Semua karakter yang terlibat hanya milik Masashi Kisimoto.

Semua alur yang saya tulis tidak ada didalam peristiwa sejarah yang sesungguhnya, saya hanya mengambil latar peristiwa juga beberapa fakta yang tertulis di sumber yang saya baca.

Fiction ini saya persembahkan untuk #SHRevealingHistoryEvent #Hinata_Centric2017

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

A One Shot by Hexe

.

.

Nanjing, 13 Desember 1937

Suara derap sepatu dengan sol tebal terdengar menggema, teriakan-teriakan asing para serdadu Jepang yang dibarengi dengan bunyi senapan begitu memekakan telinga. Suara-suara itu semakin jelas terdengar, bahkan langkah kaki yang menapaki tangga menuju lantai dua itu mendekat. Membuat seorang gadis berambut indigo panjang meremas handuk yang melilit di tubuh mungilnya.

Apa yang terjadi? Apakah ibu dan adiknya baik-baik saja? Mengapa ada suara teriakan serdadu Jepang di rumahnya?

Dengan keberanian yang nyaris nol persen, Hinata meraih knop pintu dengan kedua tangannya yang bergetar hebat. Namun sebelum pintu itu terbuka sepenuhnya, sesosok pria tinggi dengan seragam khas tentara, lengkap dengan topi serta senapan laras panjang di tangannya membuat tubuh gadis itu terlonjak dan terhuyung kebelakang.

Sosok pria tinggi dengan kedua iris sehitam jelaga menatap tajam kearah dirinya, menciptakan intimidasi hebat, juga membuat udara disekitar mereka berasa hilang begitu saja.

Kedua manik jelaga itu begitu menggetarkan.

Lima detik setelah tatapan tajam yang diberikan si tentara itu berubah menjadi mimpi buruk sepanjang hidup Hinata. Dengan gerakan cepat dan kasar, si pria itu menggapai handuk yang melilit di tubuh Hinata dan melepaskannya.

Pintu kamar mandi sudah menutup dengan rapat, menyisakan Hinata yang kini bergetar hebat dengan kedua tangannya yang berusaha menutupi tubuh telanjangnya. Tidak ada teriakan histeris yang keluar dari si gadis, hanya lirihan isak tangis tersendat yang terdengar oleh si pria.

"Da-daan ..." (jangan)

Satu gerakan terhenti tatkala si tentara Jepang mendengar suara yang keluar dari mulut Hinata.

"Me-mmda-dauh ..." (menjauh)

Dengan susah payah, Hinata mencoba memberi peringatan. Si pria tampak mengeraskan kedua rahangnya, menjatuhkan senapan dan langsung meraih tubuh telanjang si gadis yang ternyata tidak bisa berbicara dengan baik.

Hinata adalah gadis tunawicara.

Pantas saja gadis bersusia enam belas tahun itu tidak berteriak ketika Sasuke, si pria tingggi salah satu serdadu sekaligus perwira tentara Jepang menemukannya di kamar mandi dengan keadaan yang sangat merugikan dirinya.

Tanpa buang waktu, Sasuke membalikan tubuh Hinata dan mendorongnya hingga merapat pada dinding. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, benda keras nan tumpul serta panas itu melesak seolah membelah tubuh Hinata yang semakin menegang.

Hinata tidak berteriak, gadis malang itu tidak bisa berteriak untuk melampiaskan rasa sakit yang menderanya. Ribuan air mata meleleh, isakan kecil kembali terdengar kala si pria bengis itu menggerakkan pinggulnya secara maju mundur.

Cairan amis berwarna merah pekat itu mengalir, mengiringi gerakan kasar yang dilakukan Sasuke pada tubuh Hinata. Tidak sampai disitu, Sasuke meraih surai indigo panjang milik Hinata lalu menariknya hingga membuat si gadis menengadah diantara himpitan dinding dan tubuh jangkung milik Sasuke.

Hinata hanya membuka dan mengatupkan mulutnya secara berulang, mencoba mengeluarkan jeritan kesakitan yang dialaminya atas perlakuan kejam dari Sasuke. Hinata tidak bisa memikirkan apapun selain rasa sakit yang diterimanya serta keadaan Ibu dan adiknya.

Apa mereka berdua mengalami hal yang sama dengan dirinya?

Batin Hinata menjerit seketika, memikirkan jika tentara Jepang yang lain juga memperkosa Ibu dan adiknya. Hinata mencoba melepaskan kedua tangan yang dicekal Sasuke diatas kepalanya dengan susah payah, namun hasilnya nihil. Tenaga seorang tentara tidak bisa dibandingkan jika dengan seorang gadis belia seperti Hinata.

Rasa sakit yang dirasakannya bertambah ketika gigi-gigi milik Sasuke menancap di tulang selangka miliknya. Pria keji itu menggigit pundak Hinata untuk meredam suara memalukan yang nyaris saja keluar dari mulutnya.

