Haiii! XD Salken~

Aku masih baru di fandom ini, dan ini fic SNK pertama yang kutuliss.

Oke, kali ini aku tulis Levi X reader(GIRL!) oneshot. Daannn this my first time mencoba tulis X reader. Jadi yang sudah pernah membaca atau menulis fic sejenis ini tolong beri kritik & saran ya! XD

Oh ya, untuk singkatan (E/C, Y/N, etc etc), aku menggunakan versi inggrisnya (karena sudah kebiasaan XD) tapi kalau kalian lebih memilih untuk versi Indonesianya, aku akan ubah!

Disclaimer : Shingeki no Kyojin milik Hajime Isayama. Yang kumiliki cuma fic ini dan juga manga No Regrets vol1 dan vol2 yang kubeli di Gr*media terdekat :3

Keterangan singkatan:

- Y/N : Your Name ( Nama kamu )

- E/Y : Eye Color ( Warna mata )

- H/C : Hair Color ( Warna rambut )

- F/B : Favorite Book ( Buku kesukaan)

Warning : OOC (I've tried my best :( REALLY!)

On da storyyy!


Kejadian itu selalu terulang-ulang di dalam kepalaku, seperti sebuah kaset rekaman yang terus menerus diputar ulang, Disaat kupikir sudah berakhir, kejadian itu diputar ulang mulai dari awal. Aku sering berpikir bahwa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku. Walaupun aku sudah berteriak sekeras-kerasnya sampai tenggorokanku terasa tersobek-sobek, kenangan ini sama sekali tidak berhenti hatiku teriris setiap kali aku mengingatnya.

Aku yang saat itu masih kecil hanya bisa terpaku diam dipenuhi dengan teror dan rasa takut luar biasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya, disaat kepala titan besar itu muncul di balik dinding setinggi 50 meter itu. Dan disaat makhluk itu menendang kuat dinding itu sehingga membuat orang lain panik dan lari ketakutan, aku masih belum dapat bergerak dari tempatku. Pada saat titan lainnya masuk melewati lubang itu, hal yang pertama kupikirkan adalah orangtuaku.

Rumah kami berada di dekat dinding itu.

Setelah itu aku merasa aku berlari sangat cepat – kusadari aku tidak pernah bisa secepat itu seumur hidupku – menuju ke rumah kami. Puing-puing sisa gedung yang hancur bertebaran dimana-mana, membuatku tersandung beberapa kali. Namun aku tidak peduli. Aku terus berlari sekencang yang kubisa lakukan dengan kedua kakiku.

Aku melihat sekelilingku, melihat gedung-gedung bangunan yang sudah hancur tertimpa batu-batu besar dari sisa dinding. Banyak orang-orang disana yang sedang menangis meraung-raung meratapi rumahnya yang hancur.

Bukan.

Dibawah batu-batu besar itu banyak terdapat noda berwarna merah segar yang masih basah. Serta ada beberapa bagian potongan tubuh yang berserakan kemana-mana. Mereka yang menangis mencoba mengangkat batu besar itu dengan sekuat tenaga.

Aku memalingkan pandanganku dari mereka dan fokus melihat ke depan. Bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan sekarang ini. Yang kuharapkan saat ini hanya satu. Dan aku pun bersedia menyembah apapun agar keinginan ini benar-benar terjadi. Aku berharap keluargaku –

Pemandangan yang kulihat di depanku ini seketika menghancurkan harapanku berkeping-keping. Aku sama sekali tidak bisa menggerakan tubuhku. Kedua mata (E/C) milikku terbuka lebar-lebar, masih mencoba mencerna apa yang terjadi.

Rumah kami sudah tidak memiliki bentuk. Sebuah batu besar menimpa rumah kami, menghancurkannya sampai tidak lagi memiliki bentuk. Namun bukan hanya itu saja yang membuatku tidak dapat bergerak. Di bawah puing-puing sisa rumah milikku dan kedua orangtuaku, aku melihat pemandangan yang sama persis dengan pemandangan yang baru saja kulihat tadi. Genangan cairan berwarna merah gelap segar yang terdapat di sebelah kananku. Dengan gemetaran aku mengikuti arah dari mana asal genangan cairan itu hingga mataku terpaku pada sesuatu yang kelihatannya terjepit di antara reruntuhan.

