Halo, dua bulan itu lama juga ya :v. Atashi wa Rika Miyake desu. Hadir untuk meramaikan fanfiction *tebar conffeti*. Rasanya kangen juga ya dan banyak banget fic yang dulu Rika baca dan sekarang udah ketinggalan berapa chapter, tau :'v. Oke, Rika sudahi dulu curhat sebentar ini. Semoga kamu suka fic Rika!
Rika miyake proudly present
Writer story
Vocaloid belongs to Crypton
Story by me
Don't like don't read, simple as that
Enjoy
.
.
.
1. Kagamine's dream!
"And i don't really care if nobody else believes
'Cause i've still got a lot of fight left in me"
Fight song- Rachel platten
Dahulu kala, ada desa kecil yang hanya dihuni oleh laki-laki. Desa itu terletak di sebuah negara asing yang berada jauh dari Jepang.
Di desa itu hiduplah seorang laki-laki bernama 'Len'
Suatu hari..
Dia bertemu dengan seorang gadis perempuan yang akan mengubah nasibnya.
7-1 class. Kelas berdinding putih dan berhias lukisan dari anak-anak kelas 7-1 yang tiap semester selalu berganti. Anak kelas tersebut lumayan banyak, jumlahnya sekitar 40 orang. Ada gadis berambut honeyblonde sebahu yang mengenakan bando ber-pita putih besar yang membuatnya terlihat lebih tinggi. Mata ceruleannya selalu berbinar gembira dan bibirnya tertarik keatas seakan terus menyunggingkan senyum dan keceriaan. Gadis itu sedang tersenyum menatap kearah papan tulis. Sesekali, ia menatap kearah jam kelas dengan tidak sabar. Gadis itu memakai seragam bermodel sailor dengan dasi kuning kerah oranye, dan berlengan panjang yang ujungnya bewarna oranye. Gadis itu menyukai seragam sekolahnya. Alasannya simple saja, ia menyukai warna Oranye—warna yang sama dengan buah kesukaanya, jeruk—. Namanya, Rin Kagamine. Mangaka yang tidak bisa menggambar. Tapi, tentu saja dia tidak menyerah! Alasan ia melihat terus kearah jam, karena ia ingin mengumpulkan naskah komiknya ke redaksi majalah impiannya segera. Ah iya, redaksi itu selalu menjadi target Rin sebagai debutnya. Gadis itu berada peringkat 11 di kelasnya. Rin duduk sendiri karena Kamui Gakupo, teman sebangku Rin, pindah keluar negeri sebulan lalu. Rin menyukai tempat duduknya, berada di samping jendela. Tempat duduk itu, membuat Rin bisa merasakan hembusan angin setiap harinya dan sinar matahari pagi yang menyusup masuk.
Di belakang Rin, ada gadis berambut hijau yang sedang serius memperhatikan guru yang sedang menerangkan. Gadis itu bermata Turqoise. Binar matanya lembut. Hatsune Miku, namanya. Ia memang tipe orang serius dan menggilai belajar sehingga ia berada di peringkat 2. Kebiasaan gadis itu ketika sedang berpikir adalah menggigit pensil. Miku, adalah sahabat Rin. Ia juga memakai seragam yang sama dengan Rin. Ia membuat rambut tealnya dengan model twintail dengan ikat rambut oranye.
Di sebelahnya, Sakine Meiko yang cuek. Ia sering tertidur di kelas. Anehnya, saat tertidur ia masih bisa mendengarkan penjelasan guru dan orang-orang disekitarnya dengan jelas. Jadi, guru-guru pun angkat tangan dengan Meiko yang benar-benar unik. Ia selalu berada di 10 besar. Tak pernah keluar dari 10 besar. Ialah sahabat Rin yang kedua. Ia juga memakai jaket jins berwarna hitam. Ya, Sakine Meiko terkenal dengan ke-tomboy-an nya. Meiko tidak suka di panggil Mei-chan oleh Rin. Memanggil Meiko dengan Mei-chan? Kamu nggak bakal bisa lihat hari esok lagi. Kecuali, tentu saja Miku dan Rin. Ia mungkin marah, tapi tetap menganggapnya sebagai candaan.
