Title : Evil Kid, Sehun! (SEQUEL)
Rate : T (Teen)
Genre : Family, Humor
Pair : KrisHan/KrisLu
Disclaimer : Saya cuma penulis amatir yang kebetulan kenal EXO, terus pinjem nama mereka untuk tokoh dalam cerita saya. Saya nggak mengambil keuntungan apa pun :D
Warning : BL, MPREG, typo (mungkin), OOC, gaje, bahasa amburadul
Author's note : Terima kasih bagi kalian yang udah baca Evil Kid, Sehun!. Maaf, saya lupa ngasih keterangan BL dan MPREG di sana. Sequel ini dibuat berdasarkan permintaan readers yang ingin ff ini dilanjut. Maaf update-nya lama (DARI TAHUN BERAPA INI WOY!), soalnya saya sempat kena writer block sehingga menelantarkan ff ini selama sekian tahun #curhat. Maaf ya~ :D
SO, HAPPY READING!
*e.k.s.s*
"Sehuuun~ where are you, dear~?"
"I'm in the restroom, Pa!"
Kris menghampiri Sehun yang tengah sibuk menggoreskan pensil warnanya di atas buku gambar. "Kamu lagi sibuk ya, Hun? Papa boleh minta tolong sebentar nggak?" tanya Kris yang direspon tatapan aneh dari anaknya.
"Suara Papa kenapa jadi serak bindeng begitu? Habis nelen kodok ya, Pa?" tanya Sehun asal.
Alis sebelah Kris berkedut. "Papa lagi pilek parah tahu, makanya jadi bindeng begini." jawabnya sabar. "PR kamu ditinggal dulu gih. Tolong belikan tanah liat sama tanah merah di toko tanaman dekat jalan raya. Papa mau bikin patung-patung kecil buat hiasan meja tipi. Nggak mungkin Papa keluar rumah dengan ingus cair meler kemana-mana begini. Mau taruh dimana muka kece Papa ini?"
Sehun memasang pose muntah mendengar kepedean Papanya. Oke, Sehun mengakui muka Papanya itu ganteng. Tapi dengan hidung bengkak dan memerah begitu, kadar kegantengannya berkurang drastis, malah jadi lebih mirip alas pantat–bantal duduk–di rumah mereka.
Kalau sudah menyebut-nyebut kata muka ganteng, bisa panjang obrolannya. Kali ini Sehun mengalah saja lah.
"Terserah Papa, deh. Mana uangnya?"
Kris mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompet emasnya. Dompet doang yang emas, padahal mah aslinya lagi kere.
"Nih, bilang ke abang-abangnya, beli seplastik gede. Tanah liat sama tanah merahnya dipisah ya. Dua minggu lalu Papa beli sih harganya 7 ribu. Kalau nggak dikasih kembalian, sumpahin aja abangnya. Oke?"
"Iya, ngerti."
Sehun pergi membeli pesanan sang Papa. Benar saja, si abang penjual tanaman itu memberi harga 10 ribu, mentang-mentang Sehun anak kecil.
Sesuai pesan Papanya, Sehun menyumpahi abangnya bakal bau tanah karena telah mendzolimi anak kecil yang polos dan tidak berdaya, ditambah dengan dalil yang menyebutkan do'a orang yang didzolimi akan langsung dijabah oleh Tuhan. Alhasil, Sehun mendapat diskon dengan membayar 3 ribu saja!
Iki bocah pancen huebat, rek... ckck.
Btw, author nggak tahu harga tanah di toko kembang berapa sekarang. Harga yang ditulis author di sini adalah harga jadoel. Muehehe...
Sehun berjalan dengan riang ke rumah. Kris bangga dengan usaha anaknya yang sukses mengancam orang memakai sumpah serapah demi mendapat diskon gede-gedean. Siapa dulu dong Papanya, Wu Yi Fan gitchu lho!
Sehun pun kembali ke kamar sambil mengibaskan gocengan, special award from his freak Papa. Kris juga langsung menuju ke halaman belakang dan mulai bergelut dengan pekerjaannya.
Baru saja Kris mau mencampur tanahnya dengan air, ingusnya tidak bisa diajak kompromi. Berhubung kausnya juga sudah basah kuyup gara-gara dibuat lap ingus, Kris menghentikan sementara pekerjaannya untuk makan dan minum obat.
Sepuluh menit kemudian Kris selesai. Ia pasang masker agar tanahnya tidak masuk ke hidung. Dimasukkannya seperempat dari dua tanah itu ke dalam ember kosong. Sesaat sebelum menuangkan air, ia merasa ada yang janggal.
"Perasaan aku belum nyampurin air, tapi kok tanah merahnya agak blenyek begini, ya? Jangan-jangan ini bukan..." Kris tatap lagi tanah itu lamat-lamat, dan tanah itu masih tetap sama. "Hmm.. ya sudahlah, mau blenyek atau nggak, yang penting patungnya jadi."
