Tittle: Only One
Genre: School Life, Romance, Friendship, Hurt/comfort
Rated: T+(buat jaga-jaga)
Notes: Hai readers! Terutama cewek. Disini, kalian berperan sebagai Dira. Yap! Dira adalah kamu. Tadinya mau pake (nk) tapi aku ganti jadi Dira demi kepentingan cerita.
Warning: All human, No Super Power, no Alien, typo bertebaran, tidak sesuai EYD, dan berbagai kesalahan teknis lainnya.
Don't like? Don't reading. Don't be silent Reader!
*Enjoy Reading*
#Prolog
Hai semua, perkenalkan namaku Stephannie Dinda Rafika. Biasa dipanggil Dira. Aku kelas 2 SMA di Senior High school Diamond. Suatu sekolah paling pavorit se antero jagat bahkan. Aku ini adalah siswi yang paling terkenal di sekolah ku. Bekannya sombong, tapi emang begitu. Aku ini siswi paling cantik. Namun aku tak punya pacar. Kenapa? Karena aku tak ingin berpacaran selain dengan dia. Sampai suatu saat ada seorang pria yg mengubah pendirianku. Aku mulai tersentuh. Berawal dari sini. Ya, semuanya berawal dari sekolah ini. Mari aku akan menceritakan kisah ku ini. Yang lebih menarik adalah... Kamu adalah Dira.
.
.
**Ve**
#DiraPOV
"Stephannie Dinda Rafika. kali ini nilamu mendapat peningkatan, dapat 40, setelah ulangan kemarin dapat 38."
Prok Prok Prok.
Spontan tepukan tangan dan sorakan riuh memenuhi ruangan kelas ini begitu Papa Zola membacakan nilai ulangan fisikaku yang begitu 'indah' itu, grr, sial! Tega sekali sih guru itu, kenapa saat membacakan nilaiku ia harus meninggikan volume suaranya?!
Aku mengerucutkan bibirku sambil menatap kesal ke siswa siswa yang memandangku dengan tatapan 'kagum'nya itu.
"Keren! Kau mengalami peningkatan Dira!" Aku menoleh dan menatap setajam mungkin pada Ying, sahabatku yang sedang menepuk pundakku dan kini ia tersenyum bangga.
"Yak! Kau juga ikut ikutan meledek ku, huh?"Omelku, Ying menggeleng polos.
"Tidak. Aku kagum denganmu, akhirnya nilaimu mencapai angka 40 juga! Selamat!" Aku menyipitkan sebelah mataku, berusaha setengah mati menahan rasa maluku karena kini beberapa orang terkikik geli begitu mendengar ucapan polos Ying barusan, astaga..kepolosannya membuatku dipermalukan.
Aku memaksakan seulas senyum,yang lebih tepat sebagai ungkapan rasa kesal yang disampaikan melalui senyuman ini.
"Ha ha ha. Terimakasih, kau memang teman baikku."Ujarku sambil balas menepuk pundakknya, Ying mengangguk, benar benar menganggap bahwa aku berterimakasih dengannya. Astagaaaa Ying ini!
"Aku heran kenapa ada orang sebodoh itu." Aku menoleh cepat pada suara tak asing yang barusan berkomentar itu, Pria yang duduk tepat di seberangku dan kini ia tengah menggeleng gelengkan kepalanya sambil memandangku dengan tatapan remeh.
"Berdarah Jerman tapi bodoh sekali."
Aku menatapnya kesal, mentang mentang dia pintar, seenaknya saja dia meledekku begitu.
"Namanya juga proses, fisika kan memang tak mudah." Mendadak semburat merah menghiasi pipiku begitu mendengar belaan itu, Galang Stevano william , Pria berdarah Jerman sepertiku yang duduk tepat di sebelah pria menyebalkan itu membelaku, Aih! Dia memang pahlawan. Tapi entah kenapa nama panggilannya harus Gempa.
"Tapi masa prosesnya lama sekali?"Halilintar kembali berkomentar, ish, bawel sekali sih dia.
Gempa tak menganggapi ucapan Halilintar barusan, ia kembali memusatkan perhatiannya pada Papa Zola yang masih membacakan nilai nilai siswa lainnya, aku menjulurkan lidahku, meledeknya karena ucapannya tak digubris Gempa, ia memandangku datar sampai akhirnya memilih memandang ke depan.