Suara geraman nikmat yang terdengar menjijikan bagi Hinata.

Hinata bisa merasakan tubuh pria yang memperkosanya itu menegang lalu bergetar setelahnya. Hinata juga merasakan jika si pria itu melepaskan tautan diantara tubuh mereka, lutut Hinata melemas dan detik selanjutnya tubuh telanjang itu merosot. Air mata tidak henti-hentinya keluar dari sepasang ametis miliknya.

Sasuke membenarkan celana serta ikat pinggang yang dikenakannya, kedua manik hitamnya masih setia menatap si gadis yang kini terduduk dan terlihat sangat menyedihkan.

Sasuke mengambil senapan yang tergeletak lalu mengarahkan moncong senjatanya kearah kepala Hinata. Dengan gerakan lemah, Hinata menggelengkan kepalanya dengan derai air mata yang semakin mengalir dengan deras.

Sepasang ametis yang sayu itu bersibobrok dengan kedua manik hitam Sasuke yang dingin. Sasuke mendecih, keluar dari kamar mandi dan kembali lagi dengan membawa satu kursi ditangannya.

Hinata meronta ketika Sasuke mencoba meraih tubuhnya kembali, satu tendangan asal yang dilakukannya mengenai rahang Sasuke. Tanpa pikir panjang, Sasuke langsung menampar pipi Hinata yang membuat gadis itu tersungkur tak sadarkan diri.

"Tch ..."

Sasuke kembali mendecih, meraih tubuh Hinata dan mendudukkannya secara paksa diatas kursi yang dibawanya lalu mengikat tubuh si gadis pada sandaran kursi. Detik berikutnya, Sasuke memungut handuk yang sebelumnya dikenakan Hinata dan memakaikannya kembali.

"Sasuke-dono!"

Sasuke menolehkan kepalanya, mendengar suara panggilan dari salah satu tentara bawahannya yang kini berdiri tak jauh dari dirinya. Si pria bermata cokelat itu memiringkan kepalanya, mencoba melihat sesosok perempuan yang duduk dan terikat diatas kursi dibelakang tubuh Sasuke.

"Semua warga sekitar sudah dikumpulkan, saatnya eksekusi."

Sasuke hanya mengangguk, lalu berjalan meninggalkan Hinata yang terikat dan tak sadarkan diri di dalam kamar mandi. Sadar dengan tatapan penasaran bawahannya karena dirinya tidak menembak mati si gadis, Sasuke mendengus lalu berkata dengan tajam.

"Dia milikku."

Si pria bermata cokelat itu mengedip dua kali,

"A-ah, haik!"

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Pengeksekusian itu dilaksanakan di hadapan semua warga yang dikumpulkan di tengah-tengah lapangan. Setidaknya sembilan puluh tentara yang sudah menjadi tawanan terluka dan puluhan tentara sekitar Nanjing yang sudah meletakan senjata mereka di eksekusi dengan kejam oleh para serdadu Jepang.

Para kaum wanita yang menyaksikan kejadian itu secara langsung tidak kuasa menahan jeritan yang keluar dari mulut mereka. Beberapa serdadu yang menyaksikan pengeksekusian itu hanya tertawa sebagai bentuk kemenangan yang mereka rasakan atas kekuasaannya.

Ini adalah mimpi buruk sekaligus neraka.

Jenderal Kakashi, memerintahkan untuk melakukan penyerbuan terhadap ibukota China, Nanjing, kepada seluruh bawahannya. Wilayah ibukota yang sebelumnya menjadi tempat yang aman berubah menjadi teror serta neraka pembantaian terburuk dalam sejarah.

Para pengungsi yang sebelumnya banyak berdatangan menjadi korban atas kekejaman genosida yang dilakukan oleh tentara Jepang. Semua warga sipil diburu dan dibunuh begitu saja. Senapan dan bayonet menjadi saksi atas kematian naas yang menimpa mereka.

Para wanita diperkosa secara bergiliran kemudian dibunuh setelahnya.

Hal itu juga menimpa pada Ibu dan adik Hinata. Mereka diseret keluar dari rumah dan dikumpulkan di lapangan hanya untuk menyaksikan pengeksekusian yang terjadi dan diperkosa lalu dibunuh setelahnya.

Sasuke yang sempat melihat manik ametis yang sama persis dengan gadis yang baru saja diperkosanya hanya menatap datar kearah jasad Ibu Hinata yang kini terkapar dengan tubuh yang bersimbah darah.

Lapangan itu berubah menjadi arena perburuan, dalam waktu yang singkat darah sudah berceceran dimana-mana. Ratusan mayat terlegeletak dan bau amis serta anyir menyelimuti udara sekitar.

Namun, ini hanyalah awal. Awal dari kekejaman yang sesungguhnya yang akan terjadi pada Nanjing di hari berikutnya.