Kris melanjutkan karya seni rupanya. Satu setengah jam berlalu, dan jadilah maha karya patung-patung anak ayam yang imut-imut!
"Xiao Lu babeee, ke sini sebentar, sayang!" seru Kris.
"Iya, Pa!" Luhan menghampiri Kris. "Ada apa, Pa?"
Kris menunjuk bangga maha karyanya yang kece pisan itu. Dia lumayan jago untuk urusan meremas, memijit, dan mengelus tanah menjadi karya seni rupa dalam waktu yang cukup singkat. Tapi lain ceritanya kalau yang diremas, dipijit, dan dielus itu Xiao Lu-nya. Nggak bakal kelar hanya dalam waktu satu malam! Kekeke~
"Lihat tuh, udah jadi. Keren kan, Ma?" bangga Kris.
Luhan melihat ke arah yang ditunjuk Kris, dimana empat buah patung anak ayam bertengger manis dijemur di tengah halaman. Bagus sih, tapi...
"Pa, kamu mencium bau tengik nggak? Ini bau dari mana, ya?" tanya Luhan sambil menutup hidungnya. Gila, baunya bikin perut mual!
Kris menaikkan sebelah alisnya bingung. "Bau apa sih, Ma? Papa nggak bisa nyium, soalnya Papa lagi pilek berat. Nih, Papa pakai masker," ucap Kris.
"Tapi baunya menyengat banget, Pa." Luhan pun mengendus kesana kemari seperti anjing, mencari asal bau itu. Matanya terbelalak saat ia menyadari bau itu berasal dari... oh my, suaminya sendiri!
"Papa! Kamu itu habis ngapain aja sih? Badan kamu sampai bau tengik begitu!"
Kris berjengit kaget. "What?! Aku bau? Yang benar saja kamu, Ma! Aku kan mandi pakai lulur Purbasereh!" bela Kris. Enak aja nuduh badannya bau. Lulur mahal, tuh!
"Kamu nggak nyium karena kamu lagi pilek! Beneran, Pa, aku nggak bohong! Aku eneg banget!" seru Luhan.
"Emang aku bau apa sih, Ma?!"
"PAPA BAU TAI KUCING!"
"HWAAAAATT?!"
Kris bergidik ngeri dengan pernyataan mengerikan istrinya itu. Jangan sampai imejnya sebagai GGS tamat dan berubah jadi GGMS –Ganteng Ganteng Mambu Semriwing.
Setelah perdebatan panjang disertai penyelidikan oleh Nyonya Wu, akhirnya diketahui bahwa penyebab bau ee uting –bahasanya dialusin yah :D– di badan Kris adalah tanah yang dibeli oleh putra mereka. Kecurigaan pun tertuju pada Sehun.
Pasutri itu pun segera menuju kamar Sehun setelah Kris membersihkan badannya. Pintu kamar Sehun tidak dikunci, jadi mereka langsung masuk untuk menginterogasi plus mengkepret anak itu.
Pertanyaan seputar kejadian bau ee uting itu bertubi-tubi dilontarkan Luhan dan Kris.
"Kenapa tanah yang kamu beli bisa bau ee uting?" tanya Kris.
"Mana aku tahu, Pa. Pas aku beli tadi nggak bau sama sekali, kok. Aku nggak pilek lho, Pa."
"Jangan bohong, Sehun. Nggak mungkin tanah itu jadi bau kalau nggak ada yang masukin dan mengaduk-aduk ee itu sampai tercampur dengan tanah. Memangnya ee bisa melayang terbang ketiup angin?" sahut Luhan.
"Bisa aja, Ma, kalau yang pup lagi mencret."
PLETAK!
"Ih, sakit, Ma! Tapi suwer deh, aku sama sekali nggak nyium bau itu pas beli tadi. Kalau memang tanah itu bau tengik, aku pasti protes sama abangnya. Dan aku rasa abangnya itu juga nggak usil kok, kan aku liat sendiri pas abangnya masukin tanah itu ke plastik. Terus seandainya aku yang masukin ee itu, apa untungnya buat aku ngerjain Papa? Jangankan masukin, ngeliat aja udah jijik," tukas Sehun.
Kris dan Luhan berpandangan mendengar penuturan masuk akal Sehun. Tapi tetap saja, kejadian itu sungguh, sungguh, sungguuuh aneh!
"Hmm.. mungkinkah ada kucing liar masuk ke rumah kita?" tanya Luhan pada suaminya.
"Nggak mungkin, Ma. Di kota ini bersih dari hewan liar. Kita juga nggak pelihara kucing."
"Iya juga, ya..."
Mereka bertiga saling bertatapan horor. Kris dan Luhan pun melenggang lesu dari kamar Sehun, sementara anak itu kembali memeluk gulingnya.