"Dan hanya satu orang yang mencapai nilai sempurna." Aku menatap Papa Zola yang kini sedang tersenyum senang, ekspresi yang tentunya sangat berbeda ketika ia mengumumkan nilaiku, tapi walaupun begitu pasti aku adalah siswa yang paling berkesan olehnya, karena aku selalu ikut pelajaran tambahan yang pastinya membuatnya harus bertemu denganku lebih sering ketimbang murid lainnya hahaha.
Kini semua mata tertuju pada…ah tentunya bukan padaku, mereka semua memandang kedua insan yang duduk di seberangku, hanya ada dua kemungkinan, yaitu Gempa dan Halilintar, sepasang sahabat yang sama sama pintar, kalau otak mereka digabungkan kira kira bagaimana ya?
Coba saja Papa Zola bilang nilai terburuk, pasti dengan kompak mereka akan menatap ke arahku, hey, kenapa aku malah menjelek jelekan diriku sendiri?!
"Halilintar kau mendapat nilai sempurna 100, Gempa dapat 95." Kelas kembali menjadi riuh, mereka bertepuk tangan, jelas tepuk tangan yang mengandung arti yang berbeda dari yang tadi, aku juga ikut bertepuk tangan dan tersenyum kagum, tapi tentunya untuk Gempa, bukan cowok menyebalkan itu.
"Mereka keren sekali."Ujar Ying, aku mengangguk tapi buru buru teringat sesuatu.
"Nggak. Bukan mereka, tapi Gempa, yap, Gempa yang keren!"Ralatku.
"Bukannya Halilintar yang mendapat nilai 100? Berarti dia dong yang lebih keren?"Tanya Ying heran.
"Ish, itu hanya kebetulan, biasanya juga Gempa yang lebih tinggi nilainya."Bela ku.
"Kau aneh, jelas jelas Halilintar yang lebih sering dapat nilai lebih unggul."Ying kembali menjawab, aku mencibir, keras kepala sekali sahabatku yang satu ini.
"Ya..Tapi tetap saja Gempa yang lebih keren!" Aku tetap ngotot.
"Menurutku Halilintar."Ying tak mau kalah.
"Gempa!"Jawabku.
"Halilintar!"
"Gempa!"
"Halilintar!"
"Gem-"
"Berisik!" Kami berdua refleks menutup mulut ketika Papa Zola membentak kami dengan suaranya yang menggelegar itu, aku mengangkat kepalaku, menunjukan sebuah cengiran tak berdosa dan membentuk tanda v.
Papa Zola menghembuskan napas kesal, aku melirik Gempa yang memandangku heran karena tadi menyebut nyebut namanya.
"Kau Stephannie…mulai dari sekarang kau harus ikut pelajaran tambahan."Ujar Papa Zola tajam.
"Bukannya dari dulu aku memang sudah ikut pelajaran tambahan ya Pak?"Tanyaku tak mengerti.
"Iya.. Tapi kali ini bukan dengan saya lagi, saya sudah lelah dan bosan bertemu denganmu, jadi saya akan mencari pengganti saya."Ucap Papa Zola tanpa dosa, beberapa murid kembali terkekeh begitu mendengar ucapan Papa Zola itu, aku mencibir, masa dia bosan bertemu dengan perempuan cantik begini? Bukan narsis ya, tapi kata orang orang juga begitu. Tapi karena aku kekanak-kanakan, aku tak punya pacar T_T
"Kalau begitu..siapa yang akan menggantikan Cikgu?"Tanyaku penasaran, Papa Zola kini melontarkan pandangannya ke arah lain, tepatnya ke arah dua manusia jenius di seberangku itu, tunggu..jangan jangan Papa Zola akan memilih salah satu dari mereka? Ya ampun. Aku harap ia memillih Gempa! Tapi bagaimana kalau Halilintar yang dipilih? Aaa. Gawat, bisa bisa kupingku panas tiap hari karena harus mendengar omelannya.
"Ying, semoga saja Gempa yang jadi penggantinya, jangan sampai si-"
"Halilintar, tolong bimbing Dira mulai dari sekarang!"