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Hinata mengerjapkan kelopak matanya yang lengket, seluruh tubuhnya ngilu dengan tulangnya yang terasa remuk. Tubuh telanjangnya menggigil meski tertutupi oleh handuk. Gadis malang itu tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Tentara Jepang yang tiba-tiba saja memasuki rumahnya juga seorang tentara keji yang sudah memperkosanya di dalam kamar mandi. Semua itu begitu mengguncang jiwanya.

Dan sekarang, dirinya diikat di kursi dan masih berada di dalam kamar mandi. Ingin rasanya dirinya berteriak dan meraung atas apa yang menimpanya. Hinata bahkan tidak tahu apakah hari sudah menggelap atau belum.

Dengan kekuatan yang masih tersisa, Hinata mencoba menggeserkan kursi yang di dudukinya. Mencoba untuk keluar dari ruangan lembap nan sempit yang menyiksa paru-parunya. Namun, suara langkah kaki yang terdengar menghentikan pergerakannya. Dalam sekejap tubuh Hinata kembali bergetar, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya.

Suara derit pintu kamar mandi yang terbuka menjelma bagai tombak yang menancap di dadanya, sosok pria tinggi yang menjadi mimpi buruk bagi Hinata itu kembali. Kedua manik mereka kembali bertatap, Sasuke dengan tatapan yang datar dan keji serta Hinata dengan tatapan sayu yang menyedihkan.

Suasana begitu hening untuk beberapa saat, hingga pada beberapa detik berikutnya terdengar suara deru mesin mobil juga diikuti suara teriakan gembira yang berasal dari luar rumah.

Apakah Nanjing sudah di invasi oleh tentara Jepang? Setidaknya itu yang terlintas dalam benak Hinata setelah mendengar teriakan gembira yang ia kira berasal dari para serdadu Jepang.

Sasuke masih berdiri menjulang didepan Hinata, dengan langkah pelan Sasuke berjalan kebelakang kursi dan mulai melepaskan ikatan yang melilit tubuh Hinata. Si gadis malang langsung beranjak setelah tali itu terlepas, mencoba berlari namun gerakannya yang sangat lambat memudahkan Sasuke untuk meraih surai panjangnya serta menarik paksa tubuh Hinata agar tetap didekatnya.

Rintihan pilu kembali terdengar, Hinata merasakan kepalanya berdenyut akibat jambakan yang dilakukan Sasuke padanya.

"Boku no hana."

Untuk pertama kalinya Hinata mendengar suara berat yang berasal dari pria keji itu. Hembusan napas hangat yang dikeluarkan Sasuke menggelitik telinga Hinata dan membuat sekujur tubuh mungil itu kembali menggigil.

Sasuke menyeret Hinata dan menghempaskannya di atas ranjang. Hinata yang sudah tahu apa yang akan dilakukan pria keji itu beringsut merangkak, mencoba menjauhi Sasuke yang mulai melepaskan ikat pinggang celananya.

Kedua manik jelaga itu tetap mengawasi pergerakan sia-sia yang dilakukan oleh mangsanya. Hinata berhasil menuruni ranjang, kedua kaki kecilnya bergerak dengan tergesa hingga dirinya tersungkur di depan pintu karena tersandung oleh kakinya sendiri.

Handuk yang sebelumnya membalut tubuh telanjangnya kembali melorot, dengan tangannya yang bergetar hebat, Hinata membenarkan ikatan handuknya dan merangkak kearah pintu keluar.

Batinnya kembali menjerit, kedua maniknya membulat dengan air mata yang mulai berjatuhan.

Pintu itu terkunci, dan Hinata kembali terjebak dengan Sasuke yang kini berjalan kearahnya dengan seringaian keji yang tercetak jelas di wajah kerasnya. Hinata memukul-mukul pintu menggunakan kepalan tangannya, berharap ada orang yang sudi menolong dan membantunya keluar dari sana.

Namun sepertinya harapan itu sia-sia saja, karena Sasuke menyeret tubuhnya dan kembali menghempaskan Hinata ke atas ranjang untuk yang kedua kalinya. Hinata terus menggelengkan kepalanya, melemparkan bantal dan guling kearah Sasuke yang sedang merangkak di atas ranjang dengan tubuhnya yang hanya terbalut celana hitam selutut.

Seringaian itu semakin terlihat menakutkan, dan di detik selanjutnya, Hinata berharap jika pria keji itu akan benar-benar membunuhnya. Hinata memilih untuk mati daripada harus mengalami dan menerima perlakuan seperti ini darinya, apalagi pria itu adalah seorang tentara Jepang, tentara yang sudah membuat Negerinya menderita.

Dan bahkan mungkin, pria itu sudah membunuh Ibu dan adiknya.

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Hinata terbangun pada keesokan harinya, masih di tempat yang sama, di ruang kamarnya. Air mata kembali menuruni pipinya yang sedikit lebam, ingatan-ingatan perlakuan pria keji itu kembali berputar di kepalanya.

