Bahaya
Disclaimer :
Naruto © Masashi kishimoto
Based on story by Agatha Christie
Warning : AU, OOC, Miss Typo, And Other.
Rated : Teen
Genre : Mystery, Crime, And Bit Romance.
Summary : Uzumaki Nagato selalu merasa ada bahaya disekitarnya, tapi Ia tak tahu bahaya macam apa yang akan datang, terlebih lagi Ia malah mencintai Istri sahabatnya, Apakah itu bahaya yang dimaksud Perasaannya?
"WAH, mendebarkan sekali," kata Shion gadis berambut pirang pucat yang panjang, gadis itu cantik, sambil membuka kedua matanya yang indah namun agak kosong itu lebar-lebar. "Orang sering bilang, wanita punya indra keenam, menurut Anda, benarkah itu, Tuan Orochimaru?"
Ahli jiwa terkenal itu tersenyum sinis. Ia sangat tak suka pada tipe seperti Nona Shion ini, cantik tapi bodoh. Orochimaru adalah ahlinya dalam bidang penyakit mental, dan ia sadar betul akan posisi serta arti penting dirinya. Ia pria yang agak sombong.
"Banyak orang suka bicara yang tidak-tidak, Nona Shion. Apa maksudnya itu indra keenam?"
"Kalian, para ilmuwan, selalu sinis. Padahal kadang orang benar-benar bisa punya firasat tajam tentang sesuatu, cuma tahu, merasakan, maksudku aneh sekali sungguh aneh. Konan mengerti maksudku kan?, bukan begitu, Konan?"
Shion bertanya pada nyonya rumahnya dengan bibir agak cemberut dan bahu dimiringkan.
Konan tidak segera menjawab. Acara makan malam kecil itu hanya dihadiri oleh ia dan suaminya Pain, serta Shion, Tuan Orochimaru, dan keponakannya, Uzumaki Nagato, yang juga teman lama Pain. Pain sendiri adalah seorang pria bertubuh kekar dengan wajah penuh tindikan yang mengingatkannya pada Preman pasar tetapi Pain memiliki tawa yang menyenangkan dan baik hati. Pain yang menjawab ucapan Shion.
"Omong kosong, Shion. Teman baikmu itu tewas dalam kecelakaan kereta api. Tapi kau lantas teringat mimpimu tentang kucing hitam pada hari Selasa yang lalu, hebat sekali, lalu kaupikir itu memang pertanda sesuatu bakal terjadi!"
"Oh, tidak, Pain, kau mencampuradukkan pertanda dengan intuisi. Ayolah, Tuan Orochimaru, tentunya Anda mengakui bahwa yang namanya pertanda itu memang ada?"
"Barangkali ya, sampai batas tertentu," Orochimaru mengakui dengan hati-hati. "Tapi banyak juga yang terjadi hanya karena kebetulan belaka, tapi lalu orang cenderung melebih-lebihkan ceritanya, itu juga mesti diperhitungkan."
"Menurutku tidak ada yang namanya pertanda itu," kata Konan dengan agak tergesa gesa. "Atau intuisi, indra keenam, atau apa pun yang kita bicarakan dengan sangat fasih ini. Kita menjalani hidup seperti kereta api yang melaju dalam kegelapan, ke tujuan yang tidak diketahui."
"Itu bukan persamaan yang tepat, Konan," kata Nagato yang mengangkat kepalanya untuk pertama kali dan ikut ambil bagian dalam pembicaraan tersebut. Ada binar-binar aneh di matanya yang jernih, yang tampak mencolok dari Nagato adalah mata sebelahnya yang tertutupi rambut merahnya yang mencolok. "Anda lupa akan tanda-tandanya."
"Tanda-tanda?"
" Ya, hijau kalau aman-aman saja dan merah kalau ada bahaya!"
"Merah kalau ada bahaya sungguh mendebarkan!" kata Shion dengan mendesah.
Nagato memalingkan muka darinya dengan agak tak sabar.
"Itu cuma perumpamaan tentunya. Ada bahaya di depan! Tanda merah! Hati-hati!"
Pain menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Kau berbicara seakan-akan dari pengalamanmu sendiri, Nagato, Sobatku."
"Memang pernah terjadi padaku, maksudku."
"Coba ceritakan."
