"Hah..." Sasuke mendesah, meratapi hitungan keuangannya defisit beberapa ribu yen untuk bulan ini.

"Kau kenapa?" melihat temannya terlihat tidak seperti biasa, membuat Neji mengeryit heran.

"Kurasa aku tidak akan ikut," keputusan final berdasarkan kondisi keuangannya sekarang.

"Kegiatan ini perlu, jika kau tidak ikut, bisa dijamin kau langsung dapat E besar meski nilai ujianmu bagus," jelas Neji sembari mengunyah makan siangnya. Hanya ada mereka berdua di meja itu, Naruto berserta lainnya sedang mengikuti kelas tambahan.

"Aku tahu, aku bisa mengulangnya tahun depan," Sasuke menghisap minumannya lewat sedotan, menimbulkan suara berisik karena sudah tidak ada lagi yang tersisa.

"Kenapa tidak minta bantuan ayahmu, sih?" Neji tidak bermaksud untuk memaksa, tapi jika Sasuke ikut tahun depan, berarti mereka tidak akan bersama-sama.

"Hubungan kami masih merenggang," ujar Sasuke sewot.

"Kalau begitu kau ambil kerja sambilan saja," saran Neji.

"Mana ada kerja sambilan yang waktunya tidak mengekang dengan bayaran tinggi?" ada sebenarnya, tapi tentu tidak bisa ditemukan secepat ini.

"Ada," Neji jadi ingat sesuatu.

"Hn?" kepala Sasuke yang terbaring pasrah di atas meja seketika terangkat, menatap salah satu teman akrabnya itu dengan wajah tertarik.

"Pekerjaannya tidak sulit, cukup datang di atas jam tujuh malam dan pulang terserahmu," Neji berusaha mengingat-ingat kembali sistem kerja sambilan itu.

"Pekerjaan apa? Jangan bilang aku harus menemani tante-tante?" tanya Sasuke malas. Dia sangat menghindari hal-hal berbau wanita dewasa.

"Hampir mirip, bedanya kau bisa bawa bukumu dan..." Neji sebenarnya tidak menyarankan Sasuke untuk menerima pekerjaan ini, tapi mengingat bayarannya yang lumayan, setidaknya tiga bulan bertahan dia sudah bisa melunasi iuran. Bahkan sepertinya ada sisa.

"Dan apa?" tapi Sasuke sudah terlalu terdesak membutuhkan uang. Asal bukan tante-tante, itu tidak masalah.

"Kau menemani sepupuku belajar."

.

.

.

Yo! Sassan

Semua chara yang ada di sini milik Om MK, saya hanyalah peminjam

Genre: T

Warning: geje, aneh, alur kecepetan, typo

.

.

.

Pemuda awal dua puluhan itu beberapa kali mengecek nomor rumah yang tertera dengan secarik kertas yang ada di tangannya. Dia yakin jika dia tidak salah rumah, tapi...

Tapi apa-apaan dengan rumah ini?!

Dia sampai melongo dengan luasnya tanah yang dibanguni bangunan bergaya Jepang itu. Tepat di jantung Konoha, rumah ini berdiri kokoh. Bisa dibayangkan berapa jumlah nominal uang yang masuk rekening jika dia menjual sepetak saja. Terkutuk siapa pun pemilik rumah ini, tanpa perlu bekerja dia sudah kaya tujuh turunan.

"Ara, Sasuke-kun?" rasa kagum Sasuke harus berhenti ketika mendengar namanya disebut merdu. Seorang laki-laki berkimono sutra berambut coklat panjang menyambutnya di depan pintu.

"Konnichiwa, Hyuuga-san," sekedar yang Sasuke tahu, nama laki-laki itu juga pasti Hyuuga. Lihat saja karakteristik wajah dan mata peraknya, Neji tipe 2.0.

"Mari masuk," cukup ramah untuk ukuran tuan rumah dengan rekening berhiaskan nol banyak, maksudnya orang sesibuk dia.

"Maaf menyuruhmu datang lebih awal," Sasuke mengikuti Hiashi memasuki rumah lebih dalam. Matanya tidak bisa terlepas dari perabotan dan lukisan-lukisan antik yang terpajang di dinding. Ambil satu dan dia bisa pergi dari kamar pengap nan lembab itu. Ah, bukan. Wow, betapa berharganya nilai sejarah perabot antik itu. Ya, nilai sejarah. Bukan nilai nominal lho ya.

"Sebentar lagi aku harus pergi ke luar negri," jelas Hiashi kenapa memanggilnya sebelum petang.

