.
.
Mystic mesengger milik Cheritz
.
Warning; Typo and Rush
.
[ Untuk #SaeranWeek ber-prompt "Life In Paradise" ]
.
.
.
Tatkala gadis itu mulai menampakkan raut ketidakpercayaan saat mereka berdua saling bertatap wajah atau ketika kalimat-kalimat yang terucap mulai terasa dingin dan berjarak, Ray merasakan sebuah tikaman tak kasat mata di dadanya dan ia berusaha sekeras mungkin untuk mengabaikannya. Karena semua rasa sakit yang dirasakannya mengingatkan Ray pada hari kepergian si Rambut Merah, janji-janji palsu V, dan juga pada dirinya sendiri di masa lalu.
Sekuntum bunga kering yang telah dijanjikan Ray tempo hari tengah mengering saat gadis itu pergi meninggalkannya dan surga yang sudah Ray janjikan tanpa menoleh sedikit pun. Bersamaan dengan kepergiannya sosok itu, semua semangat dan harapan Ray pupus dalam satu malam.
Malam-malam berlalu dan Ray diselimuti kesedihan yang tak memiliki penawar.
Ketika matahari telah turun di ufuk, digantikan dengannya kepekatan malam, pemuda itu akan mendekati pintu kayu eboni dan mengetuknya dengan formal seakan sedang meminta izin pada keheningan. Selang beberapa detik ia akan masuk seraya memasang senyum dengan membawa harapan bahwa gadis pemilik kamar tempo hari akan menyambut dengan senyuman yang sama persis.
Namun yang menyambutnya hanya dingin dari udara malam dan aroma dari sebuket bunga yang teronggok bisu di tengah ranjang tak berpenghuni itu. Maka dengan perasaan sakit yang masih sama seperti malam-malam yang lalu, Ray akan duduk di bibir ranjang ditemani dengan cahaya bulan dan bunyi tonggeret yang bersahutan.
Terkadang cahaya bulan sering kali membentuk siluet gadis itu sebagai permainan mata yang sukses membuat perasaan pemuda itu campur aduk. Dan karena hal itu lah Ray betah berlama-lama di kamar itu hanya untuk menonton si gadis yang tubuhnya disebungi pendar tipis yang pudar itu membelai-belai kelopak anyelir merah di vas.
Tak jarang Ray mendapati pagi dalam keadaan jatuh tertidur di ranjang beraroma bebungaan yang bercampur dengan parfum si gadis yang kian samar baunya. Kemudian ia bangkit, dan sebelum keluar Ray selalu menyempatkan diri untuk menoleh masih dengan membawa harapan yang sama seperti kemarin malam.
Lalu ia keluar dan melanjutkan aktivitas kesehariannya dalam keadaan seakan-akan kobaran dalam dadanya padam dan hanya menyisakan kekosongan yang nyata.
.
.
Fin
.
.
