Title : Bared To You
Main Cast :
Byun Baekhyun
Park Chanyeol
Note : Ini adalah remake dari novel berjudul sama karangan Sylvia Day. Baik ide maupun isi dari buku bukan merupakan milik saya, kecuali beberapa bagian yang saya ubah dan/atau tambahkan demi kepentingan dan realitas cerita.
.
.
Park Chanyeol datang ke dalam hidupku seperti petir dalam kegelapan.
Dia indah dan brilian, bergerigi dan panas. Aku belum pernah setertarik ini ke apapun atau siapapun dalam hidupku seperti saat ini padanya. Aku mendambakan sentuhannya seperti obat-obatan, meskipun menyadari itu akan melemahkanku. Aku cacat dan rusak, dan ia membuka retakan di dalam diriku begitu mudah.
Chanyeol tahu. Dia punya iblisnya sendiri. Dan kami akan menjadi cermin yang saling memantulkan luka paling pribadi, dan gairah masing-masing. Ikatan cintanya mengubahku, bahkan ketika aku berdoa bahwa siksaan dari masa lalu tak akan memisahkan kami berdua.
"Kita harusnya pergi ke bar dan merayakannya."
Aku tidak terkejut oleh pernyataan sungguh-sungguh teman seapartemenku. Oh Sehun selalu menemukan alasan untuk merayakan sesuatu, tidak peduli sekecil apa dan tidak pentingnya hal itu. Aku selalu menganggap itu bagian dari daya tariknya.
"Aku yakin minum-minum di malam sebelum memulai suatu pekerjaan baru adalah ide yang buruk."
"Ayolah, Baek."
Sehun duduk di ruang tamu baru kami, ditengah-tengah setengah lusin kotak-kotak pindahan dan memamerkan senyum kemenangannya. Kami telah membongkar barang-barang selama berhari-hari, tapi dia tetap terlihat mengagumkan. Tubuh langsing, rambut gelap, mata kecokelatan, Sehun adalah seorang pria yang jarang terlihat kurang dari sempurna ketampanannya di setiap hari dalam hidupnya. Aku mungkin membencinya jika dia bukanlah orang yang paling kusayangi di dunia ini.
"Aku tidak bicara tentang suatu bender," dia mendesak. "Hanya satu atau dua gelas anggur. Kita bisa datang saat happy hour dan masuk pukul delapan."
"Aku tak tahu apakah aku bisa kembali tepat waktu," Aku mengisyaratkan pada celana yogaku dan baju kaos olahraga ketatku. "Setelah aku selesai bekerja, aku akan pergi ke gym."
"Jalan cepat, olahraga lebih cepat." Alis Sehun yang melengkung sempurna membuatku tertawa. Aku benar-benar berharap wajah jutaan wonnya muncul di papan iklan dan majalah fashion di seluruh dunia suatu hari nanti. Tidak peduli ekspresinya, dia adalah seseorang yang mempesona.
"Bagaimana kalau besok setelah bekerja?" Aku mengusulkan sebagai pengganti. "Jika aku bisa berhasil melewati satu hari, itu baru layak dirayakan."
"Sepakat. Aku akan meresmikan dapur baru kita untuk membuat makan malam."
"Uh…" Memasak adalah salah satu kegemaran Sehun, tapi bukanlah salah satu dari bakatnya. Aku masih ingat jelas bagaimana ia bereksperimen di dapur beberapa minggu yang lalu dan membuat suatu makanan yang tidak pernah berani aku coba, menamainya dengan nama ramyun ttang. "Bagus."
Meniup sehelai rambut yang tidak patuh dari wajahnya, dia menyeringai kepadaku. "Kita punya dapur yang hampir semua restoran akan iri. Tak mungkin untuk mengacaukan makanan di sana."
Dengan ragu-ragu, aku menuju keluar dengan sebuah lambaian, memilih menghindari sebuah percakapan tentang memasak. Memilih naik elevator untuk turun ke lantai satu, aku tersenyum pada penjaga pintu ketika dia membiarkan aku naik keluar menuju jalan dengan lambaian.
Saat aku melangkah keluar, aroma dan suara Seoul memelukku dan mengundangku untuk menjelajahinya. Aku tidakalh pindah ke lain negara dari rumah lamaku di Gyeonggi, tapi kepindahan ini seperti sedunia jauhnya. Dua kota yang berada di Korea Selatan, satu kota dengan penduduk terbanyak di Korea Selatan, dan satu lagi merupakan kota metropolitan yang merupakan ibukota dari negara tempat aku lahir dan dibesarkan. Dalam mimpiku, aku membayangkan masih tinggal di Gyeonggi sampai bertahun-tahun lamanya, tapi karena aku merupakan putri yang patuh, aku malah menemukan diriku di Seoul. Jika Sehun tidak tinggal bersamaku, aku akan merasakan kesepian yang menyedihkan di apartemen yang sewa sebulannya lebih besar daripada penghasilan kebanyakan orang lain selama setahun.