"Aku bisa memberikan satu contoh. Di pedalaman hutan Iwagakure, tepat setelah berburu, aku masuk ke tendaku pada suatu malam, dengan perasaan was-was. Ada bahaya! Waspadalah! Aku sama sekali tidak mengerti, ada apa sebenarnya. Aku memeriksa area itu, sibuk sana sini, berjaga-jaga kalau-kalau ada serangan dari hewan buas atau orang-orang Pedalaman Iwagakure itu yang tak senang kalau ada orang asing yang singgah di tempat mereka itu. Lalu aku kembali ke tendaku. Begitu aku masuk ke dalam, perasaan itu muncul lagi, lebih kuat malah. Ada bahaya! Akhirnya aku mengambil selimut dan tidur di luar, agak tersembunyi dari tenda dan sekiranya aman dari hewan buas."
"Lalu?" sahut Shion tak sabar.
"Keesokan paginya, waktu aku masuk ke tenda, yang pertama kulihat adalah sebilah pisau panjang sekitar setengah meter menancap di tempat tidurku, persis di tempat aku mestinya berbaring. Apa pendapat Anda Paman Orochimaru atas peristiwa itu? Menurutku itu contoh dari tanda bahaya yang muncul sebelum suatu peristiwa terjadi."
Orochimaru tersenyum tanpa menyatakan pendapat.
"Kisah yang sangat menarik, Nagato."
"Tapi Paman tidak mengiyakan bahwa itu memang suatu sinyal tanda bahaya?"
"Ya, ya, aku tidak ragu bahwa kau mendapat pertanda, seperti yang kaukatakan itu. Tapi yang kupermasalahkan adalah asal-usul pertanda itu. Menurutmu, pertanda itu datangnya dari luar, muncul dari suatu sumber di luar dirimu. Tapi pada zaman ini kita menemukan bahwa hampir segala sesuatu berasal dari dalam diri kita sendiri, dari alam bawah sadar kita."
"Alam bawah sadar!," seru Pain. "Sekarang apa-apa dikaitkan dengan alam bawah sadar."
Orochimaru melanjutkan, tanpa menghiraukan komentar tersebut.
"Menurut pendapatku, entah bagaimana orang Pedalaman ini telah membuat dirinya ketahuan. Alam sadarmu tidak memperhatikan ataupun mengingat, tapi tidak demikian halnya dengan alam bawah sadarmu. Alam bawah sadar tak pernah lupa. Kita juga percaya bahwa alam bawah sadar itu bisa berpikir dan mengambil kesimpulan secara terpisah sama sekali dari kesadaran yang lebih tinggi. Maka alam bawah sadarmu yakin bahwa ada usaha untuk membunuhmu, dan dia berhasil menanamkan rasa takutnya pada alam sadarmu."
"Kuakui, itu kedengarannya sangat meyakinkan," kata Nagato dengan tersenyum.
"Tapi itu tidak terlalu mendebarkan," Shion menimpali dengan bibir cemberut.
"Mungkin juga alam bawah sadarmu menyadari kebencian orang itu terhadapmu. Dulu kita mengenal apa yang disebut telepati, dan itu benar-benar ada, walaupun kondisi-kondisi yang mengaturnya sangat sedikit dipahami."
"Apa pernah ada peristiwa-peristiwa lain yang bisa dijadikan contoh?" tanya Konan pada Nagato.
"Oh, ya, tapi tidak terlalu mengesankan dan kurasa bisa dijelaskan sebagai peristiwa kebetulan belaka. Aku pernah menolak undangan ke sebuah rumah pedesaan hanya karena perasaanku tidak enak. Rumah itu ternyata terbakar. Omong-omong, Paman Orochimaru di mana peran alam bawah sadar dalam kasus ini?"
"Kurasa tidak ada," kata Orochimaru tersenyum.
"Tapi pasti ada penjelasan yang sama bagusnya. Ayolah. Tidak perlu terlalu berhati-hati terhadap keponakan sendiri."
"Yah, baiklah, keponakanku, menurut pendapatku, kau menolak undangan itu cuma karena kau tidak terlalu berminat pergi saja, dan setelah peristiwa kebakaran itu, kau menganggap dirimu telah diberi peringatan sebelumnya, dan sekarang kau percaya penuh bahwa itulah yang terjadi."
"Payah," Nagato tertawa. "Paman selalu menang ".
