.

Welcome, MikoRei Week 2015~! *tebar confetti*

Yap, seperti biasa author kembali kabur dari kenyataan (baca: kabur dari Kingdoms of Cracks dan Twenty-Four) dengan menulis fiksi judul baru ini muahahahaha~ *dilempar bata*. Selain itu, author juga sedang cukup galau sampai akhirnya memutuskan membuat sebuah judul baru yang merupakan lawan sekaligus pasangannya Blue Sun, dengan Abang Preman Bersungut kita tersayang yang menjadi tokoh sentralnya horeeee~! Untuk MikoRei Week 2015 sendiri, info lengkapnya silakan cek di tumblr, dan prompt pertama hari ini adalah Imprisonment. Doakan semoga author bisa konsisten seperti MikoRei Week tahun lalu, jadinya fict ini bisa update setiap hari sesuai prompt yang diselenggarakan.

Last, please enjoy and happy reading!

.


...


.

Project K (c) GoRa & GoHands

RED ICEBERG ~Prompt 1: Incarcerated Iceberg~

Dedicated to MikoRei Week 2015, Day 1: Imprisonment

.

'Keinginan yang bukanlah miliknya. Hasrat yang bukanlah kemauannya. Meski Mikoto tetap tertahan.'

.

.

.

.

.

Ada bongkah yang terpenjara dalam merahnya.
Bongkah yang tidak tertandingi dinginnya palung dasar laut terdalam.
Bongkah yang tidak pula tersaingi masifnya puncak gunung tertinggi.
Yang berdiri tegak di antara kobar apinya.
Yang tak gentar dilalap derak baranya.
Meski tak kunjung pula bongkah itu mencair.
Tak kunjung menitik, leleh tergenang di antara pilar perciknya.
Bongkah itu tinggal. Menetap tanpa ingin beranjak.
Terpenjara kah? Dipenjarakan kah?
Ataukah memenjarakannya?


...


"Suoh."

Suoh Mikoto membuka sebelah matanya. Tanpa perlu membalik tubuh, berpaling dari kelabu kusam tembok menginvasi warna penglihatannya, ia sudah tahu siapa tamu pengunjung selnya hari itu. Ah, toh tamunya tidak pernah pula berganti. Kusanagi Izumo tidak akan membuang-buang waktu hanya untuk sekedar memberinya salam dan mengiriminya makanan—serta menyelundupkan satu atau dua botol turkey kesukaannya. Yata Misaki maupun Kamamoto Rikio, seloyal apapun dua anak muda itu padanya, tidak akan pula berbasa-basi memasang wajah sopan dan menyembunyikan gurat kesal hanya untuk menanyakan kabarnya serta menjanjikan harapan kosong agar dirinya bersabar demi bisa keluar dari kurungan sel lembab tersebut. Kushina Anna… ah ya, gadis kecil yang selalu saja menarik ujung jaketnya itu tidak pula perlu melangkahkan kaki keluar dari naung hangat atap bar HOMRA, karena toh nyatanya gadis yang sama kerap mengunjungi mimpinya, setiap saat ia menutup mata untuk kembali bergelung dalam senyapnya.

"Suoh Mikoto."

Mikoto menggeram dalam diam. Lagi-lagi. Suara yang sama. Nada bicara yang sama. Arogan. Kasar. Memerintah. Penuh kendali. Dan satu detik tambahan baginya untuk tidak memberikan tanggapan balik—entah dengan suara sekecil apapun atau gestur tubuh sesederhana apapun—maka akan ada telapak tangan dingin yang mengcengkeram kepalanya, mengangkatnya, kemudian membenturkannya pada tembok terdekat.

"Jangan salahkan aku apabila kepala kosongmu itu bocor karena aku harus membangunkanmu dengan cara yang sama setiap saat, Suoh."

"… sementara kau sendiri tahu kapan aku benar-benar tidur dan kapan aku tidak tidur, Munakata Reishi."

Menyerah, Mikoto mendudukkan tubuhnya sembari menguap dan meregangkan tubuh. Tatapannya yang kemudian menyapa sosok tinggi tegap berbalut seragam berwarna biru, lengkap dengan pedang emas tersampir di pinggang itu. Sosok nyata yang tampan, sepasang manik ungu bening yang tidak pernah gagal melihat ke depan, begitu teguh dan berkuasa. Sempurna. Tanpa cela. Meski apa yang ada di balik seragam dan imaji kokoh itu, Mikoto telah menghapal setiap jengkal dan jejak yang ditinggalkannya di atas tubuh itu. Jejaknya yang Mikoto tahu, menderak hingga ke dasar jiwa laki-laki itu.

Lalu diam. Tak ada kata yang ditukar. Tak ada suara yang terdengar. Namun tatapan pria di hadapannya itu mengusiknya. Mikoto tidak mengerti. Ia tidak tahu apa artinya. Karena bening yang seharusnya ada di antara ungu itu kini sirna. Raib tanpa jejak. Walau ada hal lain menggelitik sukmanya, menantangnya. Ah… masih ada satu sudut lagi yang belum terjamah olehnya. Belum pernah tergapai. Belum pernah tersentuh.