Seringai tampan tercetak di bibirnya.
"Ganteng ganteng sih bau ee. Hihihi..."
*e.k.s.s*
Dua hari setelah insiden ee uting.
Luhan baru saja selesai mencuci pakaian. Tubuhnya lelah karena harus mencuci seabrek pakaian kotor yang ditinggalkan suami dan anaknya. Dia ingin rebahan sebentar sebelum lanjut menyetrika dan bersih-bersih. Memang tipikal istri idaman si Luhan ini. Ckck.
Saat melewati ruang tamu, Luhan melihat Sehun sedang duduk anteng di depan tipi. Tingkahnya yang stay cool, (sedikit) penurut dan nggak suka bikin keributan lagi itu membuat suasana rumah sepi. Yah, tapi lumayan lah, nggak bikin darah tinggi Luhan kumat lagi.
"Hun, bisa tolong Mama?"
Sehun melirik Mamanya sekilas. "Tolong apa, Ma?"
"Tolong jemurin baju yang baru Mama cuci dong. Mama capek banget nih, kurang tidur juga."
Sehun terdiam sejenak. "Oke, tapi entar ya Ma, tunggu filmnya selesai. Tanggung nih,"
Luhan berdecak. "Dasar kamu sama Papamu itu sama aja, kalau disuruh pasti jawabannya 'tar ter tar ter' kayak petasan," dengusnya. "Ya udah, Mama taruh ember sama gantungannya di luar, ya. Bakal Mama cabut semua listrik kalau nggak dilakonin!"
"Iya iya,"
Setelah menaruh perlengkapan menjemur di halaman, Luhan masuk ke kamarnya. Diintipnya halaman depan dari jendela dan menemukan Sehun sedang menjemur di sana. Baguslah, ia bisa tidur siang hari ini.
Baru sekejap memejamkan mata, ponselnya yang ada di meja nakas berdering.
'Dragon Papa is calling'
"Tumben Papa telepon. Halo, Pa?"
"Halo, Ma. Kamu lagi ngapain?"
"Aku baru aja mau tidur sebelum kamu ganggu. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa sih, Ma.. Papa kangen aja sama suara Mama, hehe.."
Luhan tersenyum geer. "Dasar gombal,"
"Hehe.. oya, Sehun gimana, Ma?"
"Sehun baik-baik aja, Pa. Barusan Mama suruh dia jemurin baju, tapi ya gitu, kebiasaan entar entar aja kayak kamu."
"Mama gimana sih? Ya pasti kayak aku lah, Ma. Aku ini kan Papanya. Hehe.."
Luhan menepuk jidatnya. "Ampun deh Papa ini. Eh iya, kok Papa bisa telepon Mama? Emangnya Papa lagi istirahat?"
"Nggak, Ma. Lagian gimana mau istirahat? Kerjaan malah makin banyak aja, nih. Papa stres, Ma, makanya Papa telepon Mama biar bisa denger suara Mama. Suara Mama tuh sumber energi bagi Papa setelah nasi dan film kartun, apalagi suara 'Aaaaahh~' Mama di tengah malam. Beeeuuh, Papa jadi setrong dan gagah lagi! HAHAHA...!"
Luhan meringis kesal dengan wajah merah padam. "Iiiih, apaan sih, Papa? Mesum! Kalau didengar sama sekretaris Papa gimana, huh?!"
Kris cekikikan. "Bodo amat. Nih, orangnya lagi melototin Papa, hehe... Aww, sakit, bro! Iya iya, gue kerja. Nggak usah getok kepala orang ganteng deh. Kualat lu! Ma, teleponnya Papa tutup yah. Sekretaris tercinta Papa udah ngambek berat, nih. Hehe.."
"Salah Papa sendiri telepon pas lagi sibuk-sibuknya. Kerja yang benar, Pa!"
"Iyaaa Xiao Lu babeee... Wo ai ni!"
Suara Luhan melembut. "Hm, wo ye ai ni,"
"Nanti malam Papa minta jatah ya, Ma!"
"PAPAAAAA!"
Tut. Tut. Tut.
"Dasar naga jelek, mesum. Aish!" gerutu Luhan sambil mengusap-usap pipinya yang masih memerah. Malu nih yeee.
Kembali Luhan bergelut mesra dengan gulingnya. Aaah, rasanya sangat nyaman. Sekitar dua minggu ini dia kurang tidur karena harus meladeni permintaan suaminya yang rewel pingin nambah momongan lagi. Sebagai istri yang baik, Luhan mau tidak mau pasrah diuyel-uyel suaminya hampir setiap malam. Jadilah dia sering tidur menjelang subuh.
Cih, mikirin kemesuman suaminya terus tidak akan membuat Luhan bisa tidur. Mendingan ngebayangin Choi Siwon jadi selingkuhannya.