"Tak apa-apa, Nagato," seru Shion. "Saya percaya sepenuhnya dengan teori tanda bahaya Anda. Apa peristiwa di hutan Iwagakure itu, terakhir kali Anda mendapat perasaan demikian?"
"Ya... sampai..." Nagato tiba-tiba terdiam.
"Maaf"
"Tidak ada apa-apa."
Nagato duduk diam. Tadi ia hampir saja mengucapkan, 'Ya... sampai malam ini.' Kata-kata itu melompat begitu saja di mulutnya, menyuarakan pikiran yang sebelumnya tidak muncul secara sadar, tapi ia langsung menyadari bahwa itu benar. Tanda bahaya itu muncul dari tengah kegelapan. Ada bahaya. Ada bahaya di depan mata.
'Tapi kenapa? Bahaya apa yang mungkin terjadi di sini? Di rumah teman-temannya ini?' Setidaknya... ya, memang ada satu bahaya. Ia menatap Konan, kulitnya yang putih, tubuhnya yang ramping, kepalanya yang tertunduk halus dengan rambut indahnya yang biru. Tapi bahaya itu memang sudah beberapa lama ada dan rasanya tak mungkin berkembang menjadi besar. Sebab Pain adalah sahabat baiknya, bahkan lebih dari itu. Pain telah menyelamatkan nyawanya disaat berburu, memang berburu adalah hobinya di masa lalu. Pain orang yang baik, salah satu yang terbaik. Sungguh sial bahwa ia jatuh cinta pada istri Pain. Tapi suatu hari nanti ia pasti bisa mengatasi perasaannya. Hal seperti ini takkan selamanya menyakitkan. Perasaan ini kelak akan sirna juga, Ya, sirna. Konan sendiri rasanya takkan pernah menduga dan kalaupun ia menduganya, tak mungkin ia akan menghiraukan. Konan bagaikan sebuah patung, patung yang indah, bagai boneka untuk seorang raja, bukan seorang wanita yang hidup dan nyata.
'Konan... menyebutkan namanya dalam hati pun sudah membuat Nagato terluka... ia mesti mengatasi perasaannya. Ia sudah pernah jatuh cinta... Tapi tidak seperti ini!' kata sesuatu dalam hatinya. 'Tidak seperti ini.' Yah, begitulah. Tidak ada bahaya, hanya patah hati, tapi bukan bahaya. Bukan bahaya seperti yang dimunculkan Sinyal Merah itu. Itu untuk hal lain lagi.
Nagato melayangkan pandang ke seputar meja, dan untuk pertama kali ia menyadari bahwa tamu-tamu yang hadir kali ini agak tidak biasa. Pamannya misalnya, jarang sekali mau menghadiri acara makan malam kecil yang tidak formal seperti ini. Suami-istri Pain memang teman lama, tapi baru malam ini Nagato menyadari bahwa ia sama sekali tidak 'mengenal' mereka.
Tapi ada satu alasan untuk acara kali ini. Seorang pemanggil arwah yang cukup terkenal akan datang untuk mengadakan pemanggilan arwah sesudah makan malam. Orochimaru mengatakan agak tertarik pada spiritualisme. Ya, jelas itu suatu alasan saja.
Alasan Nagato mau tak mau jadi menaruh perhatian pada kata itu. Apakah acara pemanggilan arwah ini sekadar alasan supaya kehadiran pamannya pada makan malam ini terasa wajar? Kalau iya, apa sebenarnya tujuan pamannya berada di sini? Berbagai detail menyerbu ke dalam pikiran Nagato, hal-hal kecil yang sebelumnya tidak diperhatikan, atau, seperti kata pamannya, tidak diperhatikan oleh pikiran sadar.
Orochimaru sejak tadi menatap Konan dengan pandangan sangat aneh, lebih dari sekali. Ia seperti tengah mengawasi wanita itu. Konan tampak gelisah mendapatkan tatapan tajamnya. Sesekali kedua tangannya bergerak-gerak gugup. Ia memang gugup, amat sangat gugup, dan... ketakutan. Mungkinkah itu? Kenapa Konan ketakutan?
Nagato tersentak dan kembali pada percakapan yang sedang berlangsung di seputar meja. Shion telah berhasil membuat Orochimaru bicara tentang bidang yang paling dikuasainya.
