A Deal
Namanya Jeon Jungkook. Orang-orang selalu memanggilnya Kookie, bukan hanya karena itu nama belakangnya, tapi juga karena cocok dengan tampangnya yang imut.
Dia adalah kakak sekaligus ayah bagi adik-adiknya. Jungkook menjadi kepala keluarga sejak orangtua mereka pergi entah kemana meninggalkan mereka satu setengah tahun yang lalu setelah perdebatan besar. Sejak hari itu pula ia hidup mandiri dan menyekolahkan semua adiknya.
Jungkook pekerja keras yang memang serba bisa. Apapun akan dilakukannya demi mendapat uang –kasir di minimarket, delivery pizza, menerima pesanan graffiti, dan yang paling disukainya adalah partimenya yang baru yaitu menyanyi di salah satu kafe di kota– dan bisa membeli bahan makanan untuk dibawa pulang. Beruntung ia sempat mengikuti ujian kesetaraan, jadi dia bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak daripada sekedar menjadi buruh bangunan.
Tak pernah sedikitpun terbersit di benaknya untuk melanjutkan pendidikannya karena bayangkan saja dengan semua jam bekerjanya yang bahkan lebih sibuk dibanding pekerja kantor –jam bekerjanya mulai jam tujuh pagi sampai jam dua dini hari– bagaimana bisa dia mencuri waktu untuk melenggang ke bangku kuliah. Lagipula keungannya yang sekarang pun masih terbilang pas-pasan untuk menyekolahkan adiknya Jungnam dan Jungmin.
Tapi entah matahari sedang terbit dari arah yang berbeda hari ini, atau mungkin Tuhan sedang dalam mood yang sangat baik dan sedang tersenyum padanya, tiba-tiba saja seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Kim Seokjin datang ke rumahnya dan menawarkannya kuliah di Universitas Oasis tanpa biaya.
"… dan ada sedikit tunjangan biaya hidup juga untukmu. Jangan khawatir." Katanya menjelaskan. Jungkook masih dengan mulut menganga mendengarkan penuturan Seokjin dengan pandangan tak percaya.
Setelah lima menit masih belum ada respon, Seokjin berdehem meminta perhatian. "Bagaimana?"
Ini seperti mimpi. Dia mengira-ngira apa yang telah dia perbuat sampai kejatuhan rejeki seperti ini. "Kenapa aku?" balasnya kemudian. Sekarang pikirannya mulai bercabang-cabang. Sisi negatifnya, mungkin saja orang ini jahat dan menginginkan hal buruk sebagai gantinya, atau malah lebih parah, dia menginginkan Jungkook untuk dijual organnya dan semacamnya. Tapi bisa jadi dia seseorang yang memang dermawan dan memperhatihan orang-orang yang putus sekolah. Mungkin saja, kan?
Seokjin melihat ekspresi di wajah Jungkook yang berganti-ganti seperti sedang mengganti channel televisi. Dia sudah tahu apa yang akan dipikirkan anak muda di depannya ini akibat tawarannya yang tiba-tiba.
"Tapi, maaf, Seokjin Ahjussi. Tempat itu jauh sekali dari sini. Aku tidak bisa meninggalkan adik-adikku. Dan lagi aku tidak bisa meninggalkan kota ini. Aku bekerja di~"
"Aku tahu. Sudah dipersiapkan semuanya. Apartemen sudah disediakan dan kau boleh membawa adik-adikmu kesana."
"Ahjussi…"
"Aku belum setua itu, Jungkook." Balasnya sambil terkekeh.
"Ah! Maksudku, Seokjin-ssi, aku rasa masih ada yang belum diceritakan padaku. Apa aku benar?" karena Jungkook merasa aneh ada orang yang tiba-tiba menawarkan hal seperti ini secara cuma-cuma. Seokjin pasti memiliki maksud terselubung dibalik ini, tapi semoga saja bukan hal yang terlalu buruk yang harus dilakukannya. Semoga saja.
Seokjin tersenyum. Senyuman yang bijak sekaligus menyenangkan. Mau tak mau Jungkook merasa sedikit lega melihat senyuman itu dan percaya apa yang akan dikatakannya, tidak akan jadi terlalu menakutkan. "Kau akan jadi mata,…" Dia menyentuh kepala Jungkok dengan satu tangan. "…telinga," sekarang tangannya yang lain menyentuh pundak Jungkook. "…dan kakiku." Seokjin menarik pundak Jungkook mendekat dan memeluknya.
"Kau mau kan, Jungkookie?"
*
Suara batuk Yoongi mengalahkan suara musik dari speaker kecil yang tersambung dengan laptop yang dipakai Jimin. Mau tak mau Jimin menekan tombol pause dan merengutkan bibirnya kesal.