Ucapan ku terpotong begitu Papa Zola mengucapkan satu kalimat yang sukses membuat mataku melebar sempurna
"Apa?!" pekik ku dan Halilintar kompak, Pria itu pastinya sepertinya juga enggan menjadi pembimbingku, beberapa wanita kini memandangku shock atau lebih tepatnya iri.
"Kenapa harus aku, Pak guru?!"
"Kenapa harus dia, Pak Guru ?!"
aku melirik Halilintar sengit karena lagi lagi timing kita bersamaan, Halilintar melirikku sinis, dan aku juga membalasnya dengan tatapan yang sama.
"Ya tentu saja karena nilaimu yang paling tinggi di kelas ini."Jawab Cikgu papa santai.
"Tapi kan masih ada murid yang pintar lainnya!"Jawabku cepat, berharap Cikgu Papa akan merubah keputusannya dan menyadari siapa murid pintar lainnya yang aku maksud.
"Kau ini..sudah dibantu, masih saja menawar."Ucap Papa Zola terlihat mulai gerah.
"Bapak, kalau kau saja tak bisa merubah nilainya apalagi aku? Dia itu memang sudah ditakdirkan dengan kapasitas otak yang seperti itu."Ujar Hali sakrastis, aku melongo mendengar ucapannya barusan, dan menatap Halilintar kesal, bisa bisanya dia bicara seperti itu dengan begitu santai tanpa merasa bersalah sedikit pun, argh, Halilintar! Tunggu saja pembalasan dari Nona Stephannie ini!
"Ini adalah tantangan untukkmu, siapa tahu kalau diajari olehmu dia bisa lebih bersemangat."Jawab Cikgu Papa.
"Cih. Bersemangat apanya!"Gumamku kesal.
"Dira, kau memang beruntung."Ying kini memandangku iri, sama dengan siswi-siswi yang ada di kelas ini, aku menghela napas, Halilintar memang Pria idola di sekolah ini, sama dengan Gempa, tapi bagiku mereka berdua sangat berbeda, dan Halilintar? Kenapa ia bisa jadi idola? Pria itu dingin, jutek, galak dan sangat menyebalkan, meski dengan sangat teramat berat hati harus ku akui dia memang tampan. Bahkan di papan pengumuman ada urutan 10 besar siswa tertampan dan terpopuler, yg sialnya Halilintar urutan pertama dan Gempa kedua. Tsk, yang membuatnya kurang kerjaan sekali.
"Cikgu, ayolah. Aku bisa belajar sendiri kok."Rayuku sambil memasang wajah memelas, meski aku tahu itu tak akan mempan.
"Iya. Memang bisa belajar sendiri, tapi nanti nilai mu juga bisa paling mengada ada sendiri."
"Kkkkk." Lagi lagi mereka terkekeh begitu mendengar ucapan Cikgu Papa barusan, aku berdecak kesal, daripada dipermalukan lagi lebih baik aku diam saja, toh pasti Halilintar juga akan protes.
"Cikgu, kenapa tidak Gempa saja?"
Nah! Itu yang dari tadi aku tunggu, kenapa bukan Gempa saja? Akhirnya Halilintar mewakili isi hatiku, untuk pertama kalinya aku setuju dengan ucapannya.
"Gempa sudah cukup sibuk, dia itu ketua osis, kapten team basket, aku tak mungkin membebaninya lagi."
Tsk. Menyebalkan -_-
"Hais. " Halilintar mengacak rambutnya kesal, sedangkan aku sudah pasrah.
"Pokoknya kalian berdua tidak boleh menolak. Halilintar, kalau kau berhasil mengubah nilai nya, kau akan mendapat point plus."Ujar Cikgu Papa lagi.
"Sampai kapan aku harus mengajar orang itu?"Tanya Halilintar, orang itu? Ia seolah enggan menyebut namaku.
"Sampai Dira mendapat nilai minimal 70 dalam 3 kali ulangan fisika."Jawab Cikgu Papa, lalu ia tersenyum mantap, Halilintar menghela napas berat, sedangkan aku membanting tubuhku ke sandaran kursi dan mendengus.
"Astaga. Beruntung sekali sih Dira."
"Aku juga mau diajar Halilintar, huaa mamaaa…lebih baik aku tak usah belajar supaya dapat nilai jelek."
"Bisa memandangi Halilintar tiap hari. Aaaa. Aku iri!"
