Jashin-sama, ketua OSIS misterius yang konon dijuluki Dewa haus darah. Kaguya-sama, siswi pindahan angkuh yang disebut-sebut sebagai Dewi Kelinci. Bagaimana jika dewa-dewi ini bertemu? Bagaimana pula jika keduanya membawa gerombolan masing-masing dan saling beradu?

.

.

.

.

When Jashin Met Megami

Chara milik Om Kishimoto

Friendship, Romance (plus Family and Drama)

OOC (banget), typos (jelas), crack (sangat), nista, newbie, EYD? dll

.

.


Tanpa mengurangi rasa hormat, bagi yang kurang berkenan dengan ceritanya, dipersilakan untuk memencet tombol 'kembali'.


.

.

Enjoy

.

.

Chapter 1: Arrival

Ruangan bertuliskan 'Sekretariat OSIS' di pintunya itu terlihat nyaman. Setidaknya bagi dua makhluk yang tengah menghuninya.

Seorang pemuda bercadar hitam tengah memelototi proposal pengajuan dana untuk festival bulan depan di depan komputernya.

Tak jauh di sebelahnya, di atas sofa empuk dari kulit hiu, duduk pemuda berotot yang sedang asyik menyeruput sedotan sembari membaca susunan pengurus OSIS yang ditempel di dinding ruangan untuk kesekian kalinya. Ia tersenyum-senyum sendiri mendapati namanya berada di salah satu posisi yang menurutnya cukup keren. Memang aku ini keren! batinnya narsis sambil menyeruput kembali minumannya.

Kedua pemuda itu tampak khusyuk dengan kesibukan masing-masing. Ruangan ini memang mendukung sekali untuk itu. Sebab tak hanya nyaman, ruangan itu juga tenang. Lengang. Damai.

Sampai suatu ketika ...

BRAK.

Pintu menjeblak terbuka.

Kisame—pemuda berotot yang sedari tadi sibuk menyeruput minuman—segera melirik ke arah pintu dengan mimik terganggu. Muncul dari balik sana, seorang pemuda cantik berambut pirang panjang yang dikucir tinggi.

"Bisa pelan sedikit, Nona?" sindir Kisame kemudian meneruskan seruputannya.

Pemuda pirang itu membelalak kesal. Sedetik kemudian, ia sudah mencerocos dengan 'ledakan' sepanjang kereta, "Siapa yang kausebut Nona, hah? Aku ini cowok, tahu! Cowok! Tidak bisa lihat apa? Dasar hiu jadi-jadian!"

Kisame hanya mengedikkan bahu. Malas menanggapi pemuda jadi-jadian itu mengingat dirinya sendiri juga hiu jadi-jadian.

Deidara—si pirang—menggerutu sebal. Ia lalu mengarahkan pandang ke sekeliling ruangan. Mendapati hanya ada Kisame dan seorang lagi di sana, kening mulusnya berkerut.

"Kemana yang lain?"

"Huh?"

"Hidan-senpai," Deidara diam sejenak setelah menyebut nama salah satu pengurus OSIS, "atau dia barangkali ..." lanjutnya dengan nada rendah setengah menggantung.

"Memangnya ada apa mencari mereka?"

See.

Meskipun terlihat acuh, namun Kisame tetap tak tega membiarkan Deidara hanya bicara seorang diri. Romantis bukan?

Deidara sudah akan memeluk Kisame penuh haru dan menghadiahinya dengan kecu—stop! Itu jika ini adalah cerita yaoi. Berhubung Deidara masih normal—dan mati-matian berusaha mendapat pengakuan bahwa dia cowok tulen—maka si pirang itu hanya menatap Kisame dengan sorot mata bersemangat.

"Aku membawa berita!"

"Huh? Berita apa?"

Jeda sejenak.

Kisame melirik Deidara dan mendapati pemuda cantik itu tersenyum-senyum girang. Waraskah dia? Entah. Lebih baik kembali fokus pada minumannya, pikir Kisame.

"Sudah dengar? Sekolah kita bakal menerima murid baru!"

Tik.

Tik.

Tik.

Kisame masih menyeruput minuman lewat sedotannya. Si pria bercadar pun masih asyik tenggelam dengan angka-angka di layar komputer—bahkan tak ada tanda-tanda makhluk pelit itu mendengar satu pun perkataan Deidara sejak tadi.

