"Maafkan aku!"

Ya ampun. Baiklah, mungkin kali ini aku akan mencoba untuk memaafkanmu. Lagi pula sejak awal aku sudah mengetahuinya, kok. Kalau kau, pasti tidak akan bisa, bukan?

"Aku tahu itu."
Aku menarik kembali bingkisan yang aku sodorkan kepadamu sambil menghela nafas sesaat. Manik manik matamu terus menerus menatapku dengan tatapan bersalah. Bibirmu tampak terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu. Tidak, kau tidak perlu mengatakannya lagi. Aku sudah benar-benar mengetahuinya dan aku tidak mau mengetahui semuanya lebih dari ini.

"Nah, sepertinya hari sudah cukup sore. Aku harus pulang sekarang sebelum jam malam." Aku menyudahi acara bicaraku padamu sambil melemparkan senyum terbaikku. Persetan dengan rasa sakit yang terasa seakan menusuk dadaku, saat ini aku hanya ingin menghilang dari hadapanmu secepatnya. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menahan diriku agar tidak berteriak tepat di hadapanmu. Aku tidak mau membuat makin membenciku.

"Aku pulang dulu, Kaito."

Aku bergegas melangkahkan kakiku menjauh dari tempat ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku benar-benar merasa seakan ingin meledak saat itu juga. Tapi, kenapa? Kenapa tanganmu justru meraih pergelangan tanganku tepat saat aku membalikkan tubuhku?

"Tunggu, Miku. Dengarkan aku dulu!"
Apa lagi yang harus kudengar darimu, bodoh? Permintaan maaf? Apa perlu aku berteriak padamu bahwa aku sudah muak dengan kata maafmu itu!

"Aku memang tidak bisa menerima perasaanmu.."
Hebat! Kau benar-benar aktor yang hebat Kaito! Kau sudah berhasil menjatuhkanku tepat di hadapanmu! Tidakkah kau tahu, dadaku terasa sangat sesak setelah mendengar perkataanmu tadi! Apakah kau benar-benar sudah membuangku?!

"Tapi, setidaknya biarkan aku menerima bingkisan darimu, Miku.."

Bingkisan? Ah, benar juga. Bingkisan yang saat ini ada dalam genggaman tanganku. Memang awalnya ingin kuberikan padamu. Tapi entah kenapa, aku merasa harus segera membuang benda menjijikkan ini sekarang juga.

Aku segera membalikkan punggungku dan menyodorkan bingkisan itu kembali padamu sambil memasang sebuah senyuman di wajahku. Aneh. Kenapa kau malah tampak terkejut, Kaito. Apa reaksiku berlebihan?

"Baiklah, ini untukmu."

Aku menyodorkan bingkisan itu tepat diatas tanganmu. Tidak, mungkin lebih tepatnya kalau aku tadi melemparkan bingkisannya kepadamu. Manik matamu itu tampak melebar saat melihat banyaknya plester yang melingkar diantara jari jemariku saat melemparkan benda itu.

"Buang saja kalau kau tidak suka."

Tepat setelah aku mengatakannya, aku segera berlari menjauh dari tempat itu. Aku tidak peduli denganmu yang saat ini berteriak memanggil namaku. Ataupun suara derap langkahmu yang terdengar samar di balik punggungku.

Aku merasa sangat hancur Kaito! Berhentilah memberikan secercah harapan padaku! Berhentilah mengejarku seperti ini Kaito!

Aku terus berlari, tidak peduli kemana langkah kakiku akan membawaku, yang kuinginkan hanyalah menjauh darimu. Aku sudah merasa cukup terluka mengingat bahwa kau masih saja berusaha mengejarku sejauh ini.

Hey, tahukah kau Kaito. Aku merasa duniaku runtuh saat melihat sosok itu berjalan di hadapanku. Sosok seorang gadis dengan rambut berwarna gulali yang sedang melemparkan senyuman manisnya untukku. Membuatku harus segera memperlambat langkah kaki dan bertingkah normal seperti biasanya.

