Author : Yuta Uke

Chapter : 1 – I'll Protect You

Genre : Romance, Hurt, Comfort, Action (Chapter 1 only)

Disclaimer : All character belongs to Masashi Kishimoto

Pairing : KakaSaku, slight SasuSaku

Warning : Unbetaed fic, Semi-Canon. Tulisan miring tebal adalah ingatan tokoh.

douzo...


Apakah kau masih mengingat kisahku?

Kisah saat aku menjadi putri tidur selama 1 tahun lamanya.

Putri yang terbangun oleh suara serak seorang pria.

Ya.

Suara serak.

Aku tak dibangunkan dengan sebuah ciuman manis layaknya dongeng dan yang membangunkanku bukan pangeranku.

Aku terbangun dengan suara lirihnya yang sampai saat ini masih jelas terekam dalam ingatanku.

Suara lirih miliknya memanggil namaku berkali-kali,

memintaku untuk kembali padanya.

Menurutku itu sangat manis.

Saat ku buka mataku, tak ada pancaran bahagia dari orang-orang terkasihku.

Ruangan begitu sepi.

Hanya ada aku dan pria itu.

Kemudian, kenyataan menamparku.

Orang-orang yang menjadi bagian hidupku pergi,

Pergi jauh dan tak akan pernah kembali.

Kisahku tak indah.

Dan mungkin, tak akan indah hingga akhir?


Konoha.

Desa yang telah menjadi saksi bisu perjalanan manis dan pahit setiap penduduknya. Desa yang melahirkan seorang pengkhianat, desa yang membesarkan pahlawan secerah mentari pagi.

Saat ini, desa tersebut berkembang dengan sangat pesat dimana jalinan persahabatan antar negara semakin erat dan hari-hari di dalamnya selalu diselimuti dengan kedamaian karena tak adanya kemiskinan, kemelaratan, maupun kesengsaraan. Seluruh penduduk desa selalu bersuka cita menyambut hari penuh kehangatan yang di janjikan oleh pahlawan mereka.

Ya.

Pahlawan yang notabene adalah seorang Hokage.

Hokage adalah sebutan untuk orang nomor satu di Konoha. Dan saat ini, desa Konoha memiliki seseorang yang begitu cerdas menuntunnya hingga titik jayanya. Seorang Hokage dengan dandanan khasnya—paras tampan yang tertutup oleh selembar kain lusuh, surai perak melawan gravitasi, dan mata kelabu sayu—yang menjabat sebagai Hokage ke-6. Pahlawan baru yang kini wajahnya telah terpahat di kanvas batu bersama dengan pahlawan-pahlawan lain yang telah gugur mendahuluinya adalah...

Hatake Kakashi.

Anak tunggal Hatake Sakumo itu telah sukses membawa kemakmuran untuk Konoha.

Dirinya begitu cemerlang sehingga Konoha dapat meraih kesuksesan terbesarnya—yang tentunya juga di bantu oleh dua kaki tangan kepercayaannya, Nara Shikamaru dan Maito Gai.

Terlepas dari seluruh masa emasnya dalam memajukan Konoha, sepertinya, kehidupan pribadinya tak tergolong dalam kategori sukses. Dapat dikatakan bahwa kehidupan pribadinya bagai riak teh yang terus menerus mengalir namun hanya dalam wadah kecilnya saja—tepatnya, berjalan di tempat.

10 tahun berlalu tanpa adanya kilauan kebahagiaan yang berarti dalam hidupnya. Pria itu begitu memusatkan pikirannya pada pekerjaan sehingga ia tak sadar 10 tahun telah berlalu begitu saja yang mana akhirnya paras tampan itu semakin termakan usia. Usia dewasa yang kini telah sampai pada umur ke-41nya yang tentunya sudah masuk dalam kategori dewasa—atau mungkin terlampau matang?

Di gerogoti umur yang semakin lama semakin bertambah membuat Hokage tampan itu selalu jengah dengan pertanyaan milik kawan-kawan seumurnya yang selalu mendesaknya. Pertanyaan seperti 'mengapa Hokage-6 kita belum memiliki pendamping?' atau kalimat 'hei pria tampan, mapan dan sangat digilai para wanita, cepatlah memilih salah satu dari mereka.' terus berputar memekakkan telinga.

Namun, Hatake Kakashi tetaplah Hatake Kakashi. Dirinya terlihat cuek dan tak menunjukkan minatnya pada percintaan. Meskipun tahun lalu Kurenai datang membawa kenalannya yang berparas seindah tuan putri, atau Iruka yang datang mengenalkannya dengan seorang wanita semanis gulali, Kakashi sama sekali tak menunjukkan reaksi apapun.

Semua hal tersebut memiliki alasan. Karena sesungguhnya, Kakashi mengerti siapa yang ia inginkan, yang ia butuhkan untuk mengisi ruang kosong di hatinya.

"Kakashi-sensei? Lagi-lagi kau kesini pagi-pagi!"

Terperanjat kaget saat mendengar suara seseorang yang menyadarkannya dari lamunan panjangnya, Kakashi memutar tubuhnya dan mata kelabu miliknya menangkap sosok perempuan dengan surai sewarna bunga sakura yang indah tengah berkacak pinggang sembari memasang wajah seram yang dibuat-buat. Pria itu tersenyum seraya menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Haha. Maaf, ini sudah menjadi kebiasaan."