"Dira bodoh sekali, bukannya senang malah protes. Ck ck ck"
Ya ya, terserah mereka mau bilang apa, yang pasti bagiku ini sama sekali bukan berita bagus
#Dira Pov end-Author POV
Dira menggerutu kesal sembari memotong sadis roti bakar yang ia pesan dan menusukannya kasar dengan garpu yang ia pegang, Ying menelan ludah begitu melihat gadis dihadapannya yang terlihat seperti hewan buas yang sedang kelaparan.
"Kau terlihat menyeramkan."Komentar Ying, Dira menatap Ying tajam sambil mengunyah roti bakarnya.
" Ini semua karena Cikgu Papa!"Jawab Dira kesal.
Ying hanya bisa geleng geleng kepala, lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekitar isi kantin yang pada jam istirahat selalu menjadi pusat pelampiasan kepenatan siswa.
Ying mengerjapkan matanya begitu mendapati dua orang Pria yang begitu ia kenal, Ying terperangah, perhatiannya kini terpusat pada pria itu..pria yang berhasil membuat dadanya kini berdegup kencang.
"Menyebalkan sekali sih..aku tak bisa membayangkan harus selalu bertemu dengannya. Aaa Bagaimana ini!"
"…"Tidak ada jawaban, Ying masih fokus pada pria itu.
"ish..Kenapa nasibku sial begini." Dira kembali mengeluh
"….."
"Menurutmu aku harus bagaimana Ying?"
"…."
Dira menatap sahabatnya heran, ia baru menyadari sedari tadi Ying tak mendengarkannya, gadis itu malah bengong.
"YIIING!" Dira menggoyangkan kedua tangannya di depan wajah Ying dan berhasil membuat gadis itu terkesiap, Ying meringis lalu tersenyum bersalah.
"Ah ya? Maaf, kau tadi bicara apa Put? Hehe."Tanya Ying.
Dira mendengus,ia menyeruput orange juicenya.
"Tentang si pria menyebalkan yang tak lain dan tak bukan bernama Halilintar si ketua klub karate itu!"Jawab Dira penuh penekanan.
"Kau kenapa sih sangat membenci dia? Padahal menurutku Halilintar baik kok dan dia juga.. keren."Ujar Ying jujur.
"Tapi dia itu menyebalkan, dia selalu bilang aku bodoh, otak udang, kau masih ingat tidak saat aku menaruh cokelat di atas meja Gempa dan malah dia yang memakannya? Lalu saat aku mau mencontek ulangan sejarah dan dia malah mengadukannya ke Bu Zila akibatnya aku harus dihukum lari keliling lapangan 10 kali! Belum lagi saat ia menduduki hasil karya ku, dia juga pelit lalu—"
"Eung..Dira.." Ying memotong ucapan gadis itu begitu menyadari siapa yang orang yang kini sedang berdiri di balik punggung Dira, ia menelan ludahnya.
"Apa? Aku belum selesai bicara, tadi sampai mana? Ah iya, dia juga selalu mengusik ku ketika bicara dengan Gempa, suka memarahiku kalau aku berteriak terlalu kencang, intinya dia itu sangaat menyebalkan!"Celoteh Dira panjang lebar.
"Benarkah? Se-menyebalkan itu kah pria itu?"
Dira mengangguk mantap.
"Ya! Benar benar me-" Dira menghentikan ucapannya begitu sadar bahwa yang barusan bertanya itu adalah suara berat khas pria bukan suara lembut milik Ying, Putri menelan ludahnya dan menatap Ying yang juga terlihat kikuk.
"Halilintar dibelakangmu." Begitulah kira kira yang Putri tangkap dari gerakan mulut Ying yang tak mengeluarkan suara sedikit pun, Dira menoleh perlahan ke belakang dan tersentak begitu mendapati seorang pria dengan kulit putihnya yang sedang berdiri dan menatap Dira sambil mengangkat kedua alisnya.
"Pantas saja dari tadi kupingku terasa panas, ternyata ada bibi yang sedang bergosip toh." Halilintar mengangguk anggukan kepalanya paham, sedangkan Putri masih shock dengan penampakan tiba tiba Halilintar itu.
"Ka..Kau sejak kapan disini?!"Tanya Dira akhirnya.