Meski yang kali ini, Mikoto enggan untuk mengetahui. Untuk mencari. Karena semua terasa begitu sederhana….

… karena ia tidak ingin melihat Reishi seperti itu. Entah mengapa.

Seringai lantas melengkung di bibirnya. "Ada apa, Munakata?"

Tidak ada jawaban segera. Hanya diam. Laki-laki itu tetap bungkam. Bahkan hingga Mikoto menghilangkan lengkung itu dari wajahnya, menggantinya dengan tatapan menyelidik, ia tetap tidak mendapatkan jawabannya. Lalu resah datang bermain. Gelisah bertandang. Mikoto mendengus.

"Munakata—"

"—kau tetap tidak akan mempercayakan segalanya padaku?"

Kali ini gilirannya yang bungkam. Sebelah alisnya terangkat. Seolah telinganya baru saja menipunya dengan setiap kata yang terlontar, tanya yang tertuju padanya. Seolah ia tidak akan pernah mendengar kalimat itu terucap dari bibir Reishi, mengingat sejauh ini Reishi hanya datang mengunjungi selnya untuk memberikan informasi mengenai pergerakan HOMRA, berujung pada upaya membujuknya untuk menanggalkan niat dan rencananya. Rajukan, atau katakan apapun istilahnya, yang bagi Mikoto hanya satu dari sekian permainan yang biasa ia lakukan dengan Reishi.

Dan Mikoto menyadarinya. Kedatangan Reishi kali ini bukan lagi sebagai bentuk dari salah satu permainan tersebut. Bukan lagi percakapan tanpa makna di mana rasa bisa ditanggalkan begitu saja.

"Apa maksudmu?"

"… kau akan tetap pada pendirianmu, Suoh? Kau tetap tidak akan membiarkanku mengambil alih masalah ini?"

Mikoto mendecak. Tatapannya yang berpaling. "Perlu kukatakan berapa kali lagi sampai kau paham? Ini masalah klanku, keluargaku. Anggota keluargaku dibunuh dan kau berharap aku diam saja hingga menunggu pihak berwenang, dalam hal ini kau, untuk menangkap dan mengadili pembunuhnya? Ini tidak sepertimu, Munakata."

Satu hela napas. Begitu berat. Begitu dalam. Melesak hingga menggetarkan sesuatu dalam jiwanya.

"Ya. Ini tidak sepertiku. Karena aku… tidak lagi bisa mengerti dirimu, Suoh. Apakah kau akan tetap keras kepala seperti ini? Apakah kau…."

Hentikan. Ini bukan arah pembicaraan yang diinginkan Mikoto. Ia tahu ke mana ujungnya. Ia sudah menduga ke mana muaranya. Bukan, bukan seperti ini. Ia tidak ingin melihatnya. Ia tidak ingin menemukan sudut di mana wajah lonjong itu akan mengguratkan luka di setiap sudutnya. Ia tidak ingin mengetahui celah di mana sorot ungu itu merasa terpojok, merasa terkungkung oleh beban lain, terlebih yang disebabkan olehnya. Mikoto tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa.

"… apakah kau tetap tidak percaya padaku, bahwa pundakku sama kuatnya untuk memikul beban yang sama denganmu?"

Lalu sunyi yang lantang. Sekujur tubuhnya yang kaku. Mulutnya yang terkunci rapat. Manik emasnya yang beradu dengan sepasang ungu menyendu. Mikoto tahu artinya, pilu. Serta dalam diam yang menggantung, nihil suara nihil kata, Mikoto tahu sukmanya tengah meronta.


...


Ada bongkah yang terpenjara dalam apinya.
Bongkah yang tidak tertandingi birunya luas samudra.
Bongkah yang tidak pula tersaingi kemilau kristal kuarsa.
Yang berdiri tegak di antara raung gemeratak baranya.
Yang tak gentar dilalap derap kuda merahnya.
Meski tak kunjung pula bongkah itu melebur.
Tak kunjung menyublim bersama warna senja di ujung ufuk abunya.
Bongkah itu tinggal. Menetap tanpa ingin beranjak.
Terpenjara kah? Dipenjarakannya kah?
Ataukah mungkin… memenjarakannya?


...


"Reishi…."

Tubuhnya basah oleh peluh. Napasnya yang berat. Gejolak napsu membakar di sekujur tubuhnya, menjalar hingga ke pori-pori kulitnya. Sementara jemarinya yang tidak pernah bosan berkelana di antara dingin yang nyaman dan tentram. Dingin yang menenangkannya. Bagai opium, menjadi candu baginya.

"Reishi…."

Mikoto akan mengucap nama itu dalam bisik rendah. Berulang kali. Berkali-kali. Lidahnya yang terasa begitu manis setiap kali melafalkan untaian huruf itu. Lalu mulutnya yang berpindah, menandai setiap lekukan dan cekungan yang sudah terlalu dihapalnya. Menjamah setiap titik yang tidak pernah gagal menghadiahinya sebuah desah tertahan hingga lenguh penuh kenikmatan. Lalu hidungnya yang kerap mencium wangi tubuh itu, wangi laut bercampur peluh yang memabukkan. Bagai ekstasi, menjadi racun baginya.