"Aku kasihan pada Shikamaru dan Gai-sensei." Perempuan itu menghela nafas panjang. Menggelengkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya berjalan ringan meninggalkan Kakashi 3 langkah di belakang dan berjongkok di depan batu dingin milik orang terpentingnya. "Sasuke-kun, Naruto, selamat pagi. Lihat, hari masih pagi tapi Hokage ke-6 kita sudah bolos untuk mengunjungi kalian." Tambahnya sembari mendesah—dengan telunjuk yang mengarah ke Kakashi.

Pria Hatake itu hanya dapat tersenyum kecut saat di katakan 'membolos' oleh mantan muridnya dulu.

Sejurus kemudian, sekeliling mereka menjadi sunyi. Tak ada perbincangan satu arah, tak ada kekehan kecil, semuanya sunyi, senyap seolah kedua shinobi Konoha tersebut tenggelam dalam kebisuan.

Kakashi menatap sosok merah muda di depannya dengan lekat, matanya menangkap pemandangan yang mungkin tak akan pernah berubah. Punggung mungil disana masih begitu rapuh, bahu yang seakan memikul beban besar masih bergetar samar setiap kali sang pemilik berada di depan makam kedua pemuda secerah mentari dan sekelam langit malam.

10 tahun sudah segalanya berlalu.

Akhir perang dunia Shinobi ke-4,

Kematian orang-orang terkasih,

Kepergian Naruto dan Sasuke.

Waktu bergulir dengan begitu cepat, membawa lembaran-lembaran kisah kehidupan masa lalu menjadi sebuah kenangan, menyisakan pecahan-pecahan memori pahit yang masih menusuk hati setiap pemiliknya, membuat sosok kunoichi muda berbakat di hadapannya selalu tersesat dalam labirin berduri bernama masa lalu dan berakhir pada suatu hal menyesakkan bernama kehancuran.

"Sakura—"

"Kalau begitu, aku pergi dulu, Sasuke-kun, Naruto!"

Mendadak, perempuan itu bangkit sembari mengepalkan tangan kanannya dan berpose selayaknya orang sedang meninju sesuatu. Jemari dan punggung tangannya dengan sigap ia arahkan kepada pipi pucatnya untuk menyeka jejak-jejak lelehan kristal kepedihan miliknya.

Tanpa menginginkan tambahan waktu disana, ia berbalik dan menatap wajah pria yang kini tengah menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan dengan kata-kata sejenak. Perempuan bernama Sakura itu menampilkan kilauan penuh luka pada kedua bola kaca hijaunya, namun, ia segera memejamkan matanya dan mengganti kilau pedih itu dengan tatapan kosong yang di temani dengan senyuman lebar. Berharap, mantan guru perak—dan dirinya—akan terbebas dari perasaan yang terus membelenggu hati.

"Nah, sampai nanti, Sensei!" Tambahnya lagi seraya melangkahkan kakinya melewati Kakashi yang tak masih terpaku pada rumput hijau tempatnya berpijak.

Hatake dewasa itu mengepalkan tangannya. Perasaan tak rela menggerogoti seluruh hatinya kini. Ia ingin meraih lengan Sakura dan mengatakan 'jangan pergi!' namun dirinya tak kuasa sehingga saat ini yang dapat di lakukannya hanya membeku dan berdoa dalam hati. Berdoa kepada siapapun untuk melindungi nyawa orang berharganya.

Sedangkan yang melangkah pergi merasakan senyuman yang menghiasi bibir mungilnya perlahan memudar saat dirinya telah menjauh beberapa langkah dari makam Naruto dan Sasuke serta pijakan Kakashi.

Perempuan itu mengigit bibirnya. Sesungguhnya saat ini, orang yang paling tak ingin ditemuinya adalah Kakashi.

"Aku tak akan membiarkanmu pergi sendiri!"

"Sensei! Aku bukanlah gadis lemah yang harus dilindungi, aku sendiri sudah cu—"

"Kau akan pergi bersama Yamato, Lee, dan Hinata."

"Sudah ku kata—"

"Jangan membantahku."

Kepingan memori milik Sakura 1 minggu lalu kembali berputar dengan cepat dalam benaknya. Perempuan itu semakin mengigit bibir bawahnya dengan erat saat kembali mengingat alunan nada rendah yang ia yakini adalah pertama kalinya seorang Hatake Kakashi bernada se-menyeramkan itu kepada dirinya.

Penggalan memori tersebut adalah percakapan milik Sakura dan Kakashi saat sang mantan murid datang untuk meminta atasannya mengijinkan dirinya—hanya sendiri—pergi menjalani misi yang akan di mulainya hari ini. Misi dimana dirinya akan menyelidiki monster ciptaan seseorang yang keberadaannya di anggap sangat mirip dengan Orochimaru—pencipta yang sangat haus dengan keabadian dan monster yang dikabarkan memiliki kekuatan selayaknya Gaara yang dapat mengendalikan pasir.

Konoha mendapatkan permintaan misi dari salah penduduk desa yang diyakini sebagai desa tempat persembunyian sang pencipta dan monster tepat 1 minggu lalu. Dari penjelasan salah satu penduduk, desa kecil yang tak terlalu makmur itu sudah berkali-kali kehilangan penduduknya karena serangan 'tanpa akal sehat' milik sang monster. Belum lagi beredar pula rumor yang mengatakan bahwa setiap 2 kali dalam seminggu, anak-anak berusia 12-14 tahun akan menghilang untuk di jadikan percobaan oleh sang pencipta.