Tidak. Itu bukan sesuatu. Melainkan seseorang.

Mulutku terbata-bata, mengucapkan sebuah kata yang saat itu terdapat di pikiranku.

"...I... I-Ib...u...Ibu..."

Aku hanya bisa melihat wajahnya yang tertindih di antara reruntuhan itu. Kedua matanya yang terbuka besar. Tidak adanya sinar cahaya yang keluar dari kedua mata itu, tidak seperti yang selalu kulihat sebelumnya. Wajahnya seakan memandangku hampa. Cipratan cairan merah itu hampir memenuhi seluruh wajahnya yang pucat itu. Rambutnya yang dulu halus dan panjang kini terlihat kotor dan berantakan. Sosok itu sama sekali tidak mirip dengan ibuku yang selama ini kuingat.

Dan aku pun baru tersadar kalau di belakang rumahku ada seorang titan yang tengah berjongkok, seakan sedang menonton semua kejadian ini tanpa peduli apa pun juga. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku saat itu juga. Aku melihat ada sesuatu yang sedang menggantung di mulutnya. Bukan sesuatu, tapi seseorang.

Dan kali ini napasku terasa berhenti. Seakan-akan paru-paruku saat itu lupa bagaimana caranya menerima oksigen dan tidak tahu bagaimana cara melepaskan karbon dioksida. Mataku mulai terasa perih, bukan karena debu-debu yang masuk ke mataku. Tapi karena aku mengenal sosok yang sedang menggantung di mulut makhluk itu.

Rambut (H/C) seperti warna rambutku, kedua mata yang terbuka lebar penuh dengan rasa teror, raut wajah yang begitu familier bagiku, dan tangannya yang terulur padaku meneriakkan sesuatu yang saat itu tidak bisa kucerna baik-baik karena lambatnya otakku bekerja saat itu.

"Y-Y/N... Y/N..."

Namun saat itu juga, sosok itu menghilang dibalik mulut makhluk itu, menelannya utuh-utuh tanpa meninggalkan apa pun juga. Aku yang saat itu masih belum bisa bertindak apapun juga akhirnya sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan hanya berteriak keras penuh keputus-asaan yang bisa kulakukan.

"AYAH! IBUUUU!"


Aku mendadak terbangun dari tidurku. Kedua mata (E/C) terbuka lebar-lebar. Peluh memenuhi dahi dan seluruh tubuhku, membasahi kemeja seragamku yang kupakai. Napasku yang masih terengah-engah memenuhi ruangan kamar pribadiku yang terasa sunyi. Aku melirik keluar melalui jendelaku, langit yang masih gelap menunjukkan kalau sekarang masih tengah malam. Atau lewat sedikit. Kucoba mengatur pernapasanku yang masih terengah-engah sambil menyeka keringat di dahiku dengan lengan kemejaku.

"Ah... lagi-lagi mimpi buruk..." keluhku sambil menutup kedua mataku dan menarik napas panjang.

Sejak aku lulus pelatihan dan berhasil masuk ke Pasukan Pengawas, setiap malam aku selalu mengalami mimpi buruk ini. Mimpi dimana saat kemunculan Colossal Titan pertama kali dan menghancurkan Shiganshina. Akibat dari kejadian itu, kedua orangtuaku tewas secara mengerikan. Kejadian yang selama hidupku tidak akan bisa kulupakan. Dan sejak saat itu aku bersumpah akan membunuh semua makhluk itu, supaya tidak ada lagi keluarga lain yang merasakan apa yang telah kurasakan.

Sejak saat itu, aku berlatih supaya aku dapat masuk ke Pasukan Pengawas dan melakukan ekspedisi keluar dinding dan memburu para makhluk itu. Dan usaha itu pun terbayar. Lulus sebagai top class dan bebas untuk memilih Pasukan manapun.

Karena mimpi itu, aku takut untuk kembali tidur. Karena itu aku beranjak bangun dari tempat tidurku dan berjalan keluar ruangan.