Saat bel pulang berbunyi..
Rin dengan ceria bangkit dari kursi dan berjalan ke arah dua orang yang sedang merapikan buku-buku ke dalam tasnya. Sambil menunggu dengan sabar, Rin memperhatikan kedua orang tersebut. Setelah selesai, Rin segera menghampiri dengan ceria kearah mereka. Walau jelas, di wajah Meiko yang sedikit kesal karena di-cegat pulang oleh Rin yang mungkin akan berceloteh soal komiknya.
"Lalu, bagaimana pendapat kalian?" Tanya Rin ceria setelah menunjukkan naskah komiknya.
"Pendapat?" Tanya Meiko dengan agak ragu melihat kearah kumpulan kertas yang disebut gadis berambut honeyblonde tersebut sebagai 'debut' komiknya tersebut. Kertas itu sedang dipegang Miku, yang juga beraut wajah ragu.
"Ya, tentang karya (yang akan menjadi) debut-ku ini!" Seru Rin ceria tanpa memedulikan ekspresi Miku yang berusaha memaksakan senyum dan Meiko yang terang-terangan terlihat ragu.
"Ini karya fantasy terbaik yang menggambarkan impian tokoh utama 'Len'!" Jelas Rin seraya menatap Meiko dan Miku dengan bola mata bewarna cerulean dan binar senangnya yang tak lupa terpancar dari wajahnya.
"Hee, Rin membuat komik?" Terdengar suara bisik-bisik di sekitar Miku, Meiko, dan Rin
"Hei, aku lihat dong!" Seru seseorang gadis berkuncir satu seraya mendekati mereka bertiga. Rin Kagamine, hanya tersenyum bangga seraya menaruh kedua tangannya di pinggang dan membusungkan dada.
"Ano..Omong-omong," ujar Miku yang kelihatan ragu.
"Nani nani?" Tanya Rin seraya menaikkan alisnya.
"E-etto..Sketsa kasarmu..Lumayan," kata Miku pelan.
"Hee, itu bukan sketsa kasar! Itu debutku!" Seru Rin, agak kesal saat gadis itu bilang bahwa itu 'skets a kasar' dari komiknya.
"Padahal, aku sudah membuatnya dengan susah payah dan masih dikira sketsa atau coret-coretan?!" Pikir Rin kesal seraya melipat kedua tangannya di dadanya.
"EHHHH?! Serius?" Seru Miku berbarengan dengan Meiko. Rin mendecak pelan.
"Menurut kalian?" Tanya Rin retoris. Walaupun wajahnya tidak menunjuk tanda ia sedang kesal, suaranya terdengar demikian.
"a-ano..Gomen ne, Rin-chan. A-aku benar-benar tidak tahu..aku, aku, aku..minta maaf.." Kata Miku seraya membungkuk dalam-dalam. Terlihat penyesalan di wajahnya.
"Kenapa kau minta maaf, Miku?" Tanya Meiko angkat bicara.
"He?" Tanya Rin sambil menatap Meiko, tidak mengira Meiko akan berbicara.
"Gambarmu jelek, terlalu kotor, tidak ada latar pemandangan, tidak jelas perbedaan gambar tokohnya. Ini memang lebih cocok menjadi sketsa kasar. Kesimpulannya, Miku tidak salah bila berasumsi seperti itu bila melihat gambarmu, " ujar Meiko seraya melipat tangannya di depan dadanya.
Jleb..Strike in the kokoro.
"Huaaa! GAMBARKU NGGAK JELEK ! MEI-CHAN NGGAK MEMAHAMI KEINDAHAN KOMIK BUATANKU!" Seru Rin seraya menangis kencang.