Mendengar kabar tentang 'keberadaan seseorang seperti Orochimaru' membuat Sakura menjadi gelap mata, terbutakan oleh emosi. Pasalnya, pemuda yang sangat ia cintai pergi meninggalkannya ke tempat siluman ular itu untuk mendapatkan kekuatan, sedangkan salah satu anggota legendaris Sannin itu menginginkan tubuh pemuda itu untuk mendapatkan keabadian.

Belum lagi ada kabar mengenai 'penduduk yang hilang' yang tentunya menjadi objek percobaan sang musuh. Ia tak ingin, sungguh tak ingin jika ada pemuda-pemuda lain yang terjerat oleh penawaran menjijikkan dari orang yang haus akan keabadian.

Sakura yang mengetahui kabar itu secara tak sengaja dari salah satu perawat yang tengah bergosip dengan rekannya segera menghadap sang Hokage, meminta agar dirinya dikirim untuk misi itu—hanya dirinya. Namun, sosok merah muda itu harus rela saat Kakashi menolak permintaannya.

Tak ingin kalah—tentu saja karena dirinya telah dipenuhi oleh amarah dan kebencian—Sakura semakin mendesak atasannya. Perdebatan kecil tak terelakkan dan berujung pada keputusan Sakura di ijinkan pergi jika Lee, Yamato, dan Hinata ikut serta dalam misi.

"Kakashi-sensei menyebalkan!"

Itulah kata penutup yang di lontarkan sang mantan murid kepada Kakashi tepat setelah perempuan itu—dengan terpaksa—menerima persyaratannya dan menutup pintu dengan sangat keras sehingga Hokage ke-6 itu harus rela melihat beberapa retakan di pintu ruangannya.

"Sakura…"

Langkah—dan lamunan—Sakura terhenti saat dirinya mendengar pria di belakangnya melafalkan namanya. Tanpa berusaha menoleh, perempuan itu hanya membatu, membelakangi Kakashi dalam diam.

"Kembalilah…"

Saat itu pula, lapisan es yang terbentuk dari emosinya mendadak meleleh. Amarahnya sirna, kekalutannya hilang.

Kakashi begitu mengkhawatirkannya,

Kakashi tak ingin kejadian buruk menimpa dirinya.

Sakura mengepalkan tangannya saat mendengar kalimat Kakashi terakhir. Ia merasakan dadanya sedikit sesak. Menengadahkan kepalanya keatas, manik hijaunya menangkap cerahnya warna biru yang membungkus langit pagi hari, bibir bawahnya ia gigit dengan kuat.

Bodoh!

Kau begitu bodoh, Sakura!

Saat ini dirinya tengah merutuki ketidakpekaannya pada perasaan sang—mantan—guru. Sakura kembali tersadar akan fakta menyedihkan milik Kakashi—beberapa kali di tinggalkan oleh orang-orang berharga dalam hidupnya.

Saat masih kecil, pria itu telah kehilangan ayahnya dan hidup dalam kegelapan. Kemudian, ketika di rasanya perasaannya mulai mencair karena Obito—laki-laki pertama yang membuka pintu hatinya yang telah tertutup rapat—kenyataan pahit kembali menghantam takdirnya. Obito pergi meninggalkannya—yang mana ia menyalahkan diri sendiri atas kematian Obito.

Setelahnya, ia harus kembali menelan pahit saat gadis yang sangat dicintai oleh Obito, Rin, harus mati di tangannya. Ironisnya, Kakashi telah berjanji kepada Obito di detik-detik kematian bocah Uchiha itu untuk melindungi Rin, namun, nyatanya janjinya hancur ketika gadis itu berakhir di tangannya sendiri.

Kepedihan tak berhenti sampai disana, di malam munculnya Kyuubi, iapun harus rela menerima kenyataan bahwa mantan gurunya, Namikaze Minato sang Hokage ke-4, mati bersama sang istri, Uzumaki Kushina, meninggalkan dirinya sebatang kara—ia merasa sudah tak memiliki siapapun.

Dan terakhir, di saat dirinya mencoba untuk membuka lembaran baru bersama keluarga kecilnya yang bernama tim 7, kedua anggota keluarganya, Naruto dan Sasuke, mati, menghancurkan segala bentuk kebahagiaan yang ia harapkan dapat kembali di rasakannya.

Sekali lagi pria itu kembali sendiri. Tidak…anggota keluarga kecil bernama tim 7 itu tersisa satu, yaitu Haruno Sakura.

Sakura menarik nafasnya dalam-dalam, membayangkan kemungkinan terburuk jika saat ini ia tengah berada di posisi Kakashi, pria yang telah ia janjikan ketenangan jika dirinya akan selalu berada di sisi mantan guru peraknya. Tentunya ia akan sangat terpuruk jika Kakashi pergi meninggalkannya.

