Naruto belongs to Masashi Kishimoto. No material profit gained from this fanfiction.

Warning : AU, OOC, typos, alur super cepat etc

.

.

"Every contact leaves a trace. Just like you, still linger here. Deep on my heart."

.

.

"Jadi kapan kamu mau bawain Mama calon menantu? Mama sudah nggak muda lagi, lho. Kamu nggak kasihan sama Mama?"

Itachi tersentak, mengerjapkan matanya berkali-kali untuk mengenali situasi di sekitarnya. Syukurlah, ruangan yang didominasi lemari dan filing cabinet ini adalah sebuah ruang kerja. Berarti sosok ibu-ibu dengan suara persis seperti mamanya itu hanya mimpi belaka. Mimpi yang bikin nyesek sebenarnya. Ngapain juga sampai dalam mimpi pun Mama masih bawa-bawa statusnya sebagai jejaka.

Ini semua gara-gara Sasuke dan anak bungsunya. Minggu lalu istri Sasuke melahirkan putra kelima mereka. Sebagai kakak dan pakde yang baik, tentu saja Itachi datang menjenguk mereka. Dan di sinilah letak masalahnya. Datang menjenguk bayi Sasuke tentu akan membuatnya bertemu dengan keluarga, terutama mamanya. Sasuke dengan lima anaknya dibandingkan dengan Itachi yang masih lajang tentu bukan perbandingan yang setara. Tambahkan faktor usia, maka lengkap sudah penderitaannya.

Dulu Mama kerap mengenalkannya dengan putri-putri temannya. Mulai dari yang biasa saja sampai yang kayak bidadari dari surga. Itachi juga bukan tidak pernah mencoba. Namun setelah dipaksakan untuk dijalani, yang ada justru terasa menyiksa. Alasannya beragam, tapi pada intinya tak ada yang sreg di hatinya. Karena itu, Itachi mengatakan biarlah ia sendiri yang mencari sang wanita. Itulah yang kemudian membuat Mama tak terlalu gencar membahas soal calon menantunya.

Sialnya, karena tumpukan pekerjaan setebal dosa, Itachi tak pernah benar-benar mencari. Entah kapan terakhir kali ia makan malam dengan seorang wanita—di luar urusan kerja—atau sekadar menonton film-film terkini. Sedikit banyak ia mengerti mamanya mulai resah dan karena itulah beliau mengingatkannya sampai berkali-kali.

Ngomong-ngomong soal kerja, Itachi jadi teringat niatnya semula sebelum kantuk menguasai. Tadi sore ia menerima tambahan laporan harta kekayaan tak wajar milik beberapa karyawan dari perusahaan yang tengah ia selidiki. Rencananya ia akan membacanya sekilas sebelum menyerahkannya pada anak buahnya untuk ditindaklanjuti. Meski belum tamat membacanya, Itachi mulai meyakini laporan ini akan menjadi trigger yang menguatkan praduga mereka selama ini.

"Bos?" Suara iseng Hidan membuat Itachi menoleh. Ia hanya mengernyitkan kening,tetapi tampaknya Hidan cukup paham dengan mode irit bicaranya. "Shino mau cloning data dari HDD yang itu. Boleh kan?"

"Kemarin dia bilang nggak berani karena ada bad sectors yang membuatnya ragu-ragu?" tanya Itachi sedikit tak mengerti. Seingatnya anak buahnya itu mengatakan ia lebih baik menunggu temannya datang ketimbang bertindak gegabah yang akhirnya malah merusak bukti yang ada. Temannya yang dimaksud adalah seorang analis digital yang sudah malang melintang dalam dunia forensik digital. Rencananya, teman Shino itu baru akan datang besok siang.

"Hinata sudah datang kok," tukas Hidan.

"Hinata?" Itachi merasa sedikit linglung. Ia tahu teman Shino adalah seorang wanita. Dan seorang wanita penggemar komputer mungkin akan identik dengan sepasang kacamata dan penampilan dorky-tapi-nyaman. Satu-satunya wanita bernama Hinata yang pernah punya sejarah dengannya adalah seseorang yang sangat jauh dari image itu. Hinatanya adalah gadis manis berbudi pekerti luhur, waifu idaman para otaku dan weaboo di luaran sana. Eh, tunggu dulu. Hinatanya? Hinata-NYA? Sejak kapan...