Namun, si gadis malang terperanjat ketika mengingat Ibu dan adiknya. Dengan susah payah Hinata berusaha bangun. Sinar matahari memasuki ruangan lewat celah-celah jendela dan gorden yang masih menutup.

Ini sudah pagi.

Hinata berjalan menuju sebuah lemari kayu dengan terseok, mengambil satu pakaian yang mudah untuk digunakan juga memakai pakaian dalam. Dress berwarna kuning cerah dengan motif bunga-bunga kecil menjadi pilihannya. Hinata mengikat rambutnya yang kusut tanpa disisir terlebih dahulu.

Setelah tubuhnya terbalut pakaian, Hinata berjalan menghampiri jendela yang masih tertutup gorden dan mencoba mengintip keluar. Kedua manik ametisnya membola, Hinata menutup mulutnya merasa shock atas apa yang dilihatnya barusan.

Wilayah di sekitar rumahnya sudah dipenuhi oleh tentara Jepang, namun bukan hanya hal itu yang membuat dirinya shock, tatapan tajam dan dingin itu menangkap dirinya yang sedang mengintip dibalik gorden. Pria itu menangkap basah dirinya.

Dengan gerakan cepat, Hinata membalikan badan dengan debaran jantungnya yang menggila. Tubuhnya kembali menggigil, tatapan pria itu berhasil membuat dirinya merasa takut bagai melihat neraka.

Belum saja dirinya merasa tenang, jantung Hinata kembali terlonjak ketika pintu kamarnnya terbuka dengan keras. Sasuke yang berdiri di ambang pintu untuk sesaat memandangi si gadis malang yang kini sudah terbalut dengan pakaian.

Hinata memundurkan dirinya beberapa langkah ketika Sasuke berjalan menghampirinya, tidak ada seringaian kejam, yang ada hanya raut wajah datar dan dingin. Tubuh Hinata terhenti ketika punggungnya menabrak lemari pakaian, dan Sasuke semakin melangkah mendekat pada dirinya.

Sasuke membawa tubuh Hinata dan menempatkan si gadis malang di salah satu pundaknya, Hinata meronta dalam gendongan Sasuke, kedua kaki pendeknya menendang-nendang, kepalan tangannya memukul-mukul punggung lebar Sasuke.

Namun si pria keji itu tidak menghiraukan perlawan kecil dari Hinata, Sasuke beringsut keluar dan membawa Hinata menuruni tangga juga membawa si gadis malang itu keluar dari rumahnya.

Rontaan dan perlawanan yang dilakukan Hinata terhenti ketika melihat tiang-tiang bambu yang menjulang tinggi di lapangan sebrang rumahnya. Perutnya bergolak seketika, bau amis dan anyir menusuk penciumannya. Beberapa potongan kepala tergantung diatas tiang bambu, mayat-mayat berserakan di tengah lapangan. Beberapa serdadu terlihat sedang memasukan mayat-mayat itu kedalam lubang yang mereka buat.

Kenyataan yang dilihatnya membuat tubuh Hinata lemas seketika, semua warga sipil disekitar rumahnya sudah dibantai habis-habisan dengan sangat keji. Dan beberapa menit selanjutnya, kesadaran Hinata menghilang seketika.

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Uchiha Sasuske

Sekarang Hinata tahu siapa sebenarnya sosok pria keji yang sudah menyeretnya kedalam penderitaan yang tak berakhir ini. Seorang perwira tentara Jepang sekaligus sosok yang terkenal bengis dan keji.

Sosok pria tampan dengan garis wajah keras juga dengan tubuh yang atletis khas tentara pada umumnya. Hinata tidak menampik atas pesona da paras yang dimiliki Sasuke, namun kekejaman yang dilakukan pria itu menepis hal apapun yang sempat membuat dirinya merasa sedikit tertarik dan terpana akan sosoknya.

Entah sudah keberapa hari Hinata disekap dan dijadikan budak sex oleh Sasuke. Kenyataan pahit begitu menghempaskan dirinya ketika mendengar percakapan antara pria keji itu dengan beberapa rekannya.

Kenyataan bahwa ibukota Nanjing sudah menjadi tempat genosida dan berubah menjadi lautan darah serta mayat dalam beberapa hari terakhir setelah pasukan Jepang menyerbu wilayah itu.

Hinata sudah tidak kuat menghadapi kehidupannya sekarang, Ibu dan adiknya sudah meninggal akibat kekejian mereka. Sudah beberapa kali dirinya mencoba bunuh diri, namun usahanya itu selalu saja gagal karena Sasuke terus memergoki dan mengetahui aksi nekadnya.

Dan kejadian itu selalu berakhir dengan Sasuke yang menyiksanya sambil menggauli dirinya dengan brutal dan tidak manusiawi.