"Hyung, pergilah ke dokter! Ruangan ini sudah cukup tua. Dengan suara batukmu itu, ruangan ini bisa saja runtuh dalam dua menit, kau tahu?!" Jimin mendengus kesal sambil melepas kabel speaker dan menggantinya dengan kabel earphone.
Yoongi seakan tak peduli, terus menulis di kertas yang sudah penuh dengan coretan tak beraturan lalu mengerang frustasi karena masih belum mendapat kepuasan dengan tulisannya. Dia senang menulis lirik lagu. Dan satu hal lagi, dia seorang perfeksionis. Moodnya juga berganti-ganti.
Jimin yang melihatnya cukup tanggap dan membiarkannya Yoongi dengan moodnya yang naik-turun seperti air raksa dalam thermometer. Sebenarnya dia tidak terlalu suka menggunakan earphone. Akan lebih baik ada speaker besar di ruangan ini, dan dia bisa bebas menari mengikuti hentakan lagu tanpa terganggu suara dari luar. Menari membuatnya merasa bebas. Membuatnya merasakan kenyamanan.
"Aku pulang."
Jimin tidak mendengar sapaan dari pintu. Karena itu orang itu berjalan menuju sofa di dekat jendela dan melepas earphone Jimin. "Aku pulang." Ulangnya lagi dengan tampang datar.
"OH! Kemari kau. Mana pesananku?" Jimin menarik paksa kedua kantung belanja itu dan memeriksa isinya. "Ramyon! Love it! Terima kasih, Hoseokku" Dia memberikan beberapa lembar uang pada Hoseok lalu mengambil tiga ramyon mangkuk dari kantung dan membawanya pergi.
Hoseok mencebik lalu mencibir dibelakang. "Dasar pipi bakpau!" Dia melihat Yoongi terbatuk dengan suara mengerikan di sudut ruangan sambil meremukkan kertas-kertas di atas meja. "Yah! Kau perlu bantuan, kawan?"
Orang yang dipanggil sama sekali bergeming. Matanya terpaku pada bola kertas di hadapannya. "Kurasa ada yang mengganggu pikiranmu, maksudku selain gunung meletus itu?"
Akhirnya dia menoleh. Hoseok sempat berpikir Yoongi sedang naik pitam karena sesuatu dan sebentar lagi akan melemparkan apa saja ke arahku. Tapi perkiraannya salah. Matanya sayu menyiratkan kesedihan dan kekecewaan. Seorang Yoongi tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya.
"Kau- kau kenapa?"
Dia tidak membalas dan terus saja menatap ke lantai. Hoseok mendekatinya perlahan ingin mencaritahu. Setelah lebih dekat, ia tidak bertanya lagi karena semua jawabannya ada di atas meja, terpampang dengan jelas.
"Aigoo… Yoongi kita sedang patah hati." Hoseok menyembunyikan lidahnya menahan tawa. Kertas-kertas di atas meja seluruhnya dibuang Hoseok ke keranjang sampah dekat pintu.
Dari kantung belanja yang dibawanya, Hoseok mengambil tiga bungkus coklat bar dan memberikan dua diantara untuk Yoongi. "Coklat, mete, dan karamel. Sembilan puluh persen gula. Dua bungkus ini habis, dan kau pasti merasa lebih baik."
Yang tak disangkanya, Yoongi menurut dan membuka bungkus coklat pertama lalu menyantapnya rakus. Bahu dan kepalanya dilemaskan ke senderan kursi. "Kurasa aku memang butuh ini."
"Kalau kau mau cerita padaku, semuanya akan jauh lebih baik lagi, kau tahu?" Hoseok meyakinkan.
Yoongi meliriknya sebentar sebelum menjawab. "Sae, dia meninggalkanku kemarin. Pacarnya menyeretnya pulang."
Mata Hoseok melebar terkejut. "Dia punya pacar?" Wanita sialan! Kalau begitu kenapa memberi harapan palsu pada Yoongi? Dia membatin. Yoongi mengangguk lesu. "Dan menurutku ini masih ada hubungannya dengan batukmu yang semakin parah." Ungkapnya sedikit kesal.
"Tidak- tidak juga. Aku saja yang bodoh. Dia meneleponku kemarin sore dan meminta kami bertemu di tempat biasa. Namjoon membawa mobil, jadi aku pergi naik bus. Dompet dan ponselku tertinggal, jadi aku tidak bisa menghubungi siapapun. Jadi aku pulang jalan kaki. Memang tidak jauh, tapi agak gerimis, jadi aku… yah, begitulah."
