Aku terbangun ditengah malam.

Sendirian,

Dan tak ada seorang yang berada di dalam rumah.

Menakutkan, gumangku dalam hati.

Sungguh, Aku ketakutan setengah mati.

Namun, Aku memilih untuk mengeyahkan pemikiran itu lalu pergi menuju taman.

Taman yang begitu luas milik keluarga Namikaze seakan menyambutku.

Dengan perpohonan yang menyelimuti cahaya, hampir terlihat seperti tiral besar.

Seperti layaknya panggung di sebuah teater,

suara mendesis khas hutan seolah menghinoptisku.

Di kejauhan, Aku mendengar suara gema,

Di balik tirai pepohonan,

Di dalam hutan,

Laksana pesta di tempat dansa.

Tirai belum terbuka,

Tak dapat menahan diri,

Aku berjalan menuju kegelapan hutan.

Kegelapan menyelimutiku...

Kegelapan yang sangat dalam, serasa mencekik...

Bahkan sinar dewi bulan yang menenangkan pun bisa mencapai ke tempai ini.

Udara terasa dingin...

Dinginnya musim dingin seakan menusuk kulit,

Dan mataku terasa ingin membeku.

Untuk sesaat, Aku seperti mendengar seseorang memanggil nama ku, sehingga Aku semakin mempercepat langkah kakiku mencarinya.

Setelah melewati banyak sekali pepohonan di dalam hutan,

Aku menemukan semua orang menungguku di hutan.

Tapi, ada yang salah...

Semua orang tergeletak di atas tanah...

... Terpotong-potong...

Bagaikan lautan darah.

-Aku tidak mengerti.

Seseorang mendekatiku.

Ekspresinya seakan ingin membunuhku...

-Aku benar-benar tidak mengerti...

Dia-seseorang yang aku kenal-mendatangiku dan tercabik-cabik di hadapanku.

-Aku hanyalah anak kecil yang tak mengerti.

Percikan,

Sesuatu yang hangat dan membasahi wajahku.

Ini merah...

Cairan merah...

Merah seperti tomat...

Orang yang tercabik itu,

Orang yang ku sebut "Ibu",

Tidak pernah memanggil namaku lagi.

-Aku benar-benar tidak mengerti,

Sungguh ini sangat kejam,

Aku ingin menangis, Aku ingin sekali menangis.

Dan detik itu juga,

Penglihatanku mulai kabur.

Tubuhku melosot di atas tanah dengan dada yang tersayat.

Tapi itu tak menggangguku sama sekali,

Bulan yang terlihat di atas angkasa,

Bersaksi di tengah langit malam.

Ini aneh,

Kenapa Aku tidak sadar sampai sekarang?

-Seperti mimpi buruk yang tak berujung.

Malam itu...

As moon so beautiful...

[A prolog]

.

.

.

Saat Aku kembali sadar, Aku telah terbaring di atas ranjang. Tirai yang tergantung di dekat jendela terlihat berwarna putih. Permandangan yang ada di luar sana terlihat indah dan angin kering musim panas datang seakan membelai kulitku.

"Hai, Uzumaki Boruto-kun. Selamat atas kesembuhanmu."

Seorang pria tua tak dikenal mengulurkan tangannnya untuk berjabat tangan. Kacamata oval dan senyumannya yang ramah terlihat sangat sesuai. Pakaian terlihat rapi dan bersih, dan juga...

"Kau mengerti apa yang ku katakan, Boruto-kun?"

"... Aku... dimana?" tanyaku linglung.

"Benarkah kau tidak mengingatnya?"

Aku menganggukan kepala-tanda 'iya'.

"Kau mengalami luka sayat-di bagian dada-akibat senjata tajam milik salah seorang komprotan Hoshigaki Shizuma. Tapi syukurlah... kau masih dapat bertahan hidup setelah menerima serangan mematikan itu."

Sangat tidak sesuai dengan apa yang Ia katakan, tapi pria-kemungkinan seorang dokter-tetap mangatakan itu dengan senyum ramah.

-Sakit

Aku marasakan nyeri di dadaku.

"... Sepertinya Aku kelelahan. Bolehkah Aku kembali tidur?"

"Ya, Kau harus banyak istirahat. Kau harus fokus dengan pemulihanmu, dan jangan memaksakan diri." Kata dokter masih dengan senyumnya.

Jujur Aku tak mampu tersenyum sedikitpun.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu, dokter?"

"Apa itu, Boruto-kun?"

"Kenapa ada banyak sekali coretan di tubuhmu? Dan di tembok juga ada retakan di mana-mana. Apakah sebelumnya terjadi sesuatu?"

Senyumnya lenyap seketika, kemudian kembali berekspresi seperti sebelumnya. Dia berbalik dan melangkah jauh.

"-Sepertinya beberapa bagian otaknya mengalami kerusakan. Tolong ambilkan dokumen diagnosa dari Ashiya-Sensei di bagian penyakit saraf. Aku menduga dia juga menderita kelainan di bagian mata. Sore ini kita akan mengadakan pemeriksaan."

"Ha'i, Sensei [Baik, Dokter]."

Samar-samar Aku bisa mendengar percakapan antara dokter dengan seseorang yang berdiri di belakang pintu.