Dan hari ini Hinata bertekad untuk kabur dari ruangan pribadi milik si perwira keji sekaligus tempat dirinya disekap. Hinata sudah tidak peduli jika dirinya tertangkap, dirinya akan bersyukur jika langsung dibunuh seketika. Namun tetap saja, jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, si gadis malang ingin keluar dari neraka ini dengan keadaan hidup.

Setidaknya dirinya harus bertahan demi mendiang Ibu dan adiknya. Dirinya harus bertahan untuk menjadi saksi hidup atas kekejaman dan kekejian yang telah dialami rakyat Nanjing.

Suasana markas memang sedang sepi, pasukan serdadu Jepang sedang menyisir wilayah timur Nanjing untuk melanjutkan aksi pembantaian mereka terhadap manusia yang tidak berdosa.

Hanya ada beberapa tentara yang bertugas untuk menjaga markas, sepertinya Hinata bisa menyelinap dan keluar dengan cukup mudah. Mengingat dirinya sudah berlatih untuk membuka kunci pintu menggunakan seutas kawat yang didapatnya dari pipa di kamar mandi.

Hanya menunggu para penjaga itu lengah, dan dirinya bisa keluar dari markas. Meski resiko keberhasilannya kurang dari lima persen, Hinata akan tetap berusaha keluar dan kabur dari tempat mengerikan itu.

Hinata menempelkan sebelah telinganya di pintu, tidak terdengar suara langkah kaki ataupun suara obrolan diluar sana. Si gadis malang memulai aksinya dengan mencoba membuka kunci pintu. Hinata memutar-mutarkan kawat itu dengan gerakan pelan.

Setelah bunyi 'cklek' terdengar, degupan jantungnya berpacu berkali lipat. Hinata berhasil membuka pintu itu dengan cepat. Hinata menyembulkan kepalanya keluar, melihat situasi lorong yang ternyata memang benar-benar sepi tanpa adanya penjaga yang berlalu lalang didepan kamar Sasuke.

Hinata melangkahkan kaki-kaki telanjangnya, menyusuri sepanjang lorong tempat dirinya disekap. Setelah ia bejalan beberapa menit, Hinata bisa melihat keluar dengan jelas. Pemandangan yang dilihatnya sudah tidak separah apa yang dilihatnya tempo hari ketika dirinya dibawa oleh Sasuke dari rumahnya.

Tidak ada tiang-tiang bambu yang menggantungkan potongan kepala, tidak ada mayat yang berserakan di tengah-tengah lapangan. Yang ada hanya beberapa mobil truk yang terparkir juga peralatan perang seperti meriam, bayonet dan senapan yang tertata rapi.

Hinata menyembunyikan dirinya dibalik tembok ketika dua orang tentara keluar dari sebuah bangunan yang tak jauh dari dirinya. Kedua tentara itu berjalan sambil tertawa dengan keras.

Hinata meringis ketika merasakan lebam diperutnya terasa sakit, tubuh ringkih itu merosot hingga terduduk. Si gadis malang mencoba mengatur napasnya, berharap agar rasa sakit itu mereda dan dirinya bisa kembali melanjutkan aksi gilanya.

Berhari-hari berada disekitar Uchiha Sasuke memberikan sedikit nyali dan keberanian pada dirinya. Hingga dirinya melakukan hal yang nekat untuk mencoba kabur dari sekapan si perwira keji. Setelah rasa sakit itu mereda, Hinata membalikan badannya dan berlari sekuat tenaga kearah sungai Qinhuai, sungai yang membelah kota Nanjing bersama sungai Yantze.

Hinata terus berlari tanpa menghiraukan telapak kakinya yang lecet, rasa perih menjalari kakinya. Tidak hanya itu, sepanjang perjalanan ia berlari, hidungnya terus mencium bau bangkai mayat yang masih begitu terasa, darah-darah yang mengering di atas tanah juga darah yang mengering di rerumputan.

Perut Hinata bergolak, beberapa menit selanjutnya Hinata jatuh terduduk lalu mengeluarkan isi perutnya. Hinata muntah diatas rerumputan yang dipenuhi oleh cipratan darah.

Setelah dirasa cukup, Hinata kembali melanjutkan aksi larinya. Namun ketika jarak dirinya dengan sungai Qinhuai mendekat, satu teriakan dari salah seorang serdadu Jepang mengagetkan dirinya. Satu tembakan tentara itu layangkan, membuat air mata Hinata mengalir karena ketakutan yang luar biasa.

Hinata terus berlalri dengan sekuat tenaga, namun tembakan-tembakan senapan itu semakin terdengar menggema di telinganya. Hingga dirinya terperosok kebawah tepi sungai Qinhuai, Hinata sengaja menenggelamkan dirinya untuk menghindari si serdadu yang mengejarnya.

Namun paru-parunya membutuhkan oksigen yang memaksa dirinya untuk kembali menyembul ke permukaan. Suara tembakan masih terdengar, namun tentara yang mengejar dirinya sudah tidak ada. Hinata berenang ke tepian sungai, berpengangan pada batang pohon yang tergeletak dan berdiam diri untuk sejenak.