Grrr.

"Kenapa kalian diam sajaa?" jerit Deidara.

"Memang harusnya bagaimana?" sahut Kisame seadanya. Mewakili rekannya yang kini memelototi kalkulator jumbo kesayangannya.

Deidara menggeram sebal. "Setidaknya berikan respons yang lebih memuaskan! Akan ada murid baru, loh. Murid baru! Memangnya kau tidak penasaran seperti apa dia? Apa dia perempuan? Atau malah laki-laki? Apa dia cantik, tampan, atau biasa-biasa saja? Bagaimana sikapnya, di mana rumahnya. Jangan-jangan dia juga suka bermain kembang api, atau petasan, atau apa pun yang meledak-ledak, jadi aku bisa punya te—"

BRAK.

Pintu kembali menjeblak terbuka.

"—man ..." Deidara terpaksa menghentikan kalimatnya. Tatapan matanya teralih sepenuhnya pada sosok yang kemudian muncul.

Seorang pemuda tinggi bertubuh kekar, berdada bidang, bertangan kokoh, berkaki gagah, berotot padat, ber-(oke kepanjangan) menyeruak masuk. Rambut klimisnya menjuntai jatuh menyentuh pundak. Ia berdiri sesaat beberapa langkah dari pintu dengan tatapan menelisik ke dalam ruangan.

Sadar bahwa seluruh mata tengah memandangnya—minus si pemuda cadar tentunya—pemuda yang baru datang itu membuka suara. "Ada kabar baru."

Kisame yang sempat menoleh ke arah pintu, kembali menyeruput sedotannya tak acuh.

"Apa itu, Hidan-senpai?" Deidara bertanya antusias. Melupakan semua kalimatnya yang sempat terpotong gara-gara senpai ini.

"Akan ada murid baru di sekolah ini."

Hidan mengulang kalimat Deidara tadi. Membuat Kisame mendengus mendengarnya. Pria bergigi runcing itu kelihatan tidak tertarik sama sekali.

Berbeda dengan respons pemuda cantik yang sedari tadi menghebohkan hal yang sama..

"NAH!" Deidara berdiri dengan tangan teracung. Lalu menyahut dengan seruan hebohnya. "Itu tadi yang kubi—"

"Lagu lama."

"—lang ..." Poor Deidara. Lagi-lagi kalimatnya terputus.

Sebal, Deidara menoleh ganas ke arah Kisame. "Apa maksudmu?" teriaknya kesal.

Kisame menyeruput acuh minumannya—yang entah mengapa tak jua habis—hingga beberapa teguk kemudian baru menjawab, "Soal anak baru itu." Ia menyeruput lagi, membuat Deidara harus berdoa agar ususnya panjang hingga ia bisa lebih bersabar. Kisame memutar sedotannya, "Lagu lama."

"Sepertinya kali ini bukan sekedar lagu lama, Kisame." Hidan yang sudah mengambil tempat di samping Kisame urun bicara. Wajah yang biasanya beringas dan haus darah itu tampak serius dengan dahi berkerut.

Deidara mengangguk-angguk setuju. Meskipun kemudian ia berpikir, mengapa mereka malah meributkan soal lagu lama sih? Apa murid baru itu seorang penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu lama?

Kisame melirik sedikit. Ia mulai sedikit heran. Jarang-jarang ada yang menarik perhatian seorang Hidan sampai segitunya selain soal dia. Tapi, kali ini ...

"Apa menurutmu begitu?" Kisame bertanya dengan nada didatar-datarkan, mencoba tak terlihat antusias.

Hidan tak menjawab. Hanya balas menatap Kisame.

Keduanya saling bertatapan dan mengirim sinyal dengan pandangan. Kemudian entah siapa yang lebih dulu berinisiatif, tahu-tahu keduanya sudah saling berpelu—

Salah, hoi.

Ini rating T.

Dan. Sekali. Lagi. Ini. Bukan. Cerita. Yaoi.

Oke, ganti.

Keduanya hanya bertatapan. Hidan tampak berusaha meyakinkan Kisame. Kelihatannya usahanya itu sedikit membuahkan hasil. Kisame kembali bertanya, "Kabar dari mana?"