"Boleh nggak? Ribet amat sih punya bos yang bengong melulu," Hidan menukas dengan sebal.

"Bentar dong, aku masih agak bingung. Katanya teman Shino itu datangnya besok," balas Itachi.

"Ya kali Kanada sama sini nggak punya perbedaan waktu," cibir Hidan, "lagian nggak rugi juga sih kalau dia datang lebih cepat. Y'know, she's freakin' HOT man!" Lelaki klimis itu merangkulnya, menekankan kata HOT yang kalau diterjemahkan dalam kamus Hidan, tidak pernah berkonotasi tidak mesum. Well, mungkin di tahun 2016 ini para digital analyst wanita ketularan ikut menggilai kemeja ketat dan H-line skirt super mini.

"Well, aku akan melihatnya sebentar," tukas Itachi.

Hidan terkekeh, "Nah, gitu dong. Mana tahu yang ini calon mangsa yang bisa diprospek. Itu juga kalau Hinata belum ada yang punya sih. Yah, kalaupun ada, aku selalu mendukungmu untuk menikung."

Itachi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan sesat Hidan. Pemuda itu adalah teman baiknya semasa mereka masih sama-sama hobi berutang di warung langganan. Sedikit banyak ia tahu tekanan macam apa yang keluarganya berikan. Termasuk soal perbandingan antara Sasuke dengan kelima anaknya versus dirinya yang masih bujangan. Ia juga salah satu teman yang masih percaya pada selera normalnya meski omongan nyinyir berseliweran.

Seorang gadis berambut panjang terlihat tengah membelakangi mereka ketika Itachi membuka pintu. Sepertinya ia sedang melakukan cloning data dengan Roadmaster-3 X2 Forensic Hard Drive Aquisition meski Itachi belum mengatakan setuju. Well, mungkin wanita ini bukan tipikal yang mau sabar menunggu. Toh, Shino juga pasti bilang kalau ia sudah mengutarakan maksudnya dan bosnya—Itachi—terlihat tidak masalah dengan hal itu.

Entah kenapa Itachi merasa sedikit aneh begitu melihat sosoknya. Seakan-akan ini bukan pertemuan pertama mereka. Ah, mungkin mereka pernah bertemu dalam seminar tentang digital evidence atau semacamnya. Ah, tidak-tidak. Perasaan ini ... sepertinya tak tertuju ke arah sana. Seorang rekan kerja atau eks partner takkan membuatnya deg-degan tak karuan macam gadis remaja yang menantikan kencan pertamanya.

"Yo, Bosmu datang, Shino-chan," celetuk Hidan.

Sosok itu menoleh.

Dan untuk pertama kalinya Itachi sepenuhnya yakin, gadis itu adalah mimpi terburuknya.

.

.

.

"Ma-maaf, Uchiha-senpai. Ku-kurasa Senpai juga sudah tahu jawabannya. Aku tak mungkin meninggalkan Sasuke untuk memulai hubungan baru dengan Senpai. A-aku ... mencintainya."

Tiga belas tahun yang lalu, Hinata menolaknya karena lebih dulu mengencani adiknya. Entah sudah berapa kali hubungan mereka retak karena Sasuke yang womanizer-nya level dewa. Tapi Hinata selalu memaafkannya atas nama cinta. Ketika hubungan mereka berakhir pun Hinata masih menolaknya dengan alasan yang sama.

"Huh? Maaf, Uchiha-san. Aku tidak bisa. Carilah gadis yang lain."

Sepuluh tahun yang lalu, Itachi kembali mengutarakan isi hati. Lagi-lagi tak ada jawaban yang ia kehendaki. Mungkin hanya masalah waktu, Itachi akan mencobanya lain kali. Mungkin juga waktunya sedang tersita oleh setumpuk tugas yang membebani. Itachi hanya perlu meyakinkan Hinata bahwa pemuda yang dicarinya sudah ada di sisi. Tapi semangat optimis itu pudar ketika tiga tahun kemudian Hinata bertunangan dengan seorang pemuda yang sama sekali tak Itachi kenali

"Hyuuga Hinata yang mana sih? Oh, yang tunangannya Sabaku itu?"