Si penjaga pintu menundukkan kepala bertopinya padaku. "Selamat sore, Nona Byun. Apakah anda memerlukan taksi sore ini?"
"Tidak, tapi terima kasih, Jonghyun," Aku menggoyangkan tumit bulat sepatu fitnessku. "Aku akan jalan kaki saja."
Dia tersenyum. "Sekarang lebih dingin dari siang tadi. Pastinya bisa menyenangkan."
"Aku telah diberitahu aku harus menikmati udara seperti ini sebelum berubah menjadi panas yang lebih kejam."
"Saran yang sangat baik, Nona Byun."
Melangkah keluar dari bawah serambi kaca pintu modern yang entah bagaimana bisa menyatu dengan usia bangunan dan bangunan-bangunan tetangganya, aku menikmati suasana relative tenang jalanan disekitar rumahku yang memiliki pepohonan yang berjajar sebelum aku mencapai kesibukan dan arus lalu lintas di pusat kota. Suatu hari nanti, aku berharap bisa berbaur dengan baik, tapi untuk saat ini aku masih merasa seperti warga Seoul palsu. Aku punya alamat dan pekerjaan, tapi aku masih berhati-hati terhadap kereta bawah tanah dan mengalami kesulitan memanggil taksi. Aku mencoba untuk tidak berjalan di sekitar dengan mata membelalak dan mudah teralihkan perhatiannya, tapi sulit. Ada begitu banyak untuk dilihat dan dialami.
Input sensoriknya menakjubkan—bau knalpot kendaraan bercampur dengan makanan dari gerobak penjual keliling, teriakan pedagang di pinggir jalan bercampur dengan musik dari penghibur jalanan, keajaiban arsitektur, dan mobil. Ya Tuhan. Aliran hingar-bingar mobil yang sangat padat dan penuh tidak seperti apa pun yang pernah kulihat di manapun. Selalu saja ada mobil berlalu lalang, dengan bunyi klakson yang meraung memecahkan telinga. Aku kagum dengan truk sampah yang melayari jalan kecil satu arah dan supir pengiriman paket yang menerjang bumper-bumper lalu lintas sementara menghadapi tenggat waktu yang kaku.
Orang Seoul sejati melaju melalui semua itu, cinta mereka untuk kota ini senyaman dan seakrab seperti sepasang sepatu favorit. Mereka tidak melihat uap mengepul dari lubang ventilasi dan di trotoar dengan kegembiraan yang romantis dan mereka tidak berkedip mata ketika tanah bergetar di bawah kaki mereka saat kereta bawah tanah menderu dibawah, sementara aku tersenyum seperti orang idiot dan melenturkan jari-jari kakiku. Seoul adalah cinta yang baru bagiku. Mataku bercahaya dan itu terlihat jelas.
Jadi aku harus benar-benar 'bermain dingin' saat aku berjalan ke gedung tempatku akan bekerja. Sejauh pekerjaanku berjalan, setidaknya, aku sudah mendapatkan yang aku inginkan. Aku ingin memperoleh penghidupan didasarkan pada kemampuanku sendiri dan itu berarti posisi tingkat awal. Mulai besok pagi, aku akan jadi asisten dari Lee Jinki di salah satu biro iklan terkemuka di Korea Selatan. Ayah tiriku, pemodal besar Hong Jungsoo, kesal ketika aku mengambil pekerjaan itu, menunjuk bahwa jika aku kurang berharga diri tinggi, aku malah bisa bekerja dengan temannya dan memperoleh keuntungan dari koneksi itu.
"Kau keras kepala seperti ayahmu," katanya. "Butuh waktu selamanya untuk dia melunasi pinjaman mahasiswamu dengan gajinya sebagai polisi."
Itu telah menjadi pertengkaran besar, dengan ayahku yang tidak mau mundur. "Terkutuk jika pria lain yang akan membayar pendidikan anakku!" Byun Sungjin telah mengatakan itu ketika Jungsoo membuat tawaran. Aku menghormati itu. Aku menduga ayah tiriku juga, meskipun ia tak akan pernah mengakuinya. Aku mengerti kedua sisi maksud pria-pira itu, karena aku berjuang untuk melunasi pinjamanku sendiri, dan gagal. Itu adalah titik kebangaan bagi ayahku. Ibuku telah menolak untuk menikah dengannya, tapi dia tidak pernah goyah dari tekadnya untuk menjadi ayahku dengan setiap cara yang mungkin bisa dilakukannya.
Mengetahui tak ada gunanya untuk gusar dengan frustasi lama, aku berfokus untuk mendapatkan pekerjaan secepat mungkin. Aku sengaja memilih untuk memotong pendek perjalanan selama waktu sibuk pada hari Senin, jadi aku senang ketika aku tiba di gedung Park Corporation, yang merupakan rumah bagi biro iklan yang akan menjadi tempat kerjaku, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Aku mendongakkan kepalaku keatas dan memandang deretan bangunan seluruhnya dari bawah sampai ke atas langit. Gedung Park Corporation ini mengesankan, puncak menara ramping berkilauan seperti batu safir yang menembus awan. Aku tahu dari wawancaraku sebelumnya bahwa interior di sisi lain yang memiliki pintu bergulir berhias bingkai tembaga juga sama-sama menakjubkan, dengan dinding dan lantai marmer keemasan, dan meja keamanan yang dicat aluminium dan pintu putar.