"Nakanaide! Toh, aku berkata sesuai kenyataanya. Buat apa aku bohong?" kata Meiko. Suaranya meninggi satu oktaf di awal kalimat lalu memelan di akhir kalimat. Meiko tidak menarik kata-katanya.
"Meiko Baka!" Jerit Rin. Miku mendekat kearah Rin seraya memeluknya. Badan Rin gemetar karena menangis.
"Terserahlah.. Aku tidak salah karena aku berkata sejujurnya. Lagipula, sahabat memang harus berkata jujur dan saling membantu, kan?" Ujar Meiko yang tampak tidak peduli. Miku menatap tajam kearah Meiko.
"Apa? Aku kan ngomong jujur," kata Meiko cuek.
"Ehem! Daripada itu, apa kalian berdua sudah membaca Girls bulan ini?" Tanya Miku yang berusaha mengalihkan suasana.
"Hah?!" Seru Meiko dan Rin. Rin menghapus air matanya seraya menatap Miku yang masih memeluknya.
"Kau sudah membelinya?" Tanya Rin bersemangat seraya menatap dalam kearah bola mata Turqoise milik Miku.
"Ya, tadi pagi di mini market. Aku hendak membeli sarapan dan kebetulan aku melihat majalah itu. Karena kebetulan aku membawa uang jajan lebih, aku beli saja. Takutnya, nanti kehabisan," jelas Miku ceria. Tampaknya Rin tidak memerhatikannya karena langsung menatap dengan antusias benda yang dipegang Miku.
"Silahkan kalau ingin pinjam.." Kata Miku seraya tertawa kecil melihat perilaku Rin yang paling antusias dan Meiko yang menahan diri agar tetap terlihat 'cool' walau penasaran.
"Aku penasaran sama akhir cerita 'Mahou love'," kata Meiko seraya membalikkan halaman majalah bernama 'girls' itu yang sekarang berada di tangannya.
Girls adalah majalah komik perempuan yang sangat populer dan terbit setiap bulan. Dan bulan ini, memuat bagian terakhir 'Mahou Love'. Mahou Love adalah serial yang sangat populer karya komikus bernama Kaiko Shion.
"Sudah kuduga akan berakhir seperti ini," kata Meiko nyaris seperti bergumam saat melihat endingnya. Rin masih menatap kearah halaman yang berisi gadis yang berkata 'aku menyukaimu' 'aku selalu menyukaimu, Aiko'. Ahh~ cliche, gadis yang sedang menyatakan cintanya dan menjadi ending chapter. lalu ternyata, laki-lakinya juga ternyata menyukai gadis tersebut, dan mereka berakhir bahagia.
"OH!" Seru Rin. Dari wajahnya, ia seakan baru teringat sesuatu
"Nee, ada apa, Rin-chan?" Tanya Miku menatap bingung kearah Rin.
"Aku harus pergi sekarang. Aku mau mengajukan komik-ku ke redaksi," kata Rin seraya berkemas-kemas. Karena terlalu bersemangat tadi, ia lupa berkemas-kemas buku sekolahnya.
"Mengajukan ke redaksi?!" Seru Meiko dan Miku tampak tidak percaya.
"Yup!" Seru Rin. Ia pun menatap berbalik kearah kedua temannya yang masih memandang Rin dengan raut wajah tidak percaya. "Setelah debut, akan kuberikan tanda tanganku untuk kalian berdua!" Seru Rin seraya mengedipkan matanya kearah teman-temannya dan memberikan tanda peace.
"Bye-bye, itterasshai!" Seru Rin ceria sambil berlari keluar kelas.
"Aku nggak butuh tanda tanganmu," gumam Meiko seraya menatap kearah pintu kelas.