"Sekalian saja aku ke ruang makan dan minum teh untuk menenangkanku sehabis mimpi itu." Gumamku pelan sambil menutup pintu kamarku pelan, supaya tidak membangunkan yang lain. Aku pertama berjalan menuju ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Menambahkan sedikit gula dan mengaduknya perlahan sambil menghirup aromanya. Setelahnya aku membawanya ke ruang makan.

Awalnya aku mengira ruang makan akan kosong, mengingat tengah malam prajurit yang lain pasti sudah tertidur. Jadi aku pun agak kaget melihat seseorang tengah duduk di ruang makan sendirian. Aku hanya bisa melihat belakang punggungnya saja dengan lilin sebagai sumber cahaya, karena ia duduk membelakangi pintu ruang makan. Namun begitu sosok itu mendengar langkahku masuk, ia memutar tubuhnya dan melihat siapa yang membuat suara itu.

"Kopral Levi." Salamku sambil membungkukkan sedikit tubuhku untuk memberi hormat begitu aku menyadari siapa yang ada di ruang makan.

"Kadet Y/N." Sapanya balik dan mengangguk sedikit. Aku pun berjalan menuju meja yang ditempatinya dan duduk di depannya. Ia menaikkan satu alisnya, namun tidak berkata apa-apa. Aku mengangkat cangkirku dan menghirup aroma teh yang masih terasa harum kemudian menyeruputnya pelan.

Suasana hening tidak ada yang bicara. Tapi aku menikmati keheningan ini. Aku bisa kembali tenang dan melupakan mimpi itu sejenak. Dan kurasa Kopral Levi juga merasa nyaman dengan keheningan ini. Aku melirik sosoknya dari balik cangkirku. Ia sedang memegang sebuah buku di tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang sebuah cangkir dengan cara yang seperti biasa ia lakukan.

"Kenapa kau belum tidur, kadet?" tanyanya tiba-tiba memecah keheningan. Aku agak tersentak kaget dan hampir tersedak tehku. Levi tidak melepaskan pandangannya dari bukunya.

"Ah.. Aku tadi sudah tidur, tapi..." ucapku tidak menyelesaikan kalimatku. Aku kesini untuk melupakan mimpiku, namun sekarang mimpi itu kembali muncul di benakku dan membuatku sedikit tegang.

Levi yang menyadari aku tidak melanjutkan kalimatku, mengangkat wajahnya dari bukunya dan menatapku heran, seolah meminta penjelasan lebih.

"Mimpi buruk..." ucapku pelan, sambil menelan ludah.

"Mimpi apa?" Tanya Levi. Sekarang ia menutup bukunya dan perhatiannya kini tertuju padaku. Aku pun semakin panik karena mimpi itu kembali menghantui diriku. Semakin lama, mimpi itu seolah menggerogoti seluruh tubuhku. Kalau aku tidak berhati-hati, mimpi itu bisa menjadi kenyataan bagiku. Aku menutup mataku rapat-rapat, mencoba untuk menahan air mata yang ingin keluar.

"... Sh-Shiganshina..." balasku pelan. Mulutku bergetar mencoba melupakan mimpi itu sekali lagi. Aku berharap ia tidak akan bertanya lebih jauh dari ini. Kalau tidak, sudah pasti aku akan...

Aku melihat Levi sedikit melebarkan matanya dan aku menyadari sekilas wajahnya menunjukkan ekspresi yang tidak kukenal. Sedih? Entahlah, Levi itu hampir tidak pernah memperlihatkan emosi di wajahnya, jadi aku tidak yakin.

"Oh..." katanya pelan, hampir tidak terdengar olehku. Wajahnya kembali seperti biasanya, tidak ada emosi yang terlihat. Semua orang sudah mengetahui apa yang terjadi 5 tahun yang lalu di Shiganshina. Jadi aku pun merasa lega saat Levi berhenti bertanya. Aku pun melepas napas yang tidak sadar kutahan, lalu kembali meneguk tehku.

Suasana hening kembali. Levi kembali membuka bukunya. Aku kembali melirik sosoknya. Kantong mata yang terlihat hitam, menandakan ia memang kurang tidur. Karena penasaran aku pun bertanya padanya.

