Catatan Kecil Hisoka
Aku kalah...akhirnya aku dikalahkan oleh pimpinan Geneiryodan. Di sinilah aku sekarang, terkapar tak berdaya dengan luka-luka akibat pertempuran kemarin. Tapi ini bukanlah akhir, bukanlah akhir.
"Karena kau tidak cukup berharga untuk dibunuh"
Itulah jawaban Danchou, saat aku bertanya padanya kenapa ia tidak membunuhku. Ia pun pergi setelah mengatakan hal itu, berteleportasi entah ke mana. Suatu hari pasti aku akan mengalahkanmu, Danchou, itu pasti.
Aku masih belum bisa bergerak sama sekali, ketika matahari sudah mulai merayap naik, menyengatku dengan panasnya. Saat itu aku bertemu dengannya untuk yang pertama kalinya. Ia sedang mencari rumput dan daun-daun entah untuk apa. Ia melihatku, dengan matanya yang berwarna coklat, coklat sewarna dan sejernih batu amber. Aku cuma bisa memandangnya, tenggorokan ku yang kering tak mengizinkan ku bahkan untuk bersuara. Wanita berkulit putih dengan sorot mata yang lembut itu, mengeluarkan botol air dalam keranjang yang ia bawa, dan memberiku air yang sangat kubutuhkan. Tapi baru saja air itu menyentuh kerongkongan ku, tiba-tiba pandangan ku mengabur dan akhirnya aku diliputi kegelapan.
Sentuhan lembut itu menyentuh wajah ku, lalu digantikan dengan sentuhan dingin dan basah. Aku terbangun, mendapati aku berada di sebuah kamar kecil yang berukuran dua kali tiga meter, aku berbaring di ranjang single. Wanita itu tersenyum pada ku, aku mendapati ia sedang menyeka tubuhku yang sekarang telanjang dada, dengan perban di dada dan perutku.
"kau sudah sadar? Syukurlah" ia melanjutkan pekerjaannya, sementara tubuhku masih belum bisa digerakkan. Rasa linu yang amat sangat menyengat dada ku membuatku sesak.
"beberapa tulang rusukmu patah. Kau kenapa? Kau terjatuh? Dan apakah kau badut sewaan?"
aku menyeringai mendengar pertanyaan wanita itu. Orang biasanya akan merinding ketakutan saat mendengar seringaian ku, tapi tidak dengan wanita itu, ia malah tertawa.
"kau benar-benar badut yang lucu, tapi maaf riasan badut mu telah terhapus. Tapi kau lebih tampan seperti ini, aku serius"
aku tiba-tiba berhenti menyeringai dan menatapnya tak percaya. Wanita itu lalu pergi, dan kembali tak lama kemudian, dengan membawa kemeja berwarna putih.
"agak kekecilan, tapi tak apalah. Kau tinggi sih" ia tersenyum, dengan senyuman yang cerah seperti matahari. Senyuman yang membuatku merasa tidak sendirian. Lalu ia pun pergi entah ke mana.
Aku menoleh ke arah jendela, terlihat sinar matahari pagi menerobos beningnya kaca, pertanda kaca itu dibersihkan dan dirawat dengan rapi oleh si pemilik rumah. Itu membuat ku sadar, ini adalah hari lain semenjak aku tak sadarkan diri. Berapa lama? Ah seandainya ada Machi, gadis itu pasti bisa menyembuhkan ku dengan cepat. Gadis itu dingin, tapi aku tahu ia peduli, ia hanya terlalu gengsi mengakuinya, aku suka menggodanya, membuatnya kesal, tapi tidak lebih dari itu. Kami sama-sama kesepian, itu lah yang menyatukan kami, perasaan senasib dan sepenanggungan. Aku harap akan segera ada seseorang yang dapat bersamanya. Aku harap ia tak akan berakhir seperti ku, hampa, dingin dan terkadang haus darah.