Mungkin akan sangat, mungkin ia dapat sedikit melangkah karena ia tahu dirinya masih memiliki orang-orang yang perduli dengannya. Masih ada Tsunade, Ino, Lee, Hinata, serta kawan-kawan yang selalu bersamanya sejak masih genin dulu. Sedangkan Kakashi, pria itu tak punya siapa-siapa karena sejak dulu seorang Hatake Kakashi selalu membatasi hubungannya dengan orang lain—kecuali pria yang menyebut dirinya sebagai rival abadi Kakashi, Maito Gai. Sebab, Kakashi sangat mengerti sakitnya di tinggalkan oleh orang berharga.

Mendadak Sakura menundukkan kepalanya. Memejamkan mata erat-erat karena malu. Ia seharusnya lebih mengerti perasaan Kakashi lebih dari siapapun, karena perasaan pilu saat kehilangan seseorang yang begitu penting dalam hidup pernah ia rasakan. Maka, saat ini, ia benar-benar menyumpahi dirinya yang begitu bodoh. Mungkin, Sasuke benar. Ia akan selalu menjadi orang yang menyebalkan.

Menghela nafas pelan, perempuan itu kembali melangkah.

"Ya."


Mungkinkah akhirku akan bahagia?

Jika perasaan penuh penyesalan ini terus berlanjut?

Aku tak setegar yang orang-orang lihat.

Setiap harinya aku harus selalu memakai topeng untuk menutupi luka hatiku.

Topeng tertawa,

Topeng konyol,

Topeng tersenyum.

Tampaknya hatiku sudah membeku.

Hatiku telah mati bersama dengan kepergian kedua orang yang kusayangi.

Saat ini, tak ada yang ku punya.

Tunggu!

Aku—

Aku memilikinya!

Seseorang yang harus ku lindungi.

Seseorang yang ku sadari sangat berarti untukku.

Aku tak ingin tawanya terenggut.

Aku harus melindunginya.


"Hinata! Apa sudah dekat?"

Mentari pagi telah meninggi. Terik milik sinar keemasan yang membakar kulit itu sangat menyengat. Udara sekitar menjadi lebih hangat dari biasanya.

Ke-4 shinobi hebat milik Konoha kini tengah melangkahkan kaki mereka melompati dahan pepohonan yang besar, sehingga kesunyian rimba terpecahkan. Merekapun tak memedulikan sengatan ganas milik sang surya, karena seluruh fokus perhatian mereka berada pada satu tujuan…musuh.

"Di-di depan ada sebuah gua dan di dalamnya ada seseorang." Jawab perempuan manis bernama Hinata.

"Tepat seperti yang tertulis di laporan." Tambah pemuda dengan tight ketat yang menurut orang-orang di sekitarnya sangat menggelikan.

"Yosh! Semuanya berhenti." Seluruhnya segera menghentikan langkah mereka dengan cepat. Pria dewasa pemilik elemen kayu yang memberi aba-aba tadi menatap ke-3 rekannya dengan tajam. "Laksanakan sesuai rencana." Lanjutnya singkat.

Sakura, Lee, serta Hinata mengangguk mantap dan ke-3nya segera mengambil posisi—menempatkan diri mereka masing-masing di sisi kanan dan kiri pintu masuk menuju gua.

Kunoichi medis berbakat didikan mantan Hokage ke-5 tersebut menarik nafas dalam-dalam. Saat ini ia tengah memusatkan seluruh perhatian kepada sosok yang sebentar lagi akan menjadi lawannya. Kepalan tangannya menguat, sungguh, dalam hati ia begitu takut akan sosok apa yang entah menunggunya di dalam gua kecil ini, namun, di satu sisi ada sebuah gejolak perasaan yang ia yakini adalah amarah.

Perasaan menyesakkan bernama kebencian kembali hadir memenuhi dasar hatinya.

"Sakura-san?"

Sakura tersentak saat menyadari tangan penuh balutan kain milik seorang pemuda beralis tebal menyentuh pundaknya pelan. Di lihatnya pemuda nyentrik itu tengah menatapnya dengan sorot mata khawatir karena tampaknya pemuda tersebut mengerti akan apa yang sedang merasuki pikirannya.

"Tenanglah Lee-san, aku baik-baik saja."

Haruno muda itu tersenyum palsu. Mana mungkin ia baik-baik saja di tengah pertempuran yang akan terjadi? Bisa saja sedetik kemudian tubuhnya telah terbujur kaku di tanah!

Mengalihkan pandangannya pada Yamato—selaku kapten tim—yang tengah mengangkat tangan, bersiap memberi sinyal tanda penerobosan segera dilakukan membuat tubuh ringkih itu menegang.

"Sakura-san." Perempuan dengan surai merah muda itu kembali menoleh pada Lee. Raut wajah pemuda itu menjadi lebih serius—namun tetap di selingi dengan senyum lebarnya. "Aku telah bersumpah akan melindungimu apapun yang terjadi. Karena ku yakin, hanya itu yang dapat ku lakukan untuk dapat membalas kebaikkanmu serta—Naruto-kun."

Untaian kata sederhana yang terucap dari bibir Lee tadi membuat seorang Haruno Sakura harus dapat menahan kristal kepedihan yang sewaktu-waktu dapat meleleh sehingga saat ini, bola kaca hijaunya berkilau indah. Lagi-lagi ia akan menjadi seseorang yang selalu di tolong, selalu di lindungi.