"Sejak kau bilang aku ini menyebalkan, mengambil cokelat yang kau berikan untuk Gempa, dan juga pelit."Jawab Halilintar sambil menatap Dira tajam.
Dira tercengang, namun gadis itu buru buru mengubur rasa takutnya, untuk apa takut pada Halilintar?
"Ooh." Hanya itu yang keluar dari mulut Dira, gadis itu lalu kembali menghadap ke depan dan melahap makanannya, Halilintar membelalakan matanya, tak percaya dengan reaksi singkat gadis itu.
"Gempa tidak suka pada gadis bodoh dan tukang gosip."Sindir Halilintar yang sukses membuat Dira berhenti memasukan roti bakar ke dalam mulutnya.
"APA? Maksudmu itu aku? Ya!"Teriak Dira karena Halilintar telah berjalan menjauh.
"Aargh. Dasar menyebalkan!"Gerutu Dira sambil mengetuk keras meja kantin membuat orang orang menatapnya heran, namun beberapa saat kemudian gadis itu terdiam begitu menyadari sesuatu.
"Tapi tunggu..kenapa Halilintar bisa tahu kalau aku menyukai Gempa?! Padahal selama ini tak ada yang mengetahuinya kecuali kau."Ujar Dira pelan pada Ying.
Ying mengangkat bahu, "Bukankah tadi kau yang bilang sendiri kalau kau yang memberikan cokelat pada Gempa waktu itu?"Tanya Ying yang sukses membuat Dira menepuk keningnya sendiri.
**Ve**
#skip_class
"Ying, lihat, dia tampan sekali kalau sedang tertidur begitu!"
Dira menggeser kertas yang barusan ditulisnya kepada Ying, walau sahabatnya itu duduk tepat disampingnya tapi tetap saja Dira tak bisa mengajaknya bicara karena sekarang adalah pelajaran Pak Amir, pelajaran si guru killer yang pendengarannya sangat tajam seperti layaknya kelelawar, bicara pelan saja bisa terdengar olehnya.
Dira melirik Gempa yang kini sedang tertidur, nekat sekali dia tidur pada saat jam pelajaran Pak Amir, beruntung saja di depannya ada Gopal, pria bertubuh besar yang otomatis menutupi badan Gempa, tapi pada saat tertidur pun bagi Dira pria itu tetap terlihat mempesona.
Posisi Gempa yang bersebelahan dengan Halilintar, membuat Dira otomatis melihat Halilintar juga, pria itu juga sama, ia sedang tertidur pulas layaknya Gempa sekarang, kompak sekali.
"Siapa? Halilintar?"
Dira melirik Ying datar begitu membaca balasan konyol Ying.
"Bukanlah! Tentu saja Gempa!"Ujar Dira kesal, ia langsung menutup mulutnya dan melirik cepat Pak Amir yang syukurnya kali ini tak mendengar ucapannya barusan, ia masih sibuk menulis rumus kimia yang bejibun di depan papan tulis dan selalu sukses membuat Dira mual.
Dira kembali menulis beberapa kata di kertas putih itu.
"Kau gila ya -_-, tentu saja Gempa! Lama lama aku bisa meleleh Ying, Bagaimana inii! ." Dira kembali menggeser surat itu sambil tersenyum senyum sendiri.
Ying membaca surat itu sambil menyipitkan sebelah matanya, dan memandang sahabatnya yang kini terlihat begitu berlebihan menurutnya.
"Aduh, kalau kau begitu menyukainya, kenapa tidak bilang saja sih?"
Dira membulatkan matanya begitu membaca balasan Ying yang kali ini menurutnya gila.
"Aih. Mana mungkin! Aku juga masih punya harga diri Ying!"' Dira kembali menyodorkan surat itu ke Ying.
Ying baru saja akan membalasnya kalau suara Pak Amir tak mengejutkannya dan membuatnya otomatis menghentikan gerakanya tangannya.
"Hei! Kalian berdua! Apa yang sedang kalian lakukan?"Bentak Pak Amir yang rupanya baru saja selesai menulis di papan dan kini ia menatap Ying dan Dira tajam.