"Tidak apa-apa, lagipula ini hari Minggu," jangan-jangan lantai kayu ini tersimpan emas di dalamnya. Plakkk! Berhentilah berpikir macam-macam Uchiha Sasuke, rutuknya dalam hati.

Hiashi tersenyum mendengar betapa rendah hatinya pemuda itu, tidak tahu saja apa isi kepala jabriknya. "Kau pasti sudah dengar dari Neji tentang putriku."

"Iya. Neji bilang dia anak tunggal," hanya itu yang Neji katakan. Informasi yang sangat membantu, huh.

"Benar." Hiashi menghela nafas.

"Karena dia satu-satunya putriku, aku selalu memanjakannya," tipe ojou-sama, keh? Mungkin yang akan dia temui nanti adalah seorang gadis lemah lembut dengan kepribadian manja. Tidak terlalu buruk, asal jangan sampai jatuh hati padanya. Bisa bahaya. Tapi kata Shikamaru, mendokuse.

"Semua kemauannya selalu kuturuti," keluh Hiashi. Dia merasa salah mendidik anaknya.

"Aku harap dia nanti tidak menyulitkanmu," oh, ya ampun. Betapa laki-laki itu sangat peduli pada anak gadisnya sampai menampilkan raut lembut seperti itu.

Bagi Sasuke, kehidupan ojou-sama itu terdengar sangat beruntung. Tidak ada yang namanya berusaha keras untuk mendapat apa yang dia mau, cukup tunjuk dengan sentuhan touch screen -nya maka semua yang dia inginkan akan tersedia. Apalagi jika melihat dia juga punya ayah penyayang seperti ini, sungguh, dia adalah the damn luckiest girl alive on planet.

Telinga Sasuke mendengar suara lirih dari dalam kamar yang berada di pojok lorong, musik klasik nampaknya melihat bagaimana adat istiadat Hyuuga yang kental. Mungkin itu kamarnya, mengingat dia sudah berjalan hampir sepuluh menit dari pintu masuk.

"Ah, tunggu sebentar di sini, Sasuke -kun," Sasuke mengangguk. Mungkin sang ayah akan mengatakan jika tutor yang akan mengajarinya sudah datang. Sasuke hanya bisa diam memperhatikan, dia akan melihat interaksi antara kedua ayah dan anak itu, melihat kehangatan seperti apa yang diperlihatkan Hiashi pada putrinya. Ketuk perla–

BRAKKK!

Apanya yang perlahan? Pintu itu malah didobrak paksa.

Seketika pintu dibuka, suara yang Sasuke dengar adalah–

'UUUUOOOOORRRRHHHH...'

–lagu rock bervolume tinggi memekakkan telinga.

Ctak

"Apa yang kau lakukan, kuso oyaji?!"

Sasuke berdiri mematung, teriakan bernada tinggi itu meruntuhkan ekspektasinya. Di mana gadis bertipe ojou-sama lemah lembut yang sempat terlintas di benaknya? Siapa di sana? Preman, kah? Yakuza, kah? Atau jangan-jangan, mafia?!

"Kenapa mematikan musik–"

BLETAK!

"Sudah ayah bilang berkali-kali, jangan memainkan lagu itu!"

Lalu tipe ayah penyayang tadi lenyap kemana? Apa katanya tadi? Memanjakan? Yang benar saja, apa yang dia lihat sekarang terlihat seperti ayah yang sedang memanjakan anak gadisnya?! Hell no! Absolutely not!

"Aduh! Ayah sengaja memukulkan CD itu padaku, ya?! Ini kan CD langka yang susah payah aku beli dengan uangku!"

Apalagi menuruti keinginannya. CD bajakan seperti itu sudah banyak beredar di pasaran dengan harga murah, nona muda. Dan untuk ayah satu itu, memangnya membelikan anaknya CD orisinal sebanyak jutaan copy apa susahnya, sih?!

"Berhenti bersikap berlebihan, cepat bangun sekarang!"

"Ayah yang berlebihan! Lihat, plastiknya sampai retak!"

Kenapa tidak pikirkan kepalamu yang retak saja? Masa pukulan keras tadi tidak terasa sama sekali?!

"Masa bodoh. Guru lesmu sudah datang."

"Apanya yang masa bodoh?! Ayah harus mengganti dengan membelikanku tiket konsernya," kedutan menghiasi wajah keriput Hiashi, batas kesabarannya sudah sampai maksimal menghadapi putri tunggalnya itu.