Bahkan ketika dirinya bersumpah untuk menyejajarkan diri dengan Sasuke dan Naruto, ia tetaplah menjadi seorang yang berada di belakang, memandangi punggung orang lain yang sedang melindungi dirinya hingga sampai akhirnya dirinya pernah mati di tangan pemuda Uchiha yang sangat ia cintai.

Menghela nafasnya panjang—berusaha untuk menguasai dirinya kembali—sekali lagi ia lemparkan senyuman kepada Lee.

"Terima kasih, Lee-san. Tapi, kau tak perlu melindungiku karena kali ini aku yang akan melindungi kalian."

Setelah mengucapkan kalimat terakhir penutup percakapan singkat miliknya dan Lee, ia melihat Yamato memberikan tanda!

Sekarang atau tidak sama sekali!

Membunuh atau terbunuh!

Dalam hitungan ke-3, segeralah Sakura—diikuti yang lain—menerobos masuk dan—

"Selamat datang, tikus-tikus Konoha."

Gagal!

"Cih. Ketahuan, kah?" Yamato berdecak kesal.

Sedetik kemudian, langkah 4 shinobi Konoha itu membeku. Suara gemerisik batu yang terinjak oleh langkah seseorang di hadapan mereka menambah ketegangan yang tercipta.

Empat pasang mata disana tak henti-hentinya mencoba menangkap siapakah gerangan sosok yang berbicara dengan alunan nada penuh intimidasi disana.

Rahang Sakura mengeras. Sekalipun saat ini matanya masih belum terbiasa dengan penerangan buruk dalam gua, ia tahu jika musuh berada tepat beberapa langkah di hadapannya.

"Kau monster yang diciptakan bukan? Mana penciptamu?!"

Sakura berteriak geram. Ketenangan dirinya telah hilang sepenuhnya. Yang diteriaki menyeringai dan terkekeh pelan.

"Khukhukhu…siapa yang diciptakan? Akulah yang membentuk tubuh ini untuk mendapatkan keabadian."

"Ku-kugutsu?!"

Empat orang disana membelalakkan mata mereka saat tahu ada 1 informasi yang kurang. Musuh mereka, sang pencipta dan sang monster adalah 1 orang dan bertubuh boneka.

"Be-berbeda dengan yang informasi yang kita dapatkan…" Hinata menatap ngeri tubuh menjijikkan di depannya.

"Kalian semua, jangan gegabah! Kita harus—Lee?!"

"Haaaaah!"

DHUAGH!

Yamato harus rela ketika kata-katanya terpotong oleh gerakan mendadak Lee yang menerjang musuh tanpa menunggu aba-aba selanjutnya.

Pemuda tanpa bakat dalam bidang ninjutsu itu berlari secepat mungkin dan menendang musuh dalam hitungan detik. Rekan-rekan di belakangnya meneguk ludah saat melihat kaki Lee mengenai sesuatu.

"Pasir!"

"Ternyata benar bahwa ia memiliki kemampuan yang sama dengan Gaara-kun." Lee tersenyum singkat. "Masih belum!"

BUGH! DHAK!

Bunyi hantaman demi hantaman yang tercipta dari tangan dan kaki milik murid seorang Maito Gai semakin menggema ke seluruh penjuru gua.

"Se-seluruh serangan Lee tak mempan. Pasir itu melindungi dengan cepat." Yamato mengerutkan dahinya kala melihat serangan milik Lee sia-sia.

"Hmpf, ternyata kau hebat juga. Bagaimana jika aku menambah kecepatanku?"

Setelah mengatakan beberapa patah kata, kecepatan Lee mendadak menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berlari mengelilingi monster itu dan menyerangnya bertubi-tubi. Ke-3 rekannya yang lain hanya dapat terdiam sembari berdecak kagum melihat Lee yang kini bertarung dengan kecepatan yang tak dapat diikuti oleh mata.

"Lee-san, awas!"

Hinata berteriak dan membuat Sakura serta Yamato menoleh kaget—karena hanya perempuan pemilik Byakugan itu lah yang sanggup mengikuti gerakan secepat kilat Lee.

"Aaaaargh!"

Sedetik kemudian terdengar erangan Lee yang telah terpental dan menubruk dinding gua di belakangnya.

"Lee-san!" Sakura menghambur dengan cepat menuju Lee untuk memberikan pemuda itu pertolongan.

Melihat Lee terpental dengan begitu keras, Yamato segera membentuk segel dan dari bawah tampak kayu-kayu besar merambat, membentuk sebuah kotak berbentuk sel tahanan kecil. "Hinata!" Teriaknya setelah musuh terperangkap dalam penjara ciptaannya.

"Baik! Juuho Soushiken!"

Pewaris klan Hyuuga itu memusatkan cakranya pada kedua tangan yang setelahnya cakra-cakra yang terkumpul tadi membentuk menyerupai singa. Hinata berlari menuju musuh untuk mendaratkan tinjunya, namun—

"Kyaaa!"

"HINATA!"

Makhluk pengendali pasir itu dengan cekatan menghancurkan sel kayu milik Yamato dan saat itu pula pasir-pasir di kedua tangannya memanjang, membentuk sebuah pedang dan menembus perut Hinata. Makhluk itu juga melempar tubuh perempuan bersurai panjang itu dengan sekali hentakan.

"Hinata! Aaaargh!"

"Taichoou!"