"Kalau kopral... kenapa belum tidur?" tanyaku sambil meletakkan cangkirku yang sudah hampir kosong di atas meja.

Levi sesaat mengangkat pandangannya dari buku dan melihatku. Kemudian ia menutup bukunya dan meletakkannya di meja.

"Aku tidak bisa tidur. Insomnia."

"Oh, begitu..."

Levi kemudian bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang makan. Untuk sesaat kupikir ia kembali ke ruang kerjanya dan melanjutkan pekerjaan. Tapi kusadar ia meninggalkan buku yang tadi di bacanya di atas meja. Apa dia sengaja meninggalkannya? Karena penasaran buku apa yang dibacanya, aku pun sedikit melirik judul buku itu. Tertulis F/B di covernya. Wah ternyata dia juga menyukai buku ini.

Tiba-tiba pintu ruang makan terbuka dan aku pun melompat kaget. Kulihat Levi kembali dengan membawa 2 cangkir teh di tangannya. Dan aku baru menyadari kalau cangkir yang tadi kugunakan untuk minum teh diambil olehnya tadi saat meninggalkan ruang makan. Levi berjalan ke arah meja yang kami tempati dan duduk di depanku, seperti posisi awal. Lalu ia menyodorkan cangkirku yang telah terisi teh kepadaku.

"Apa ini?" tanyaku saat aku melihat teh yang ada di cangkirku. Warnanya sedikit lebih muda dari teh biasa, dan aroma yang dikeluarkan juga berbeda dengan teh yang kubuat.

"Tentu saja teh, bodoh." Ucap Levi sambil berdecak kesal.

"Ah... Maaf..." Ucapku sambil menundukkan kepala.

"Aku mencampurkan sedikit tanaman herbal. Campuran itu bisa membuat tubuh rileks dan kau bisa dengan mudah tertidur." Jelasnya sambil meneguk teh di cangkirnya sendiri.

Aku pun membulatkan kedua mataku kaget. Jadi Kopral membuatkanku teh ini karena aku tidak bisa tidur? Ternyata dia lebih perhatian dari tampangnya. Aku pun tersenyum dan menggumamkan ucapan 'terima kasih' dan meneguk tehnya.

Aku tidak menyangka kalau teh herbal bisa senikmat ini. Ada sedikit campuran madu dan susu, lalu rasa tanaman herbal yang ternyata tidak sepahit kedengarannya. Benar-benar kombinasi yang nikmat. Setelah meneguk beberapa kali, aku mengeluarkan suara puas.

"Baru pertama kalinya aku minum teh senikmat ini. Apa rahasianya, Kopral?" tanyaku berbinar-binar menatapnya. Levi hanya mendecakkan lidahnya 'tch', tapi tetap memberitahuku rahasianya.

Setelah itu kami berdua mulai bercakap-cakap, mulai dari jenis-jenis teh, sampai buku-buku yang sering dibacanya. Walaupun ia hanya berbicara singkat, aku tetap menikmati percakapan ini, karena aku bisa mengetahui diri Kopral Levi lebih jauh lagi.

Setelah beberapa lama kami bercakap-cakap, Levi berdiri dan membawa cangkir serta bukunya.

"Saatnya aku kembali kerja. Kau kembalilah istirahat, Kadet. Aku tidak mau besok kau bangun kesiangan dan tidak ikut latihan."

Aku pun tersenyum dan hendak mengambil cangkirku, tapi Levi merebutnya dan meletakkannya di atas cangkir miliknya. Aku pun hendak memprotes tindakannya dan akan membersihkannya sendiri.

"Biar aku saja yang membereskannya. Kau pergilah istirahat." Tukasnya padat, tidak memberiku kesempatan untuk memberikan pendapat.

"Baik, terima kasih sekali lagi atas tehnya, Kopral..."

"Levi."

"Eh?"

"Aku benar-benar menikmati waktu kita bercakap-cakap. Dan aku ingin disaat seperti ini, saat kita hanya berdua saja, aku ingin kau memanggilku Levi saja. Tanpa jabatan." Ucapnya.