"Tiket konser? Akan ayah belikan," gadis itu berwajah sumringah mendapati tingkah tak biasa ayahnya. Tapi senyumnya harus luntur di detik berikutnya saat ayahnya bilang, "Tiket konser ke neraka!"

"Aaaarrrrrggggghhhhhhhh..." leher Hinata sudah berada di lengan kanan Hiashi, laki-laki itu memiting putrinya hingga tak bisa membuatnya berkutik sama sekali.

"Give up...give up...give up!" berkali-kali Hinata menepuk lengan ayahnya, pertanda dia menyerah seperti yang ada di pertandingan gulat. Jika dia berada di kondisi ini lebih lama maka tiket konser nerakanya akan benar-benar berguna.

"Uhuk...uhuk...uhuk..." Hiashi abaikan anaknya yang tengah terbatuk sampai K.O di tempat. Dia jadi sempat terlupa dengan pemuda yang berdiri mematung di depan pintu kamar anaknya.

"Saa, douzo. Maaf jika tempatnya sedikit berantakan, kau tahu anak perempuan jaman sekarang kurang memperhatikan kebersihan kamarnya."

Sasuke speechless melihat wajah tersenyum Hiashi, seolah menganggap tidak ada yang terjadi beberapa detik lalu. Dan untuk kamar milik gadis bernama Hinata itu, dia lihat dengan kedua matanya sendiri siapa pelaku yang memporak-porandakan kamar temaram itu. Jangan dibahas jika dia tidak mau gajinya dipotong seratus limapuluh persen sebelum mulai bekerja. Dia lebih baik diam.

"Omae dare?" suara Hinata tersendat ludah karena menahan batuk.

BLETAK!

"Bersikap yang sopan!" jitak Hiashi lagi.

"Anata wa dare desu ka?" ralat Hinata sambil mengusap kepalanya yang membenjol dua tingkat.

"Dia guru lesmu yang baru," belum sempat Sasuke bicara, Hiashi sudah keburu menjawab. Mungkin dia terlalu lama terbengong melihat aksi kekerasan barusan.

Hinata menatap kesal ayahnya, jika ayahnya sendiri yang menjawab, seharusnya dia tidak usah menjitak kepalanya dulu.

"Cih. Kenapa mereka selalu datang silih berganti?" gumam Hinata pada dirinya sendiri.

"Apa katamu?" Hiashi itu tua, tapi sayangnya telinganya tidak usang. Kedua organ tubuhnya itu tidak terpasang secara percuma.

"Tidak," Hinata mengerucutkan bibirnya sambil buang muka, bisa-bisa dia dapat jitakan lagi.

"Ah, sepertinya aku harus meninggalkan kalian. Aku harus ke bandara sebentar lagi, tidak apa-apa kan, Sasuke-kun?" Hiashi menepuk pundak Sasuke, keras. Sangat amat keras untuk membuatnya bungkam untuk tidak bilang big no.

Hiashi langsung melenggang pergi, meninggalkan kedua bocah tanggung itu berdiri berhadapan.

Apa Sasuke bisa ikut ke bandara sekalian bersama Hiashi? Entah kenapa dia jadi rindu rumah saat ini. Pesawat jam berapa pun tidak masalah, asal dia bisa pergi dari sini. Lupakan soal drama gadis yang menyukai guru bimbingannya, dia yakin beberapa saat lagi genre akan berganti menjadi thriller-psychological. Lihat saja pandangan seperti Neji yang menatapnya tajam, giginya bergemeletuk, dan tangannya yang terkepal erat. Yang pasti, sebentar lagi tubuhnya akan jadi samsak tinju dadakan melihat betapa violent-nya gadis itu.

Jangan melawan, Sasuke. Toh, melawan atau tidak kau nantinya bakal babak belur juga.

Em...permisi. Kenapa bocah tengil itu mengitari tubuhnya? Mencari titik lemah ya? Lagipula kenapa juga harus mencari, semua orang juga tahu di mana titik lemah laki-laki. Tapi bukan berarti dia ingin kaki pendek itu menendang benda berharganya. Hanya saja dia merasa sangat amat kurang nyaman dengan pandangan meneliti itu.

"Um...Hyuuga-sa–"

"Hinata," ucap Hinata sengit. Dia kurang suka seseorang memanggilnya dengan nama keluarganya. Terdengar tua seperti ayahnya yang botak.

"Um, Hinata-sa–"

"Hinata," tegas Hinata sekali lagi. Lupakan embel-embel honorific yang membuatnya merasa disegani. Oh, ya ampun. Dia lupa. Dia kan memang sudah disegani banyak orang.