"Aku mendengar sendiri dari Mü-sensei," serobot Deidara menyebut guru mereka yang bertanggungjawab atas masalah kesiswaan.

Kisame menoleh cepat ke arah Deidara, tatapan matanya lebih terlihat tak suka jika Deidara yang menjawab pertanyaannya.

Deidara tampak tak peduli, ia terus saja mengoceh, "Saat mengantar laporan OSIS bulan ini ke ruangannya, aku mendengar Sensei mumi itu mengeluh akan ada murid baru yang merepotkan."

Kisame menyipit, "Kenapa bisa merepotkan?"

Deidara mengangkat bahu. Saat ia akan berbicara, Hidan dengan segera mendahuluinya, "Itulah yang ingin kubicarakan."

Kisame menoleh lagi, sepasang mata hiunya ganti menyipit pada rekannya yang semakin memasang wajah serius.

"Kurasa, kita harus membicarakannya juga dengan dia."

.

.

.

.

Pria setengah baya itu mengerutkan dahi. Matanya nyalang memelototi lembaran dokumen di tangannya. Ia tampak berpikir keras. Tak heran, setiap enam puluh detik, kerut di dahinya bertambah satu.

Padahal sudah sepuluh menit ia dalam posisi itu. Menggunakan ilmu aritmatika, kita peroleh jumlah kerutan di dahinya seharusnya tepat sepuluh. Seharusnya. Karena nyatanya, kerut di dahinya berjumlah dua belas.

Hah? Kok bisa?

Tidak usah heran. Pria itu memang sudah punya dua kerutan sejak awal. Kau tahu, itu yang dinamakan faktor 'U'.

Pria berkerut-dua-belas itu menghela napas sejenak. Kemudian meletakkan dokumen yang dipegangnya di atas meja. Wajahnya mendongak, menatap calon murid baru di depannya.

Pria itu menghela napas lagi. Well, menerima murid baru seharusnya bukan hal yang begitu merepotkan, bukan? Tapi itu biasanya. Biasanya. Karena kali ini, murid baru yang diterimanya tak seperti biasa.

Sekali lagi, pria setengah baya itu menghela nafas dari balik mejanya. Jemarinya mengetuk-ngetuk tulisan 'Kepala Sekolah' di depannya. Seolah mempertimbangkan langkah terbaik yang akan diambilnya untuk menghadapi murid baru di akademi asuhannya. Ralat, murid-murid baru.

Setelah beberapa saat hanya berpandangan, Kepala Sekolah memutuskan bicara.

"Jadi kalian akan bersekolah di sini?" suaranya terdengar berat.

"Benar." Yang berwajah paling bijak lah yang menyahut.

"Semuanya?" Kepala Sekolah bertanya seolah ingin menegaskan jawaban yang akan didengarnya.

"Tentu saja semuanya."

Kepala Sekolah menelan ludah.

.

.

.

.

"Sebelah sini," dengan sedikit takut-takut, seorang wanita cantik berambut merah mempersilakan para murid baru itu memasuki sebuah ruangan.

"Terima kasih," lagi-lagi si wajah bijak yang menjawab sopan.

Wanita itu menganggukkan kepala lalu cepat-cepat berpamitan. Meninggalkan bocah-bocah itu sendirian dalam ruangan.

Hening.

Satu detik kemudian ...

"Fuaaaah! Akhirnya bebas juga. Tak ada guru satu pun di ruangan ini!" sorak bocah paling muda berambut cokelat spike sembari menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di ruangan itu seenaknya.

"Hentikan sikap kekanak-kanakanmu, Ashura." Teguran dingin terdengar dari mulut seorang pemuda berambut cokelat panjang.

Bocah yang dipanggil Ashura tadi mencibir. "Huh, membosankan sekali sikapmu, Aniki." Tangannya terlipat di depan dada, "Beginikah sikapmu di sekolah barumu? Aku yakin, kalau kau tak mengubah sikap dinginmu itu, kau tetap tak akan bisa mengalahkan kepopuleranku nanti," serunya dengan seringai mengejek.

Lawan bicaranya melotot geram.

Ashura semakin senang mengetahui pancingannya berhasil. Aniki-nya pasti akan marah. Lalu mereka akan bertengkar seperti biasa. Dengan begitu, ia tak akan bosan lagi setelah hampir seharian hanya duduk diam di depan para guru-guru calon sekolah barunya ini.

