Standard disclaimer applied.

Main Cast : Kim JongIn|| Oh SeHun|| Byun BaekHyun

.

.

.

1.

Semuanya bermula di Sekolah Dasar. Bocah-bocah perempuan yang sudah tidak kuingat namanya selalu mengepungku, membuatku sesak napas, bahkan ketika aku ingin buang air kecil—mungkin, kalau tidak ada label "Khusus Anak Laki-Laki" tertempel di depan pintu toilet di sana, mereka pasti juga akan memberondong masuk dan membuatku tambah malu di depan anak laki-laki lain.

Hei—anak SD mana yang bangga karena dirinya dikerubungi anak perempuan? Ini bukan drama picisan macam Boys Before Flower yang sering ditonton ibuku setiap sore.

Waktu itu istirahat. Seperti biasa, mereka akan sibuk menawari bekalnya yang terdiri dari ini dan itu padaku. Aku sendiri diam saja. Kupikir, pose diam tanpa ekspresi yang mengindikasikan kekesalanku ini akan membuat mereka menjauh. Tapi sial, sepertinya perkiraanku salah. Bukannya pergi jauh-jauh atau sekalian menghilang saja dari dunia ini, mereka malah semakin menempel sambil berteriak-teriak seperti orang kesurupan, "Kyaaaaa! SeHun, kau tampan!"

Aku tahu itu, Bodoh!

…dan saat aku berusaha melemparkan tatapan tajam agar mereka semua menjauh, tiba-tiba—

Bugh!

Brak!

Semuanya menggelap.

Terakhir kali, aku melihat sebuah bola terlempar ke arahku, menghantam kepalaku dan membuatku jatuh dari kursi dan—pingsan.

Samar, aku bisa melihatnya—sedikit—dan mendengarnya.

"JongIn bodoh! Tanggungjawab! Kau membuat SeHun pingsan!"

Matanya yang berbinar khawatir.

"Ta-tapi aku tidak sengaja, salah sendiri duduk di sana saat aku sedang main bola!"

Bibir tebalnya.

"Kau main bola dalam kelas JongIn Bodoh!"

"Liat, dia tidak bergerak! Lakukan sesuatu! Kalau tidak, aku akan melapor kepada Ibu guru!"

Kulit tan-nya.

"Baiklah, diam semuanya! Aku akan menciumnya! Kalian puas!? Bila aku menciumnya seperti dalam dongeng Putri Salju, SeHun akan bangun 'kan?"

dan keningnya yang ditempel plester kuning yang sudah kotor.

Saat wajah itu mendekat ke arahku, saat itu juga aku kehilangan kesadaranku. Terakhir kali, yang aku ingat adalah sesuatu yang manis dan lembut menyentuh bibirku.

2.

"JongIn menciummu SeHun! Kau tahu tidak, dia seperti pangeran dalam dongeng tidur yang sering diceritakan ibuku!"

Mungkin, sepupuku Xi LuHan, sudah positif gila. Mungkin juga, ini karena Bibi Xi selalu memberinya konsumsi dongeng berlebihan tentang putri cantik yang diselamatkan pangeran, cinta sejati, ciuman yang bisa menyelamatan dari kematian dan bla-bla-bla apapun itu. LuHan itu lelaki, tapi dia menganggap dirinya sendiri sebagai seorang putri cantik yang berada dalam dongeng.

Saat itu aku sedang di UKS, menatap LuHan dengan tatapan datar andalanku. Dia bercerita tentang banyak hal sejak aku sadar dari kepingsananku dua jam tiga puluh menit yang lalu. Dia bilang semua anak-anak perempuan memprovokasi JongIn untuk bertanggungjawab karena telah membuatku pingsan. Dia bilang, kalau JongIn menciumku. Dia bilang, kalau JongIn terlihat panik karena melihatku tidak kunjung bangun. Dia bilang—JongIn menggendongku hingga ke UKS sekolah yang terletak di lantai dua.

Sret!

Dan saat aku sadar, bocah lelaki yang diceritakan LuHan telah masuk ke ruang UKS, berdiri di samping ranjangku. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, lalu bergumam, "Maaf."

Dia Kim JongIn. Bocah lelaki paling nakal di sekolah. Tukang buat onar. Sering bolak-balik masuk ruang bimbingan konseling. Dan yang paling parah adalah diskors. Tapi walaupun begitu, ia selalu bertanggungjawab atas kenakalan yang ia lakukan, seperti sekarang. Aku sedikit tidak tega ingin memarahinya, oleh karena itu, aku hanya memalingkan wajahku dan bergumam—

"Hn."

Dan LuHan tahu persis apa yang aku maksud. Ia tersenyum penuh lalu menatap JongIn dengan tatapan berbinar, "Dia bilang dia memaafkanmu."