"Eh? Tidak apa? Maksudku... Kopral kan atasanku.. Jadi kan memang seharusnya-"

"Tch. Ini disaat kita berdua saja. Kau akan tetap memanggilku Kopral disaat ada orang lain."

"Oh.. uh... baiklah... L-Levi..." Kedua pipiku merona merah ketika nama itu terlontar keluar begitu saja dari mulutku. Rasanya sangat aneh, namun menyenangkan. Kulihat kedua pipi Levi agak merah, namun kurasa itu hanya karena ilusi cahaya saja, jadi aku tidak begitu mempedulikannya.

"Selamat malam, kadet." Ucapnya sambil membalikkan tubuhnya dan meninggalkan ruangan. Aku hanya berdiri diam di tempat, menunggu Levi pergi dari ruang makan dan kemudian kembali ke kamar tidurku. Karena mimpi itu sudah menghilang dari benakku, aku pun tidak takut lagi untuk kembali tidur. Dan kali ini, untuk pertama kalinya semenjak aku bergabung dengan Pasukan Pengawas, aku dapat tidur dengan nyenyak tanpa mimpi buruk itu kembali.

Sejak hari itu, setiap kali aku terbangun pada saat tengah malam, aku selalu menyelinap diam-diam ke ruang makan untuk membuat teh, dan setiap kali itu juga Levi selalu berada di sana sedang membaca buku F/B dan meneguk tehnya. Kami pun selalu berbincang-bincang tentang berbagai hal. Dan kusadari semakin lama, Levi semakin membuka dirinya disaat ia berbicara, dan mulai sedikit menunjukkan ekspresi di wajahnya itu. Aku pun menikmati waktu yang kami habiskan bersama, walaupun tidak begitu lama.

Dan saat itu jugalah aku menyadari bahwa aku menyukai Levi. Aku sadar bahwa disaat seperti ini, kita tidak punya waktu untuk merasakan jatuh cinta. Maksudku.. Kita ini makanan titan. Kehilangan 1 prajurit saja sudah menyedihkan. Kekasih? Aku tidak akan tahu bagaimana keputus-asaan yang akan menimpaku kalau aku memiliki kekasih. Aku juga tidak ingin kehilangan orang yang kukasihi lagi. Biarlah rasa ini kusimpan sendiri di lubuk hatiku.

Suatu malam, disaat mimpi buruk itu menyerang lagi, aku berjalan menuju ruang makan dan kudapati Levi disana seperti biasanya. Aku melihat dari kejauhan, ia sedang duduk di kursi biasanya, kepalanya menunduk, kedua tangannya dilipat di depan dadanya, dan kedua matanya tertutup. Kurasa ia sedang berpikir sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku. Aku menghampirinya sambil membawa secangkir teh dan duduk di hadapannya. Begitu kulihat dari dekat, ternyata Levi sedang tertidur. Mulutnya sedikit terbuka, dan bahkan saat tidur pun, kedua alisnya masih terlihat berkerut. Aku pun hanya tersenyum dan meneguk teh yang kubuat.

Mungkin Levi terlalu lelah sehingga ia bisa tidur dengan pulas disini... Kalau dia lelah, kenapa dia tidak tidur di ruangannya? Kenapa sejak awal dia berada disini?

Aku pun bermaksud membangunkannya supaya ia bisa istirahat di ruangannya. Namun saat aku ingin menyentuh bahunya untuk membangunkannya, aku mendengar suara bergumam pelan keluar dari mulutnya. Sesaat kupikir ia sedang mengigau, namun kuperhatikan bola matanya bergerak-gerak dibalik kelopak matanya. Alisnya juga semakin terlihat berkerut.

Mimpi buruk?

"...Y-Y/N... ja...ngan..."

Untuk sesaat, pipiku bersemu merah mendengar Levi menggumamkan namaku dalam mimpinya. Namun seketika rasa panik muncul di benakku begitu aku mendengar gumaman lainnya.

"...mati... ja...ngan... ting...al...kan... ku..."

Kini dahi Levi dipenuhi dengan peluh. Kurasa saatnya aku membangunkannya.

"Kop- Levi?"

Tidak ada jawaban.

"Levi?" ucapku lebih keras.

Masih belum sadar.

