Kembali dengan author berotak miring dengan hati penuh pasokan garam~. Yap, setelah cukup lama vakum dari fandom K Project, akhirnya author kembali dalam rangka merayakan MikoRei Week 2017 dengan tema harian yang pastinya ada sangkut pautnya dengan bahasa bunga, yeaaayyy! Seperti apa yang tercantum pada sinopsis pula... fanfiksi kali ini merupakan... prekuel? sekuel? atau tambahan? dari fanfiksi lawas author yang berjudul Once Upon a King and His Faery, dengan fokus pada fanfiksi kali ini adalah pasangan kita tersayang, Suoh Mikoto dan Munakata Reishi. Akan jadi apa dan bagaimana jadinya fanfiksi kali ini, silakan kenakan sabuk pengaman dan genggam erat-erat kokoro pada rongganya! Akhir kata, selamat menikmati dan semoga author, seperti tahun-tahun sebelumnya bisa disiplin mempublikasikan karya baru setiap harinya!


...


.

Project K (c) GoRa & GoHands

百花繚乱 ~Hundred Petals Flying Wildly~

dedicated for MikoRei Week 2017

Prolog: Dancing Petals form the Past

.

'Bagai kelopak-kelopak bunga yang menggugur tertiup angin dingin musim kemarau. Tidak memedulikan arahnya. Tidak mencari jalannya.'

.

.

.

.

.

Dinding-dinding kuarsa menjulang tegak. Pantul biasnya menyilaukan. Menusuk pandang. Seolah tengah mengadu cahaya dengan sang penguasa hari. Terik. Sementara percik itu meletup. Meluapkan dua spektrum warna. Yang kontras. Yang tak kenal padu-padan. Yang tidak selamanya terlihat serasi. Seakan tengah saling berebut kilau di bawah naung sang matahari.

Merah dan biru. Yang telah lama saling memendarkan rasa. Saling menautkan jiwa. Meski dalam segala daya upayanya, pijar mereka tak mengenal arti kata menyatu. Tetap setara. Setidaknya, di bawah rangkul hangat yang merajai siang, merah dan biru sama-sama mendendangkan kisahnya.

Tentang asa. Tentang perih. Tentang benci. Tentang rindu.

Tentang cinta.

"Lalu masihkah kau ingat akan kisah itu?"

Suara merdu sesosok gadis muda menyapa, melontarkan lirih itu tidak pada siapapun. Karena di sekelilingnya tidak ada sepasang maupun berpasang-pasang telinga yang mendengarnya. Karena ia menghembuskan kata-katanya untuk didengar langit. Untuk ditangkap anak-anak angin. Untuk disematkan di antara gumpalan-gumpalan awan. Sementara sepasang sayap kupu-kupu berwarna merah rubi yang bertengger di punggung kecilnya bergoyang lembut, disapu sejuk yang pula meniupkan helai-helai perak panjangnya.

.

.

.

"Ibuku sering kali menceritakannya. Tentang peri. Tentang kerajaan kalian. Awalnya aku memang tidak percaya, sampai aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri. Omong-omong… sayapmu itu… sungguhan? Apakah kau… keberatan jika aku memegangnya?"

.

.

.

Tangan pucatnya kemudian menyapa permukaan kuarsanya. Satu gesek halus, dan spektrum warna berkumpul di dalam bongkah-bongkah kristal menjulang itu. Menjalar. Berkejaran satu sama lain. Seolah warna-warni itu berada dalam kuasa jemari lentiknya. Membentuk rupa. Memainkan masa. Memutar kembali ingatan yang mungkin nyaris terlupa.

.

.

.

"… rindu…? Ah… mungkin memang itu kata yang tepat. Puluhan tahun lamanya semenjak aku terakhir kali bercengkerama bersama manusia. Aku nyaris melupakan kehangatan mereka. Kelembutan hati mereka. Keteguhan jiwa mereka meski mereka hanya memiliki sepasang tangan dan kaki, tanpa sayap yang dapat membawa mereka terbang meski impian mereka tetap berkelana hingga ke langit. Aku tahu aku juga tidak dapat melupakan segala tragedi masa lalu yang ditimpakan oleh para manusia itu, tapi… Anna, apakah aku boleh berharap bahwa ia adalah manusia yang berbeda? Bahwa dia adalah manusia yang akhirnya mampu membawa kedamaian bagi Moors dan kerajaan manusia?"

.

.

.

"Aku selalu… selalu mengingat semuanya. Dari tempat ini… hingga pada sebuah kehidupan yang jauh… tidak terjangkau. Lalu kalian… sudahkah kalian tiba di tempat itu?"

Bibirnya melengkung senyum. Meski ada getar dalam suaranya. Ada gentar dalam lantunan nadanya. Kedua iris sewarna sayapnya berkilat. Perih yang menggenang. Duka yang menggelayut. Pahit di pangkal lidahnya yang menyahut. Sementara pantulan dari dalam dinding-dinding bening terus terajut. Melukis ilusi lampau yang sekali lagi menjadi nyata, berlutut di hadapannya.

.

.

.

"Jangan bodoh dan jangan memberikanku harapan palsu. Kau adalah pangeran dari kerajaan manusia. Kau tidak bisa menjanjikanku kebahagiaan maupun ketentraman bagi kerajaanku—"

"—meski berkali-kali kukatakan bahwa aku bersungguh-sungguh? Ini bukan hanya sekedar balas budi tentang ibuku. Bukan juga tentang kerajaanku. Tapi mengenai diriku. Karena aku yang menginginkanmu."

.

.

.

