Compliqué

.

Harvest Moon (c) Natsume inc.

Compliqué (c) Sakusha21

.

WARNING:

1. AU

2. Maybe OOC

3. Classic

.

Happy reading, everyone.


CHAPTER 1: First Episode


Tap. Tap. Tap.

Ia melangkah, pelan di antara genangan air yang beriak tiap rintik hujan mendarat di sana. Melangkah lemah di bawah rinai hujan bertempo rendah. Melangkah sambil merunduk, meniti tiap jengkal jalan yang dilewatinya; kerikilnya, debunya, dan daun kering yang lembab tersapa hujan. Dinginnya udara menyapa, mengelus lengannya yang tak terlindung jaket, merengkuh bahunya yang basah oleh hujan. Namun, ia tak peduli. Iris aqua-nya menyiratkan keangkuhan yang lemah. Lemah yang berlagak kuat. Palsu.

Ia berhenti melangkah ketika menyadari bahwa dirinya telah tiba di tempat tujuan. Dipandanginya pintu yang ada di hadapannya dengan hampa. Kepalanya terasa pening dan nafasnya telah dingin. Gadis itu memejamkan mata, lunglai dihempas esensi hujan. Jemarinya mencengkeram kenop pintu, menopang tubuhnya agar tidak ambruk begitu saja. Beberapa menit kemudian, ketika ia merasa lebih baik, ia mendorong pintu tersebut. Menyingkirkan udara dingin bergantikan hangat suasana di dalam sana.

"Apa itu?" Sekilas suara menguntai dari bangku yang tak jauh darinya. Gadis beriris biru itu menoleh, mendapati sosok sahabatnya berada di sana, dengan secangkir cokelat panas di depannya. "Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Ini tidak penting," jawab gadis itu, lirih di balik ramainya restoran yang berada di lantai bawah penginapan itu. "Maaf telah membuatmu kemari, Elli." lanjutnya, menatap lantai kayu di bawahnya. Seakan warnanya lebih memikat ketimbang warna cokelat panas pesanan Elli.

Elli mengerjapkan mata. Wajahnya yang cantik bagai boneka terlihat terang di bawah sinar lampu. Ditatapnya sosok berlumur hujan itu lembut. Sedang yang ditatap hanya memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan sirat tak lazim yang memancar di sana. Gadis bersurai cokelat itu kemudian menggumam tak jelas, menyeruput cokelat panasnya sedikit, kemudian berkata tenang.

"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, Claire," sahutnya kalem. Diletakkannya cangkir porselen berkepul asap itu kembali ke atas meja. "Tentang Gray, kan?"

Claire tercekat. Diembuskannya napas panjang sebelum mengangguk. Tak ada gunanya berbohong untuk menutupinya. Tak ada gunanya memakai topeng tak peduli kalau dirinya cemas. Tak ada gunanya tersenyum kalau hatinya mengumpulkan sesak di rongganya.


Claire menyeruput cokelat panas pesanannya. Hangat menyelimuti dirinya, merampasnya dari rengkuhan dingin yang hinggap sejak ia berada di luar tadi. Di hadapannya, Elli duduk dalam diam. Tak ada yang bicara. Yang ada hanya dentingan cangkir yang beradu pada meja. Juga riuh para orang tua yang mabuk di meja bartender. Beberapa menit sudah berlalu sejak Claire tiba, namun belum ada cerita yang terurai dari bibirnya. Namun, Elli mafhum. Ia telah mengenal sahabatnya sejak lama. Bahkan sejak sahabatnya belum tiba di kota ini. Karena mereka adalah teman masa kecil.

Sang empu rambut pirang keemasan menghela napas panjang. Ditatapnya jendela, di mana hujan yang menderas terlihat. Ia bisa melihat bahwa dedaunan di luar sana melambai, pertanda bahwa angin menyertai hujan malam itu. Ia bisa melihat bahwa langit berselimut awan kelabu, tak memberi celah bagi rembulan untuk menunjukkan diri.

Ting.

Cangkir diletakkan. Elli mengangkat kepalanya.

"Apa... kau merasa... ia menjauhi kita?"

Elli tidak menjawab.

"Kau tahu? Sudah tiga bulan aku pindah kemari...," gadis itu melanjutkan keluh-kesahnya. "Kau ingat di bulan pertama, bahwa kita berempat sangat dekat? Kau ingat bahwa kita berempat seakan tanpa batas? Aku-"

Gadis berpakaian petani itu mengambil jeda, kalah oleh sesak yang mendominasi dadanya.

"Aku tidak tahu, El, sejak kapan kita berempat terpecah seperti ini. Waktu aku sadar, sudah tidak ada lagi kita berempat. Yang ada hanya kita berdua dan mereka berdua."