Hingga pada akhirnya kedua manik ametisnya menangkap kumpulan warga sipil yang berusaha kabur menggunakan sebuah sampan dan ditembaki dengan senjata mesin oleh para serdadu yang berjarak sekitar lima belas meter dari tempatnya.

Tubuh Hinata kembali bergetar hingga menciptakan riak didalam air, dirinya telah melakukan kesalahan. Dalam sekejap sungai Qinhuai berubah menjadi kubangan darah, tidak ada satupun warga yang selamat. Semua dibantai habis menggunankan senjata mesin hingga tidak tersisa.

Beberapa tentara berdiri ditepian sungai, berdiri diantara hamparan mayat yang baru saja mereka bunuh. Air mata kembali membanjiri pipi Hinata, semangat dirinya untuk melanjutkan pelarian dan bertahan hidup menguap seketika. Dengan perasaan takut, Hinata mulai melepaskan pegangannya pada batang pohon dan menenggelamkan dirinya di sungai Qinhuai.

Tak selang beberapa detik, legannya yang terulur keatas ditarik oleh seseorang. Hinata yang merakan tarikan itu dalam air langsung terperanjat hingga air memasuki hidung dan mulutnya.

Hinata merasakan tubuhnya ditarik ketepian sungai, si gadis malang itu terbatuk dengan keras dan memuntahkan isi perutnya. Satu decakan lidah tertangkap oleh pendengaran Hinata yang samar, dengan tubuh yang masih bergetar, Hinata menolehkan kepalanya dan mendapati si perwira keji sedang menatap bengis kearahnya.

Hinata menggelengkan kepalanya yang berdenyut,

"Bu-bbuah.. uu.." (bunuh aku)

Hinata kembali terisak, sekujur tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. Dirinya sudah tidak tahan dengan semua yang menimpanya. Ratusan warga sebangsanya dibantai begitu saja, bahkan Ibu dan adiknya juga menjadi korban atas kekejaman mereka. Sementara dirinya masih hidup dengan menjadi pemuas nafsu liar si perwira yang bengis dan keji.

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Hinata menatap kosong kearah mangkuk yang berisikan makanan untuknya. Uchiha Sasuke kembali menggagalkan aksi bunuh dirinya. Hinata merasa heran, mengapa si perwira keji itu selalu tahu apa yang akan dilakukannya.

Si gadis malang itu menghiraukan kedatangan Sasuke yang mulai memasuki ruangan. Yang Hinata lakukan hanya berdiam diri di atas kursi panjang sambil menatap kosong apapun yang dilihatnya.

Sasuke melepaskan topi dan sepatu boot yang dikenakannya, Hinata bisa mencium aroma pinus bercampur keringat yang menguar dari tubuh si perwira yang mulai mengganti pakaiannya.

Akhir-akhir ini Sasuke jarang menyentuh Hinata setelah kejadian tempo hari di sungai Qinhuai, si perwira itu menjadi lebih pendiam dan dingin dari biasanya. Sasuke hanya akan tidur sambil memeluk Hinata tanpa melakukan hal yang lain.

Jujur saja, Hinata merasa sedikit lega dengan hal itu, namun kebenciannya terhadap Sasuke tidak berkurang sedikitpun. Hinata beranjak dari kursi ketika seseorang mengetuk pintu, si gadis malang memilih pura-pura tidur diatas ranjang seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya.

Sasuke membukakan pintu kamarnya, kedua manik jelaganya menyipit mendapati seorang pria tinggi berambut pirang tersenyum lebar kearahnya.

"Yo, perwira bengis. Lama tidak berjumpa."

Satu sapaan hangat pria itu berikan dengan senyumannya yang masih mengembang.

"Apa yang dilakukan tentara Jerman disini, eh anjing gila?"

Sosok pria bersurai pirang itu terkekeh lalu masuk begitu saja tanpa dipersilahkan oleh Sasuke. Namun kekehan pria itu terhenti ketika melihat sesosok perempuan yang meringkuk diatas ranjang, dengan pandangan yang menyelidik, si pria bernama Namikaze Naruto itu beringsut menghampiri ranjang agar melihat sosok perempuan itu lebih jelas.

Tubuh gadis itu kurus dengan luka lecet dan lebam di sekitar kaki dan tangannya. Surai indigonya yang panjang tergerai diatas bantal berseprai putih kusam.

"Siapa dia, Sasuke?"

Naruto mengalihkan pandangannya kearah Sasuke yang sedang menuangkan minuman,

"The Flower of Nanjing."

Dengan aksen dan logat yang aneh, si perwira yang terkenal keji dan bengis itu menjawab dengan santai. Naruto yang mendengar penuturan Sasuke hanya menyeringai. Tidak menyangka jika pria sebengis Uchiha Sasuke menyimpan perhatian khusus pada seorang mahkluk berjenis wanita.