"Astaga, kau ini bodoh atau apa? Pantas saja. Dimana Namjoon?" Hoseok mengambil ponselnya dan mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya. Terdengar ponselnya berdering dan ia langsung mengangkatnya. "Kau dimana? – oh – Cepat kembali, aku merindukanmu – Oh!"
Yoongi menatapnya tak percaya. "Apa?"
"Kau mengolokku, ya? Memangnya kau harus mengatakan itu di depan orang yang sedang patah hati?"
"Ne!" Lalu Hoseok tergelak. "Itu supaya dia cepat datang. Biasanya dia mengerti aku sedang benar-benar membutuhkan sesuatu kalau mengatakan kata mujarab itu." Tawanya lagi.
"Memangnya kau butuh apa?" Yoongi tersenyum mulai penasaran dengan kedua temannya ini.
Hoseok menunjuk pada Yoongi. "Kau yang butuh. Kita akan ke dokter begitu dia sampai. Katanya dalam sepuluh menit."
Pintu terbuka lagi. Kali ini Jimin masuk dengan membawa tiga tingkat mangkuk dengan harum ramyeon yang menyerebak ke seluruh ruangan. Mata Yoongi dan Hoseok cerah seketika dan langsung membantu Jimin membawakan mangkuk-mangkuk sterofoam itu.
"Kurasa ramyeon lebih mempan untuk orang yang sedang patah hati dibanding sembilan puluh persen gula. Iya, kan, hyung?"
"Makan saja dulu. Sepuluh menit lagi Namjoon datang dan kita harus menghilangkan jejak ramyeon dari ruangan ini."
"Arrgh! Kenapa juga aku tadi meneleponnya!"
Yoongi terkekeh dan menyambut sumpit yang diberikan Jimin lalu dengan senang hati menikmati ramyeonnya. Yoongi yang patah hati sudah lenyap.
*
Jungkook mengeratkan pegangannya pada tali tas di dekat kedua sisi pinggang. Jangan tanya apa dia gugup, karena jawabannya sudah pasti YA dengan huruf sebesar gedung kampus yang sekarang ada di hadapannya.
Mulai dari sini dia harus berjalan sendiri. Seokjin sudah berbaik hati mengantarkannya sampai gerbang dan langsung kembali. Katanya ada urusan penting. Masih tanda tanya juga baginya kenapa Seokjin ingin Jungkook merahasiakan identitasnya pada orang-orang di kampus ini.
Ia juga tidak boleh terlalu mencolok, bahkan kalau bisa sedatar mungkin pada setiap orang. Memangnya aku segitu pentingnya sampai bisa mencolok di muka umum? Pikirnya sambil melihat-lihat sekeliling.
Sudah hampir jam dua. Jungkook bergegas mencari ruangan informasi untuk mengantarkan data dirinya. Ah, soal ini juga sedikit mengherankan. Seokjin benar-benar sudah menyiapkan semuanya. Jungkook hanya tinggal melampirkan kartu identitasnya karena semua berkas sudah tersedia.
Untungnya tak lama kemudian Jungkook melihat seseorang duduk di bawah pohon memainkan ponsel. Dia berjalan lebih dekat ingin bertanya pada orang itu. Berkeliling tidak jelas seperti ini sudah pasti lebih merepotkan. Semoga saja orang ini membantu.
"Permisi~"
"Ah, hyung! Sudah kubilang aku tidak ikut. Aku tidak suka bau rumah sakit."
"Sunbae-nim?" panggilnya ragu-ragu sambil menepuk bahu orang itu pelan. Dia menoleh setelah menekan tanda dua garis vertical di ponselnya. Aku menyapanya sekali lagi setelah dia melepas earphonennya.
Mata pria itu membulat. Dia pasti mengira orang yang memanggilnya adalah seseorang yang dikenalnya, sampai terkejut seperti ini. Setelah kekagetannya mereda baru Jungkook meneruskan. "Maaf mengganggumu, sunbae. Aku sedang mencari ruangan dosen, apa kau tahu?"
Dia menatap Jungkook dari rambut sampai ujung kaki. Merasa risih diperhatikan seperti itu, Jungkook sampai berjalan mundur beberapa langkah. Melihat hal itu, pria dihadapannya malah terkekeh. "Ikut aku." Katanya singkat. Jungkook menurut dan mengikuti pria itu dari belakang, menjaga jarak.
Sudah pasti ruang dosen bukan disini. Sudah pasti ruang dosen tidak ada penjual rotinya. Sudah pasti ruang dosen tidak ada pantrynya. Sudah pasti ruang dosen tidak ada mesin penjual minuman otomatisnya. Sudah pasti Jungkook sedang dijebak.
"Hari ini panas sekali. Belikan aku cola dingin." Pria itu mengelus-elus lehernya seolah kerongkongannya benar-benar kering. Agh! Ingin sekali Jungkook menelan pria itu hidup-hidup.