"Nona Shion yang baik," katanya. "apa sebenarnya kegilaan itu? Saya bisa meyakinkan Anda bahwa semakin dipelajari, semakin sulit kita mengucapkan kata itu. Kita semua, sampai tingkat tertentu, suka membohongi diri sendiri, dan kalau kita sampai keterlaluan mempraktekkannya, misalnya kita jadi yakin bahwa kita adalah seorang penguasa dunia, maka kita akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi jalan yang mesti ditempuh sebelum mencapai titik itu, panjang sekali. Sampai sejauh mana kita menyusuri jalan itu sebelum kita membuat garis batas dan berkata, 'Di sisi ini adalah kewarasan, dan di sisi sana itu kegilaan'? Itu tidak bisa dilakukan. Kalau orang yang menderita delusi menyembunyikan keadaannya, kemungkinan besar kita tidak akan bisa membedakan dia dari orang yang normal. Kewarasan yang luar biasa dalam diri orang sinting merupakan subjek yang sangat menarik."
Orochimaru menyicip anggurnya perlahan-lahan, lalu menatap yang lainnya dengan berseri-seri.
"Saya dengar mereka itu sangat cerdik," kata Shion. "Maksud saya, orang-orang sinting itu."
"Memang. Dan sering kali menekan delusi tertentu bisa sangat berbahaya. Segala sesuatu yang ditekan bisa berbahaya, seperti diajarkan dalam psikoanalisis. Orang yang punya sifat eksentrik, yang tidak berbahaya, dan tidak perlu menyembunyikannya, jarang melewati garis batas kewarasan. Tapi laki-laki…" Orochimaru diam sejenak, "atau wanita yang kelihatannya sepenuhnya normal, bisa saja sebenarnya merupakan sumber bahaya yang sangat besar bagi masyarakat." Perlahan tatapan ularnya bergerak ke arah Konan, lalu beralih lagi. Ia menyicip anggurnya sekali lagi.
Rasa takut yang amat sangat mengguncang diri Nagato. Itukah yang dimaksud pamannya? Itukah yang hendak dikatakannya? Mustahil, tapi...
"Dan semuanya akibat menahan-nahan kecenderungan itu," desah Shion. "Saya mengerti, orang mesti sangat hati-hati dan mesti selalu... selalu mengekspresikan kepribadiannya. Menakutkan, akibat yang ditimbulkan oleh menahan-nahan diri itu."
"Nona Shion" kata Orochimaru dengan sungguh-sungguh. "Anda salah memahami ucapan saya. Penyebab kecenderungan itu ada dalam otak semata-mata, kadang-kadang timbul akibat sebab-sebab dari luar, misalnya kepala yang terbentur, kadang-kadang juga karena bawaan."
"Penyakit bawaan memang sangat menyedihkan," desah Shion pelan. "TBC dan sebagainya."
"TBC bukan penyakit keturunan," kata Orochimaru dengan nada datar.
"Masa? Saya pikir penyakit keturunan. Tapi kegilaan bisa diturunkan! Mengerikan sekali. Apa lagi?"
"Encok " kata Orochimaru sambil tersenyum. "Dan buta warna, ini cukup menarik. Buta warna diturunkan langsung ke laki-laki, tapi hanya berupa bawaan pada wanita. Jadi, tidak aneh kalau banyak laki-laki yang buta warna, tapi seorang wanita yang buta warna, berarti ibunya mempunyai bawaan itu, dan ayahnya juga mengalaminya agak tidak biasa. Itu yang disebut hereditas yang terbatas pada jenis kelamin."
"Menarik sekali. Tapi kegilaan tidak seperti itu bukan?"
"Kegilaan bisa diturunkan pada laki laki dan wanita dalam tingkat yang sama," kata Orochimaru dengan sungguh-sungguh.
Konan bangkit berdiri dengan tiba-tiba, mendorong kursinya begitu mendadak, hingga kursi itu terjungkal jatuh. Ia tampak sangat pucat, dan gerakan gugup jemarinya sangat kentara.
"Anda... Anda tidak akan lama, bukan?" pintanya pada Orochimaru. "Sebentar lagi Mr. Kakuzu datang."
"Segelas anggur lagi, dan saya akan bergabung dengan Anda." kata Orochimaru. "Bukankah saya kemari untuk melihat penampilan Mr. Kakuzu yang menakjubkan ini? Ha ha! Saya tidak perlu didorong-dorong." Ia membungkukkan badan.
Konan tersenyum samar, lalu keluar dari ruangan tersebut, tangannya menyentuh bahu Shion.