Sakura menjerit saat melihat perut Yamato sedikit terkoyak oleh pedang pasir itu—karena Yamato terpental dengan posisi pedang masih menancap. Kedua rekannya tersungkur dengan wajah menghadap tanah dan berkali-kali memuntahkan darah.

"Sa-Sakura-san, aku sudah tak apa." Lirih Lee. Haruno muda itu menoleh dalam hitungan detik dan mendapati Lee tengah tersenyum—dipaksakan—kepadanya. "Cepat tolong mereka berdua."

Mendengar hal tersebut, Sakura mengangguk dan segera berlari menghampiri Hinata serta Yamato, menghentikan pendarahan dan menutup luka akibat tusukan tadi. Bola kaca milik Sakura masih menatap luka yang terbuka itu dengan ngeri. Entah mengapa, saat ini tubuhnya seolah enggan bersentuhan dengan sesuatu bernama darah.

"Bertahanlah, Taichou, Hinata."

Sekuat tenaga ia melakukan proses penutupan luka yang tanpa sadar membuat pelipisnya habis tertutupi oleh keringat. Luka tusukan tadi begitu dalam namun untungnya tak sampai membahayakan karena tak mengenai bagian vital.

Memerhatikan Sakura yang sibuk menghentikan pendarahan milik rekan-rekannya, Lee kembali menolehkan kepalanya, menatap musuh bertubuh kayu menjijikan yang kini berada bebapa meter di hadapannya dengan tatapan tajam.

Perlahan pemuda itu mulai bangkit. "Hachimon Tonkou! Dai Nana Kyomon, Kai!" Setelahnya, seluruh tubuh Lee terlapisi oleh aura berwarna biru.

"Hee—itukah gerbang cakra? Beruntungnya aku dapat melihatnya."

"Habislah kau! Hirudora!"

"Tak akan mem—apa?!"

Monster itu membelalakkan matanya saat melihat kecepatan Hirudora milik Lee berada jauh tak sebanding dengan kecepatan pelindung pasirnya.

"Gyaaaaaaaaaaa!"

BLAR!

Dalam sekejap, keremangan yang sejak tadi menyelimuti gua sirna karena tertembus oleh sinar-sinar menyengat mentari. Gua yang masih berdiri kokoh beberapa kejapan mata lalu telah hancur berkeping-keping tak berbentuk akibat serangan mengerikan milik Lee.

Sakura—serta Yamato dan Hinata yang telah mendapatkan kesadaran mereka kembali—terpaku melihat kekuatan mengerikan milik seorang Rock Lee.

"He-hebat." Sakura terkagum-kagum.

"A-anak itu…ia berhasil membuka gerbang ke-7." Yamatopun terperangah melihat sang pengguna taijutsu handal.

BRUK

"Lee!"

"Haah…haah..haah…"

Aura biru yang berkilau melapisi seluruh tubuhnya pudar, Rock Lee jatuh tersungkur dan meringis. Nafasnya terputus-putus, ia merasakan seluruh sel-sel tubuhnya ngilu seakan mengoyak dirinya dari dalam. Itulah resiko dari pembukaan gerbang cakra ke-7 yang digunakannya tadi.

"Me-menang?" Tanya Yamato.

"Belum!"

Tiba-tiba saja Hinata berteriak. Matanya melebar saat melihat tubuh kayu yang retak itu masih kokoh melapis sang monster. Orang awam pasti telah hancur tak berbentuk mendapat serangan Lee tadi.

"Hahahahaha! Kalian hebat sekali tikus-tikus Konoha!"

"Haaah…haaaah…"

Lee mengangkat kepalanya dengan susah payah untuk melihat sosok mengerikan yang bahkan hanya mengalami retak-retak setelah dirinya mengerahkan seluruh cakra dan tenaganya.

"Hebaaat! Kalian sungguh hebat! Tak salah kalian menjadi tikus-tikus bawahan Hatake Kakashi!"

Tubuh Sakura menegang saat indra pendengarannya mendengar nama Kakashi meluncur mulus dari bibir menjijikkan milik musuh.

"Baiklah! Aku akan menjadikan Konoha target selanjutnya! Aku tak tahu jika Konoha memiliki stok bibit handal disana! Pasti aku akan panen besar! Hahahahaha! Ah—tampaknya Hatake Kakashi juga pantas menjadi salah satu koleksi kelas satu milikku mengingat dia adalah—"

BRUAGH!

"Jangan menyebut nama Kakashi-sensei dengan mulut kotormu."

Lee, Hinata, dan Yamato tampak terkejut ketika rekan merah muda mereka telah berada di hadapan musuh seraya melayangkan tinju tenaga monsternya. Wajah dan nada suara milik perempuan manis tersebut begitu dingin dengan sorot mata penuh benci.

"Hee… gadis kecil ini ternyata memiliki tenaga menyeramkan juga." Ucap pemuda bertubuh boneka itu sembari melirik sedikit ke kanan dimana pasir pelindung miliknya mengalami retakan akibat tinju Sakura. "Tapi, aku tahu kau lemah!"

"Akh!"

Sedetik kemudian, pasir-pasir yang tadi masih berfungsi melindungi sang majikan berubah menjadi jarum-jarum kecil dan menggores tiap inchi kulit milik kunoichi medis itu. Merasa terancam, Sakura segera membawa tubuhnya menjauh.