Merah dan biru berkejaran. Saling menaut hanya untuk kemudian saling merenggut. Meninggalkan namun juga tidak pernah untuk merelakan. Sementara genang perak menampakkan rupa pada manik rubi gadis muda bersayap kupu-kupu itu. Meski tidak ada yang menetes. Tidak ada yang jatuh membasuh bumi. Tidak peduli seberapa dahsyat benturan antara merah dan birunya, air matanya tidak pernah lagi mampu meleleh meski hanya untuk membasahi pipinya.

.

.

.

"Seandainya belasan tahun lalu aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Seandainya belasan tahun lalu aku tidak mengacuhkan rasa yang mengganggu dalam benakku ini. Tidak. Seandainya… aku tidak jatuh semudah itu ke dalam genggaman tangannya…."

.

.

.

"Seandainya aku bukanlah seorang raja. Seandainya aku hanyalah anak laki-laki biasa, sebagai penggembala sapi atau petani yang bisa dengan bebas pergi dan menetap di bawah langit yang sama denganmu. Tidak. Seandainya… aku tidak pernah terlahir sebagai anak manusia…."

.

.

.

Dinding-dinding kuarsa yang menjeritkan masa lalu. Kini dalam bening itu, terdengar suara pilu yang menggema. Bagaikan seekor elang buas memohon kebebasan untuk kembali mengepak sayap di angkasa. Jerit yang memerihkan hatinya. Pilu yang menyayat sukmanya.

"Aku tidak pernah menyangka… memiliki kemampuan untuk melihat masa lalu sekaligus masa depan, nyatanya sama sekali tidak membantuku untuk mengatasi rasa sakit yang tidak mau hilang dari dadaku. Atau mungkin… aku saat itu masih terlalu kecil untuk mengerti dan memahami."

Mengerti arti dari kata kehilangan.

Memahami arti dari frasa tidak ingin melepaskan.

.

.

.

"Orang yang seperti apa, katamu? Hmm… dia adalah seseorang yang… aneh."

"Aneh? Seperti apa?"

"Seperti seorang bocah laki-laki lugu dan penuh keingintahuan, sama sepertimu, yang kemudian ketika dewasa, dia berubah menjadi seseorang… yang tidak kukenal. Yang hangat sekaligus dingin. Yang kuat sekaligus lemah. Yang menawan… sekaligus mengusik."

"Hee… tapi itu artinya, kau tidak membencinya, 'kan?"

"… mengapa kau bisa menarik kesimpulan seperti itu?"

"Karena kuyakin, Reishi sebenarnya…."

.

.

.

"Meski aku tahu aku akan tetap menemukan kalian, meski aku tahu aku akan selalu mengawasi kalian dari dekat, tapi…."

Bayang dalam kristalnya berubah. Dua wajah mengabur yang perlahan menjadi nyata. Dua sorot mata pada akhirnya bertemu dalam satu momen terakhir, begitu pahit meski tidak satupun dari keduanya mengucap makna penyesalan. Seolah penebusan dosa. Seolah ritme senandung kata maaf. Walau keduanya tidak pernah tahu sepanjang apa karma yang tengah menunggu di gerbang-gerbang kehidupan yang lain.

Telapak tangannya tertempel. Dingin kuarsa yang menghangat di kulitnya. Melunak. Lembut. Seolah yang tengah menyandar di telapaknya tidak lain adalah sisi wajah sang pemilik sepasang ungu yang balas menatap ke dalam rubinya. Teduh. Seakan dipayungi damai. Tentram yang ironisnya ia tahu tidak akan pernah sudi mampir memeluk sosok itu.

"… aku tetap ingin menemukan dan menjaga kebahagiaan kalian. Reishi…. Mikoto…."

.

.

.

"Aku bermimpi…."

"Apa, Ayah? Apa yang Ayah lihat dalam mimpi?"

"Dia… tersenyum…."

"Begitu? Lalu lalu? Apa lagi?"

"Dia hidup… dan berbahagia… bersama denganku."

"… itu semua bukan mimpi, Ayah. Karena itu Ayah jangan khawatir. Ayah istirahat saja dulu. Setelah ini, Ayah… Ayah akan bisa bertemu lagi dengannya."

.

.

.

Apa yang nyata? Mana yang ilusi? Seandainya saja sepasang matanya yang dianugerahi kemampuan untuk melihat melintasi ruang waktu itu dapat dikorbankannya, maka gadis muda itu tidak akan ragu lagi untuk menukarnya dengan seluruh tetes perih yang telah terlanjur mengalir. Walau hidup tidaklah pernah sesederhana itu. Dunia tidaklah pernah pemurah seperti itu.

Ia lantas melepaskan tangannya dari permukaan kristal kuarsanya. Gambaran masa lalu yang mendadak lenyap hanya dalam sekelebat. Meski merah dan biru tetap menggenang. Tetap mengawang. Bagai dua kunang-kunang kecil yang tengah menari kanan-kiri. Bagai kelopak-kelopak bunga yang menggugur tertiup angin dingin musim kemarau. Tidak memedulikan arahnya. Tidak mencari jalannya. Hanya menunggu detak jantung sang waktu hingga mereka jatuh menyapa tanah.

Gadis muda itu tersenyum lagi. Lengkung di bibirnya yang dihiasi secercah damai. Kilat di irisnya yang sirna. Hangat dalam dadanya, menyisakan setetes perih namun membuatnya tegar di saat bersamaan.

Tanpa bantuan kristalnya, Anna, Sang Peri Kuarsa, memutar ulang masa lalu dalam ingatannya. Mengais serpihan manis dan pahit dalam kepalanya. Membiarkan sang waktu bergulir dalam diamnya. Heningnya mengenang merah dan biru terkasihnya.


...


.

a.n. Terima kasih sudah membaca~! Ditunggu saran dan kripik-tidak-pedasnya, ya~! Serta sampai jumpa di MikoRei Week esok hari~!