Lima menit berlalu dan Luhan hampir terlelap...
BRUK! TANG! KLONTANG!
"Ya Tuhan, ada apa lagi sih ini?"
Segera ia menuruni tangga untuk mengecek keadaan. Luhan berlari ke asal suara: tiang jemuran di halaman rumah. Mulutnya menganga lebar sampai rahangnya jatuh ke tanah.
Eh, tidak selebay itu sih.
Yang jelas, dia saksikan sendiri tiang jemurannya rubuh, semua pakaiannya berhamburan di tanah. Bahkan beha miliknya... ralat, boxer Hello Kitty kesayangannya nyangkut di pohon mangga milik tetangga karena tertiup angin. O em jiiii!
Luhan menatap nanar pakaian bersih yang ia cuci sepenuh hati itu. "SIAPA YANG NGERUBUHIN TIANG JEMURAN GUE?!" teriaknya entah pada siapa. "Ini pasti ulah Sehun!"
Luhan berlari ke kamar anaknya dan mendapatinya asyik bermain game komputer dengan headset terpasang di telinga. Luhan copot paksa headset itu.
"Apaan sih, Mama?" seru Sehun.
Luhan mengabaikan protes Sehun dan langsung menarik tangan anaknya. Mata Sehun membelalak kaget menyaksikan tiang jemuran yang hancur lebur serta semua pakaian yang tergeletak mengenaskan.
"Sekarang Mama mau tanya, kamu apain itu tiang jemuran?" tanya Luhan sewot.
Sehun menggeleng. "Nggak aku apa-apain, Ma. Tadi tiang jemurannya masih bener, kok. Suwer!"
Luhan berdecak kesal. "Sudahlah, Hun, jangan bohong lagi. Lihat ini," kata Luhan sambil memperlihatkan beberapa utas tali jemuran yang putus. Tali itu digunakan untuk mengikat kedua tiang agar tidak rubuh. "Nggak mungkin tali ini bisa putus sendiri kalo nggak ada yang mutusin!"
"Jadi Mama nuduh aku pelakunya?" seru Sehun tidak terima.
Tatapan Luhan memicing. "Hun, di rumah ini cuma ada kamu dan Mama. Wajar lah kalau Mama berpikir kamu pelakunya. Oh, jangan-jangan kamu ngerjain Mama ya gara-gara Mama suruh?"
"Pikiran Mama cetek banget, sih." ejek Sehun yang langsung dipelototi Luhan. "Perhatikan baik-baik dong, Ma. Tali ini putus bukan karena dipotong pakai alat, tapi karena digigit dan dicakar. Lihat nih, potongannya mekar dan berantakan. Belum lagi ada bau bekas air liur di ujungnya. Mungkin ada tikus yang nggak sengaja masuk kemari,"
Luhan terdiam. Betul juga apa yang dikatakan Sehun. Penjelasannya lagi-lagi masuk akal!
"Hmm.. tapi Mama ragu ada tikus yang masuk deh, Hun. Rumah kita kan bersih, pagar rumah kita beton, dan nggak ada got yang terbuka di komplek kita. Terus itu tikus datang dari mana?" tanya Luhan heran.
"Keselip di beha Mama kali,"
PLETAK!
"Ish, sakit, Ma!"
"Jangan ngawur kamu, Hun. Sejak kapan Mama pakai beha?" sewot Luhan.
Sehun meringis sambil mengusap kepalanya. "Kalau bukan beha, apa dong, Ma? Batok kelapa? Kulit kerang?"
PLETAK! PLAK! DWESSS!
Luhan menatap sengit anaknya yang terkapar dengan hidung berdarah-darah. Sadis, euy.
"Bangun, jangan pura-pura kesakitan gitu," desis Luhan tajam. "Sekarang kamu cuci ulang semua pakaian itu, betulin tiang jemurannya, dan panjat pohon tetangga itu untuk ngambil beha–maksudnya boxer Mama yang nyangkut. Mama nggak akan kasih makan malam kalau kerjaannya belum selesai. Ngerti?"
Bulu kuduk Sehun merinding melihat sang Mama yang sedang dalam Malaikat Pencabut Nyawa mode: on. Ditambah tanduk, ekor, dan tongkat api.
Tanpa ba bi bu lagi, Sehun segera melaksanakan perintah sang Mama. Ia tidak mau bernasib sama seperti Papanya yang pernah tergeletak mengenaskan di ruang tamu, di meja makan, bahkan di jamban. Ditambah bekas gaplokan, tonjokan, dan piyama robek-robek yang lebih nista dari lap kaki.
Luhan masuk ke kamarnya dan meneruskan tidur siangnya yang tertunda. Untuk memastikan Mamanya benar-benar tidur, Sehun berjinjit ke depan kamar Luhan dan sedikit menggoyang gagang pintunya.
