Pria berambut coklat gelap itu menatap seorang wanita di hadapannya dengan mata lelah. Matanya memerah, bukan karna habis menangis, tapi karena efek alkohol yang membuat pandangannya hampir berkunang-kunang. Wanita yang jaraknya terpisah dengan sebuah meja bundar tersebut, mendecak lelah dan mengusap-usap sudut matanya dengan frustasi.
"Percy.."
"Aku sudah tahu, Mom."
Sang ibu menoleh ke arah putra semata wayangnya yang kini memancarkan pandangan serius. Ia kembali mendecak, mengorek-orek isi tas hitam jinjing yang terpangku di atas pahanya, kemudian melempar beberapa lembar kertas ke atas meja dengan emosi. Percy sama sekali tidak bereaksi, tetap pada posisinya dan menatapi ibunya yang terengah karena emosi. "Ada apa denganmu sebenarnya, Percy?" tanya sang ibu.
Percy mengangkat bahunya dengan acuh lalu mengangkat alis tebalnya.
"Mom tidak mengerti."
"Aku tidak menyuruhmu untuk mengerti."
"Jangan membalas ucapanku!"
"Memangnya mengapa?"
Mata bulat wanita berdarah Yunani itu kian melebar dan memampang iris coklat daun gugurnya. Ia menghela nafas dengan tidak sabar kemudian berkata, "Baik-baik, Mom menyerah denganmu!"
Sang anak mengucek matanya dan menguap lelah. Sang ibu menunduk dan kembali mengaduk isi tasnya, lalu menaruh sepucuk surat di atas meja yang penuh oleh lembaran kertas. "Kini, Mom memberimu kesempatan-terakhir. Mau tak mau, kau harus mengikuti perintahku!"
"Haduh, perintah apa lagi, sih?"
Sang ibu belum mau menjawab. Ia merobek bagian atas sampul surat, mengeluarkan selipat kertas yang terselip di dalamnya, kemudian membentangkannya di atas meja. Percy mengerutkan dahinya dan melihat ke arah beberapa huruf kapital yang tercetak di atas kertas tersebut. "Mom akan memindahkanmu lagi. Kau. Pindah. Sekolah. Mom sudah lelah melihat kelakuanmu yang sangaaat berandalan. Kau berubah, Percy. Mana Percy-ku yang dulu? Yang selalu taat dengan perintah Mom dan selalu meraih peringkat teratas dalam pelajaran?"
Percy melotot dan memandang ibunya dengan pandangan marah. "Aku? Pindah sekolah, lagi? Astaga! Aku sudah bosan berpindah-pindah seko-"
"Itu salahmu!" bentak sang ibu dengan mata yang memerah. Lalu, ia buru-buru menghapus kasar air mata yang hendak jatuh ke pipinya.
"Salahku?" sahut Percy tidak terima. "Memangnya aku salah apa?"
"Jangan berpura-pura bodoh!"
"Aku memang tidak pintar!"
Sang ibu menutup wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya dan bahunya berguncang pelan. Percy yang melihat itu pun langsung berubah ekspresi, sepercik rasa kasihan menyetrum hatinya. Walaupun dia terkenal sebagai pembangkang, ia juga masih memiliki hati nurani.
"Mom..."
"Sudah!" Ibunya kembali membuka wajah dan air mukanya menjadi keras. Lantas, ia pun berdiri dari bangku meja makan dan menghela nafas. "Aku akan tetap memindahkanmu. Keputusanku tidak bisa dielak lagi! Aku ingin Percy-ku yang dulu kembali."
Dan setelah berbicara seperti itu, sang ibu berlalu dengan cepat, menaiki tangga, dan menghilang di balik pintu kamarnya. Percy pun tertegun di tempatnya, merenungi kata-kata ibunya yang terus berputar di otaknya. Aku ingin Percy-ku yang dulu kembali. Kalimat itu terus terulang-ulang, beratus-ratus kali, mungkin ribuan kali dalam menit-menitnya.
Namun, ia mendecak yang seketika membuyarkan pikirannya mengenai kata-kata tersebut. Percy menaruh kedua sikunya di atas meja, menyipitkan mata, dan melihat selembar surat tersebut.
"Asrama.. Bradford?" ucapnya, mengeja. Beberapa detik kemudian, matanya membulat lebar. "W-what..the.. ASRAMA?!"
***