"Panggil namaku…."

Meski untuk kali ini, Mikoto tidak mendapatkan apa yang dimintanya. Tubuh di bawahnya yang menegang penuh proteksi setiap saat jemarinya menyentuh titik-titik lemah tersebut. Rentetan napas putus-putus. Wajah penuh semburat merah hingga telinga yang tidak pernah diarahkan padanya, tertutup helai-helai biru berantakan yang begitu ingin Mikoto sibak agar tidak menghalangi ekspresi itu. Desah yang kemudian bergetar menggema, seperti erang kesakitan.

Kedua matanya yang kemudian melebar. Jantungnya yang kian berdebar, mengguruh dentum hingga ke dalam kepalanya.

"Reishi, tatap aku. Lihat aku."

Tangannya yang menarik kasar tubuh itu, menangkap sisi wajah halus itu dengan kedua telapaknya. Hingga Mikoto menemukan tatapan tajam tertusuk tepat pada kedua manik emasnya. Meski penuh rasa yang mengambang, mengendap meninggalkan kilatan genang yang siap tumpah kapan saja. Mikoto terpaku. Mikoto tahu nama dari rasa itu.

Kemarahan. Kebencian. Kekesalan. Kekecewaan.

Penyesalan.

"Kau sudah selesai? Sekarang, bisa kau lepaskan aku?"

Namun cengkeramannya mengerat. Ia tidak peduli Reishi akan merasakan sakit seperti apa. Mikoto tidak lagi acuh pada pria yang kini mulai berontak dan berusaha keras melepaskan genggamannya. Mikoto tidak ingin melepaskan. Mikoto tidak ingin mengakhiri.

Ia tidak ingin semuanya berakhir seperti ini.

"Kau tidak dengar? Lepaskan aku, Suoh!"

"Tidak akan. Karena aku akan kehilanganmu selamanya jika aku melepaskan cengkeramanku."

"Ho? Dan apakah tidak pernah terpikir olehmu bahwa aku… aku kini telah kehilangan dirimu?"

Dan hal terakhir yang Mikoto ingat dari sisa malamnya di dalam sel tersebut adalah wangi parfum aroma laut di ujung indera penciumannya, sensasi dingin di ujung jemarinya, suara serak yang melantunkan pertanyaan itu, terngiang bagai kaset rusak memenuhi isi kepalanya, serta satu titik perak yang sempat jatuh membasahi kulit pucat itu, yang bukan hanya sekedar tipuan mata atau ilusi bayang penjara kelamnya semata.


...


Ada bongkah yang terpenjara dalam baranya.
Bongkah yang tidak tertandingi kokohnya lapisan intan berlian.
Bongkah yang tidak pula tersaingi lembutnya tiupan semilir dandelion.
Yang berdiri tegak di antara gaung percik merahnya.
Yang tak gentar dilalap kobar jilat apinya.
Meski perlahan… bongkah itu menguap.
Tanpa tanda hilang menguar di antara puing-puing mimpinya.
Bongkah itu ingin tinggal. Ingin menetap tanpa perlu beranjak.
Terpenjara kah? Ingin dipenjarakannya kah?
Ataukah mungkin… ingin memenjarakannya?


...


"Lepaskan aku, Munakata."

Pria di hadapannya itu menggeleng lemah. Ada senyum mengambang di wajah itu. Senyum yang menusuk hingga sukmanya. Senyum yang mengiringnya pada rasa sakit di dada. Meski ia tahu, tidak selayaknya ia merasakan rasa sakit itu kembali.

Karena toh, pada kenyataannya, Suoh Mikoto telah lama mati dari dunia.

Dan dirinya di sini, terpenjara oleh kenangan. Dipenjara oleh napsu. Diperbudak oleh impian dan asa yang membumbung tinggi, nyaris menghilang ditelan arus detak jarum jam. Keinginan yang bukanlah miliknya. Hasrat yang bukanlah kemauannya. Meski Mikoto tetap tertahan. Sepenggal nyawanya yang tetap hidup dalam mimpi akan sebuah kota yang dilanda gemuruh badai salju serta diselimuti pilar-pilar es.

"Munakata, biarkan aku pergi."

"Aku tidak bisa, Suoh."

Lalu tubuh pria itu yang kaku. Telapak kaki yang mulai terbungkus es. Telapak tangan yang memutih. Embun yang semakin tebal terhembus dari setiap napas.

Tidak. Ini bukan seperti yang diinginkannya. Ini bukan seperti yang diharapkannya.

"Reishi—"

"—tidak lama lagi aku akan mati karena aku telah membunuhmu, Mikoto. Karena itu… aku tidak bisa melepasmu."

Karena aku… terpenjara olehmu.


...


.

.

.

a.n. ... ada yang mungkin mau lempar author dengan keripik-tidak-pedas dan sarannya? XD Anyway, terima kasih sudah menyempatkan membaca dan sampai jumpa di prompt selanjutnya~!