"Rasanya saya sudah terlalu banyak bicara tentang pekerjaan," kata Orochimaru sambil duduk kembali. "Maafkan Saya Sobat."
"Tidak apa-apa." kata Pain tak acuh
Pain tampak tegang dan cemas. Untuk pertama kalinya Nagato merasa asing terhadap temannya itu. Di antara dua orang ini ada rahasia yang bahkan tidak bakal dibicarakan di antara dua teman lama, namun keseluruhan urusan ini sangat fantastis dan luar biasa.
Apa yang bisa dijadikan pijakan? Tak ada, selain beberapa tatapan dan kegugupan seorang wanita.
Mereka minum anggur berlama-lama, tapi tidak memakan banyak waktu, lalu beranjak ke ruang duduk tepat saat kedatangan Mr. Kakuzu diumumkan.
Medium itu seorang Pria, Nagato tak bisa menentukan umurnya sebab Pria itu memakai masker hampir menutupi seluruh wajahnya kecuali matanya yang hijau itu bersinar, perawakan pria itu jangkung memakai jubah hitam panjang dan tinggi sampai mencapai leher Pria itu, jubahnya bermotif awan merah, dan suaranya yang serius itu terdengar misterius.
"Mudah mudahan saya tidak terlambat, Nyonya," katanya serius. "Anda bilang jam sembilan, bukan?"
"Anda sangat tepat waktu, Mr. Kakuzu," kata Konan dengan suaranya yang manis dan agak serak itu. "Inilah tamu-tamu kita malam ini."
Tidak ada perkenalan lebih lanjut, seperti rupanya sudah menjadi kebiasaan. Sang medium menyapukan pandangan tajam dan licik pada mereka semua.
"Mudah-mudahan hasilnya bagus," katanya tegas. "Saya sangat tak senang kalau tidak bisa memberikan kepuasan pada klien saya. Saya menjadi marah. Tapi saya rasa Hidan sang roh pengendali Saya, bisa tampil dengan baik malam ini. Saya merasa sangat sehat" kata Mr. Kakuzu.
Nagato mendengarnya dengan setengah geli setengah muak. Betapa menjemukan semua ini! Tapi, tidakkah ia telah memberikan penilaiannya secara sembrono? Bagaimanapun, segala sesuatunya bersifat alami, kekuatan-kekuatan yang konon dimiliki para medium adalah kekuatan-kekuatan alami, yang hingga kini belum dipahami sepenuhnya. Seorang ahli bedah hebat bisa saja sakit perut menjelang akan melakukan operasi yang sulit. Kenapa Mr. Kakuzu tidak?
Kursi-kursi diatur membentuk lingkaran, lampu-lampu juga, sehingga bisa ditambah atau dikurangi cahayanya, sesuai kebutuhan. Nagato memperhatikan bahwa tidak ada pertanyaan tentang kesahihan demonstrasi ini, dan Orochimaru juga tidak mempertanyakan syarat-syarat untuk mengadakan pemanggilan arwah ini. Tidak, urusan dengan Mr. Kakuzu ini cuma alasan belaka. Orochimaru ada di sini untuk tujuan lain sepenuhnya. Nagato ingat, ibu Konan telah meninggal di luar negeri. Ada sekelumit misteri yang menyelimutinya. Sakit keturunan...
Nagato tersentak dan berusaha memfokuskan kembali pikirannya pada keadaan sekelilingnya saat ini.
Setiap orang mengambil tempat masing-masing, dan lampu-lampu dimatikan. Hanya sebuah lampu merah kecil bertudung yang dibiarkan menyala di meja yang agak jauh.
Sesaat tidak terdengar apa-apa, kecuali suara napas pelan dan teratur dari sang medium. Lambat laun napasnya jadi semakin keras. Kemudian, dengan sangat mendadak terdengar ketukan keras dari ujung ruangan, yang membuat Nagato terlompat kaget. Suara itu terdengar lagi dari sisi ruangan yang lain. Kemudian menyusul serangkaian ketukan yang makin lama makin keras. Setelah ketukan-ketukan itu menghilang, sebuah tawa mengejek bernada tinggi mendadak terdengar di seantero ruangan. Lalu hening, dipecahkan oleh suara yang sama sekali tidak seperti suara Mr. Kakuzu. Suara ini melengking nadanya naik turun samar-samar.