Sakit hati Abang, Dek. Yang kamu lakukan ke Abang itu jahat banget, Dek.

Mengingatnya saja sudah membuat dada Itachi bergemuruh tak karuan. Oh, ya ampun, setelah tahun-tahun berlalu, kenapa pula mereka kembali dipertemukan? Apakah ini benar-benar sebuah kesempatan atau Itachi yang kelewat bawa-bawa perasaan?

Suara ketukan pintu menyadarkan Itachi dari lamunan super absurd-nya. Siapa yang mengira sosok yang muncul justru heroine dalam lamunan panjangnya Gadis itu masih terlihat menawan dengan busana semi formalnya. Slate blue blouse dipadu dengan cullote pants, kombinasi yang sepertinya memang akan memudahkannya dalam bekerja tanpa takut kehilangan gaya.

"Uchiha-sama, bisakah aku meminjam hasil scan data-data fisiknya?" tanya Hinata tanpa basa-basi. Oh, tujuh tahun tak bertemu ternyata memang membuatnya berubah. Gadis ini bukan lagi remaja penggugup yang selalu ragu-ragu. "Aku memerlukannya untuk klasifikasi data." Ia menambahkan begitu Itachi terlihat menyelidik.

"Biasanya kau memanggilku Itachi-nii," komentar Itachi.

Ekspresi Hinata terlihat melunak, lega walau entah apa alasannya, "Syukurlah. Kupikir Itachi-nii tidak mengenaliku lagi."

Hah? Nggak kebalik tuh?

"A-ah, maaf. Dari kemarin Itachi-nii terlihat menyukai segala sesuatu yang formal dan profesional. Jadi kupikir interaksi personal nggak akan masuk hitungan," Hinata berusaha menjelaskan.

Tergantung sih. Kalo interaksi personalnya sama kamu sih aku nggak keberatan. Tentu saja bukan isi pikirannya ini yang Itachi utarakan. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, "Apa aku terlihat sebagai atasan yang kaku?"

"Umm ... uh-huh," Hinata mengangguk ragu-ragu.

"Nggak usah takut berpendapat. Hidan mengatakan itu sepanjang waktu kok," tutur Itachi, "jadi, bagaimana kabarmu?"

"Kelihatannya bagaimana?" Hinata balik bertanya.

Itachi mengamatinya dengan saksama, "You're great. Always been that way."

"I bet you can win every single woman with that kind of sweet words," Hinata tertawa kecil.

"I hope so. Because it didn't work for my favourite," seloroh Itachi. Matanya mengamati setiap mimik yang dibuat gadis di hadapannya. Rasanya agak aneh jika kata-kata sesederhana itu mampu membuatnya tersipu. Gadis seperti Hinata mestinya kenyang dihujani kalimat I love you. Apa hubungannya dengan tunangan—ralat, sekarang mungkin sudah jadi suaminya—sedang tidak begitu baik?

Eh, tunggu dulu.

Di jari manis Hinata apakah memang nggak ada cincin yang tersemat di situ? Atau jangan-jangan cincinnya memang terbuat dari material tembus pandang tanpa sedikit pun hiasan permata bermutu? Atau dugaannya tentang Hinata dan suaminya memang sudah...

"Ngomong-ngomong aku tak pernah mengira kalau dunia digital akan menjadi pilihan karirmu," komentar Itachi. Mati-matian ia menahan penasarannya yang menggebu-gebu. Toh, kalaupun hubungan Hinata dan suaminya sedang tak baik, tetap saja itu bukan topik yang menyenangkan untuk dibahas. "Seingatku dulu kau mengambil ekonomi sebagai disiplin ilmumu."

"Itachi-nii mungkin orang keseratus yang mengatakan itu padaku," ujar Hinata, "Gaara yang pertama kali mengajarinya. Awalnya aku hanya membantu, menggunakan kemampuanku dalam auditing."

"Gaara?"

"Mendiang tunanganku."

Itu cukup menjawab rasa penasaran yang dari tadi berseliweran di kepala Itachi. Ada setitik rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dalam hati. Pilihan Hinata menapaki bidang yang sama dengan tunangannya membuktikan bahwa orang itu sangat berarti. Dan tak ada hal yang menyenangkan dengan membahas orang terkasih yang telah pergi.