Sayang sekali, tampaknya itu tak akan terjadi berkat suara deheman bijak

"Ehm."

—yang menghanguskan imajinasinya.

Ashura dan kakak laki-lakinya menoleh ke asal suara.

Seorang yang berwajah paling bijak tersenyum tenang pada keduanya, "Sebaiknya jangan memancing keributan di hari pertama kalian, Ashura," lalu beralih menatap sosok yang dipanggil Aniki oleh Ashura, "juga kau, Indra."

Indra memalingkan wajah. Ashura menggeremeng kesal dan memasang wajah protes. Tangannya bergerak-gerak sebal.

Menyadari gelagat salah satu dari duo rambut cokelat yang terlihat ingin membantah, si wajah bijak itu cepat melanjutkan perkataannya tanpa mengurangi ketenangannya, "Lihat. Nee-sama tidak senang melihat tingkah kalian."

Ajaib.

Kedua pemuda itu sontak tertunduk. Ashura bahkan mengubah sikap duduknya menjadi lebih tegak dan sopan. Sementara Indra, sang kakak, berdiri tegak sembari menurunkan emosinya yang sempat memanas.

Si wajah bijak tersenyum tipis. Ia kemudian bergeser sedikit, membuat sosok yang sedari tadi berdiri di belakangnya kini terlihat jelas.

Dengan sudut mata, Ashura dapat mengintip sosok tersebut. Wajah yang tanpa ekspresi. Dagu yang terangkat angkuh. Tatapan mata yang kosong tapi mengintimidasi.

Si wajah bijak membungkukkan badan sedikit, seolah mempersilakan sosok tersebut melewatinya.

Sosok itu kemudian berjalan tak acuh dengan langkah angkuh. Cape-nya sedikit bergoyang mengikuti ayunan langkahnya. Kemudian tanpa bicara apa-apa, ia mendaratkan tubuhnya di sofa yang sama dengan yang sedang diduduki Ashura.

Ashura refleks bergeser sedikit. Memberi ruang bagi pendatang baru di sofa itu.

Sesaat, ruangan kembali hening.

"Ehm."

Terdengar kembali deheman.

Si wajah bijak lagi-lagi berkata dengan ketenangan yang tak berubah, "Kau tidak ingin duduk, Indra?"

Pemuda berambut cokelat panjang yang dipanggil Indra itu sedikit terkejut. Kemudian segera menguasai diri dan mengangguk perlahan. Ia beringsut menuju sofa, lalu mendudukkan dirinya di sana. Di sebelah sosok yang duduk di sofa itu tepat sebelum dirinya.

Si wajah bijak kembali tersenyum. Kemudian tanpa menggerakkan kepalanya, ia berkata tenang, "Hamura, kau bisa menutup pintunya. Udara luar tidak baik untuk dihirup Nee-sama."

Tanpa banyak jeda, seorang bertubuh tinggi tanpa alis yang bernama Hamura segera bergerak menutup pintu. Detik selanjutnya ia sudah berdiri di samping si wajah bijak dengan sikap tegak dan tangan bersedekap.

Mengikuti gaya pemuda di sampingnya, si wajah bijak menyedekapkan tangannya di depan dada.

Beberapa jenak kemudian, ruangan tersebut terasa tenang. Ashura sudah hampir mati kebosanan. Dan ia bersorak dalam hati saat terdengar bunyi—

Ceklek.

—pertanda pintu dibuka.

Seorang pria berbalut perban di sekujur tubuhnya masuk diikuti wanita bersurai kehijauan yang mendorong kereta kecil dengan tumpukan macam-macam benda.

Ashura yang menyaksikan itu mencibir dalam hati. Tega sekali guru mumi itu membiarkan seorang wanita membawa benda-benda tersebut. Insting 'pembela wanita'-nya membuatnya tak suka dengan pemandangan tersebut.

Namun mau tak mau, ia mengikuti yang lainnya berdiri dan membungkuk sekilas pada pria berperban, tanpa melepaskan tatapan dari wanita bersurai kehijauan tersebut.

"Selamat siang semua," terdengar sapaan tegas dari guru mumi.

"Selamat siang, Sensei." Lagi-lagi si wajah bijak yang menjawab sopan mewakili keempat saudara-saudaranya.