"Ah, Miku. Apa kau tahu dimana Kaito?" Nada bicaranya yang begitu halus dan suaranya yang lembut seakan mengusik pendengaranku. Aku menghentikan langkah kakiku dan menggeleng perlahan.

"Si bodoh itu? Aku tidak tahu. Maaf, ya. Aku harus segera pulang sekarang juga! Sampai jumpa!"

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku benar-benar harus menyingkir dari tempat ini sekarang juga. Dan sekarang, gadis itu justru memasang ekspresi kebingungan melihatku yang tampak tergesa. Karena aku bisa merasakannya, kau sudah berhasil menyusul langkah kakiku.

Aku tidak mau harus menjadi pihak ketiga dalam hubunganmu Kaito. Aku mau pulang sekarang, sebelum air mataku tumpah dihadapan kalian berdua.

"Miku! Tunggu aku, Miku!"
Tidak akan pernah. Aku tidak akan menunggumu lagi Kaito. Aku bisa saja mati kalau harus terus menerus menunggumu. Dan berdasar pada pemikiran itulah, aku berlari menjauh dari sana. Terus berlari, tidak peduli dengan apapun yang terjadi di balik punggungku.

Karena aku tahu, saat ini pasti kau sedang menggenggam tangan gadis gulali itu dengan erat.


"Pagi!"
Dengan sebuah senyuman yang terkembang di wajah, aku membuka pintu kelas pagi ini. Dan bisa kulihat dari sudut mataku, kau bangkit dari tempat dudukmu sambil memasang wajah bersalah.

Apakah bengkak di mataku ini terlalu mencolok? Atau karena garis hitam yang melingkar di bawah mataku gagal ku samarkan?

Aku mengacuhkannya dan berusaha bertingkah seperti biasanya. Melambai pada setiap anggota kelas yang membalas sapaanku dan berbagi candaan di pagi hari sebelum menjatuhkan tubuhku di atas tempat duduk.

"Miku.." Suaramu tampak bergetar saat memanggil namaku lirih. Sebegitu bersalahnya-kah dirimu? Kalau memang benar, menjauhlah sekarang juga dari hadapanku. Aku benar-benar merasa akan hancur lagi bodoh!

"Aku tahu, Kaito. Aku sudah tahu."

Aku menolehkan wajahku ke arahmu sambil memasang senyum. Memasang wajah seolah aku baik-baik saja. Yang mungkin bisa kau tebak, kalau itu hanyalah sebuah kebohongan.

"Selamat ulang tahun bodoh. Dan selamat atas hari jadianmu dengan Luka."

Aku mengucapkannya juga, meskipun aku harus menahan setiap bulir air mata yang terasa akan jatuh. Tapi tidak apa. Yang terpenting saat ini aku sudah mengucapkannya.

Kau tampak terperangah mendengarku mengatakannya. Sebuah senyuman lebar terpampang jelas di wajahmu dan dengan sekali gerak, kau merengkuhku dalam pelukanmu.

Sakit, Kaito. Hentikan...

"Terimakasih, Miku."

Jangan katakan, Kaito! Aku mohon!

"Kau memang teman terbaik yang kumiliki!"

Dan duniaku terasa runtuh kembali.

"Hey, kau tahu Miku! Syal buatanmu itu benar-benar bagus! Tidak kalah bagus dengan buatan Luka, lho!"

Gadis gulali itu lagi.

"Hee, baguslah kalau begitu."

Aku berusaha untuk tersenyum, tidak aku memang tersenyum. Sekalipun sebenarnya di dalam lubuk hatiku aku menjerit kesakitan. Tapi aku yakin, kau pasti tidak akan mengetahuinya. Kau terlalu bodoh untuk bisa menyadarinya, bukan?

Karena aku, adalah aktor yang hebat.

Aku tahu itu.