"Maaf," celetuk Itachi.

"Mmm ... tidak apa-apa. I'm doing great, just like you said," ucap Hinata, "Ngomong-ngomong, scan data fisiknya, Itachi-nii. Aku senang mengobrol denganmu. Tapi Shino akan menggerutu kalau aku terlalu lama."

"Bilang padanya, aku bosnya. Dia nggak punya kewenangan buat memarahimu," kata Itachi sembari menyodorkan sebuah flash drive berisi data-data yang diinginkan Hinata, "ambilah. Aku sudah menandainya di bagian daftar gaji para pegawainya. Lalu di bagian tengah ada list daftar kekayaan tak wajar milik mereka."

"Kudengar ada pegawai rendahannya yang sampai punya Lotus Evora, ya?" tanya Hinata.

Itachi menganggukkan kepala, "Makanya kubilang kekayaan yang tak wajar, apalagi dengan take home pay segitu. Oh, iya. Setelah halaman-halaman daftar gaji pegawainya ada juga beberapa rekening koran milik mereka. Segera beritahu aku bagaimana progress kalian. Aku juga ingin membantu."

"Kuusahakan besok siang sudah ada yang bisa kulaporkan pada Itachi-nii," ujar Hinata.

"Malam ini," ralat Itachi.

Ada kilat keterkejutan di bola mata selembut lavender itu, "Oke, oke. Kuusahakan malam ini. Tapi aku tidak bisa janji jam berapa aku bisa memberikannya."

"Malam ini, pukul tujuh malam," Itachi menegaskan waktu yang lebih spesifik. Dan sesuai dugaannya, pupil gadis itu kian melebar dan siap-siap menyergahnya ketika ia kembali berkata, "Reve de Miel, foie gras."

Kilatan protes yang sempat terlihat dalam bola mata Hinata kini melunak. Gadis itu mengembuskan napas lega, "Jadi Itachi-nii berniat membantu dengan meng-comfort-ku selepas bekerja?"

"Aku nggak mengkategorikan dinner sebagai comforting method sih," kata Itachi, "kalau kamu mau, kamu boleh minta request tambahan dariku."

Hinata tertawa kecil, "Kalau aku nggak mau?"

"Kamu yang rugi. Begini-begini aku gentleman sejati, lho," ucap Itachi dengan cepat.

Kali ini tawa kecil Hinata benar-benar menjelma menjadi kekehan yang tertahan. Seolah kehabisan kata-kata untuk membalas apa yang Itachi ucapkan. Belum lagi Itachi kembali berseloroh, "Nah, kan. Belum apa-apa aku sudah bisa membuatmu tertawa. Apalagi nanti. Kalau kamu mau sama..."

"Oke, oke. Sepertinya Shino sudah mencariku," Hinata melirik ponselnya yang menampilkan instant message dari si penggemar bugs and worms, "jadi, Tuan Gentleman Sejati, can you do me a favor?"

"Sure," jawab Itachi.

"A bouquet of flower," ujar Hinata, "that's my special request."

Mungkin Itachi harus mulai percaya. Selain sewa dan pendapatan yang diterima di muka, berlaku pula istilah rejeki diterima di muka. Iya, di muka. Kecupan singkat Hinata di pipinya ini contohnya.

.

.

.

Entah sudah berapa kali Itachi melirik jam tangan. Jam setengah delapan, meleset setengah jam dari waktu yang mereka janjikan. Parahnya lagi, Hinata belum juga kelihatan. Lebih parahnya, Itachi sendiri tahu apa yang membuatnya tertahan. Paling parahnya, ia tetap merasa gelisah tak karuan.

Oh, ayolah. Itachi sudah empat puluh menit di sini. Sudah membawa sebuket mawar sebagai special request yang Hinata ingini. Itachi sendiri sudah berpenampilan super dandy. Masa iya masih jadi korban PHP lagi. Jangan sekejam itulah sama Abang, Dek!

Coba tadi ia langsung menculik Hinata seusai jam kerja. Pasti Hinata sekarang sudah bersamanya. Bodo amatlah kalau Hinata kucel karena tidak sempat mandi, berdandan, atau apalah itu namanya. Yang penting Hinata di sini, menemaninya.