Aku menarik kartu pengenal baruku keluar dari saku bagian dalam celanaku dan mengangkatnya kepada dua orang penjaga berpakaian setelan bisnis hitam di meja. Mereka menghentikanku juga, tak diragukan lagi karena aku berpakaian kurang sopan, tapi kemudian mereka membiarkanku lewat. Setelah aku selesai naik lift ke lantai dua puluh, aku telah memiliki gambaran waktu umum untuk seluruh rute dari pintu ke pintu. Berhasil.
Aku sedang berjalan menuju deretan lift ketika seorang wanita langsing berambut coklat cantik dengan dompetnya yang menyangkut di pintu putar dan terbalik, menumpahkan banyak uang recehan. Koin-koin menghujani marmer dan berguling jauh, dan aku menyaksikan orang-orang menghindari kekacauan dan terus berjalan seolah-olah mereka tidak melihatnya. Aku meringis bersimpati dan berjongkok untuk membantu wanita itu mengumpulkan uangnya, seperti yang dilakukan salah satu penjaga.
"Terimakasih," katanya, melemparkan senyum terburu-buru dengan cepat.
Aku tersenyum balik. "Tidak masalah. Aku pernah mengalaminya."
Aku baru saja berjongkok untuk meraih keeping koin 100 won yang tergeletak di dekat pintu masuk ketika aku berhadapan dengan sepasang sepatu oxford hitam mewah terbungkus celana panjang hitam. Aku menunggu sebentar untuk orang itu bergerak keluar dari jalanku dan ketika dia tidak bergerak, aku mendongakkan leherku untuk memungkinkan arah tatapanku meningkat.
Setelan tiga potong jas mengenai lebih dari satu 'tombol panas'ku, tapi tubuh yang tinggi, ramping, dan terlihat kuat yang berada di dalamnya lah yang membuatnya sensasional. Namun, sepanas apapun semua kelelakian yang megah itu, baru ketika aku sampai wajah pria itu aku benar-benar menyerah kalah.
Wow. Hanya wow.
Dia menjatuhkan diri dengan bungkukan yang elegan langsung di depanku. Terpukul dengan semua maskulinitas indah di depan mataku, aku hanya bisa menatap, tertegun. Kemudian sesuatu bergeser di antara kami. Saat ia menatapku, ia berubah. Seolah-olah perisai meluncur menjauh dari matanya, mengungkapkan kekuatan kehendak yang mengisap udara dari paru-paruku. Daya tarik intens yang ia pancarkan semakin bertambah kekuatannya, menjadi suatu tenaga dengan kesan hampir nyata, bergetar dan tak ada henti-hentinya.
Bereaksi murni pada insting, aku bergeser ke belakang, dan jatuh tergeletak rata di pantatku.
Sikuku berdenyut-denyut dari kontak keras dengan lantai marmer, tapi aku hampir tidak merasakan sakit. Aku terlalu sibuk menatap, terpaku oleh orang di depanku. Rambut coklat membingkai wajah yang mempesona. Struktur tulangnya akan membuat pematung menangis dengan sukacita, sementara mulutnya yang tergores kuat, hidung seperti belati, dan mata coklat intens membuatnya tampak menarik. Matanya itu menyipit sedikit, sementara wajahnya diatur supaya terlihat tenang.
Baju kemeja dan jas keduanya berwarna hitam, tapi dasinya cocok sempurna dengan iris matanya yang brilian. Matanya cerdas dan menilai, menembus kedalam mataku. Detak jantungku bertambah cepat, bibirku terbuka untuk mengakomodasi nafas yang jadi lebih cepat. Dia berbau sangat harum. Bukan cologne. Body wash, mungkin. Atau sampo. Apa pun itu, baunya lezat, seperti dia.
Dia mengulurkan tangannya padaku, mengekspos manset onyx dan jam yang tampak sangat mahal. Dengan nafas gemetar, aku meletakkan tanganku dalam tangannya. Denyut nadiku melompat ketika cengkeramannya diperkuat. Sentuhannya terasa beraliran listrik, mengirim kejutan ke lenganku yang mendirikan rambut di tengkukku. Dia tidak bergerak sejenak, sebuah garis kerutan mengisi jarak antara alis yang terpotong dengan arogan.
"Apakah kau baik-baik saja?" Suaranya berbudaya, berat dan halus, dengan keserakan yang membuat perutku berdenyut.
Hal ini membawa pikiranku ke seks. Seks yang luar biasa. Aku berpikir sejenak bahwa dia mungkin bisa membuatku orgasme hanya dengan berbicara cukup lama.
Bibirku kering, jadi aku menjilatnya sebelum menjawab. "Aku baik-baik saja."