Yes, dikunci!
Sehun kembali ke halaman belakang dan menelepon seseorang.
"Halo, bro? Lagi sibuk nggak? Cuciin baju sama betulin tiang jemuran dong. Apa? Lu berani nolak permintaan sohib sehidup semati lu ini? Gue sumpahin makin item najis lu! Bayaran mah gampang, nanti gue kasih sekardus majalah Miyapi bokap gue plus foto melon Dewi Bersisik. Masih kurang? Kutang renda bekas nyokap gue mau? Nah, gitu dong. Eh iya, sekalian ambilin boxer nyokap gue ya. Nyangkut di pohon lu tuh. Oke, sip bro!"
Sehun terkekeh keji. Beruntungnya dia punya sohib mesum yang gampang dijadikan bansur.
*e.k.s.s*
Luhan stres.
Hari-harinya kini dihiasi oleh berbagai kejadian aneh nan misterius yang tidak diketahui siapa pelakunya. Sebenarnya ia masih mencurigai Sehun, tetapi ia tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa Sehun bersalah.
Selain Sehun, Luhan menduga bahwa ada binatang liar yang masuk ke rumah mereka. Namun setelah membongkar setiap sudut rumah pun mereka tak menemukan kucing, anjing, atau sejenis binatang liar lainnya. Kota ini bersih dari hal-hal semacam itu, seperti yang Kris katakan sebelumnya.
Kalau begitu siapa?
Pertanyaan itu setiap saat berputar di kepala Luhan. Bagaimana tidak?
Pertama, makan malam yang disediakan Luhan berkurang jumlahnya. Belum lagi sup ayam dengan taburan bawang goreng kesukaan Kris menjelma jadi sup tanpa ayam bertaburan bulu binatang. Alhasil, suaminya itu bengek selama dua hari. Ya, Kris punya alergi terhadap benda-benda kecil yang halus.
Tertuduh: Sehun.
Alasan: Ada di dekat meja makan ketika Luhan sedang memasak.
Kedua, sandal jepit swallow kesayangan Luhan berubah warna dari putih kinclong menjadi kusam. Bau tengik pula. Padahal sandal itu dibeli Luhan dari pelelangan barang-barang impor asli Indonesia seharga 1 juta dollar USD. Seandainya Luhan tahu, sandal itu hanya seharga 15 ribu rupiah di negara asalnya... Ckck.
Lagi-lagi tertuduh: Sehun.
Alasan: Dipinjam untuk pergi ke pesta ulang tahun super mewah teman sekelasnya. Lagi tren tuh, ke pesta pakai sandal jepit.
Ketiga, bekas gesekan yang berbentuk mirip cakaran di punggung Kris. Lagi enak-enak ngerokin suaminya, perut Luhan mulas dan ia tinggalkan dulu pekerjaannya. Tanpa Kris sadari, 'sesuatu' mendekat dan menggaruk punggungnya, yang Kris pikir Luhan kembali bergulat dengan balsem dan seribuan logam. Namun baru tiga kali gesek, 'sesuatu' itu berhenti dan menyisakan Kris yang menjerit histeris di pojokan kamar ketika menyadari tidak ada siapa-siapa di kamar selain dia.
Yang bosan jadi tertuduh: Sehun.
Alasan: Ketahuan lagi ngumpet di kolong kasur. Luhan menyangka Sehun iseng menakut-nakuti Kris ketika dia sedang di toilet.
Dan masih banyak hal-hal lainnya yang malas author jabarkan satu per satu #ditendang.
"AKU NGGAK TAHAN LAGI!"
Luhan berteriak frustasi karena semua ini. Kris segera membekap mulut istrinya itu, takut-takut membangunkan Sehun yang sedang bobo cantik di kamar sebelah. "Kecilin suaramu, Ma!"
"Habisnya aku kesel banget, Pa! Semua kejadian nggak masuk akal ini terus-terusan menimpa keluarga kita!" seru Luhan. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, kita harus cari solusi sebelum Papa jadi manusia GGMS betulan!"
"Lho? Kenapa Papa sih, Ma? Mama mau Papa kayak gitu?" tukas Kris tidak terima.
"Ya nggak lah! Makanya Papa cepetan cari solusi dong!" Luhan membatin, "Heran. Laki gue bolot bener!"
Pasutri itu tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Cukup lama mereka saling diam, memikirkan jalan keluar dari segala 'keajaiban' di rumah mereka sekitar dua minggu ini. Luhan berpikir di depan jendela kamar, sementara Kris menatap kalender yang terpampang di dinding.
"Ma,"
"Hm?"
"Kamu inget nggak ini bulan apa?"
"April. Kenapa?"
"Sebentar lagi Sehun ultah lho, Ma."
"Oh, terus?"
"..."
"Tadi Papa bilang apa?"
