Gelap.

Haechan kesal setengah mati karena langit mendung. Sama sekali tidak terlihat bintang karena tertutupi oleh awan. Malah yang ada ialah kilat yang sesekali muncul dan guntur. Menambah jelek mood Haechan.

Mark memperhatikan Haechan duduk bertopang dagu dengan dahi yang menempel di jendela. Turut merasa sedih karena Haechan sudah menyiapkan matang-matang untuk rencana malam ini.

Namun sayang, langit sedang mendung dan tak ada yang bisa Mark lakukan jika tuhan yang membuatnya bukan?

Mark mengusap pundak Haechan. Menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya menuju laki-laki manisnya. Haechan menoleh ke arah Mark. Manik coklat Haechan meratap kecewa. Mark tidak tega dibuatnya, lalu ia bawa Haechan ke dalam pelukan hangatnya. Mark mengecupi pucuk kepala Haechan dan mengusap punggungnya untuk menenangkan pria manisnya.

"Sayang, jangan bersedih, ya. Kita bisa lihat bintang di lain waktu."

Mark menangkup wajah Haechan. Dielusnya pipi berisi itu dengan ibu jarinya. Mark memberikan senyumnya untuk Haechan. Kemudian ia mengecup kelopak mata Haechan bergantian dan mengecup ujung hidung Haechan.

"Lagipula aku selalu bisa melihat bintang-bintang berpijar di kedua bolamatamu."

Haechan mencubit perut Mark gemas. "Astaga Mark, apa yang barusan kau katakan?!" teriakan Haechan tertahan karena ia membenamkan wajahnya di dada bidang milik Mark. Mark terkekeh. Ia mengusap kepala Haechan dan mengecupi pucuk kepala Haechan gemas.

"Tapi memang benar kok."

"Iya, iya, terserah kau saja."

Lama mereka berpelukan, Mark yang pertama kali menciptakan jarak di antara mereka. Haechan sedikit menggigil akibat udara dingin. "Tunggu sebentar, aku ambil selimut."

Haechan tersenyum kemudian mengangguk. Sebenarnya tidur berbalut selimut di ruang tamu bersama Mark bukan ide buruk di malam yang hujan ini.