HAAAIII Kenalin saya author baru!
Ini fanfic Mpreg yg pertama saya post, hope you like it! ;)
Beberapa hal di film ada yg saya ubah disini, misalnya ruangan2 di apartemen Dylan. Mohon maklum ya...
Enjoy yaaaa...! :D
"Oh god, Davey." Dylan refleks memegang perutnya, melontarkan kata demi kata yang menunjukkan betapa sakit abdomennya sembari mengerang dan menengadah dengan mata tertutup. Beberapa hari terakhir ini Davey mulai menampakkan sisi brutalnya. Ia begitu keras menumbuk organ dalam Dylan tanpa ampun. Ia tak pernah diam, bahkan saat Dylan menjalankan tugasnya. Davey sering kali mengganggu konsentrasi Dylan yang membuat tembakan pria jangkung itu meleset jauh. Dylan mengusap halus perutnya, berusaha menenangkan Davey yang berjingkrak di dalam sana. Dylan tak pernah peduli dengan kejadian itu, kejadian yang menghasilkan Davey. Mungkin ini karma. Salahkan Dylan kenapa ia menembak mati orang yang telah menanam Davey di dalam tubuhnya. Jadilah dia harus menanggung perbuatannya dengan Davey yang akan datang dalam hidupnya dalam beberapa bulan kedepan. Dylan mendengus, memikirkan betapa brengseknya vampir satu itu. Bisa-bisanya vampir itu melabrak Dylan yang terkapar lemas dan menyeretnya ke– Tidak. Tidak. Dylan tak ingin kejadian itu terputar lagi di dalam kepalanya. Lupakan itu, Dylan.
Entah dengan alasan apa dia menamakan bayinya Davey. Sebutan itu terbesit begitu saja di benaknya saat Marcus tengah menikmati burger ala zombie-nya di restoran. Kala itu Marcus menanyakan ia ingin memberi nama apa untuk anaknya. Ia menatap keluar jendela, mengabaikan tatapan penasaran Elizabeth sementara Marcus menggigit burgernya. Selusin detik berikutnya kata Davey keluar dari mulutnya bahkan sebelum ia menyadarinya. Dylan cepat-cepat menambahkan kalau nama panggilan itu untuk sementara saja, menunduk dengan wajah memerah. Tapi nampaknya Dylan sudah nyaman memanggil bayinya dengan sebutan Davey.
Norton, teman baiknya yang juga dokter kandungan pribadinya, telah memberitahunya perihal jenis kelamin bayinya. Norton mengatakan bahwa Dylan mengandung bayi perempuan. Dylan diam sesaat, bertanya-tanya mengapa bayi perempuan dikandungannya itu bisa sebegitu aktifnya. Jujur saja, sebenarnya Dylan menginginkan anak laki-laki. Maka dari itu ia selalu menyebut Davey dengan kata ganti laki-laki. Hati kecilnya berharap nanti ia akan melahirkan bayi laki-laki sehat nan sempurna dengan mata berwarna cokelat. Warna matanya.
Dylan tidak tahu Davey akan terlahir sebagai apa, entah manusia atau mungkin vampir. Atau bisa juga sebagai keduanya, setengah manusia, setengah vampir. Sebagai penapas berkulit pucat. Dylan tidak ingin Davey terlahir sebagai vampir. Karena artinya Davey tidak bisa tumbuh dan berkembang, selamanya menjadi bayi yang baru lahir. Itu mengerikan sekali jika sampai terjadi. Selain Dylan akan menghadapi resiko pertaruhan nyawa demi melahirkan Davey yang jauh lebih besar, Ia juga tidak akan melihat Davey berjalan dan memanggilnya 'Daddy', itupun kalau dia berhasil bertahan hidup. Dylan bergidik ngeri memikirkan itu.
Pria berambut hitam pekat itu mengangkat tubuhnya dari posisi menyandarnya di sofa, meraih gelas bening berisikan susu hamil hangat rasa vanila di meja bundar kecil samping sofa tanpa mengalihkan pandangannya dari TV. Marcus dan Elizabeth ngotot membelikannya susu macam itu untuknya sejak tiga bulan lalu. Mereka tambah ngotot membelikannya berbagai macam sayuran dan buah segar untuknya saat mereka mendengar saran Norton agar Dylan mengkonsumsi makanan bervitamin–Dylan langsung mengucapkan sumpah-serapah pada Norton. Dylan awalnya menolak mentah-mentah ide itu. Tapi apa daya, sekarang ia hanya bisa pasrah. Seberapa menyiksanya ini, Dylan melakukannya semata-mata hanya untuk Davey.