Dari sudut mataku, aku bisa melihat senyum lebar di bibir tebal bocah lelaki berkulit tan itu. Senyuman yang seolah mengajak dunia ikut tersenyum bersamanya. Tanpa sadar, hatiku menghangat bagai coklat yang dipanaskan di dalam oven.

3.

Semuanya berlanjut ke Sekolah Menengah Atas. Aku dan JongIn berada dalam satu sekolah yang sama juga kelas yang sama. Dia masih sama seperti dulu. Berandalan. Tukang buat onar. Sering di kejar guru—dan yah, seperti "itu". Aku sendiri masih sama. Gadis-gadis yang bahkan sampai sekarang tidak kuingat namanya selalu mengerubungiku kemanapun bagai semut, mengikutiku kemanapun dan yaaah, masih seperti "itu".

Dan di sinilah aku. Berdiri di depan mading dan tertegun. Otakku rasanya tiba-tiba jadi konslet. Aku tidak bisa berpikir dengan benar. Sebenarnya siapa yang menulis artikel bodoh semurahan ini?

Ciuman pertama?

Yang benar saja!

"Ciuman pertama akan sangat berkesan bila dilakukan dengan orang yang kita cintai dan bla-bla-bla—"

Aku tidak pernah tahu kalau yang namanya ciuman pertama akan menjadi seberkesan itu. Bukankah itu hanya pertemuan dua pasang bibir dua manusia yang berbeda? Lalu apa bagian spesialnya? Apa kalian berharap aku kembali ke jaman SD dan berpikir dengan polos kalau dengan berciuman bisa menyelamatkan seseorang dari kematian? Seperti dongeng Putri Salju, yang benar saja!

Atau—mungkin aku bisa menghindari pukulan bola dari JongIn yang membuatku pingsan dulu dan mencegahnya menciumku. Sehingga mungkin, bibirku masih siap dipersembahkan sebagai hadiah indah ciuman pertama dengan orang yang aku cintai nanti.

Sial! Artikel busuk!

Aku meninggikan sudut bibir sambil menatap mading dengan penuh murka. Murka karena penulis sialan itu. Dan murka karena baru sadar kalau ternyata ciuman pertama itu begitu berharga. Dan lagi—murka karena seorang berandalan seperti Kim JongIn lah yang mengambilnya pertama kali.

4.

Ini karena artikel sial yang sampai sekarang masih menempel dengan setianya di dinding mading. Makanya mataku tidak bisa mengalihkan pandangan pada bocah berandal yang selalu tertidur di pelajaran matematika itu. Makanya bibirku ikut tersenyum kecil saat ia tertawa karena menertawakan sesuatu yang tidak penting.

Ini salah artikel itu, bukan salahku.

Atau—mungkin ini salah JongIn. Ya, benar, ini salahnya. Salahnya karena dia sudah merebut ciuman pertamaku!

Dan aku tahu kalau dia sadar aku sedang menatapnya. Makanya, dia yang duduk tepat di depanku sering menoleh ke belakang, lalu memandangku penuh rasa ingin tahu. Aku sendiri hanya mengedikkan bahuku cuek saat dia bertanya padaku, "Ada apa?"

Dan kebiasaan ini semakin berlanjut dan berlanjut hingga berujung mengerikan. Tatapanku padanya yang duduk di depanku seolah melubangi punggungnya—dan aku yakin dia sadar kalau aku menatapnya—mungkin karena itulah ia jadi sering menoleh ke belakang dan ikut menatapku tajam. Tapi yang kuberikan saat itu hanya satu, senyum kecil yang membuatnya sedikit tertegun dan langsung memandang ke depan lagi—entah berniat mendengarkan penjelasan guru matematika yang menurutnya membosankan itu atau memilih kembali ke alam mimpi lagi.

atau dia lebih memilih menatap punggung pemuda di depannya, tatapan yang dia berikan pada pemuda itu, BaekHyun, sama seperti tatapan yang kuberikan padanya. Dan aku lebih memilih pura-pura tidak tahu.

Dia memang seperti itu. Berandalan, tidak punya aturan dan sopan-santun, selalu tertidur di kelas dan selalu melakukan pelanggaran. Tapi sialnya, nilainya tidak pernah turun, dan ia selalu menjadi juara satu tepat di atasku walaupun dia selalu tertidur di pelajaran matematika yang menurutnya membosankan.

5.

Aku di sini.

Berdiri di depan pintu rumah tetangga baru yang katanya baru pindah hari ini. Aku menekan bel pintu, berharap siapapun di dalam sana segera membuka pintu dan mengambil pudding sialan yang membuat tanganku pegal karena memegangnya terlalu lama. Ini ibuku yang membuatnya. Andaikan pudding ini bukan untuk tetangga baru, namun untuk anak tampannya ini, pasti aku tidak akan mengejek pudding ini dengan sebuatan sialan.

Dan pintu itu terbuka.