"LEVI!" teriakku sekeras mungkin sambil mengguncangkan tubuhnya. Aku tidak peduli kalau teriakanku barusan akan membangunkan seluruh orang. Yang kupedulikan saat ini adalah Levi.

Dan berhasil. Levi membuka kedua matanya kaget. Kalau aku tidak memegangi bahunya, aku yakin dia akan jatuh terjungkal ke belakang. Keadaannya sama seperti saat aku tersadar dari mimpi buruk. Peluh yang membasahi seluruh tubuhnya, mata silver-kebiruan yang terbuka lebar, napas yang tersengal, serta tubuh gemetaran. Aku pun mencoba menenangkannya dengan mengelus punggungnya dengan tangan sambil berbisik.

"Ssh... tenang... Cuma mimpi..."

"Y-Y/N?"

"Ya, ini aku, Levi."

Levi pun menutup kedua matanya dan menarik napas panjang setelah mengatur pernapasannya. Setelah kulihat ia cukup tenang, aku menarik sebuah kursi dan duduk di sebelahnya. Aku bahkan memberinya teh buatanku untuk membuatnya tenang, karena kulihat cangkir miliknya sudah kosong. Namun ia menolaknya dan aku pun berdiri membawa cangkir miliknya untuk mengisinya dengan teh. Setelah kembali dengan cangkir miliknya, ia langsung meneguknya sekali dan mendesah pelan. Matanya masih tertutup. Kurasa ia masih syok dengan mimpinya.

"Mau menceritakannya?" tanyaku menawarkan.

Levi tidak menjawab. Ia hanya menatap cangkirnya. Aku pun tidak memaksanya. Kalaupun ia tidak mau cerita, itu bukanlah salahnya. Sama seperti saat aku tidak ingin menceritakan mimpi buruk yang selalu kualami itu.

Aku pun hanya meneguk tehku tanpa tahu harus mengatakan apa, sampai Levi memecah keheningan.

"Aku bermimpi... Para Prajurit dibantai habis oleh titan." Ucapnya pelan.

Aku mengerti. Sebagai Prajurit Manusia Terkuat, sudah pasti ia sering menyaksikan para prajurit lainnya dimakan oleh titan. Statusnya itu menandakan bahwa ia selalu selamat, namun tetap tidak bisa menyelamatkan prajurit lainnya. Aku tidak tahu seberapa berat beban yang ditanggungnya selama ini.

Aku hanya menatapnya saat ia melanjutkan ucapannya.

"Selama ini aku bisa mengatasinya... Kurasa aku mengatasinya. Tapi kali ini... Mimpi itu berkembang lebih buruk."

"Kali ini?" tanyaku. Levi mengangguk.

"Kali ini aku... melihatmu. Di antara para prajurit itu, wajah yang paling terlihat adalah wajahmu. Wajah penuh teror dan ketakutan yang besar. Aku melihat... Saat titan itu perlahan-lahan memisahkan satu-persatu bagian tubuhmu. Aku merasa bisa mendengar dengan jelas teriakanmu saat tubuhmu terpisah. Dan aku ada disana.. Tapi aku tidak bisa bergerak. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suaraku. Yang hanya bisa kulakukan... Hanya melihat pemandangan mengerikan itu."

Bulu kudukku merinding membayangkan mimpi yang dialami olehnya. Aku juga sering mengalami mimpi itu. Mimpi dimana kedua orangtuaku tewas. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanya duduk dan menangis saja.

"Kau tau... Aku sangat ketakutan begitu melihatmu menderita. Mati dengan cara kejam seperti itu. Aku tidak akan bisa bertahan kalau kau tidak lagi berada di sini, menemaniku saat tengah malam seperti ini." Ucapnya dengan mulut yang bergetar. Kedua matanya sekarang terlihat benar-benar menderita.

Tanpa sadar aku pun mendekatkan diriku dengannya dan memeluknya. Aku merasakan tubuhnya sedikit tegang akibat kontak fisik langsung ini. Namun perlahan tubuhnya rileks, dan ia membalas pelukanku dengan ragu-ragu. Aku hanya bisa tersenyum kecil.