"Sakura-san! Kau baik-baik saja?!" Hinata berlari kecil menuju Sakura. Kekhawatiran segera merasuk menghantui diri perempuan manis itu. Pasalnya saat ini, sahabat dari pemuda oranye yang ia cintai penuh luka dengan darah segar menetes hampir di seluruh tubuh ringkih di hadapannya.

"Te-tenang saja, Hinata. Aku sudah menutup sebagian lukanya." Jelas Sakura mencoba meredam kecemasan milik Hinata.

Sorot mata milik putri tunggal Kizashi dan Mebuki itu semakin tajam. Rahangnya mengeras saat menatap sosok memuakkan di depan matanya.

"Dia kuat sekali…" Yamato membuka mulutnya. Pria itu tampaknya tengah berkonsentrasi memikirkan langkah selanjutnya.

Sakura melirik Yamato sekilas dan dalam hatinya ia mau tak mau menyetujui pernyataan yang kapten timnya itu lontarkan. Sosok di hadapannya memang kuat, namun, ia masih dapat bertarung dengan seluruh kekuatannya.

"Byakugou no—a-apa?!"

Kalimat Sakura terputus. Ia mengangkat kedua tangannya dan memerhatikannya dengan seksama.

Cakranya tak beraturan!

"Sakura, tubuhmu bergetar."

Mendengar kalimat milik mantan junior Kakashi di ANBU, manik hijaunya kembali terpaku pada getaran-getaran hebat yang menyelimuti kedua tangan…seluruh tubuhnya.

Jangan-jangan…

"Hahaha! Tampaknya racun milikku telah bereaksi dalam tubuhmu."

Benar!

Racun!

"Sial."

Sakura mendecih kesal. Mengapa ia tak menyadari bahwa dalam pasir-pasir itu terdapat racun?!

Saat ini, dendam, amarah, bentuk perasaan memuakkan bernama benci bercampur satu memenuhi seluruh dirinya. Tatapan matanya semakin tajam kala melihat ancaman desa itu tertawa terbahak-bahak. Makhluk rendah disana adalah ancaman berbahaya! Berbahaya untuk desa tercintanya dan Kakashi!

Tangannya yang masih bergetar itu ia kepalkan sekuat tenaga. Pikirannya terpusat pada satu hal. Ia harus membunuh makhluk menjijikan ini!

Ia harus melindungi desa,

Melindungi Kakashi!

Sekalipun nyawa menjadi taruhannya!

.

.

.

Pertarungan menjadi lebih sengit. Bunyi dentuman penanda kematian terus bergaung memekakkan telinga. Saat ini kedua bola kaca hijau terus menatap sosok pria yang tengah mengeluarkan kayu yang terus memanjang, mengikuti tiap pergerakkan musuh dan perempuan manis bersurai panjang dengan cakra yang berbentuk bagaikan singa di kedua tangan mungilnya.

Bola kaca hijau itu memancarkan kilauan kepedihan yang terus mengiris hatinya. Sebuah perasaan kesal dan penyesalan merasuk membunuh dirinya perlahan. Sekali lagi, ia hanya dapat duduk termangu dengan tubuh bergetar dan memerhatikan orang-orang melindungi dirinya…lagi.

Tangannya mengepal kuat. Ia malu. Ia marah. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Bahkan kini hatinya nyaris tak berbentuk saat melihat sosok pemuda hijau tengah berdiri di hadapannya dengan lutut yang gemetar dan posisi berdiri yang terhuyung-huyung.

Lee yang seharusnya tak dapat berdiri setelah menggunakan jutsunya, berada di hadapannya dengan kuda-kuda miliknya, berusaha menepati janjinya untuk melindungi sang sosok merah muda. Semuanya selalu sama. Ketika bibir ranum tersebut mengucapkan kata 'kali ini aku yang akan melindungi', kenyataan akan berbalik karena ia lah yang kembali dilindungi.

Mengigit bibirnya kuat-kuat, ia berusaha untuk memutar otaknya yang selalu di banggakan oleh Ino agar bekerja lebih keras, mencari cara sehingga dirinya dapat berguna—dan membunuh musuh.

Sedetik kemudian, terbesit satu cara yang kemungkinannya hanya mencapai 50%. Perempuan musim semi itu terdiam sejenak. Ya, atau tidak sama sekali!

Kumohon, bergeraklah tubuhku!

"Sakura-san?!"

Mata bulat milik Lee melebar saat perempuan yang sejak tadi berada di belakangnya mendadak melukai dirinya sendiri—tepatnya pahanya—dengan kunai dan bangkit dengan susah payah. Manik hijau dan hitam bertemu, membuat Lee menyadari ada yang berbeda dari sorot mata milik Sakura.

Sakura memerhatikan telapak tangannya, gemetarnya berangsur-angsur memudar. Keputusan untuk melukai diri sendiri memang tepat. Di hirupnya udara kotor disana dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kasar.

Lindungi aku, Sasuke-kun, Naruto…

Karena aku harus melindungi orang-orang ini, desa, dan…

Kakashi-sensei.

"Terima kasih Lee-san, kali ini aku yang akan melindungi kalian."

"Sakura-san!"

Lee berteriak berusaha untuk menghentikan Sakura yang telah melesat pergi dari lindungannya. Dan Lee harus rela saat dirinya jatuh tersungkur karena tubuh yang belum pulih benar seraya menatap sosok perempuan yang masih membekas di hatinya berlari menjauh, menghampiri Yamato serta Hinata.