Tapi kalau dipaksa begitu, jangan-jangan bukannya mengobrol dengannya, Hinata malah asyik chatting-an. Memang sih isi chat-nya paling-paling urusan kerjaan. Tapi kalau begitu, percuma juga kan mereka berduaan.

"Itachi-nii..."

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Seperti dugaannya Hinata sedikit berantakan tanpa sempat me-retouch make up-nya. Bulir-bulir keringat di pelipisnya menyiratkan gadis ini mungkin langsung lari ke sini agar Itachi tak menunggu lebih lama. Tak apa, toh di mata Itachi, Hinata tetap terlihat memesona. Dia datang saja sudah membuat Itachi bahagia.

"Lama amat sih. Setelah PHP-in komputer, kupikir kau mau PHP-in aku juga," tukas Itachi pura-pura kesal.

"Aku bukan PHP, kok," ucap Hinata lembut, "maaf ya, Itachi-nii. Aku keasyikan sampai lupa waktu. Ah, tapi ada hasilnya kok. Itachi-nii tahu, aku menemukan beberapa web dan akses cloud dalam log file-nya. Besok aku..."

"Makan dulu, ya," Itachi membelai pipi Hinata. Menatapnya dalam-dalam biar Hinata tahu kesungguhannya. "Kamu sudah bekerja terus dari tadi. Kembaliin dulu deh energimu yang hilang."

Rona di pipi Hinata membuat gemuruh dalam dada Itachi semakin menggelora. Ia butuh jeda sebelum menguasai diri dan memanggil waiter untuk memesan makanan mereka. Kalau Hinata semanis ini, laki-laki mana yang nggak klepek-klepek coba?

"Kamu ... manisnya bisa yang biasa-biasa saja, nggak? Aku jadi agak grogi tahu."

"Ju-justru Itachi-nii yang so sweet banget," ujar Hinata sedikit pelan, "gi-gimana dong. Kalau nanti aku suka sama Itachi-nii, nggak ada yang marah kan?"

"Jadi masih kalau, ya," ada sedikit rasa kecewa dalam suara Itachi. Tapi nggak apa-apa, ini saja sudah satu kemajuan kok. "Cepetan suka padaku, ya. Biar aku juga bisa cepat bilang ke Mama. Calon menantunya sudah kutemukan."

"E-eh?"

"Mengagetkan, ya? Tapi di umurku yang sekarang, mencari pasangan dengan goal pernikahan adalah harga mati. Apalagi karena calonnya kamu. Aku nggak mau kecolongan lagi."

Hening seketika.

Terserah Hinata mau menganggapnya gombal atau kelewat agresif. Terserah juga kalau kata-katanya nggak cukup persuasif. Asalkan Hinata tidak menganggapnya sedang bercanda, itu saja sudah cukup efektif. Respon Hinata sendiri sepertinya juga cukup positif. Ia tak menolak ketika Itachi menggenggam jemarinya, sebuah sentuhan yang cukup proaktif. Matanya juga tak mengelak dari pandangan Itachi yang super impresif.

"Itachi-nii ... yakin?" Hinata membuka suara.

Itachi menganggukkan kepala.

"Nggak lagi mabuk, kan?" Hinata melirik wine glass di depan Itachi yang isinya sudah berkurang.

"Mabuk wine sih nggak. Mabuk cinta mungkin iya," seloroh Itachi, "kamu ... segitunya banget nggak percaya padaku."

"Ha-habisnya ini kebagusan buat jadi kenyataan," tutur Hinata, "nanti aku sudah terlanjur berbunga-bunga, ternyata Itachi-nii khilaf atau apa."

"Khilaf, ya...," gumam Itachi, "aku kok malah berharap kamu yang khilaf."

"E-eh? Kenapa begitu?"

"Habis kalau nggak khilaf kok rasanya susah banget bikin kamu bilang iya," lirih Itachi.

Rona merah di pipi Hinata semakin bersemu. Ah, kalau sudah begini, tak ada bedanya dengan Hinata tiga belas tahun lalu. Ke mana perginya Hinata versi tadi siang yang mencium pipinya tanpa malu-malu?