Aku memejamkan mataku, saat aku mencium bau masakan. Enak, itulah yang terbesit di otak ku, tiba-tiba membuat ku kelaparan. Tapi aku sama sekali tak bisa bergerak. Namun, tak lama wanita itu datang dengan meja kecil berisi makanan di atasnya dan segelas susu dan air putih. Ia membantuku bersandar, menyuapiku, seperti seorang ibu yang menyuapi anaknya. Sesekali ia mengoceh tentang kesehariannya. Aku dapat menyimpulkan kalau wanita itu adalah seorang peracik obat herbal yang tinggal bersama neneknya yang seorang penjual ikan, hingga neneknya, jarang ada di rumah tiap pagi sampai menjelang siang.
Hari berganti hari, waktu berlalu dengan cepat, berkat ramuannya aku perlahan mulai pulih dan dapat kembali berjalan, meskipun rasa linu di dada ku masih ada. Dia wanita yang aktif dan sangat ramah. Ia menolong siapapun yang memerlukan bantuan, ia seorang malaikat. Berbanding terbalik dengan ku yang seorang iblis. Kehadirannya membuatku merasakan kehangatan keluarga yang tak pernah ku miliki, kelembutannya membuat ku merasakan sentuhan seorang ibu, kecantikan fisik dan hatinya membuatku menginginkan seorang kekasih, kekasih yang sekalipun tak pernah ku pikirkan akan aku butuhkan.
Suatu malam aku mendapatinya sedang memandangi sebuah gambar berbentuk akar. Aku sama sekali tak tahu apa itu, sampai akhirnya neneknya memberi tahu ku bahwa itu adalah jenis ginseng yang langka, yang konon katanya bisa menyembuhkan segala penyakit, dan untuk memperpanjang usia.
"kau tahu Hisoka, jika aku memilikinya, aku akan mencampurkannya dengan ramuan lain dan aku akan memberikannya pada orang yang ku sayangi"
"apa nama ginseng itu?"
"Panax Fuschiteleae. Kemarilah Hisoka, aku membuatkanmu masakan spesial hari ini"
Dia menarik tangan ku menyeret ku meja makan, disusul oleh neneknya. Terhidang makanan laut yang membuat perut ku keroncongan, wanita itu adalah koki terbaik yang pernah ku temui.
Suatu pagi aku mengantarnya mencari tumbuhan, saat itu aku sudah pulih seutuhnya. Aku membantunya memetik tumbuhan yang sulit ia jangkau, bahkan kakinya terkilir saat berusaha mengambilnya. Aku menggendongnya di punggungku. Tiba-tiba aku merasakan jantungku berdebar saat itu. Dan kami berpapasan dengan beberapa penduduk, mereka salah mengartikan hubungan kami. Mereka mengira bahwa aku adalah kekasihnya. Jauh di palung hatiku, ada secercah kesenangan di sana. Tapi aku tahu, aku tak punya kesempatan untuk itu. Aku tak bisa dan tak akan mampu membiarkan diriku merasakan hal-hal yang emosional seperti itu.
Tak ingin perasaan ku berlanjut, kau memutuskan untuk pergi secepatnya, meskipun hati kecil ku masih ingin tinggal bersamanya. Saat aku ingin berpamitan padanya, aku melihatnya sedang memandangi foto seorang pria dengan pandangan penuh kasih sayang, dan pikiran yang melayang seperti sedang membayangkan masa-masa indah bersama pria itu. Aku...aku dada ku sesak, seolah ada beban berton-ton menindih dadaku. Ada gulungan di panggal tenggorokkan ku dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu mengalir di pipi ku. Aku mundur, lalu kembali ke kamarku, rasanya aku tak sanggup berbicara langsung padanya. Jadi aku memutuskan untuk hanya memberi nya catatan kecil yang ku taruh di atas ranjang ku.
"Terima kasih, atas segala kebaikan mu.
Aku akan membalasnya suatu hari nanti."
Hisoka