Dylan juga sudah menyiapkan perlengkapan untuk Davey sejak 10 minggu masa kandungannya. Perlengkapan itu sekarang sudah sebagian besar ia siapkan. Segala perlengkapan itu ditempatkan di ruangan yang tadinya ia gunakan untuk menaruh senjata-senjatanya. Cukup gila memang, menempatkan perlengkapan bayi di ruangan bekas senjata. Tapi hanya ruangan itu yang Dylan punya untuk menaruh boks tidur bayi yang ia rangkai dengan tangannya sendiri, walau kamar itu lebih kecil dari milik Dylan. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ruangan bercat biru pastel itu menghadap cahaya matahari pagi. Dylan sudah memaku dua rak setengah meter untuk boneka yang dibelikan Elizabeth dan untuk buku novelnya yang sering kali ia bacakan untuk Davey. Dylan juga sudah membeli kereta bayi, popok kain, popok sekali pakai, celemek, selimut bayi, botol susu, dan empat setel pakaian bayi berwarna hijau dan putih. Dylan hanya membeli empat setel pakaian karena ia belum yakin dengan Norton yang mengatakan bahwa Davey adalah perempuan. Kalau Dylan membeli selusin pakaian bayi berwarna merah muda dan ternyata Davey lahir sebagai laki-laki, mau diapakan selusin baju itu? Dibakar lalu ia beli yang baru? Dylan memilihkan warna hijau dan putih karena ia berpikir warna itu netral untuk bayi. Senjata-senjata miliknya dia simpan di balik papan kayu di bawah meja kerjanya, tempat ia meletakan barang-barang gila untuk kewajibannya. Senjata mulai dari belati, SS-2, 50 C Night Hawk, shotgun, sampai TDI Vector ia tempatkan di balik papan kayu yang ia sebut dengan 'coopery' itu.
Klik. Kenop pintu apatemen Dylan terbuka dan nampaklah sesosok pria dengan topi lusuh. "Hei, Dylan. How do you feel?" Ucap pria itu, menggantungkan topinya di gantungan sebelah pintu masuk dan menghampiri Dylan yang sedang menyesap susunya di depan TV.
"Entahlah, Marcus. Davey tak berhenti menyodok ususku, bahkan saat para werewolf sudah terlelap," Balas Dylan apa adanya. Ia mengalihkan tatapannya dari layar TV tuanya ke Marcus, tersenyum pada pria yang sudah mati itu.
"Hei, how long are you, Dylan? Bukankah belum menginjak 7 bulan? Kenapa Davey bisa seaktif itu? Apa itu normal?" Marcus nyerocos khawatir. Ia duduk di sebelah Dylan.
"Oh, god, Marcus, kapan terakhir kau gunakan pembersih lantai untuk tubuhmu?" Protes Dylan. Ia mendorong tubuh bau Marcus menjauh darinya. Ia menatap Marcus sebal. "Ambil parfumku di meja, pakai di setiap sudut tubuhmu." Kata Dylan yang lebih mirip perintah. "Kalau memang perlu, habiskan saja." Ini memang tak biasanya. Sebelumnya Dylan selalu tahan dengan bau zombie yang sebusuk apapun. Hamil seakan membuatnya kembali jadi manusia awam.
Marcus menuruti Dylan. Ia menyemprotkan hampir setengah dari isi parfum Dylan yang tersisa, "Dylan, how long is your pregnancy?" Tanya Marcus lagi. Ia meletakan parfum temannya ke tempat semula setelah ia mencium bau badannya dan merasa kalau ia sudah cukup wangi untuk Dylan.
"Enam bulan, kenapa?"
"Kau bilang Davey tidak berhenti menendang, apa itu normal?"
"Entahlah, aku tidak tahu apa-apa soal kehamilan. Lagi pula ini tidak apa-apa, kok. Tidak terlalu mengganggu," Kata Dylan cuek, kembali ke acara menonton TV tuanya.