Kalau Hinata sudah tersipu-sipu begini, berarti semua kata-kata Itachi sudah masuk ke dalam hati. Dan tentunya ini membuat harapan Itachi melambung semakin tinggi. Jika ia sudah sabar menanti selama tiga belas tahun, tak ada salahnya menunggu sebentar lagi. Siapa tahu ia dihujani rejeki bertubi-tubi?

Tiba-tiba Hinata bangkit dari kursinya. Ia tak bicara apa-apa, mungkin hanya mau ke kamar mandi sekadar untuk menata perasaannya. Itachi tak tahu persis bagaimana relasi antara kamar mandi dan hati wanita. Yang jelas tempat itu adalah salah satu spot favorit untuk menggalau ria.

Tapi ternyata tujuan Hinata bukanlah kamar mandi. Begitu wajah Hinata mendekat seiring dengan tangan kanannya yang mengangkat buku menu, Itachi tahu apa yang akan terjadi. Apalagi jika melihat kilatan bola mata Hinata yang menyiratkan kepercayaan diri level tinggi. Persis seperti tatapan Hinata di siang tadi.

Lembutnya bibir Hinata adalah sensasi paling dominan selain rasa hangat yang menjalar sampai ke hati. Setengah tak sadar, Itachi menarik leher Hinata untuk ciuman yang lebih intens lagi. God! With these lips and this skill, he can do this all night along!

Itachi mungkin sudah akan menarik Hinata dalam pangkuannya dan mencari letak risleting blouse Hinata kalau gadis itu tak mendorong dadanya. Dorongan itu cukup membuat Itachi tersadar, tetapi justru membuat Hinata terpana. Mungkin gadis ini baru tahu sekokoh dan sebidang apa dada Si Sulung Uchiha. Ketika tangan kirinya menyusuri bahu, Itachi memilih menangkap tangannya sembari mengecup bibir Hinata.

"No," kata Itachi, "jika ini mode khilafmu, aku berharap lain kali kamu khilaf, kita sedang berada di kamarku."

"A-aku...," Hinata terbata-bata, "a-aku yang begini, apa tidak apa-apa bagi Itachi?"

Itachi.

Hinata tak menambahkan imbuhan –nii di belakang namanya. Sepertinya ia sudah siap memandang Itachi dari perspektif yang berbeda. Bagi Itachi sendiri, ada satu hal lagi yang ia pelajari dari Hinata. Gadisnya ini—ya, sekarang Itachi bisa menyebut Hinata sebagai gadisnya dengan bangga—lebih pandai berekspresi lewat aksi ketimbang sekadar kata-kata.

"Kuanggap ciumanmu tadi sebagai pengganti kata 'ya'. Kamu setuju?" tanya Itachi.

Hinata menganggukkan kepala, "Aku tidak khilaf, tapi aku setuju."

Itachi tersenyum lega. Ia menggunakan kedua tangannya untuk merengkuh Hinata. Tak lagi peduli dengan mata-mata yang mungkin memandangi karena buku menu tak lagi cukup menutupi mereka. Setelah tiga belas tahun, akhirnya Hinata menerimanya. Ah, rejeki anak baik memang tidak ke mana-mana.

Wahai Mama Mikoto, terima kasih atas segala doa yang kaupanjatkan kepada-Nya. Doa supaya putra sulungmu yang masih jomblo ini segera bertemu jodohnya. Wahai Sasuke, terima kasih atas upayamu mencampakkan Hinata. Abangmu ini sungguh bahagia, biarpun cuma dapat sisanya. Wahai Gaara, baik-baiklah kau di sana. Hinata di sini biar aku saja yang menjaganya.

.

.

FIN

.

.

Semoga nggak ada yang gebukin saya gara-gara karakterisasinya super OOC, khususnya Hinatanya yang agak bit**y. Ayolah~ Hinata kan mantannya womanizer, masa iya nggak 'diajarin' apa-apa. Experience wise, mestinya memang lebih jago Hinata ketimbang Itachi ^^v

Ngomong-ngomong fic ini saya kebut dari tanggal 26 Mei mengingat tanggal-tanggal sebelumnya saya sibuk belajar buat ujian. Mohon maaf kalau nggak cukup mengena, mengingat keterbatasan waktu sekaligus kecenderungan saya yang lebih lancar menulis dari perspektif apa yang laki-laki pikirkan ketimbang apa yang wanita rasakan.

Grazie di tutto ^^