"Schone Blume." (bunga yang cantik)

Sasuke yang mendengar pengakuan si tentara Jerman menyeringai sambil menyesap minumannya. Naruto ikut duduk dan mengambil segelas minuman yang sudah disiapkan untuknya.

"Apa yang membuatmu kemari?"

Naruto tampak mengangkat kedua bahunya acuh, "Ada hal yang harus dibahas Ayahku pada Jenderal Kakashi. Aku kesini untuk memanggilmu, kau harus ikut dalam pembahasan penting ini."

Sasuke tampak menaikan satu alisnya. Hubungan antara Jepang-Jerman memanglah baik, sebagai sekutu untuk melawan salah satu negara adidaya, Amerika Serikat. Sasuke beranjak dari kursi dan kembali memakai sepatu bootnya.

"Apa yang kau tunggu, anjing gila?"

Naruto terperanjat mendengar perkataan Sasuke,

"Tidak ada."

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Namikaze Naruto menyelinap keluar dari ruang pertemuan, sebenarnya keberadaan dirinya dalam pertemuan tersebut tidaklah begitu berpengaruh. Mengingat sudah ada sang Ayah juga kakak laki-lakinya yang berperan penting.

Langkah kaki-kaki panjang itu kembali menyusuri lorong yang tampak remang karena pencahayaannya yang minim. Pria bersurai pirang itu kembali ke ruangan Sasuke untuk menemui si bunga cantik. Dirinya begitu penasaran dengan sosok gadis mungil yang mampu membuat seorang Uchiha Sasuke menyimpan seorang wanita diruang pribadinya.

Keberuntungan berpihak padanya, Uchiha Sasuke lupa untuk menguci pintu kamarnya sehingga memudahkan Naruto memasuki ruangan tersebut tanpa harus merusang engsel pintu.

Naruto bisa melihat si gadis yang terperanjat dibawah sinar remang ketika menyadari kedatangannya. Si gadis malang beringsut menjauh dari kursi, menyadari jika bukan si perwira keji yang memasuki ruangan.

"Jangan takut, nona. Aku datang untuk menyelamatkanmu."

Hinata yang tidak mengerti apa yang diucapkan si pria asing hanya berdiam diri sambil meremas pakaian yang dikenakannya.

"Seorang gadis bisu, aku mengerti."

Naruto semakin memperpendek jaraknya, membuat Hinata terpojok di sudut ruangan. Hinata menepis telapak tangan Naruto yang hendak menyentuh pipinya. Tubuh Hinata bergetar, merasa takut jika sosok pria bermata biru itu akan melakukan hal keji seperti yang dilakukan Sasuke padanya.

Dengan gerakan cepat, Naruto berhasil memukul tengkuk Hinata dan membuat si gadis malang itu tak sadarkan diri.

"Schlechte Blume." (bunga yang malang)

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Uchiha Sasuke melemparkan gelas dengan marah saat dirinya tidak mendapati Hinata di ruang kamarnya. Pria Uchiha itu bergegas keluar dan menanyakan keberadaan si gadis pada semua bawahannya.

Dan kemarahannya semakin menjadi ketika mendengar jika sanderanya dibawa oleh salah satu tentara Jerman kedalam mobil milik mereka. Sasuke langsung meninju pria yang melihat kejadian tersebut dan menyumpahinya dengan kasar.

Dirinya tidak habis pikir, mengapa Naruto berani membawa gadis malangnya. Suasana di markas sempat menjadi ricuh atas amukan yang dilakukan salah satu perwira mereka. Kakashi yang melihat kekacauan itu langsung meninju rahang Sasuke.

"Apa yang kau lakukan? Bertindak bodoh dan tolol hanya karena seorang wanita!"

Sasuke menyeka darah yang keluar dari mulutnya.

"Pikirkan situasi dan posisimu, Uchiha Sasuke."

Satu kalimat itu menohok dan meninju ulu hati Sasuke. Kakashi memang benar, sekarang bukanlah saatnya untuk mengurusi seorang wanita bisu yang tidak berguna. Tapi mungkin lain kali, dirinya akan membunuh Namikaze Naruto jika persolannya di Nanjing sudah selesai.

I oktober 1949

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

Nanjing, China 1957. (20 years later)

Ratusan orang berbondong-bondong mengunjungi Memorial Hall untuk memperingati peristiwa Pembantaian Nanjing dengan upacara yang dihadiri tujuh belas penyintas dan delapan veteran perang. (Source; google)

Sudah dua puluh tahun lamanya sejak peristiwa berdarah itu terjadi. Republik Rakyak China juga telah menyatakan kemerdekaannya pada 1 Oktober 1949. Peristiwa berdarah itu akan selalu dikenang oleh seluruh rakyat China.