Mü—guru berperban tersebut memandang sekilas pada satu-satunya siswa yang berbicara itu.

Dia pasti yang bernama Hagoromo, pikir Mü sambil mengingat ceritera singkat kepala sekolah saat menjelaskan rupa-rupa calon murid baru mereka. Pemuda yang berwajah paling bijak, bertutur kata sopan, dan tampaknya selalu menjadi juru bicara bagi Ootsutsuki bersaudara itu tentulah Hagoromo Ootsutsuki.

Mü berdehem.

"Aku Mü, guru yang bertanggungjawab atas semua masalah kesiswaan. Termasuk murid-murid baru seperti kalian."

"Senang bertemu Anda, Mü-sensei. Mohon bimbingannya." Sekali lagi, Hagoromo menganggukkan kepala santun. Ia membungkuk beberapa saat. Ketika menegakkan kembali kepalanya, sebaris senyum sopan mengapit bibirnya.

Mü sedikit terkesan dengan sikap santun calon murid barunya tersebut. Yah, semoga saja mereka tidak semerepotkan bayangannya semula.

Guru mumi itu berdehem kembali.

"Seragam dan perlengkapan sekolah kalian berlima sudah disiapkan. Mulai besok, kalian bisa masuk sekolah dan belajar seperti biasa." Mü lalu memberi kode pada wanita bersurai kehijauan yang kemudian mendorong sedikit kereta mininya ke hadapan lima anak tersebut.

Rupanya kereta kecil itu memuat beberapa setel seragam sekolah baru. Lengkap dengan jas almamater, topi, kartu pelajar, dan beberapa perlengkapan sekolah lainnya.

Dengan sigap, pemuda yang berdiri di sebelah Hagoromo segera mengambil alih semuanya. Sepasang tangan kekarnya terlatih memindahkan barang-barang dari kereta dorong tersebut kemudian mengaturnya dan memanggul semuanya tanpa terlihat kerepotan sama sekali.

Mü kembali dibuat kagum dengan kesigapan salah satu Ootsutsuki itu. Pasti dia yang bernama Hamura, salah satu Ootsutsuki muda yang tak banyak cakap namun sigap dan kekuatannya sangat diandalkan.

Baiklah.

Mü merasa sepertinya ia harus meralat sangkaannya. Kelima bocah ini tak semerepotkan yang ia kira. Mereka semua anak-anak yang baik, santun, sangat sopan, terdidik—

Tiba-tiba sepasang matanya berkerut.

—kecuali mungkin anak muda di ujung sana. Yang sedari tadi tidak melepaskan pandang dari guru wanita berambut kehijauan yang kini tengah tertunduk.

Juga anak muda berambut cokelat panjang yang hanya menatapnya dingin.

Terlebih—

Mü mengalihkan pandang.

—satu-satunya siswi yang berdiri di sebelah sana.

Pada ketiga murid ini, Mü merasa harus waspada.

.

.

Bibir merah pucatnya perlahan-lahan membentuk garis melengkung yang aneh.

Tatapan mata yang biasanya kosong, kini terfokus pada satu titik.

Wajah yang biasanya tanpa ekspresi, kini sedikit terpercik emosi.

Siapa yang mengira, pada akhirnya ia benar-benar berada di sini.

Di tempat di mana segala sesuatunya bemula.

Akademi Konoha.

.

.

.

TBC

.

.

.


A.N:

Gomenasai, para senpai sekaliaan. Maafkan reader abal sepertiku yang memberanikan diri mem-publish fict semacam inii *bungkuk-bungkuk*

Huhu tapi i-izinkan aku meramaikan arsip Jashin-sama dan Kaguya-sama. Kasiaaaan mereka berdua sepi cerita. Padahal dua-duanya dewa dan dewi di dunia Naruto lhooo O.O

Uhuk. Sebenarnya ini juga efek mabok gegara tiap kali buka FNI, main chara yang dipake itu-itu mulu, hiks. Pair yang ada juga... itu lagi, itu lagi. Hiks *dibakar*

Hiks, daripada semakin ngawur. Tanpa mengurangi rasa hormat, terima kasih banyak untuk reader *kalo ada* yang telah menyempatkan baca ceritera rakyat jelata ini.

Arigatou gozaimasu!