Dia berdiri dengan keanggunan yang efisien, menarikku berdiri bersamanya. Kami mempertahankan kontak mata karena aku tidak bisa berpaling. Dia lebih muda dari asumsiku pada awalnya. Lebih muda dari tiga puluh, dugaanku, tapi matanya jauh lebih berambisi. Tatapan yang keras, tajam, dan cerdas.
Aku merasa tertarik kearahnya, seolah-olah ada tali yang mengikat pinggangku dan dia dengan perlahan-lahan dan tak terelakkan menariknya.
Berkedip keluar dari setengah bingungku, aku melepaskannya. Dia tak hanya indah. Dia, memikat. Ia adalah tipe pria yang membuat wanita ingin merobek kemejanya sampai terbuka dan menonton kancing-kancingnya bertebaran bersama dengan ketahanan dirinya.
Aku menatap dirinya dengan baju beradab, sopan, mahalnya dan berpikir tentang persetubuhan yang kasar, primal dan tipe yang bisa membuatku mencakar seprai. Aku tidak pernah berpikir seperti ini sebelumnya, terlebih karena aku memang tidak pernah melakukannya. Selama ini aku hanya menyalurkan hasratku lewat menonton video, atau membaca novel-novel bergenre romansa erotis. Aku bahkan tidak pernah mencapai tahap yang lebih jauh dari sekedar ciuman bibir dengan mantan-mantan kekasihku.
Dia membungkuk dan mengambil kartu tanda pengenalku yang aku tidak sadari telah aku jatuhkan, membebaskanku dari tatapan provokatifnya. Otakku tergagap kembali bekerja. Aku jengkel dengan diriku sendiri karena merasa canggung ketika dia sepenuhnya tenang.
Dan kenapa?
Karena aku terpesona, sialan.
Dia melirik ke arahku dan posenya—hampir berlutut di depanku—membuat miring keseimbanganku lagi. Dia membalas tatapanku saat ia bangkit.
"Apakah kau yakin kau baik-baik saja? Kau seharusnya duduk selama satu menit."
Wajahku panas. Betapa indahnya untuk tampil canggung dan kikuk di depan orang yang paling percaya diri dan anggun yang pernah aku temui.
"Aku hanya kehilangan keseimbangan. Aku baik-baik saja."
Berpaling, aku melihat wanita yang telah tertumpah isi dompetnya. Dia mengucapkan terimakasih kepada penjaga yang membantunya, kemudian berbalik mendekatiku, meminta maaf sedalam-dalamnya. Aku menghadap kearahnya dan mengulurkan segenggam koin yang aku kumpulkan, tapi tatapannya tersangkut pada Dewa dalam setelan dan dia segera lupa padaku sama sekali. Setelah beberapa saat, aku hanya mengulurkan tangan dan membuang koin-koin itu ke dalam tas wanita itu. Lalu aku mengambil resiko melirik pria itu lagi, menemukan dia menontonku bahkan saat si wanita rambut coklat menyemburkan banyak ucapan terima kasih. Untuk dia. Bukan untukku, tentu saja, orang yang sebenarnya benar-benar membantunya.
Aku berbicara padanya. "Boleh aku meminta kartuku, tolong?"
Dia memberikannya kembali kepadaku. Meskipun aku berusaha untuk mengambilnya tanpa menyentuhnya, jari-jarinya menyentuhku, mengirimkan arus kesadaran itu ke seluruh tubuhku sekali lagi.
"Terimakasih," gerutuku sebelum melewatinya dan mendorong pintu putar, keluar ke jalanan.
Aku berhenti sejenak di trotoar, meneguk dalam-dalam udara Seoul yang diwarnai dengan sejuta hal yang berbeda, beberapa bagus dan beberapa beracun. Ada mobil hitam licin di depan bangunan dan aku melihat bayanganku di jendela gelap tak bernoda dari mobil itu. Aku memerah dan mata coklatku terlalu berbinar. Aku tidak pernah melihat apa yang terlihat di wajahku ini sebelumnya, tapi aku tahu apa arti dari pandangan ini. Pandangan ini adalah pandangan 'aku-siap-bercinta' dan pandangan ini sama sekali tak ada urusannya untuk berada di wajahku sekarang.
Tuhan, aku butuh pegangan.
Lima menit bersama Tuan Gelap dan Berbahaya, dan aku dipenuhi dengan energy kegelisahan yang mengganggu. Aku masih bisa merasakannya, dorongan yang tak dapat dipahami untuk kembali ke dalam, dimana ia berada. Aku bisa membuat argument bahwa aku belum selesai melakukan urusanku di Park Corporation, tapi aku tahu aku akan menyalahkan diriku sendiri nanti. Berapa kali aku mau membuat diriku terlihat bodoh dalam satu hari?
"Cukup," aku mengomeli diriku sendiri dibawah nafasku. "Bergeraklah."