"Kau perlu konsultasi ke Norton,"
"Marcus, aku bukan satu-satunya pasien Norton. Dia pasti sibuk bekerja di kliniknya da– GOD." Dylan memekik tertahan. Ia meringis dan menutup matanya, tangannya sudah berada di atas perutnya. Tangan kirinya menggenggam kuat gelas bening yang lima-per-enam kosong, buku jarinya sampai memutih. Marcus sesaat membeku, matanya melebar panik. "Aw... Davey, please stop it." Nada suara tertahan Dylan terang-terangan menunjukkan rasa sakit yang ia rasakan.
Marcus buru-buru mengambil gelas yang ada di tangan Dylan, takut gelas itu pecah oleh genggaman pria jangkung itu. "D- Dylan? Apa itu kontraksi?" Tanyanya kikuk.
"Kontraksi darimana, bodoh? Aku masih di akhir trimester kedua. Aku belum merasakan kontraksi apapun." Umpat Dylan gemas. Alisnya yang bertaut mulai mengendur seiring menghilangnya rasa sakit di perutnya.
"Akan kuhubungi Norton," Marcus menyambar ponsel Dylan di meja kerjanya tanpa persetujuan sang empunya ponsel.
"Marcus, don't."
"Diam, Dylan Dog, tonton TV-mu sana." Marcus meletakan ponsel Dylan di telinganya, mendengarkan nada sambung. Ia nampak tak sabar menunggu Norton mengangkat teleponnya dan mengabaikan tatapan membunuh Dylan.
"Halo, Norton Redhood here. Ada apa, Dylan? Ada masalah dengan bayimu?" Marcus menghela napas lega mendengar suara Norton di seberang sana.
"Hei, Norton, ini Marcus. Apa kabarmu, bung? Dylan mengatakan kalau bayinya menendang terus, apa itu normal? Barusan Dylan mendapat tendangan keras dari bayinya." Marcus tak menghiraukan bisikan sarkastis Dylan yang mengatakan, 'Kau mati, Marcus Deckler'.
"Ah, aku baik, Marcus. Bagaimana denganmu? Soal menendang, tampaknya itu normal. Dylan masih dalam minggu ke-25, ruang di perut untuk bayinya masih luas, memungkinkan si bayi untuk bergerak aktif. Jika kau masih belum yakin dengan keadaan Dylan, datanglah ke rumahku sekarang. Mumpung aku jam kosong,"
Marcus mengangguk-angguk, "Ide bagus, Norton. Baik, sampai ketemu. Terima kasih, bung."
"Yep, sama-sama, kawan. Kutunggu kalian."
Marcus meletakan ponsel Dylan kembali ke tempatnya. Baru saja zombie itu membuka mulutnya, Dylan sudah bicara, "Apa katanya?"
"Katanya itu normal, tapi aku mau kau ke rumahnya."
"Kapan? Sekarang?"
"Mau kapan lagi, Dylan?"
Dylan mendengus, "Aku malas, suruh saja dia ke sini."
"Sambil membawa barang-barangnya macam USG? Dylan, jangan gila."
"Ya, ya, terserah." Dylan beranjak mematikan TV tuanya dan menenggak habis susunya. Ia berjalan ke tempat cuci piring untuk menarus gelas dan membuka coopery. Ia berjongkok–agak kepayahan karena ukuran perutnya–dan terdiam sesaat, berpikir senjata kecil apa yang bisa ia bawa. Lalu diambilnya 50 C Night Hawk dan meletakannya di tempat pistol di bagian mata kakinya yang terbungkus kaus kaki. Marcus bertanya-tanya apakah Dylan memakai tempat pistol itu setiap hari.
"Untuk apa bawa pistol?" Kata Marcus separuh histeris.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, aku yakin kita keluar rumah Norton saat sudah gelap." Dylan menatap datar partner-nya.
"Dylan!"
"Apa sih?" Dylan menatap galak Marcus. "Ayo," Dylan berjalan keluar meninggalkan Marcus.
"Dylan, kau pikir aku punya kunci rumahmu?!" Belum sempat Marcus mengeluarkan suaranya lagi, kunci apartemen Dylan melayang ke arahnya. Marcus refleks menangkap kunci itu dan bergumam tak jelas. Dylan sudah menghilang dari pandangannya.
Ting, tong.