"Aku ada di sini, Saudara saudara!," kata suara itu. "Ya, aku ada di sini. Anda sekalian mau bertanya?"
"Siapa kau? Hidan?"
"Ya. Aku Hidan. Aku meninggal dunia lama berselang. Aku bekerja. Aku sangat bahagia."
Selanjutnya menyusul detail-detail lebih lanjut tentang kehidupan Hidan. Kisahnya sangat biasa-biasa saja dan tidak menarik, dan Nagato sudah sering mendengarnya. Semua orang bahagia, sangat bahagia. Ada pesan-pesan dari kerabat-kerabat yang cuma digambarkan samar-samar, penggambarannya pun begitu luas, hingga bisa sesuai hampir dengan siapa saja. Seorang wanita tua, ibu dari salah seorang yang hadir, menguasai pertemuan selama beberapa saat, menyebutkan pepatah-pepatah dengan gaya yang baru dan menyegarkan, yang sama sekali berlawanan dengan subjek yang dibicarakan.
"Seseorang ingin bicara sekarang," Hidan mengumumkan. "Dia punya pesan yang sangat penting untuk salah seorang tuan di sini."
Hening sejenak, kemudian sebuah suara baru berbicara, diawali dengan tawa jahat kesetanan.
"Ha ha! Ha ha ha! Sebaiknya jangan pulang. Sebaiknya jangan pulang. Turuti nasihatku." seru Suara itu.
"Kau berbicara pada siapa?" tanya Pain .
"Salah satu dari kalian bertiga. Aku tidak akan pulang ke rumah, kalau aku jadi dia. Bahaya! Darah! Tidak terlalu banyak darah tapi cukup banyak. Tidak. Jangan pulang." Lalu suara itu semakin pelan. "Jangan pulang!" ujar Suara itu.
Dan akhirnya suara itu lenyap sepenuhnya. Nagato merasa merinding. Ia yakin peringatan itu ditujukan pada dirinya. Entah bagaimana, ada bahaya mengancamnya malam ini.
Terdengar desahan dari mulut sang medium, disusul dengan erangan. Ia mulai sadar. Lampu-lampu dinyalakan dan akhirnya sang medium duduk tegak, matanya berkedip-kedip sedikit.
"Bagus hasilnya? Saya harap begitu."
"Sangat bagus, terima kasih, Mr. Kakuzu."
"Hidan yang datang?"
"Ya, dan beberapa lainnya."
Mr. Kakuzu memejamkan mata.
"Saya capek sekali. Tenaga saya benar-benar terkuras. Begitulah kegiatan seperti ini. Yah, saya senang semuanya berjalan dengan sukses. Saya agak takut kalau-kalau tidak memuaskan, takut sesuatu yang tidak menyenangkan bakal terjadi. Ada yang aneh rasanya di ruangan ini malam ini."
Mr. Kakazu menoleh ke balik bahunya bergantian, lalu angkat bahu dengan tidak nyaman.
"Saya merasa tidak nyaman," katanya. "Ada yang mengalami kematian mendadak di antara Anda sekalian belakangan ini?"
"Apa maksud Anda... di antara kami?"
"Kerabat dekat... teman-teman dekat? Tidak ada? Yah, kalau saya ingin bersikap melodramatis, saya merasa ada kematian tercium di udara malam ini. Aah, cuma pikiran saya saja yang tidak masuk akal. Selamat malam, Nyonya Konan. Saya senang Anda merasa puas."
Lalu Mr. Kakuzu yang mengenakan jubah hitam panjang bermotif awan merah itu, berjalan keluar.
"Saya harap Anda tertarik, Tuan Orochimaru," kata Konan pelan.
"Malam yang sangat menarik, nyonya yang baik. Terima kasih banyak atas kesempatan ini. Izinkan saya mengucapkan selamat malam. Kalian semua akan pergi berdansa, bukan?"
"Apa Anda tidak ikut dengan kami?"
"Tidak, tidak. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk tidur pada jam setengah dua belas. Selamat malam. Selamat malam, Nona Shion. Ah! Nagato, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bisakah kau ikut denganku sekarang? Kau bisa bergabung dengan yang lainnya di Galleries pusat kota Ame nanti." kata Orochimaru.
"Tentu, Paman." jawab Nagato. "Aku nanti menyusul Pain." sahutnya cepat pada Pain.
To be continued
Continue or not?
Review?