Klakson berbunyi saat salah satu taksi melesat di depan taksi lain dengan jarak keduanya hanya beberapa senti dan kemudian menginjak rem saat pejalan kaki yang berani melangkah ke perempatan sedetik sebelum lampu berganti. Teriakan terjadi, rentetan makian dan selanjutnya gerakan tangan yang tidak benar-benar menyatakan kemarahan. Dalam beberapa detik semua pihak akan melupakan kejadian itu, yang hanya merupakan salah satu selingan dalam tempo alami kota ini. Saat aku menyatu ke dalam aliran lalu lintas pejalan kaki dan berangkat menuju gym, senyum menggoda terlintas di mulutku.
Ah, Seoul, pikirku, merasa mantap lagi. Kau keren.
.
.
Aku telah merencanakan untuk pemansan di treadmill, kemudian menghabiskan jam dengan beberapa mesin, tapi ketika aku melihat bahwa kelas pemula 'kickboxing' akan di mulai, aku malahan mengikuti massa murid yang menunggu. Pada saat itu berakhir, aku merasa lebih seperti diriku. Otot-ototku bergetar sempurna dengan kelelahan dan aku tahu aku akan tidur nyenyak malam nanti.
"Kau melakukannya dengan sangat baik."
Aku menyeka keringat dari wajahku dengan handuk dan menatap pria muda yang berbicara kepadaku. Kurus dan berotot licin, dia memiliki mata cokelat yang tajam dan kulit putih yang sempurna. Bulu matanya tebal dan panjang yang membuat iri.
"Terimakasih," mulutku berputar menunjukan sesal. "Cukup jelas ini adalah pertama kalinya buatku, ya?"
Dia nyengir dan mengulurkan tangannya. "Shin Hoseok."
"Byun Baekhyun."
"Kau memiliki keluwesan alami, Baekhyun. Aku bahkan tidak menduga dengan badan sekecil itu—bukannya meremehkan—kau memiliki keluwesan yang, dengan sedikit latihan, akan bisa membuatmu menjadi seorang jagoan KO. Di sebuah kota seperti Seoul, tahu bela diri sangatlah penting."
Dia menunjuk ke sebuah papan tempel yang digantung di dinding. Itu ditutupi dengan kartu nama dan selebaran yang dijepit dengan paku payung. Merobek salah satu bendera dari dasar selembar kertas neon, ia menunjukkan itu kepadaku.
"Pernah dengar Krav Maga?"
"Sepertinya pernah, dari film."
"Aku mengajar itu, dan aku akan senang untuk mengajarimu. Ini alamat websiteku dan nomor telpon."
Aku mengagumi pendekatannya, langsung, seperti tatapannya, dan senyumannya yang tulus. Aku bertanya-tanya apakah dia bertujuan kearah mencari seorang anggota, tapi ia cukup santai tentang hal itu sehingga aku tidak bisa yakin.
Hoseok menyilangkan lengannya, memamerkan otot bisep yang terlatih. Dia mengenakan kemeja tanpa lengan dan celana hitam panjang. Sepatu conversenya tampak butut namun nyaman, dan tato tribal mengintip dari kerahnya. "Di websiteku ada jadwal jam-jam latihannya. Kau harus datang dan menonton, melihat apakah itu cocok untukmu."
"Aku pasti akan memikirkannya."
"Lakukan itu," dia mengulurkan tangannya lagi, dan genggamannya solid dan percaya diri. "Aku berharap untuk bisa melihatmu datang."
.
.
Apartemen berbau sedap ketika aku pulang ke rumah dan Yoon Mirae melantunkan lagu penuh penjiwaan melalui speaker surround-sound. Aku memandang ke seberang bidang lantai terbuka menuju dapur dan melihat Sehun yang asyik menggumamkan lirik sambil berkutat dengan penggorengan. Ada botol soju terbuka di meja dan dua gelas, salah satunya setengah penuh dengan soju.
"Hei," seruku saat aku semakin dekat. "Kau masak apa? Dan apakah aku punya waktu untuk mandi dulu?"
Ia menuangkan soju ke dalam gelas lain dan meletakannya di meja untukku, gerak-geriknya trampil dan elegan. Tak seorangpun akan tahu dari hanya melihat dirinya bahwa dia telah menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah antara ibu yang kecanduan obat dan panti asuhan, diikuti oleh fasilitas untuk penahanan anak dan remaja dan rehabilitasi negara.
"Nasi goreng kimchi. Tahan mandinya, makan malam sudah siap. Bersenang-senang hari ini?"
"Begitu aku ke gym, iya," aku menarik keluar salah satu kursi dan duduk. Aku menceritakan padanya tentang kelas kickboxing dan Shin Hoseok.
"Mau pergi denganku?"
"Krav Maga?" Sehun menggeleng. "Itu hardcore. Aku akan mendapatkan memar dan itu akan mengancam pekerjaanku. Tapi aku akan pergi denganmu untuk mengeceknya, untuk berjaga-jaga jika orang ini seseorang yang sinting."
Aku melihatnya tersenyum puas ke dalam penggorengan yang terisi dengan nasi goreng.
"Seorang yang sinting, ya?"