"Hinata...?" panggil Sasuke uji coba, jaga-jaga jika si pewaris tunggal tidak suka dengan panggilannya. Tapi nampaknya dia menerima.

"Seperti yang kau dengar tadi, aku adalah guru lesmu–" kata Sasuke sebelum memulai memperkenalkan diri. "–yang baru," dia rasa pasti ada beberapa orang pendahulunya yang gugur tidak lama ini.

"Namaku Uchiha Sasuke, kau bisa memanggilku Sasuke atau Sasuke-nii mungkin," Sasuke berusaha tersenyum meski tipis. Jurus sok kenal sok dekat yang ia tiru dari teman-teman perempuannya terpaksa dia keluarkan untuk membangun citra ramah. Judes-judes begitu dia itu tambang emasnya.

"Kau tidak suka? Um...terserahmu saja," seratus persen gagal. Bukannya terkesan, bocah ingusan itu masih memandangnya tajam. Satu bulan sepertinya adalah waktu terlamanya dia bekerja di sini. Setelah pulang, dia akan langsung mencari kerja sambilan lainnya.

"Sassan."

"Huh?" dia bilang apa tadi?

"Sasuke atau Sasuke-nii terlalu panjang. Mendokuse," jangan-jangan dia anak didiknya Shikamaru, ya? Berkata mantra pamungkas itu sambil menguap lebar.

"Sassan yonde ii ka na?"

Ah. Dia dipanggil Sassan. Boleh?

"Tentu saja boleh, Hinata."

"Souka," Hinata mengangguk singkat. Gadis itu duduk terbalik di atas kursi meja belajarnya, membuka sebungkus permen karet merah muda dan mengunyahnya.

Dan untuk Sasuke, pemuda itu masih berdiri di tempatnya semula. Mana berani dia duduk jika belum dipersilakan, lagipula ini adalah kamar milik perempuan, dia tidak bisa melakukan hal seenaknya.

Suara decapan kunyahan permen karet dan suara permen itu yang ditiup kemudian meletus membuat Sasuke sedikit kesal. Dia sudah berdiri lama dan gadis sialan itu masih belum mempersilakannya duduk.

"Ano...Hinata, bisa kita mulai pelajarannya," senyum yang dibarengi dengan perempatan di sudut bibirnya membuat wajah Sasuke tampak creepy jika dilihat dari dekat.

Ingat Sasuke, dia itu tambang emas. Kau sedang menggali emas saat ini. Rapalnya berkali-kali dalam hati.

"Jadi, apa ada pelajaran yang tidak kau mengerti?" mata Sasuke mendapati sebuah meja kecil yang berada di pojok ruangan, berinisiatip menariknya ke tengah. Menunggu gadis itu peka terlalu lama, lagipula dia ingin segera menyelesaikan sesi pertama ini dengan cepat.

"Matematika? Fisika? Atau Kimia?" Sasuke mengeluarkan peralatan mengajarnya yang terdiri dari kertas dan peralatan menulis. Dia tidak membawa buku karena dia pikir Hinata sudah memiliki modul yang dia gunakan di sekolahnya.

Hinata meniup permen karet sampai hampir menutupi seluruh wajahnya. Tidak lama kemudian–dos, permen karet itu membentuk masker wajah dadakan yang menempel di mukanya.

Sasuke menatap datar bocah tengil itu yang nampak kesusahan menghilangkan permen karet yang tersisa. Sudah jelas. Ini pasti alasan dibalik bayarannya lima kali lipat lebih tinggi daripada harga standar, lihat saja bagaimana tingkah laku gadis aristrokat itu. Tapi memangnya dia masih termasuk, ya? Duduk bersila dengan kaos kebesaran dan celana training, ditambah rambut panjangnya yang berantakan, masih termasuk? Dia rasa ayahnya sangat mampu membelikan anak satu-satunya itu sebuah dress manis dan membawa anaknya ke salon paling mahal.

"Tidak ketiganya," Hinata masih berusaha menghilangkan sisa permen karet yang tersangkut di rambutnya.

"Ah, kau pasti menguasai ketiganya, ya kan?" pikir Sasuke positif. Mungkin sastra Jepang atau Bahasa Inggris yang menjadi kelemahan gadis itu hingga harus memanggil seorang guru.

"Tentu saja tidak, bahkan tidak ada pelajaran yang kumengerti."

"Huh?"

"Sama sekali."

Satu alasan bertambah, bukan hanya sifatnya saja, gadis itu–bocah tengil itu ternyata bebal di semua mata pelajaran.

.

.

.

Lanjut atau berhenti?