeo. Apa Gwangjong akan mengeksekusinya disana? Tapi apa arti senyuman itu? Taehyung benar-benar tak mengerti.

Ia memikirkannya berulang-ulang, memutar memori itu berulang kali. Hingga ia memejamkan mata sepenuhnya. Melapas kepenatannya sejenak.


Wang Jungkook menghembuskan napas kasar. Ingin rasanya ia melempar semua buku-buku tebal itu ke luar jendela. Membiarkannya tertimbun salju, lalu basah dengan tinta yang luntur hingga ia tak harus mempelajarinya berulang kali.

Di sebelahnya, Wang Seokjin, sang kakak sekaligus putra mahkota nampak tenang dan menyimak penjelasan pria paruh baya di hadapan mereka. Sesekali obsidian itu bergulir ke bukunya. Mencocokkan penjelasan dengan yang ada di buku. Tangannya yang menggenggam pena pun tak bisa diam. Ia mencatat, menambahkan hal yang sekiranya perlu dan menulis opininya sendiri. Amat berbanding terbalik dengan Jungkook.

Jungkook mengamati kakaknya. Kakaknya yang begitu tampan, cerdas, tekun, yang kelak akan memimpin Goryeo ini. Salah satu tangannya menopang dagunya, kepalanya terasa amat berat. Tidak, ia sama sekali tak mengantuk. Hanya saja seluruh materi ini membuatnya luar biasa bosan. Kedua onyxnya menilisik Seokjin dari kepala hingga kakinya yang terlipat di bawah meja. Dari hiasan kepala yang ia gunakan, baju, jubah, hingga detail aksesoris kecil yang melekat di tubuh laki-laki itu.

Dan Jungkook mati-matian menahan tawanya kala menemukan sebuah gelang bermanik-manik merah muda di pergelangan tangan kakaknya. Ia menutup mulutnya sendiri, tak membiarkan tawanya menyembur di hadapan sang guru. Hingga ia memutuskan untuk menyenggol kaki Seokjin dengan kakinya.

"Sstt, hyungnim. Apa-apaan gelangmu itu?" Jungkook terkekeh pelan. Maniknya melirik-lirik awas ke arah laki-laki paruh baya di depan sana. Sementara Seokjin meliriknya sinis. Mengeja diamlah, tanpa suara lalu mengabaikan Jungkook yang masih menahan tawanya.

Satu rahasia, Wang Seokjin sangat menyukai warna merah muda. Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Tapi jika menelisik kamarnya, akan ditemukan beberapa aksesoris ataupun sepotong pakaian berwarna merah muda. Seokjin selalu memakai warna merah muda dalam penampilannya sekalipun itu hanya aksesoris kecil seperti cincin dengan batu berwarna merah muda. Tetapi nyatanya itu sama sekali tak mengurangi ketampanan sang putra mahkota. Seokjin terlihat lebih cerah dan bersinar, juga tampan saat mengenakan apapun itu.

Dirinya berusaha fokus saat Jungkook terus saja mengganggunya. Menarik lengan bajunya, menyenggol kakinya, bahkan menyenggol tangannya dan membuat tulisannya berantakan. Seokjin menggeram kesal, ia memandang sang adik dengan raut garang.

Tawa Jungkook menyembur saat itu juga. Seokjin sama sekali tak terlihat garang, menurutnya itu luar biasa konyol. Dengan kedua mata yang melotot paksa, amat sangat tidak sesuai dengan imej kalem seorang Putra Mahkota Wang Seokjin.

"Apa sejauh ini, ada pertanyaan, Putra Mahkota dan Wangjanim?" Laki-laki paruh baya itu berdehem. Menginterupsi tawa Jungkook, yang langsung membungkam mulutnya sendiri, dan pelototan garang Seokjin. Keduanya terdiam, menggeleng secara bersamaan dengan kepala tertunduk. Persis seperti bocah yang diomeli gurunya.

Laki-laki itu menggeleng maklum dan kembali fokus pada buku tebalnya. Sedangkan kedua pemuda di depannya tanpa ia sadari saling menyenggol dengan kekehan geli.


.

To be continued…

.


author's note :

Hi hi! This is my second fic.
Bawa Jinv lagi tp kali ini temanya saeguk. Well thanks to all the saeguk dramas I've watched.

Last, please give me review and others!