Ayahku mengajarkanku untuk membaca orang cukup baik, sehingga aku tahu bahwa 'sang Dewa dalam setelan' adalah masalah. Orang-orang biasa menawarkan senyum murahan ketika mereka membantu seseorang, hanya untuk membuat koneksi sesaat yang melancarkan jalan.
Lagipula, aku tidak tersenyum padanya juga.
"Baby Baek," Sehun memanggil, menarik piring dari lemari. "Kau seorang wanita yang menakjubkan. Aku mempertanyakan setiap pria yang tidak punya nyali untuk memintamu langsung untuk berkencan."
Aku mengerutkan hidungku padanya. Dia mengatur piring yang berisi nasi goreng di depanku.
"Kau punya sesuatu di pikiranmu. Apa itu?"
Aku menangkap gagang sendok yang mencuat dari piring dan memutuskan untuk tidak mengomentari makanan.
"Aku pikir aku bertemu dengan orang terpanas di planet ini. Mungkin orang terpanas dalam sejarah dunia."
"Oh? Kupikir aku orangnya. Ceritakan lebih banyak."
Sehun tetap tinggal di sisi lain dari meja, lebih memilih untuk berdiri dan makan. Aku melihat dia mengambil beberapa gigitan racikannya sendiri sebelum aku merasa cukup berani untuk mencobanya sendiri.
"Tidak banyak yang bisa diceritakan, sungguh. Aku akhirnya tergeletak di pantatku sendiri di lobi Park Corporation, dan dia memberiku bantuan untuk berdiri."
"Tinggi atau pendek? Rambutnya terang atau gelap? Tegap atau langsing? Warna mata?"
Aku membasahi gigitan keduaku dengan soju. "Tinggi. Gelap. Langsing dan tegap. Mata coklat. Kaya raya, dinilai dari pakaian dan aksesorisnya. Dan dia benar-benar seksi. Kau tahu bagaimana—beberapa pria panas tidak membuat hormonmu menggila, sementara beberapa orang yang tak menarik memiliki daya tarik seks yang besar. Orang ini memiliki semuanya."
Perutku bergetar seperti ketika si Gelap dan Berbahaya menyentuhku. Dalam pikiranku, aku teringat wajah mempesonanya sejelas kristal. Seharusnya illegal bagi seorang pria untuk menjadi begitu mind-blowing. Aku masih belum pulih dari penggorengan sel-sel otakku.
Sehun mengatur sikunya di meja dan bersandar, poni panjangnya menutupi salah satu mata cokelat terangnya. "Jadi, apa yang terjadi setelah dia membantumu?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak ada."
"Tidak ada?"
"Aku pergi."
"Apa? Kau tidak bergenit-genit dengannya?"
Aku menggigit lagi, makanan ini benar-benar tidak buruk. Atau mungkin aku hanya kelaparan.
"Dia bukan tipe pria yang bisa aku goda, Sehun."
"Taka da pria yang tak bisa kau goda. Bahkan orang-orang yang sudah menikah dan bahagia menikmati sedikit godaan tidak berbahaya sekali-kali."
"Tak ada yang tidak berbahaya tentang orang ini," kataku datar.
"Ah, salah satu dari mereka," Sehun mengangguk bijaksana. "Bad boy bisa menyenangkan, jika kau tidak terlalu dekat."
Tentu saja dia akan tahu, pria dan wanita dari segala usia jatuh di bawah kakinya. Namun, entah bagaimana ia berhasil untuk memilih partner yang salah setiap waktu. Dia berkencan dengan penguntit, dan tukang selingkuh, dan kekasih yang akan mengancam akan bunuh diri karena dia, dan kekasih dengan orang signifikan lain yang tak mereka ceritakan—sebut semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam suatu hubungan, dan Sehun telah mengalami semuanya.
"Aku tak bisa membayangkan bahwa pria ini pernah bersenang-senang," kataku. "Dia terlalu intens. Namun, aku yakin dia akan luar biasa di ranjang dengan segala intensitas yang ada."
"Sekarang kau baru bicara. Lupakan orang nyata. Cukup gunakan wajahnya dalam fantasimu dan membuatnya sempurna di sana."
Memilih untuk mengeluarkan pria itu dari kepalaku sama sekali, aku mengganti topik. "Kau punya kegiatan besok?"
"Tentu saja."
Sehun melontarkan rincian jadwal dirinya, menyebutkan sebuah iklan celana jeans, self-tanner, pakaian dalam, dan cologne. Aku mendorong segala sesuatu yang lain keluar dari pikiranku dan terfokus pada dirinya dan keberhasilannya yang berkembang. Permintaan untuk Oh Sehun meningkat dari hari ke hari, dan ia membangun sebuah reputasi dengan fotografer dan dikenal sebagai orang yang profesional dan cepat. Aku sangat senang untuknya dan sangat bangga. Dia telah berusaha keras dan telah melalui begitu banyak hal.
Tidak sampai setelah makan malam aku baru memperhatikan dua kotak hadiah besar disandarkan di sisi sofa. "Apa itu?"
"Itu," kata Sehun, bergabung denganku di ruang tamu, "adalah barang paling utama."