"Itu pasti Dylan," Nortunios Daller Redhood melangkah menuruni tangga. Ia baru saja selesai menyiapkan alat-alatnya. "Hei, guys. Silahkan masuk." Senyum ramahnya menyambut Marcus dan Dylan yang berdiri di depan pintu rumahnya. "Kita langsung saja, ya? Aku harus siap-siap operasi jam 8 nanti," Norton menutup pintu dan melangkah ke lantai atas–lantai untuk kamarnya dan segala perlengkapan medisnya–dengan Marcus dan Dylan yang membuntutinya.
"Operasi mendadak?" Tanya Dylan.
"Yeah, aku gagal dapat sehari tanpa operasi lagi di minggu ini. Klinik menelponku dua menit setelah Marcus menelpon." Sahut Norton.
"Aku tidak mengganggumu, kan? Sudah kukatakan pada Marcus untuk tidak menelponmu tapi dia tidak mau dengar," Dylan menuruti isyarat Norton yang mempersilahkannya untuk duduk di ranjang pemeriksaan.
"Ah, Dylan, kau sama sekali tidak menggangguku, you know? Kami ini kan temanmu, kalau sesuatu terjadi padamu sudah tanggung jawabku dan Marcus untuk bertindak. Bukan begitu, zombie?" Norton melirik Marcus yang dibalas anggukan mantap. "Aku 'kan sudah katakan, kalau terjadi sesuatu dengan kandunganmu, hubungi saja aku. Aku pasti akan menolong sebisaku walau di tengah malam sekalipun."
"Trims, Norton." Dylan tersenyum tulus pada pria yang setahun lebih tua darinya itu. "Kau juga, Marcus." Dylan nyengir pada Marcus. Pria pucat itu berucap 'yep' tanpa suara.
"No problemo, Dylan." Norton membalas senyuman Dylan. "Apa ada keluhan lain selain tendangan bayimu?" Tanya werewolf dari klan Redhood itu.
Dylan menengadah, mengingat-ingat apa ada hal lain yang membuatnya tidak nyaman. Tangan kirinya menopang tubuhnya sementara tangan kanannya menelengkup bagian bawah perutnya. "Kram," Katanya kemudian.
"Hei, kau tidak pernah katakan apa-apa tentang kram, Dylan." Celetuk Marcus.
"Memang tidak," Balas Dylan cuek yang Marcus sambut dengan gerutuan.
"Sayangnya kram itu hal normal untuk orang hamil, begitu juga pegal-pegal dan buang air kecil yang terus menerus. Apa kau sudah merasakan dua hal itu?" Ujar Norton.
"Ya, pegal-pegal. Punggungku juga kadang terasa ngilu, tapi soal buang air kecil aku belum merasakannya, kurasa yang itu masih normal." Tutur Dylan.
"Bagus kalau begitu, pasienku yang lain mengatakan masalah buang air kecil adalah yang paling menyebalkan." Katanya. "Bagaimana dengan pola makan? Berapa kali makan dalam sehari?"
"Sarapan, makan siang, makan malam. Tapi, umm, kadang aku melewati makan siang." Ucap Dylan takut-takut. Dylan menelan ludah saat Norton menghela napas dan menatapnya dengan tatapan 'Aduh Dylan, kau ini'.
Norton mengambil napas, "Dylan, kau harus makan yang teratur. Coba kutanya, apa sebelum makan kau terlebih dulu makan buah?" Nada bicara Norton membuat Dylan seakan sedang diintrogasi.
"A- aku makan, kok." Jawabnya gugup.
"Nah, kalau sayuran tiap kali makan?"
"Tadi siang aku makan bayam,"
"Sebelum itu?"
Dylan menelan ludah lagi, "Kadang,"
Norton menghela napas, "Dylan, kau setidaknya harus makan tiga kali di luar sarapan. Baguslah kamu makan bayam, bayimu sekarang sedang butuh-butuhnya zat besi. Jangan lupa makan ikan, bayimu butuh Omega 3 dan kau juga butuh protein. Kau juga jangan pernah absen minum susu. Bayimu sangat butuh asupan dari susu yang kau minum, kalau kau mau bayimu lahir sehat."
"Hei, tentu aku mau." Sela Dylan sengit.