Glek. Dira menelan ludahnya susah payah, siswa lainnya juga ikut tercengang, walau bukan mereka tersangkanya tapi tetap saja ini pasti akan berimbas pada mereka, suara keras Pak Amir itu membuat Gempa terbangun dari tidurnya, ia mengucek matanya dan menatap ke arah Pak Amir yang kini sedang melototi gadis bernama asli Stephannie itu, Gempa lalu tersenyum tipis, gadis itu selalu saja membuat masalah, tapi bagi Gempa itu yang membuat Dira terlihat lucu.
"Aduh. Lihat saja sih dia." Dira meringis.
Ying mendengus lalu melirik Dira dengan tatapan seolah menyalahkan Dira karena gadis itu mengajaknya surat suratan.
Pak Amir berjalan mendekat membuat kedua gadis itu saling melempar pandang panik, Ying buru buru memasukan kertas itu ke dalam laci mejanya.
"P-pak Amir, jangan diambil."Ujar Dira panik saat melihat Pak Amir memeriksa laci meja Ying dan mengambil secarik kertas disana.
"Masih jaman ya surat suratan begini? Kenapa tak sekalian membuat telepon kaleng saja?"Ledek Pak Amir, lalu pria paruh baya itu mulai membaca surat yang dipegangnya itu, Dira menelan ludahnya terlebih lagi saat melihat reaksi Pak Amir yang geleng geleng kepala saat membaca isi surat tersebut.
"Apa ada yang mau tahu isi surat ini?"Tanya Pak Amir begitu ia selesai membaca tulisan di atas kertas putih itu.
"Mau Pak Guru!"Teriak seisi kelas kompak.
"Tidak! Jangan Pak Guru!" Dira menggoyangkan kedua tangannya panik, ia lalu melirik ke arah Gempa yang ternyata sudah bangun dan kini pria itu tengah menatapnya dengan wajah imutnya, Dira meringis, bisa gawat kalau sampai dibacakan.
"Kalau begitu aku ingin meminta—ah Taufan, tolong bacakan surat ini untuk teman temanmu."Pinta Pak Amir pada Taufan, salah satu pria paling berisik di kelas, Dira bergidik ngeri, ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi pria itu begitu membaca kertas miliknya.
"Siap Pak Guru! Dengan senang hati."Sahut Taufan semangat, Dira mengacak rambutnya kesal lalu melirik Ying yang langsung mengangkat bahu, gadis itu sama sama panik seperti dirinya.
"Ah~ kalau disuruh begini aku semangat."Ujar Taufan sambil mengambil kertas yang ada di genggaman Pak Amir dan kini ia berjalan ke depan kelas.
Taufan menyusuri isi surat itu terlebih dahulu sebelum membacakannya di depan kelas.
"HUAHAHAHHA."Taufan tertawa lepas begitu selesai membaca isi surat itu, membuat semua orang menatapnya heran, kecuali Ying dan Dira yang kikuk setengah mati.
"Ais. Apanya yang lucu sih."Batin Dira kesal, Dira melototkan matanya begitu melihat Taufan yang tengah menatapnya sekarang dengan tatapan meledek.
"Baiklah semuanya, selamat siang, saya Taufan Bramesta Erlangga akan membacakan isi surat ini, tolong kalian dengarkan dengan seksama."Ucap Taufan sambil memasang wajah layaknya petinggi negara yang akan membacakan pidato.
"Pasti kalian akan kaget saat mendengar isi surat ini, siapa sangka seorang Stephannie Dinda Rafika, gadis berdarah indonesia- Jerman ternyata selama ini menyukai-" Taufan menggantungkan kalimatnya lalu menatap Dira yang kini sedang menggigit bibirnya, berusaha mengurangi kegugupannya sekarang.
"Halilintar Ferdiansyah Putera."
Deg. Halilintar? Dira melototkan matanya, dia bilang apa tadi? Halilintar? Kenapa bisa?
Dira melirik Ying yang kini tengah menunduk, rambut panjang gadis itu mentupi wajahnya hingga Dira tak bisa melihat bagaimana ekspresi Ying sekarang.
Dira kini menatap Gempa yang juga tengah menatapnya, entah apa maksud tatapan pria itu, tapi sepertinya ia terlihat.. shock, sama seperti anak anak lainnya.
"Hoi, Taufan! Ini tidak lucu!" Dira berusaha menghiraukan seisi kelas yang tengah menatapnya dengan berjuta tanda tanya di wajah mereka.