Aku tahu dengan seketika itu dari ayah tiriku dan ibuku. Uang adalah sesuatu yang ibuku butuhkan agar bahagia dan aku senang bahwa Jungsoo, suami nomor tiga, tidak hanya bisa mengisi kebutuhan itu untuknya tapi juga semua hal-hal lain dengan baik. Aku sering berharap itu bisa menjadi akhirnya, tapi ibuku kesulitan menerima bahwa aku tidak memandang uang dengan cara yang sama seperti dia.
"Apa lagi sekarang?"
Sehun melemparkan lengannya di bahuku, sangat mudah baginya karena ia jauh lebih tinggi dariku. "Jangan tidak bersyukur. Dia mencintai ibumu. Dia suka memanjakan ibumu, dan ibumu suka memanjakanmu. Dia melakukan ini untuk ibumu."
Sambil mendesah, aku mengakui maksudnya. "Apa itu?"
"Pakaian glamour untuk makan malam di penggalangan dana pusat advokasi pada hari Sabtu. Gaun kejutan untukmu dan tuksedo bagiku, karena membeli hadiah bagiku adalah apa yang dilakukannya untukmu. Kau lebih toleran jika aku berada didekatmu untuk mendengarkanmu menggerutu."
"Benar sekali. Aku benar-benar berterimakasih karena dia tahu itu."
"Tentu saja dia tahu. Paman Jungsoo tak akan menjadi bazillionaire jika ia tak tahu segala hal," Sehun menangkap tanganku dan menariknya. "Ayolah, lihat sekali saja."
.
.
Aku mendorong melewati pintu Park Corporation menuju lobby 10 menit sebelum pukul Sembilan hari berikutnya. Ingin membuat kesan terbaik pada hari pertamaku, aku pergi dengan memakai gaun sederhana dipasangkan dengan sepatu bot hitam yang aku pasang sebagai pengganti sepatu jalanku saat lift naik. Rambut coklat gelapku digulung seperti sanggul indah yang menyerupai angka delapan, kreasi dari Sehun. Aku adalah orang kompeten tentang rambut, tapi ia bisa menciptakan gaya yang merupakan suatu adikarya. Aku mengenakan anting mutiara kecil yang ayahku telah berikan padaku sebagai hadiah kelulusan dan jam Rolex dari ayah tiriku dan ibuku.
Aku mulai berpikir bahwa aku menaruh perhatian terlalu banyak ke penampilanku, tapi ketika aku melangkah ke lobby aku ingat pernah tergeletak di lantai ini dengan pakaian olahragaku dan aku bersyukur aku tidak terlihat seperti gadis yang ceroboh itu.
Dua penjaga keamanan tampaknya tidak menarik kesimpulan ketika aku memamerkan kartu tanda pengenalku dalam perjalanan ke pintu putar.
20 lantai kemudian, aku keluar menuju serambi kantor biro iklan tempatku bekerja. Sebelum aku masuk, ada dinding kaca antipeluru yang membingkai pintu ganda menuju ruang resepsionis. Resepsionis di meja berbentuk bulan sabit melihat lencana milikku yang aku angkat di depan kaca masuk. Dia menekan tombol untuk membuka pintu saat aku menyimpan kartu tanda pengenalku.
"Hai, Doyeon," aku menegurnya ketika aku masuk ke dalam, mengagumi blus berwarna buah cranberrynya. Dia adalah seorang gadis dengan tubuh tinggi dan langsing, dan sangat cantik. Rambutnya gelap dan tebal, dibiarkan panjang mencapai punggung. Matanya cokelat cerah dan hangat, dan bibirnya penuh dan merah muda alami.
"Baekhyun, hai. Lee sajangnim belum datang, tapi kau tahu kan kau harus kemana?"
"Tentu saja."
Dengan sebuah lambaian, aku mengambil lorong di sebelah kiri meja resepsionis sepanjang jalan sampai ujung, di mana aku memilih belok kiri lagi dan berakhir di ruang yang sebelumnya adalah ruang terbuka namun sekarang dibagi menjadi bilik-bilik. Salah satu adalah milikku dan aku langsung pergi ke sana. Aku menjatuhkan dompetku dan tas ke laci bawah meja logam serbagunaku, kemudian menghidupkan komputerku. Aku telah membawa beberapa barang untuk personalisasi ruanganku dan aku menarik mereka keluar. Salah satunya adalah kolase tiga foto berbingkai—aku dan Sehun di pantai, ibu dan ayah tiriku di yacht mereka, berlibur entah di negara mana, dan ayahku saat bertugas di Busan, dengan mobil polisinya. Barang lainnya adalah rangkaian bunga kaca warna-warni yang Sehun baru saja berikan tadi pagi sebagai suatu hadiah 'hari pertama'. Aku letakkan itu di samping kumpulan kecil foto-foto dan duduk kembali untuk melihat hasilnya.
"Selamat pagi, Baekhyun."
Aku bangkit berdiri untuk menghadapi bosku. "Selamat pagi, Lee sajangnim."