"Aku tahu seperti apa rasanya menyaksikan seseorang tewas di depan mata kita, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sangat tau itu." Aku pun melepaskan pelukanku dan menatap kedua mata silver kebiruan itu dengan mata E/Y.

"Tapi, kita ini adalah prajurit. Kita tidak tau apa yang akan menimpa kita. Dan kita juga harus siap kalau hal itu bisa terjadi kapan saja."

"Tch. Aku tau itu. Aku selalu mengalaminya. Tapi kali ini saja aku ingin berharap. Aku tidak ingin orang yang kusayangi diambil lagi dengan cara yang kejam. Aku sudah lama bertahan. Aku tidak ingin hal ini terus terjadi."

"Levi... maksud-"

"Kau tidak mengerti juga, Y/N? Aku menyukaimu. Dari saat kita berbicara ditempat ini... Aku sadar aku ingin kau selalu disini, menemaniku saat aku sendirian. Berbicara hal yang tidak penting. Saat kau disini, aku selalu merasa dengan adanya kau, untuk sesaat aku bisa merasakan ketenangan. Dan saat aku bermimpi kalau kau juga akan diambil dariku dengan cara seperti itu.. Aku tidak bisa... Oke, tch, aku tidak pandai dalam hal seperti ini," rutuknya sambil membuang mukanya.

Aku hanya bisa terdiam mendengar pengakuannya. Aku tidak menyangka ia akan menyukaiku juga. Aku bisa melihat dari kedua matanya kalau saat ini ia benar-benar serius. Dadaku terasa hangat. Senyuman yang sudah lama tidak kutunjukkan, kini terlukis di wajahku. Air mata hampir keluar dari kedua mataku. Levi hanya menatapku dengan mata yang sedikit melebar. Tapi apakah perasaan jatuh cinta ini diperbolehkan? Disaat seperti ini? Dimana nyawa kita bisa menghilang saat ini juga? Apakah aku boleh merasakan jatuh cinta?

"Aku juga..." ucapku sambil tersenyum.

Levi pun kemudian memelukku dengan erat. Satu tangannya mengelus rambutku dengan lembut. Dan saat itulah air mata kini mengalir di pipiku, membasahi bahunya.

"Berjanjilah setidaknya kau tidak akan meninggalkanku dalam jangka waktu dekat ini." Gumam Levi. Aku pun hanya terkekeh mendengarnya.

"Jangan khawatir..." ucapku sambil menyeka air mataku dengan jari telunjukku.

"Kau adalah Prajurit Manusia Terkuat. Dan aku lulusan Top Class. Kurasa kita bisa saling menjaga satu sama lain."

Lalu Levi pun menghiasi wajahnya dengan sebuah senyuman. Senyum yang tidak pernah ditunjukkannya pada semua orang. Senyum yang benar-benar tulus.

"Ya."


Aku selalu bertanya pada diriku sendiri.

Apakah aku boleh mencintai orang lain saat ini?

Apakah aku boleh berharap bahwa orang itu tidak akan meninggalkanku?

Ayah, Ibu.. Apakah pilihanku benar?

Aku ingin mencobanya.

Aku ingin mempercayainya.


Ahahahahah! Maaf sekali lagi kalau Levinya agak (baca: SANGAT) OOC :( I've tried my best guys... But it's hard to make an emotionless person to confess his/her feelings :( Tapi seenggaknya aku sudah berusaha kan? Ya? Ya?

Dan maaf juga kalau endingnya agak crappy gak jelas gini ._.

*mumble* maklum aku orangnya itu introvert abis dan gak pernah ditembak langsung sama cwo (AKA JOMBLO NGENES) dan bisa dibilang kalau aku orangnya itu ROMANTIC HOPELESS lah ._. Jadinya aku cuma belajar buat fic romance dari baca fanfic romance lain dan juga dari novel-novel. Kalau untuk pengalaman... welllll... ._.

BUTTTT! Aku juga bakal lebih belajar dan memahami dunia fic romance untuk kalian XD

Jangan lupa kritik dan saran ya! Aku masih newbie XD

Oh ya, OPEN REQUEST juga lohhh! Kalian bisa request lewat review atau boleh PM XD

Hydraix out~