Aku tidak ingat jantungku pernah berdebar sebegini mengerikannya. Senyumnya masih sama seperti dulu. Masih sama hangat dan manisnya seperti coklat yang meleleh saat dipanaskan di dalam oven. Ya, dia masih JongIn yang membuatku merasa nyaman bahkan hanya dengan menatap punggungnya dari belakang. Dia JongIn, tetanggaku yang membuatku kena penyakit jantung hingga seperti ini.

Dia JongIn, orang yang mulai masuk ke dalam kehidupanku yang serba stagnan. Dia JongIn, orang yang aku cintai—namun aku tidak akan pernah mengakuinya. Karena mengakuinya sama saja membuatku mengakui kesakitanku.

6.

Aku tidak pernah tahu kalau mencintai seseorang bisa membuatmu sebahagia dan semenyedihkan ini. Namanya berotasi di setiap sel-sel tubuhku, mengintip di pemikiran terdalamku, dan selalu ada di sekelilingku bagai oksigen. Dia akan datang saat sarapan dan makan malam. Ibu selalu mengundangnya karena JongIn tinggal sendiri—dan entah kebetulan atau tidak, orangtua JongIn adalah teman dekat orangtuaku.

Dia yang tiba-tiba datang, masuk ke kamarku seolah-olah itu adalah kamarnya. Ketika dia mulai berguling-guling ke sana-ke mari seperti kucing, maka saat itu jugalah aku akan melemparnya dengan bantal dan memarahinya agar segera enyah dari ranjangku. Dia akan menarik tanganku ke arahnya, membuatku terjatuh di kasur lalu memelukku erat dari belakang seolah tidak akan melepaskanku. Dia akan selalu begini. Selalu—

Bahkan ketika aku bertanya kenapa ia suka memelukku seperti ini, ia hanya akan tersenyum lalu menggesekkan kepalanya ke perpotongan leherku, membuatku menahan napas dan segera menutup mataku rapat-rapat. Aku selalu berdoa dia tidak akan pernah mendengar suara dentuman jantungku yang mengerikan ini. Aku berdoa kami akan terus seperti ini.

Ya, seperti ini.

Namun, saat aku mulai terbiasa dengan kedatangannya, ia menghancurkanku. Ia menghancurkanku sampai yang kuingat hanyalah sakit. Bahkan saat aku menemukan buku diary bersampul hitam yang ia sembunyikan di bawah ranjangnya. Diary yang menjelaskan secara rinci betapa ia mencintai seseorang. Dan seseorang itu bukan aku, Oh SeHun.

Katanya, ketika kau terlalu banyak tersenyum, maka selanjutnya kau akan menangis. Ketika terlalu banyak berharap, maka selanjutnya kau akan kecewa. Ketika menaruh harapan, maka selanjutnya kau akan jatuh di kegelapan. Dan ketika kau jatuh cinta, maka di matamu hanya dia dan mengabaikan yang lainnya. Dunia memang seperti ini. Saat kau menyakiti orang lain, maka orang baru akan datang lalu menyakitimu.

Dia melamarku—paksaan orangtuanya. Senyumnya di malam itu, aku membencinya.

Aku menyakiti mereka. Menyakiti JongIn dan BaekHyun di malam itu.

Tapi aku membencinya. Aku membencinya yang munafik. Aku membencinya yang tidak bisa jujur dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi di atas semuanya, aku lebih memilih membenci diriku sendiri yang pura-pura tuli dan tidak tahu kalau sebenarnya hatinya bukan untukku. Bahwa hatinya untuk orang lain. Bahwa dia tidak pernah menganggapku lebih. Bahwa dia tidak pernah mencintaiku seperti aku yang mencintainya. Bahwa yang dicintainya adalah dia, Byun BaekHyun, orang yang bisa membuatnya tersenyum dan tertawa secara tulus.

Ya, aku membenci diriku yang memilih menerimanya, mengikatnya menjadi milikku. Milikku. Milikku sampai kapanpun.

Yang kuingat adalah dia yang memasangkan cincin perak itu di jari manisku. Yang kuingat adalah janji setianya di hadapan Tuhan. Yang kuingat adalah bibir manis dan lembutnya yang menyambut bibirku dalam sebuah ciuman hangat berlatarkan tempat suci yang dihadiri oleh seluruh keluarganya dan keluarga dari pihakku.

Dan yang kuingat, matanya yang menatap salah satu kursi yang di duduki 'dia' dalam gereja dengan tatapan sedih. Tatapan sedih yang membuatku sadar, walaupun aku memilikinya, aku benar-benar tidak pernah memiliki hatinya.

Bukankah dunia begitu adil? Di saat aku berpura-pura tidak tahu-menahu bahwa dia mencintai orang lain, di saat aku mengikatnya dalam sebuah janji suci, di saat aku menyakitinya dan BaekHyun karena aku menutup mataku, di saat itu jugalah aku merasakan kesakitan karena orang yang aku cintai tidak mencintaiku.


The End


Komentar?