"Aneh, di tubuh orang itu juga ada coretan." Tidak rapi, terlihat seperti coretan dengan garis berwarna hitam. Garis itu menyebar kemana-mana mulai dari lantai, dinding, kasur, meja, tubuh manusia, hingga langit-langit.

Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, menatap mereka terlalu lama membuat kepalaku terasa sakit.

"Aku penasaran sebenarnya ini apa ya."

Kasur tempat di mana aku berbaring tak lepas dari garis koretan ini. ketika aku menyentuh garis itu dengan jariku, ujung jariku masuk ke dalam cela tersebut.

"... oh!"

Tampaknya aku bisa menjangkau dasar dari garis itu dengan sesuatu lebih panjang. Sehingga aku memutuskan untuk mengambil sebilah pisau buah yang berada di atas meja tepat di sampingku lalu menusukannya tepat di atas kasur

Syuut!

Aku tidak menusuknya dengan keras, tapi ujung pisau itu justru masuk dengan mulusnya hingga sampai gagang, seperti tidak ada yang menghalangi. Ini menarik, batinku. Tanpa pikir panjang aku menarik pisau itu mengikuti arah garis dengan sekuat tenaga.

GEBUK!

Terdengar suara benda jatuh, kasur itu terpotong menjadi dua dengan mudahnya.

"Kyaaaaa!"

Seorang gadis yang berada di samping tempat itu menjerit. Perawat langsung bertindak dan mengambil pisau itu dari tanganku.

"Bagaimana caranya kau bisa merusak ranjang itu, Boruto-kun?"

Dokter tidak bertanya mengapa, tapi dengan penuh curiga Ia masih bersikeras bertanya bagaimana aku melakukan itu.

"Aku menyayat ranjang sambil mengikuti garis dan itulah yang terjadi."

"Dengar Boruto-kun, retakan atau garis yang kau katakan itu tidak pernah ada. Sekarang katakan saja pada ku, bagaimana caranya kau bisa merusak ranjang itu? Jangan takut, aku tak akan memarahi mu kok."

"-Aku berkata yang sebenarnya, garis itu benar-benar ada dan aku-"

"Aku mengerti. Oke, kita kan lanjutkan percakapan ini besok."

Si dokter pergi.

Akhirnya, tak ada seorangpun yang percaya dengan ceritaku.

Sepanjang aku menyayat pisau mengikuti garis tak beraturan itu. Aku dapat memotong apapun tanpa halangan. Aku juga tidak memiliki kontrol atas kekuatan ini. Ini semudah memotong kertas dengan gunting. Kasur, kursi, meja, tembok, lantai. Aku belum penah mencobanya, tapi mungkin... tidak, sudah pastikan? Bahkan jika aku melakukan itu kepada manusia.

Tapi tampaknya tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Garis hitam itu hanya Aku yang dapat melihatnya. Terlepas dari gangguan itu, aku secara berangsung-angsung dapat memahami cara kerjanya.

Mereka mungkin terlihat seperti jahitan. Seperti halnya jahitan bekas operasi yang apabila di buka akan terjadi pendarahan, Aku berpikir, garis-garis itu adalah titik kelemahan. Sehingga, aku menyimpulkan bahwa tak ada satupun dapat ku potong-kecuali objek itu ada.

-Yah, Aku tidak mengertahuinya hingga sekarang.

Dunia ini di penuhi oleh patahan garis, retakan garis itu terikat satu sama lain.

Tidak ada dapat melihat garis-garis itu. Tapi aku bisa melihat mereka.

Ya Tuhan...

Aku ketakutan... sangat ketakutan. Sampai-sampai aku tak mampu berbicara jelas. Seperti aku mulai gila.

Bahkan setelah 3 hari berlalu,

Aku gelisah setengah mati sendiri di dunia yang di penuhi garis hitam...

Aku ingin pergi... Aku tidak mau berada di kamar ini lagi. Aku tidak mau tinggal di dalam tempat yang di penuhi banyak coretan ini. Itulah kenapa aku memutuskan untuk kabur, melarikan diri ke suatu tempat. Tapi luka di dadaku masih terasa sakit, dan aku tidak diperbolehkan pergi terlalu jauh.

Persetan dengan kalimat itu.

Aku terus membelah keramaian.

Mengabalikan semua orang, bahkan Aku tak segaja bersenggolan dengan Sarada.

Gadis itu awalnya ingin memakiku karena telah menabraknya hingga terjatuh. Namun, Aku tidak memperdulikannya.

Aku terus berlari seakan dikejar oleh malaikat maut.

Tak sengaja, aku menemukan sebuah hamparan rumput yang berada di atas tebing dekat mercusuar.

"UHUAK! UHUAK!"

Aku terpeleset ketika sedang berlari lalu jatuh tepat di atas hamparan rumput.

Dadaku sakit... dan Aku merasa sangat sedih... Aku berlutut dan terbatuk-batuk.

Bukan batuk biasa, tapi batuk darah.

"UHUAK! UHUAK!"

Tak ada seorangpun di tempat ini.

Tenggelam di tengah-tengah lautan hijau dan kabut.

Sambil menunggu ajal menjemput.

Aku merasa...

Aku akan mati.

...