"Tolong panggil aku Jinki. Datanglah ke ruang kantorku."
Aku mengikutinya melintasi jalur lorong, sekali lagi berpikir bahwa bos baruku sangat ramah kelihatannya, dengan kulit putih, dan mata sipit jenaka, serta senyumnya yang terlihat tulus dan ramah. Dia langsing dan bugar, dan ia membawa dirinya dengan sikap tenang, yakin, yang mengilhami rasa percaya dan hormat.
Dia menunjuk pada salah satu dari dua kursi di depan meja kacanya dan menunggu sampai aku duduk untuk menempati kursinya. Dengan latar belakang langit dan gedung pencakar langit, Jinki tampak sukses dan berkuasa. Dia, pada kenyataannya, hanya seorang manajer junior dan kantornya seukuran lemari bila dibandingkan yang diduduki oleh direksi dan eksekutif, tapi tak ada yang bisa menyalahkan itu.
Dia bersandar dan tersenyum.
"Apakah kau telah menetap di apartemenmu?"
Aku terkejut dia ingat, tapi juga menghargainya. Aku telah bertemu dengannya pada wawancara keduaku, dan aku langsung menyukainya.
"Sebagian besar sudah," jawabku. "Masih ada beberapa kotak yang terpencar di sana-sini."
"Kau pindah dari Gyeonggi, kan? Kota yang nyaman, tapi agak berbeda dari Seoul. Apakah kau merindukan keadaan di sana?"
"Jujur saja, aku rindu. Tapi aku tidak bisa lari kembali ke Gyeonggi hanya karena aku merindukan tempat asalku, kan?"
Dia tersenyum.
"Jadi, ini hari pertamamu dan kau asisten pertamaku, jadi kita harus membiasakan diri sambil jalan. Aku tak terbiasa untuk mendelegasikan pekerjaan, tapi aku yakin aku akan terbiasa dengan cepat."
Aku langsung tenang. "Aku ingin sekali dapat didelegasikan."
"Mempunyai dirimu disini adalah langkah besar bagiku, Baekhyun. Aku ingin kau senang bekerja di sini. Apa kau mau kopi? Teh?"
"Kopi termasuk salah satu daftar minuman utamaku."
"Ah, seorang asisten yang punya kesamaan denganku," Senyumnya melebar. "Aku tak akan memintamu untuk mengambilkan kopi untukku, tapi aku tidak akan keberatan jika kau membantuku mencari tahu bagaimana menggunakan mesin pembuat kopi satu-cangkir baru yang mereka letakkan di dalam ruang istirahat."
Aku nyengir. "Tidak masalah."
"Betapa menyedihkan bahwa aku tidak memiliki apa pun untukmu," Ia mengusap bagian belakang lehernya malu-malu. "Bagaimana jika aku menunjukkan apa yang aku kerjakan dan kita akan mulai dari sana?"
.
.
Sisa hari berlalu tak terasa. Jinki membicarakan dasar-dasar dengan dua orang klien dan mengadakan pertemuan panjang dengan tim kreatif mengerjakan konsep ide untuk sebuah sekolah dagang. Itu adalah proses yang menarik dilihat secara langsung, bagaimana departemen mengambil tongkat dari satu sama lain untuk membawa suatu kampanye dari proposisi sampai membuahkan hasil. Aku bisa tinggal lebih lama hanya untuk mendapatkan nuansa yang lebih baik dari tata letak kantor, tapi telponku berbunyi 10 menit sebelum pukul lima.
"Kantor Lee Jinki. Byun Baekhyun disini."
"Bawa pantatmu pulang kerumah, jadi kita bisa pergi keluar untuk acara minum yang kau tunda kemarin."
Ketegasan pura-pura Sehun ini membuatku tersenyum. "Baiklah, baiklah. Aku pulang."
Mematikan komputerku, aku keluar. Ketika aku sampai di lift, aku mengeluarkan ponselku untuk mengirim pesan cepat berisi 'dalam perjalanan' untuk Sehun. Suara ding mengingatkanku lift mana yang sedang berhenti di lantaiku dan aku pindah untuk berdiri di depannya, sebentar perhatianku kembali untuk menekan tombol kirim. Ketika pintu terbuka, aku melangkah ke depan. Aku mendongak untuk melihat kemana aku akan pergi saat mata cokelat gelap bertemu dengan mataku. Napasku tertahan. Sang Dewa seks adalah satu-satunya penghuni.
Gimana? Saya baru aja abis selesai baca Bared to You dan entah kenapa otak langsung aja connect bikin remake versi ChanBaek. Kalau mau dilanjutin, silakan tinggalkan review, biar saya jadi semangat gitu ngelanjutinnya walaupun ini hanya remake. Saya sejujurnya pengen bikin fanfic baru lagi, tapi apa daya otak lagi buntu, jadi akhirnya milih buat remake. Dan maaf kalau ada informasi tentang Korea yang tidak sesuai dengan kenyataannya(?) kan secara saya belom pernah ke Korea.
Thanks for reading!