"Whoaa~ Dira..jadi selama ini kau suka pada Hali?!" Blaze menatap Dira sambil memasang wajah terkejut.
"Waaaa!" Sontak seisi kelas berteriak heboh, merasa ini moment yang begitu langka.
Sementara itu Halilintar terbangun dari tidurnya karena seseorang menepuk kencang tubuhnya, ia melirik sinis ke belakang dan mendapati Ice-si pelaku- yang sedang tersenyum penuh makna.
"Ada apa?"Tanya Sehun kesal karena tidurnya terganggu.
"Itu..Dira menulis surat cintaa untukmu!"Seru Ice penuh semangat.
"Surat..cinta?" Halilintar mengerutkan keningnya tak mengerti, ia lalu menoleh ke sekelilingnya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan tatapan yang kurang lebih sama seperti Ice.
"Aku serius, baiklah akan aku bacakan isinya." Ujar Taufan, ia lalu berdeham, dan kini seisi kelas-tak terkecuali Gempa dan Halilintar - memfokuskan perhatiannya pada Taufan.
"Halilintar Ferdiansyah Putera, tiga kata yang mampu membuat dadaku ini berdegup kencang hanya karena seseorang menyebut nama itu, wajahnya nyaris sempurna membuat kedua mataku tak bisa lepas dari sana, saat ia tersenyum aku tahu berjuta kupu kupu tengah terbang dalam perutku, selama ini aku bersikap seolah tak mempunyai perasaan apapun padamu, karena aku ragu apa kau juga punya perasaan yang sama padaku? Tapi..semakin lama rasa ini semakin besar, dan karena mu aku selalu bersemangat untuk berangkat ke sekolah, semua yang membuatku semangat adalah kau Halilintar,meski kau tak pernah menyadarinya, Aku mencintaimu.." Taufan mengucapkan kata demi kata dengan penuh pengkhayatan didukung oleh suasana kelas yang hening, semuanya fokus mendengarkan, kini mereka semua memandang Taufan tak percaya, beberapa dari mereka melirik Halilintar dan Dira.
Dira membulatkan matanya, merasa sangat aneh dengan apa yang baru saja diucapkan pria itu, kenapa tiba tiba isi suratnya berubah begitu?!
"Ahh Dira, selama ini kau selalu mengejek Halilintar, tapi nyatanya kau malah sangat menyukainya! Huh!" Amy akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Ape? Tidak! Hei! Taufan! Jangan berdusta!" Ujar Dira sedikit berteriak, ia mengepalkan tinjunya di udara dan menatap Taufan sesangar yang ia bisa.
"Siapa juga yang berdusta? Aku hanya membacakan apa yang tertera disini!"Ujar Taufan tak kalah ngotot.
"Jelas jelas bukan itu isinya!"Jawab Dira tak mau kalah, merasa sangat yakin kalau Taufan pasti mengubah isi suratnya.
"Tsk! Enak saja menuduhku sembarangan, Baiklah, kalau begitu-" Taufan meggantungkan ucapannya dan berjalan mendekati Halilintar yang sedari tadi tengah memperhatikannya.
"Coba kau baca."Lanjut Taufan sambil menyodorkan kertas yang dibacanya tadi, Halilintar menatap Taufan ragu namun ia menerima kertas itu.
Halilintar menggelengkan kepalanya dan menghela napas, pasti ini cuma candaan tak jelas Taufan saja.
Halilintar mulai membaca kertas itu , matanya menyusuri kata demi kata yang ada disana, ia lalu tercengang dan menatap Taufan yang kini seakan memasang wajah 'benar kan yang aku bilang?'
Dira mengerutkan kedua alisnya begitu mendapati raut wajah Halilintar yang membuat perasaannya tak enak.
"Apa ada yang masih tidak percaya? Lihat sendiri nih." Taufan menggoyangkan kertas yang dipegangnya di depan wajahnya, tanpa menunggu aba aba hampir setengah kelas langsung mengerubungi Taufan.
"Eh iya benar! Sama persis kok seperti yang Taufan bacakan!"
"Wah aku tak menyangka si Dira bisa juga buat kata kata romantis seperti ini."