Kris menepuk jidatnya. "Heran. Bini gue bolot bener!"
"Ultah Sehun, Xiao Lu-ku yang cantik..." jawab Kris. "Emang kamu nggak mau kasih kejutan ke anak kita yang ajaib bin ghoib itu?"
Luhan menggeleng cepat. "Nggak, sampai Sehun mau mengakui semua kejahilannya," kekeuhnya. "Aku yakin banget Sehun mulai berulah lagi, Pa. Sayangnya kita nggak punya bukti sehingga kita nggak bisa menuduh dan marah-marah ke dia begitu aja!"
Kris mengusap lembut rambut Luhan. Dia paham perasaan istrinya itu. "Jangan begitu dong, sayang. Mungkin aja Sehun bener-bener nggak bersalah. Lagipula aku juga mengerti kok, hampir sepuluh tahun ini kan kita cuma hidup bertiga, mungkin Sehun mulai merasa kesepian karena dia nggak punya teman main," jelasnya.
Luhan tertegun. Agaknya dia membenarkan ucapan Kris. Rumah mereka cukup besar, bahkan sangat besar untuk keluarga yang hanya beranggotakan tiga orang. Kris hampir tidak pernah di rumah, sedangkan dia sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Sehun mulai tumbuh sebagai anak remaja, jadi dia mulai membutuhkan orang lain selain keluarganya untuk diajak bermain. Apalagi Sehun anak tunggal, wajar jika dia merasa kesepian dan berbuat ulah untuk mendapatkan perhatian.
Dipandanginya Kris dengan rasa bersalah. "Kamu benar, Pa. Maaf kalau aku belum bisa jadi ibu yang baik karena nggak bisa memahami perasaan anak sendiri," kata Luhan sendu.
"Kamu sudah cukup baik kok, Ma," senyum Kris. "Berarti kamu udah maafin Sehun kan?"
Raut muka Luhan kembali cemberut. "Tentu saja belum! Pokoknya aku mau dia ngaku dulu, habis itu aku mau maafin dia!"
Oh my God... seandainya Kris nggak cinta mati sama rusa berwujud manusia imut ini, pasti sudah ia gunakan kepala Luhan sebagai palu untuk merenovasi gudang. Keras kepala bingit!
"Ya udah, ya udah," Kris mengalah. "Kita bikin anak itu mengaku."
"Caranya, Pa?"
"Sini aku bisikin,"
Luhan mendekatkan telinganya ke mulut Kris, khawatir ada setan kecil mengintip dari balik pintu. Bapak-bapak bule itu membisikkan sesuatu dengan sangat antusias.
Senyum lebar dikembangkan Luhan mendengar ide cemerlang dari suaminya yang setengah idiot itu, pertanda dia menyetujui rencana Kris untuk membuat Sehun mengaku dan jera. Kris sendiri pun terkekeh geli mengikuti tawa Mama Dedeh. Kalian tahu kan seperti apa ketawanya Mama Dedeh? Wkwk.
"Ayo, Pa. Kita jalankan rencana ini sekarang!" seru Luhan tidak sabar.
Kris menahan tangan Luhan. "Eit, kamu nggak inget sekarang jam berapa? Besok kan masih bisa. Kayaknya kamu nggak sabar pingin membegal anakmu itu,"
"Pasti dong, Pa. Nama panjangku kan Lu Begal Han!" ujar Luhan bangga sambil menepuk-nepuk dadanya. Kris tertawa. Istrinya ini bisa melawak juga toh.
"Oya, Ma,"
"Kenapa, Pa?"
"Mumpung besok hari libur, malam ini bikin dedek lagi yuk!"
*a.k.s.s*
Sesosok kecil menyelinap dibalik kegelapan. Bukan, dia bukan tuyul. Dia anak semata wayang pasutri KrisLu yang teramat tampan, dan saking tampannya siapa pun yang melihatnya pingin nabok sekencang-kencangnya.
Sehun berjalan jinjit, memastikan langkahnya tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Seisi rumah sudah gelap gulita. Langkahnya tertuju pada gudang di sebelah rumahnya. Berani betul ini anak, malam-malam kelayapan sendirian. Heh, bagi Sehun, "Mbak Kunti is my second mother!". Ya iya lah, wong dia sebangsa: evil. #dihajar
Senter dia arahkan ke sudut kiri luar gudang. Sehun nggak bisa masuk karena kunci gudang disimpan oleh Kris. Di pojokan itu ada sebuah kardus bekas yang diberi lubang di setiap sisinya.
Dibukanya tutup kardus itu, seekor kucing kecil sedang tertidur pulas di sana. Tak ingin membangunkan si pussy, Sehun meletakkan piring plastik berisi potongan ikan itu di sampingnya supaya ketika bangun nanti kucing itu tidak kelaparan.