Tapi pada akhirnya dia memasukkan koin dan menekan tombol di penunjuk kaleng berwarna merah tua dan hijau. Diambilnya kedua minuman itu dari bagian bawah dan menyodorkan kaleng minuman berwarna merah pada pria di depannya.
"OK, sekarang kau tinggal berjalan lurus dari sini. Ruang dosen ada di sebelah kiri dan pasti masih ramai. Kau akan langsung mengenalinya nanti. Ada tulisannya juga di depan pintu." Pria itu langsung merebut kaleng merah dari tangan Jungkook dan menenggaknya sampai habis.
Wah! Kalau saja dia bukan seniorku, sudah kuhajar sejak tadi! Batinnya kesal. Jungkook meninggalkan pria sial itu dibelakang tanpa mengucapkan terima kasih. Dia menganggapnya impas saja sudah syukur.
Ada beberapa orang berbicara dari ruangan paling ujung. Jungkook setengah berlari ke arah sumber suara dan menemukan papan kecil bertuliskan R. Dosen. Dan itu ada di ruangan sebelah kanan. Sekali lagi aku menggeram kesal. Untung saja senior tadi sudah pergi, atau bisa saja sepatu Jungkook sudah sampai ke kepala orang itu sekarang.
Pintu di depannya tiba-tiba terbuka saat ia juga akan membukanya. Jungkook dan orang yang keluar dari pintu itu sama-sama terlompat karena terkejut. Jungkook langsung mengambil sikap membungkuk meminta maaf.
"Jungkook?"
"Eh?"
"Namamu Jeon Jungkook?"
"Ne." Jungkook kemudian membungkuk lagi memperkenalkan diri. "Aku mencari~"
"Kau mencariku. Aku tahu. Jin sudah menjelaskan semuanya."
Jungkook menghela napas sedikit lega. "Jadi anda Tuan Kim?" Pria di depannya mengangguk cepat lalu menarik Jungkook agak menjauh dari ruangan dosen.
Tuan Kim dan Jungkook memutuskan untuk mengobrol sambil berjalan. Tuan Kim bilang masih ada panggilan darurat dari atasan. "Jadi kau sudah bawa berkasnya?"
Tasnya dibuka dan langsung mengambil map hijau yang kemarin diberikan Seokjin. Ia meletakkan map itu di atas meja lalu menggesernya ke arah Tuan Kim. "Silahkan diperiksa, Tuan Kim."
Tapi Tuan Kim malah tertawa sebelum membuka berkas itu. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan tentang tugasmu, kau hanya bisa bertanya padaku atau pada Jin. Selain itu, Jin sudah memberitahumu untuk tidak membahas tentang siapa koneksimu disini, kan?"
Ia mengangguk tegas. Jin sudah mengatakan semuanya. Tentang Tuan Kim dan Seokjin, mereka seolah tidak saling mengenal. "Apa ada hal lain yang harus kulakukan dan tidak boleh kulakukan, Tuan Kim?"
"Untuk sementara ini tidak ada. Tapi kau tetap harus hati-hati, Jungkook. Kau boleh merebut prestasi, tapi jangan biarkan dirimu jadi terlalu mencolok. Kau cukup melaporkan tugasmu setiap seminggu sekali pada Jin, tidak perlu setiap hari, kecuali kalau itu sesuatu yang mendesak."
"Aku mengerti, Tuan Kim."
Pria itu kemudian bangkit berdiri dan siap untuk keluar sebelum Jungkook memanggilnya lagi.
"Ada apa, Jungkook?"
"Memangnya disini memperbolehkan mahasiswanya berambut warna-warni?" tanyaku ragu-ragu, takut Tuan Kim tersinggung.
"Tidak apa. Pihak atasan kampus tidak melarang apapun kecuali perkelahian dan narkoba." Balasnya lugas. "Memangnya kenapa?"
Ia menggeleng cepat, tersenyum kikuk. Tuan Kim berbalik lalu menoleh lagi. "Oh, kau sudah melihat Kim Tae Hyung? Pantas saja kau bertanya seperti itu. Dia memang begitu. Setiap bulan warna rambutnya pasti selalu berganti. Tidak perlu dipedulikan."
Taehyung? Jungkook kemudian mengintip ke balik bahu Tuan Kim dan melihat pria yang mengusilinya tadi sedang memantul-mantulkan bola basket di lapangan.
"Jungkook?"
"Ah! Ya, Tuan Kim. Terima kasih. Sampai jumpa lagi." Balas Jungkook tersadar dari lamunannya. Tuan Kim berjalan cepat kembali ke ruangan dosen.
Kim Tae hyung
Namanya bagus. Sayang sekali sikapnya tidak.
*