"Huh dasar munafik, waktu itu dia bilang dia sangat kesal pada Halilintar, tapi tahunya! Ck."
Dira semakin menganga begitu mendengar lontaran dari teman temannya di depan sana, ia menoleh ke arah Halilintar begitu sudut matanya menangkap pria itu kini tengah menatapnya, dan memang benar, Halilintar kini tengah menatapnya heran, dan Dira rasa yang Taufan bacakan tadi memang benar.
"Ying, ayo lihat isi surat itu, kalau sampai si Taufan bohong awas saja, nanti akan ku rebus." Dira mencolek lengan Ying yang sedari tadi hanya diam, Ying menoleh dan menatap Dira, ia terdiam beberapa saat sampai akhirnya menggeleng.
"Maaf, perutku sedang sakit Dira, kau saja yang ke depan."Ujar Ying sambil memegangi perutnya.
"Sakit perut? Mau ku antar ke UKS?" Dira mengubah topik pembicaraannya, ia menatap Ying khawatir.
"Tidak perlu, nanti juga sembuh kok."Jawab Ying sambil tersenyum, menandakan ia akan segera baik baik saja, Dira terdiam beberapa saat sampai pada akhirnya ia mengangguk dan kini menatap ke depan, Dira menggigit bibir bawahnya, perasaanya benar benar tak enak, dengan berat ia memaksakan kakinya melangkah ke depan di iringi dengan tatapan dari anak sekelas seolah olah ia adalah miss universe atau apa.
"Sini aku mau lihat."Ujar Dira sambil mengulurkan tangannya,Taufan memberikan kertas itu sambil mencibir, kesal karena dituduh berbohong.
Dira membaca surat tersebut dengan matanya yang semakin membulat, ia mengerjapkan matanya berkali kali, siapa tahu ia sedang kelilipan sehingga bisa salah baca, tapi nyatanya isi surat itu memang sama persis dengan apa yang Taufan bacakan tadi.
"Nah, aku tak bohong kan nona Stephannie?"Ledek Taufan setelah melihat air muka Dira yang berubah, Dira menatap Taufan sengit, bagaimana bisa isinya 180 derajat berubah begini, jelas jelas ia tak pernah membuat surat romantis seperti ini, bahkan untuk Gempa sekali pun, karena pada dasarnya ia memang tak pandai membuat kata kata romantis.
Dira tercengang begitu menyadari suatu hal, ia sepertinya mengenal tulisan itu, Dira lalu kembali menatap tulisan tulisan yang terukir di sana, ya ia tahu ini tulisan siapa! Tulisan mungil dan dempet ini adalah milik Huang Zhi Ying, sahabatnya sendiri.
Dira menoleh cepat pada Ying yang juga tengah menatapnya, Ying yang terkejut karena Dira tiba tiba menatapnya langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, apa mungkin Ying yang menulisnya?
"Dira, kau ini diam diam ternyata secret admirernya Halilintar ya."Seru Melody yang langsung disusul oleh seruan tak jelas anak anak lainnya.
"Yak, ini jelas jelas bukan tulisanku!"Dira menatap teman temannya yang masih saja tersenyum penuh arti.
"Ah masa? Sudahlah jangan bohong, kalau begitu ini tulisan siapa?"Tanya Suzhy sambil tersenyum mengejek, Dira kembali memandang Ying yang kini memasang ekspresi panik.
"Itu tulisan.."Dira menggantungkan ucapannya, bingung harus berkata yang sejujurnya atau tidak.
Dira bimbang. Satu sisi ia yakin ini tulisan Ying. Tapi sisi lain mengatakan tidak. Mana mungkin sahabat saling menjatuhkan?
Dira bingung. Tapi akhirnya dia memutuskan...
.
.
.
.
Ini tulisan..
.
.
.
.
.
-TBC-
Fiuuhh... Selesai juga ngetik. Nah, gimana Minna-san? Ada yg masih nggak paham? Ok. Gini, jadi Dira adalah kamu! Iya, kamuu..Umm untuk pairing, masih dirahasiakan. Bolehriquest kok ^^ . Tokoh yang lain, bakalan muncul nanti. See you!
REVIEW PLEASE! HARGAILAH DAKU YG CAPEK NGETIK
Halilintar: Lebay deh ah
REVIEW ~~~**Ve**