"Maaf ya pus, gue nggak bisa bawa lu masuk ke rumah. BoNyok ngelarang gue punya hewan peliharaan. Sabar ya, cepat atau lambat bonyok gue pasti–"
"–bakal tau kalau kamu yang udah bikin kerusuhan di rumah ini."
DEG.
"Mama? Papa?"
Aura dingin keluar di sekitar Kris. Matanya menyorot tajam ke anak semata wayangnya. "Kali ini Papa udah nggak bisa mentolerir kesalahan kamu. Beresin semua pakaian kamu malam ini. Besok pagi kita langsung ke Beijing."
Flashback.
Kris dan Luhan membawa Sehun, yang berusia 7 tahun, ke salah satu kebun binatang di Beijing. Mereka sangat menikmati waktu liburan mereka, terutama karena Sehun sangat senang melihat berbagai binatang.
Di tengah kebahagiaan itu, para pengunjung dihebohkan oleh peringatan darurat yang menggema di seluruh kebun binatang bahwa seekor panda berhasil lolos dari kandangnya. Entah apa sebabnya panda itu mengamuk. Sontak, Kris langsung membopong Sehun dan lari sekencang-kencangnya. Begitupun Luhan yang mendadak panik.
Naas, Kris kehilangan keseimbangan karena seorang pria bertubuh tambun menubruknya dari belakang. Sehun terlempar dari gendongan Kris dan posisinya berada tepat di depan panda yang mengamuk itu. Luhan segera berlari menyelamatkan Sehun, namun apa daya semua sudah terlambat.
Beberapa jam kemudian, Sehun tersadar. Dia mendapati lengan kanan dan kepalanya diperban. Luhan menangis memeluk Sehun, berkali-kali meminta maaf karena tidak mampu menjaganya dengan baik. Raut wajah Kris pun menyiratkan kekecewaan yang mendalam, yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sehun ikut menangis, semakin lama semakin kencang. Dokter segera menangani Sehun dengan memberinya suntikan penenang. Sehun jatuh tertidur.
"Putra Anda mengalami trauma, Tuan Wu. Setelah dia sembuh, sebaiknya Anda cepat membawanya ke psikolog. Saya mendengar raungan Sehun menyebutkan panda, binatang, dan Beijing. Saya sarankan Anda untuk menjauhi Sehun dari hal-hal tersebut, sebab dapat menyebabkan ingatan tentang traumanya kembali."
End of Flashback.
Sehun menangis kencang, bahkan sampai meraung ketakutan. Luhan dan Kris dengan sigap menenangkan Sehun. Mereka telah diajari oleh psikolog cara menangani Sehun bila tanda-tanda traumanya mulai kambuh.
Sehun mulai tenang, namun beberapa saat kemudian dia pingsan. Kris membopong putranya ke kamar, diikuti oleh Luhan.
Setelah meletakkan Sehun di ranjang, Luhan terisak. Dia menjadi sedih dan menyesal telah melakukan hal yang kejam pada Sehun. Kris memeluknya, membisikkan kata-kata menenangkan.
"Maafkan aku, Lu. Maaf aku bertindak sejauh ini. Percayalah Sehun akan baik-baik saja.."
Luhan masih terisak dan hanya mampu mengangguk. Mereka pun memutuskan untuk tidur bersama Sehun malam itu. Berharap semoga besok pagi Sehun bangun dalam keadaan ceria seperti sedia kala.
*e.k.s.s*
Seminggu yang lalu, saat terbangun, Sehun langsung memeluk kedua orangtuanya, meminta maaf. Sehun diam-diam memelihara kucing liar yang dipungutnya ketika pulang sekolah. Dia tidak berani mengatakan pada Luhan, sebab Luhan benci hewan liar. Gudang menjadi tempat tinggal kucing itu. Sehun menaruhnya di tempat yang strategis dan tidak mudah tertangkap mata.
Luhan dan Kris juga meminta maaf atas perlakuan buruk mereka pada Sehun. Luhan mengizinkan Sehun memelihara kucing itu sejak dia menyadari bahwa putranya kesepian selama ini. Kris berjanji tidak akan pernah lagi mengungkit-ungkit trauma yang dialami putranya. Sehun sendiri pun berjanji bahwa setelah ini dia akan menjadi anak yang baik dan penurut.
Tanpa terasa, bulan April ini telah masuk di tanggal ulang tahun Sehun. Mereka merayakannya secara sederhana, yakni hanya dengan kue tart buatan Luhan dan dekorasi balon-balon di tiap sudut ruang tamu.
"SEHUN, HAPPY BIRTHDAY!"
Sorakan dari Kris dan Luhan mengagetkan Sehun yang baru bangun tidur. Meski masih kucek-kucek mata, Sehun langsung tersadar dengan surprise yang diberikan untuknya.
"MAKASIH, MA, PA!" jawab Sehun riang sambil mencium pipi kedua orangtuanya bergantian.