"Hinata! Taichou! Terus desak makhluk itu!"

"Sakura?! Apa yang akan kau lakukan?"

"Fokuslah dan alihkan perhatiannya!"

Yamato serta Hinata terhenti sejenak sebelum sorot mata penuh kesungguhan milik Sakura bersirobok dengan manik mereka masing-masing. Keduanya kemudian kembali mengerahkan seluruh sisa-sisa cakra mereka untuk melakukan apa yang Sakura titahkan tadi. Sedangkan yang memberi perintah terlihat melesat dengan seluruh kekuatannya sehingga tak lama ia telah berada di belakang monster itu.

"Kau?!" Sang musuh terlihat begitu terkejut. "Seharusnya kau tak dapat bangkit kembali!" Ia segera membangun pasir pertahanan miliknya namun sayangnya Sakura lebih cepat.

"Seharusnya ya? Ah, kau kalah cepat."

"Peledak?!"

DHUAAR!

"Sakuraaaaa!"

Yamato membelakakkan matanya ketika mendapati pasir yang tadi menutupi monster mengerikan tersebut—serta Sakura—hancur di terbangkan oleh ledakan yang ia yakini berasal dari dalam.

Sakura, perempuan cerdas itu meledakkan dirinya dan sang monster untuk membuat monster itu tak berdaya. Sungguh ceroboh!

Beberapa detik kemudian, kepulan asap-asap sisa ledakan tersebut menipis, menampilkan sosok Sakura—yang penuh luka serta dibanjiri darah—tengah mengunci gerakan musuh dengan cara menahannya dari belakang.

"Taichou! Tusuk ia tepat di jantungnya!"

Hinata yang mendengar hal tersebut segera memusatkan penglihatannya pada 'jantung' yang Sakura teriakkan tadi. Ternyata benar, disanalah tempat seluruh cakra musuh berpusat.

"Itu pusat cakranya."

Yamato yang diteriaki menoleh cepat ke arah Hinata. Perempuan bersurai panjang itu serius. Jika memang benar hanya itu salah satu cara untuk mengalahkannya, Yamato akan melakukan hal tersebut, namun, jika ia melakukannya sekarang, maka Sakura akan—

"SEKARANG ATAU TIDAK SAMA SEKALI!"

Tubuh Yamato menegang. Belum pernah ia mendengar teriakkan Sakura yang begitu mengintimidasi dan serius. Air mukanya mengeras. Benarkah ia harus melakukannya?

"YAMATO-TAICHOU!"

Kemudian ia memejamkan mata, mengigit bibirnya kuat-kuat, dan mulai menjulurkan tangan kanannya yang telah membentuk sebilah pedang runcing dari kayu.

"Bagus." Sakura tersenyum simpul saat melihat pedang yang berasal dari tangan ketua timnya semakin lama semakin mendekati dirinya. "Nah, kau tidurlah dengan nyenyak bersamaku."

JLEB

"SAKURAAAAAAAA!"

.

.

.

Sepasang mata beriris kelabu sayu tampak memandang lekat pada sehamparan butir-butir benda langit raksasa yang berkilauan di atas sana. Kedua tangannya bertumpu pada sisi jendela dan menopang dagunya yang terlindungi selembar kain berwarna hitam.

Berkali-kali dirinya menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya seolah ia sedang mengalami sesak nafas akut. Ia tak tahu mengapa dingin menyelimuti tubuhnya sejak pagi tadi. Lalu pada detik ini, sebuah perasaan aneh yang menyesakkan menikam jantungnya sehingga ia dapat merasakan darah yang mengalir dalam tubuhnya menjadi berdesir lebih cepat di luar ritme awalnya.

Hembusan angin mendadak menerpa wajahnya, surai keperakannya menari-nari mengikuti arah tiupan alam. Angin yang berhembus tadi membawa perasaan buruk. Begitu dingin dan tak bersahabat.

Sedetik kemudian, ia menggelengkan kepalanya, mencoba menguasai dirinya kembali. Di pejamkannya kelopak matanya dengan erat.

Sakura…

To be Continued


A/N : Haaaaai semuaaaaa! Kembali lagi dengan sayah Yuta Uke dalam fic aneh ini yang ternyata adalah sequel Always Beside You! Hahaha.

Sejujurnya, sayah tak menyangka jika SAYAH DAPAT MENEPATI JANJI MEMBUAT SEQUEL INI! Wkwkwk. Sayah juga tak menyangka jika sequel ini jadi multichap. Terus, sayah lebih shock lagi pas sadar kalau chapter 1 ini—hampir—full action. Huwaaaaaah! Ga dapet ya? Feelnya ga dapet ya? Duuh…mohon maaf yak kalau sequel—atau chap ini—kurang memuaskan.

Tapi, sayah akan mecoba membuat chapter 2 menjadi lebih baik dari chapter ini. :'D

Btw, fic ini sayah persembahkan untuk readers Always Beside You yang penasaran dengan kisah Kakashi-sensei dan Sakura. Ehem. Semoga happy ending ya :plaak:

Yosh! Terima kasih sudah mau membaca~ Jangan lupa reviewnya biar sayah semakin semangat! :D
Sampai jumpa di chapter 2~