"Baiklah, buka bajumu." Perintah Norton. Dylan bernapas lega karena Norton bersedia mengganti topik. Ia membuka kancing kemeja dan menaikan kaus dalamannya sampai ke dada. Norton memperhatikan perut buncit Dylan dan mengangguk-angguk beberapa saat kemudian. "Pertumbuhan abdomenmu secara kasar terlihat normal. Ukuran perutmu sebanding dengan usia kandungan." Norton menerangkan. Marcus ber-oh ria sambil ikut memperhatikan perut Dylan.
"Ah, iya." Norton menepuk dahinya. "Dylan, seharusnya tadi timbang badan dulu, aku bodoh sekali,"
Dylan menurut, ia menurunkan kaus dalamannya. Baru ia menaikkan kakinya ke timbangan, Marcus mengingatkan, "Buka dulu sepatumu, Dylan. Belum cukup tambahan beban di perutmu?"
Dylan membuka sepatunya dengan kaki dan berdiri di atas timbangan. Norton mencatat hasilnya, "Naik 3 kg dari pemeriksaanmu di minggu ke-22," Katanya.
Dylan mendesah, "Ya ampun, Davey membuatku membengkak."
"No, Dylan, kenaikan berat badan itu hal wajib saat hamil. Jika dibandingkan dengan pasienku yang lain, kau punya pertambahan berat badan paling kecil. Aku belum tahu alasan mana yang tepat, karena kau mengandung bayi setengah vampir–atau sepenuhnya vampir–yang alaminya membuatmu semakin kurus atau karena pola makanmu." Jelas Norton, agak menekan di bagian akhir.
"Kuharap karena alasan pertama, tapi yang setengah vampirnya." Canda Dylan.
"Yah, semoga saja." Norton tertawa. Dylan dan Marcus meng-amin-i. "Duduklah,"
"Hei, Nort, nanti kau jangan musuhi Davey ya kalau dia lahir sebagai penapas berkulit pucat." Gurau Dylan lagi.
"Tidak akan, aku akan lebih mirip sebagai pamannya. Lihat saja nanti, akan kubuktikan." Tawa memenuhi ruangan itu, "Berbaringlah, Dylan. Kita masuk ke sesi rutin," Norton nyengir.
"Apa-apaan," Gumam Dylan sambil mengangkat kembali dalamannya dan berbaring dan, "Aw..." Davey menendang cukup keras.
Norton refleks berbalik, "Kenapa, Dylan?" Pekiknya panik.
"It's okay, he just kicking too hard." Sahut Dylan.
"he, eh? Kurasa aku sudah memberi tahumu kalau bayimu perempuan di pertemuan lalu." Norton mendorong mesin ultrasound-nya mendekat ke ranjang.
"Tidak, aku mau laki-laki. Dan semoga dia bukan vampir," Dylan buru-buru berucap amin.
Norton terkekeh, "Aye, terserah." Werewolf itu melumuri perut Dylan dengan cairan gel. Setelah itu dia meraih benda berkabel layaknya mikrofon. Marcus menyebut benda itu mik. Norton lalu menjalankan ujung tumpul mik ke perut Dylan yang sudah licin. Perhatian 3 orang itu seketika beralih ke layar monitor USG. "Bentuknya semakin mirip dengan bayi pada umumnya, seperti pertemuan lalu. kalian bisa lihat sendiri."
"Biar kutebak, ini tangannya?" Tangan Dylan menyentuh layar yang menunjukkan siluet putih.
"Yap. Dan itu lutut," Norton menunjuk daerah putih yang dimaksudnya. "Bayimu aktif, Dylan. Dia bergerak terus, kau pasti merasakannya bergerak 'kan?"
Dylan mengangguk, "Sejak aku masih di depan pintumu saja Davey sudah bergulat dan memutar balikkan tubuhnya."
"Bagus kalau begitu, kalau dia aktif bergerak, berarti dia sehat."
Dylan terkekeh, "Tampaknya Davey kelewat sehat. Dia tidak pernah berhenti menyodok perutku bahkan saat aku mencoba tidur,"
"Coba kau tempelkan headset ke perutmu dan mainkan musik klasik, mungkin itu bisa membuatnya tidur." Norton menyarankan.
"Aku kadang membacakan novel The Hobbit untuknya. Kubacakan untuknya dari awal, sekarang sudah dua per limanya. Dia tenang kalau kubacakan, tapi kadang tetap tidak mau diam."