Kris mengusak rambut Sehun gemas. "Cuci muka dan gosok gigi dulu yuk, sebelum makan kuenya. Biar bau ilernya ilang!"
"Oke, Pa!" Sehun mengikuti Kris ke kamar mandi, sementara Luhan menata lilin-lilin di atas kue Sehun.
Sekembalinya dari kamar mandi, Sehun langsung duduk di depan kue yang bertabur lilin-lilin yang menyala. Telunjuk Sehun hampir saja mencolek krim kue itu...
"Minta permohonan dulu, Hun." cegah Luhan yang menghadang telunjuk Sehun. "Abis itu baru boleh makan."
"Oke, Ma!" Sehun mulai memasang sikap berdoa. "Tuhan, makasih karena di ulang tahun Sehun hari ini, Sehun bisa ngerayain bareng Mama sama Papa. Dan mulai hari ini, Sehun akan jadi anak yang lebih baik dan lebih berbakti sama Mama-Papa. Sehun juga berharap trauma Sehun hilang, biar kalo Papa ngajak ke kebun binatang, Sehun nggak takut lagi. Biar nanti kalo ada beruang lepas, Sehun yang gantian jagain Mama sama Papa dari beruang itu..."
"Hiks,"
Kris melirik istrinya. "Beb, kamu nangis?"
"Nggak, cuma kelilipan bulu mata."
"Masa sih? Kelilipan kok ingusmu sampe meler gitu?"
"Tau. Kebanyakan upil kali."
"Hih, jorok kamu!"
"Ih, Mama sama Papa kok malah ngobrol, sih!" protes Sehun.
Kris dan Luhan terkejut.
"Eh.. Maaf ya, sayang. Ya udah, terusin doanya. Mama sama Papa dengerin kok!"
Sehun memicingkan matanya. "Janji?"
"Janji!" balas Kris.
"Soalnya di permohonan ketiga ini yang paling sakral, Ma, Pa. Kalian harus dengerin baik-baik."
Luhan mengangkat alisnya. "Emang kamu mau minta apa, Hun?"
"Perasaan gue nggak enak, nih.." gumam Kris.
"Liatin Sehun nih ya..."
Sehun berpindah posisi menjadi duduk di atas sofa. Punggungnya dia sandarkan, sementara lengan kirinya ditekukkan ke depan, seolah sedang menggelayut sesuatu.
"Makasih aja nih, Ma?" –Kris.
Sehun berpindah posisi, memasang tampang bloon.
"Maksud Papa?" –Luhan.
Sehun berpindah posisi lagi, kali ini memasang seringai mesum.
"I wanna add a baby, dear. For Sehun's birthday gift.." –Kris.
Sehun kembali ke posisi semula, duduk lesehan di depan meja. Nggak nyadar tampang kedua orangtuanya udah nggak nyante. Luhan terbengong-bengong dengan wajah memerah, sedangkan Kris mangap semangap-mangapnya.
"Pa, itu rahang Papa jatuh ke lantai tuh," kata Sehun.
Kris pun menarik rahangnya kembali seperti semula. "Eh.. uh, iya."
Sehun kembali ke ekspresi ceria nan tak berdosanya. "Gimana, Ma, Pa, udah tahu kan permintaan Sehun yang ketiga itu apa? Ayolah, Mama ama Papa jangan pura-pura bego gitu. Sehun pengeeeeen banget punya adek. Hehehe..."
Sebagai seorang Papa yang baik, Kris pun angkat suara. "O-Oh, boleh boleh. Kamu mau dibikininnya kapan?" tanyanya (sok) polos, padahal otaknya udah ngeres.
"Malem ini!" todong Sehun.
"Gila, nge-gas nih anak!" gumam Kris. "Mm.. oke, tapi kamu kudu sabar yah. Bikin dedek tuh nggak cukup sejam dua jam. Papa mesti nyiapin obat kuat dulu buat Mamamu biar nggak pingsan pas di tengah-tengah proses pembuatannya. Kekeke..."
Asli, muka Kris berubah seperti om-om mesum tukang perkosa orang!
"Oh begitu.. Oya Pa, sekalian kasih tahu dong gimana cara bikinnya!"
Toeeeng!
Kris mendadak ciut. Diliriknya takut-takut bininya yang sedari tadi diam dan berekspresi yang Kris sendiri sulit menjelaskannya. Diamnya itu seperti orang nahan kentut, tapi yang dikeluarin dari pantat itu malah granat.
Dalam hitungan detik, tanpa Sehun dan Kris sempat sadari, sebuah kue berukiran 'Happy Birthday Sehun' itu berganti menjadi ukiran wajah Wu Yi Fan dan Wu Sehun.
Luhan bertanya riang, "Gimana rasa kuenya? Enak?"
Rasain lo, evil!
END