Upacara itu berjalan dengan khidmat dan ditutup dengan sebuah pidato dari salah satu petingggi tentara.

Hyuuga Hinata, seorang wanita yang selamat dari neraka dunia dan kekejaman yang pernah terjadi sepanjang sejarah Perang Dunia II. Wanita yang kini berusia 36 tahun itu berdiri di tengah-tengah Memorial Hall dengan sebuket bunga krisan ditangannya.

Dirinya tidak menyangka akan selamat dari peristiwa mengerikan itu atas bantuan salah satu tentara Jerman yang menyusup ke ruang si perwira dan membawa dirinya kabur melintasi lautan menuju desa terpencil di Jerman.

Namikaze Naruto, pria bersurai pirang itu membawa dirinya dua puluh tahun lalu ke kampung halamannya. Hinata tidak tahu maksud dan tujuan awal Naruto membawanya kabur dari Nanking dan menempatkan dirinya di sebuah desa lalu meninggalkannya begitu saja karena urusan perang dan militer.

Desa yang ditempatinya benar-benar aman, pria bersurai pirang itu akan menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Hinata selama dua atau tiga kali dalam setahun. Tidak ada ikatan resmi diantara mereka, Naruto juga memperlakukan Hinata dengan sangat layak.

Hubungan tidak jelas diantara keduanya berlangsung lama, hingga Namikaze Naruto dikabarkan meninggal dalam peperangan yang sedang berlangsung. Hinata merasa sedih saat mendengar kabar itu menyebar luas di seluruh penjuru desa.

Hinata sangat berterima kasih pada sosok pria itu karena telah menyelamatkan hidupnya dari jurang keputusasaan.

Namun beberapa tahun terakhir, dirinya kembali mengingat sosok perwira keji yang sudah menyekapnya selama kurang lebih empat pekan di kampung halamannya sendiri, Nanjing dua puluh tahun yang lalu.

Hinata mengingat dengan jelas semua yang berkaitan dengan pria itu. Wajahnya yang keras, bahu tegap juga dadanya yang lebar. Bahkan setiap malam dirinya selalu memimpikan sosok itu mendatanginya dengan tampilan yang sama.

Hinata menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan bayangan Uchiha Sasuke dalam pikirannya. Sekarang dirinya sudah bebas, memiliki kehidupan normal meski di tanah asing sekalipun.

Dan sekarang dengan kedatangannya ke Nanjing, Hinata memutuskan untuk kembali pindah dan memulai kehidupan yang baru. Semua kejadian selama dua puluh tahun silam itu hanya menjadi kenangan dan pelajaran hidup baginya.

"Boku no hana."

Tubuh Hinata menegang seketika, suara itu kembali terdengar dengan jelas di telinganya. Sebuket bunga krisan yang dibawanya jatuh begitu saja, menyisakan rasa takut yang semakin merayapi jiwa dan pikiran Hinata.

Dengan gerakan kaku, Hinata menolehkan kepalanya kesamping. Demi arwah para korban pembantaian Nanjing, Hinata menjerit dalam hati ketika mendapati sosok yang membuat hidupnya bagai di neraka itu berdiri menjulang sambil menatap datar kearahnya.

Penampilan Sasuke jauh berbeda saat ketika mereka bertemu saat dua puluh tahun yang lalu. Kini surai hitam yang dulu cepak sudah memanjang dan jabrik, menutupi satu mata kirinya. Bukan hanya itu, lengan sebelah kirinya juga menghilang entah kemana. Tertutup oleh mantel hitam panjang yang membalut tubuh jangkungnya.

"Boku no hana."

Hinata memundurkan langkahnya saat Sasuke mengikis jarak diantara mereka. Dengan satu gerakan cepat, Sasuke membawa tubuh ringkih Hinata kedalam pelukannya.

"Wo zhongyu zhaodaole ni, wo meili de huaduo." (akhirnya aku menemukanmu, bungaku yang cantik."

Tubuh Hinata menegang seketika, mendengar penuturan yang tidak terduga dari pria yang sudah menyiksanya secara fisik maupun batin. Sekarang dirinya tahu alasan dibalik periwira keji itu tetap mempertahankan dan menyekap dirinya.

Hinata tahu ini salah, Hinata tahu ini adalah sebuah kebodohan yang tidak terkira. Namun perasaannya menghangat begitu saja ketika pria jangkung itu membisikan kalimat yang membuat dirinya begitu merasa bahagia.

Air mata mengalir begitu saja, membasahi mantel bagian depan milik Sasuke. Dengan lembut, Sasuke menyapukan telapak tangannya pada surai indigo sebahu miliki Hinata. Dengan satu kalimat yang diucapkannya, mungkin akan menjadi awal baru bagi kedua insan yang sudah mengalami banyak peristiwa buruk sepanjang kehidupannya.

"Jia gei wo, Hinata." (menikahlah denganku, Hinata.)

.

.

The Flower of Nanjing

.

.

THE END