Elli menunduk sejenak. Mencerna kata-kata Claire yang tumpang tindih. Bukannya ia tidak mengerti, justru sebaliknya, ia SANGAT mengerti apa maksud Claire. Ia INGAT siapa dirinya, Claire, Gray, dan Rick di waktu dulu. Ia INGAT bagaimana mereka berempat dulu. Ia INGAT bahwa sejak dua bulan yang lalu, tanpa sadar mereka telah melangkah sendiri-sendiri. Tak ada yang tahu mengapa. Tak ada yang mencari tahu mengapa.

Lalu mengapa Claire mempermasalahkannya sekarang? Baru sekarang?

"Kupikir..., adalah hal yang wajar kalau sekelompok sahabat sewaktu-waktu berpisah sebentar. Tapi-dua bulan, El. Dua bulan itu lama. Kita berempat yang dulu bisa mengobrol tanpa henti tiap bertemu, kini bahkan bisa saja tidak menyapa ketika berpapasan. Aku merasa ada yang tidak beres."

Elli melahap sekeping cookies dari porsi pesanan mereka berdua.

"Aku tidak tahu... Aku hanya merasa ada yang hilang. Tiap kali aku berkunjung ke rumah Kakek Saibara untuk memperbaiki alat namun Gray mengabaikan sapaanku. Tiap kali Rick menghindariku tiap berpapasan di depan Poultry Farm. Hei, apa ada yang salah dariku? Sejak peristiwa di gereja itu?"

"Peristiwa di gereja?"

"Iya, waktu Kai-"

"Bukan. Aku tahu peristiwa yang kau maksud, Dear. Tapi, mengapa kau menyimpulkan sejak saat itu?"

Claire menenggak cokelat panasnya. Pikirannya kalut. Ia ingat saat itu. Ketika Kai mengatakan sesuatu dan ia hanya tersenyum, berpikir semua hanyalah candaan dan akan dianggap begitu. Namun ia tak sadar bahwa sejak itulah, fondasi batas di antara mereka berempat mulai terkonstruksi. Dan ia baru mengingatnya kemarin. Ketika ia menelusuri memorinya karena tak tahan lagi dihindari dan memutuskan untuk menginstropeksi diri.

"Karena, itulah memori terakhir yang kupunya tentang kebersamaan kita berempat."

Elli terdiam. Iris cokelat mahoninya menatap meja di hadapannya. Sendu.

Ah, dia juga merasakan hal yang sama. Dengan gadis itu; Claire. Ia juga merasa kehilangan tawa mereka berempat di puncak Mother Hill tiap senja. Bagaimana cueknya Gray menanggapi mereka yang heboh dan Rick yang ceria namun cenderung lebih mengamati suasana. Ia merasa kehilangan khusyuk mereka di gereja tiap minggu pagi; terkadang bersama Cliff dan Kai di sana. Ia juga merasa kehilangan akhir minggu mereka berempat di tempat ini. Memesan cake, cookies, dan cokelat panas sambil mengobrol tentang banyak hal.

Ah, betapa waktu bisa mengubah segalanya.

"Terkadang, aku hanya ingin semua kembali seperti semula." sahut Claire lirih. Elli mengerjap lagi.

"Mungkin-" gadis yang mengenakan terusan biru muda itu mengangkat suara. Diberinya jeda sejenak guna menghapus keraguan dalam kata-katanya. "Mungkin ia hanya ingin berteman dengan teman laki-laki yang lain. Dia kan laki-laki..."

"..."

"Masuk akal, kan?" tanya Elli. Claire menggeleng. Mereka berdua kembali menghela nafas.

"Gray tidak seperti itu, Elli, Gray sulit untuk bersosialisasi."

Elli mendengarkan.

"Bahkan dulu kalau bukan kita berdua yang mendekati dia dan Rick, kita mungkin tidak akan pernah dekat...," lanjut Claire lemah. "Mungkin memang hubungan persahabatan kita hanya sepihak..."

Claire mengulas senyum. Namun yang ada hanya getir.

"Kita tahu seperti apa dia, bukan?" Elli berkata penuh arti. Ditatapnya Claire yang murung di hadapannya. "Karena itu, ayo kita percaya pada-"

"Justru karena aku tahu seperti apa dia, aku tidak bisa percaya, El!"

Dan mereka berdua langsung menyadari sesuatu. Karena pikiran Gray dan Rick tidak bisa terbaca maupun tertebak, mereka tak bisa semudah itu percaya bahwa mereka akan kembali seperti dulu lagi. Harus ada yang menelusuri benang alur ini. Harus ada yang berkorban. dan mungkin, harus ada yang menyingkir.


To be Continued


Catatan:

Jadi! Saya masih newbie di sini, jadi mohon bantuannya, ya!

Dan, fanfic ini ga sepenuhnya mirip sama game-nya. Mungkin aja di sini Elli saya bikin cuma kerja part-time di klinik, atau Kai memang tinggal di Mineral Town (ga cuma pas musim panas doang).

Last, may I ask for reviews?