"Fuuh.." Desah Meiko seraya duduk kembali ke bangkunya. Bangku sekolahnya, berada tepat di belakang Rin yang duduk sendirian. Meiko masih ingat, Gakupo sering sekali menjahili atau mengombali Meiko dan Miku. Kalau Rin? Selalu ia ejek sebutan 'bocah' 'cebol' 'domba' 'Ugly usagi-chan' 'orang yang mempunyai mimpi yang tak akan ke-sampaian' ' kambing berisik' 'domba bodoh'. Tentu saja, Rin akan membalas dengan sebutan 'kepala terong' 'cowok jadi-jadian' 'transgender' 'kesatria tangguh' (tentu saja, itu sarkastik bukan pujian. Karena, Gakupo bermimpi jadi samurai namun, saat melawan Rin yang paling payah menggunakan katana pun tak bisa Gakupo lawan. Bukan karena Rin cewek, tapi karena Gakupo lemah banget dalam bela diri. Makanya, dia keluar negeri buat belajar bela diri) 'lekong' 'banci terong' 'terong pedas' 'Titan terong'. Kalau saat pelajaran, duo itu selalu ribut. Membuat guru-guru pusing dengan kelakuan mereka. Terkadang, Miku dan Meiko suka geli sendiri melihat pertengkaran Gakupo dan Rin. Atau sebutan mereka, 'kucing dan anjing'' atau mungkin 'domba dan terong (?)'.
"Rin terlalu percaya diri," komentar Meiko seraya menerawang ke arah pintu.
"Itu bagus bukan? Aku harap aku juga memiliki sifat percaya diri juga," kata Miku pelan. Miku memang anak yang agak pemalu.
Meiko hanya menatapnya sekilas lalu menghembuskan napas, "Kalau terlalu percaya diri, juga tidak bagus."
"Ng? Apa?" Tanya Meiko seraya menatap kearah gadis berambut twintail di sebelahnya itu karena merasa ditatapi.
"Kita sebagai teman sebaiknya mendukung dia saja.." Kata Miku seraya tersenyum lembut.
"Berjuanglah, Rin!" Seru Miku seraya mengepalkan tangannya, memberikan semangat. Meiko menatap Miku dengan malas.
"Aku tahu. Dan, sudah kuduga kau akan berbicara begitu. Kau terlalu mudah ditebak, Miku." Kata Meiko lalu menghela napas, "Tapi, dia serius berpikiran bisa menjadi komikus?" Tanya Meiko tanpa melihat kearah Miku.
"Apalagi gambar seperti ini?" Tanya Meiko seraya menatap lagi kearah kertas yang berisi gambar yang dibuat Rin. Posisi tubuh yang tidak pas, tidak ada latarnya, rambut acak-acakan, dan masih banyak lagi. Memang, lebih tepat di sebut 'Sketsa kasar'. Meiko hanya menghela napas seraya bergumam pelan .
"Berjuanglah, Rin.." Gumam Meiko. Miku melirik kearah teman berambut cokelatnya itu, dan tersenyum lembut. Meiko yang terlihat cuek dan tidak peduli terhadap Rin itu, sebenarnya sangat care dan menyayanginya.
Rin POV:
Sejak dua tahun lalu, aku bercita-cita ingin menjadi komikus. Aku pertama kali membaca Girls di musim panas kelas 5 SD. Aku masih teringat apa yang kukatakan pada ibuku, Lenka.
Flashback On:
"Kaa-chan! Belikan ini !" Seru Rin kecil kelas 5 SD.
"Eh? gomen, Rin-chan sayang. Kamu kan sudah membeli banyak buku, sebaiknya kamu nggak beli lagi," kata ibu Rin, Lenka, seraya mengelus rambut honeyblonde milik anaknya.
"N-nggak mau! Pokoknya, aku minta beliin ini!" Kata Rin, "Aku, aku..Aku balikin semua buku yang pengen kubeli dan aku beli buku itu!" Pinta Rin lalu bergegas mengembalikan buku-bukunya tanpa ibunya sempat berkata apa-apa.
"Sudahlah, Rin. Kamu masih bisa membeli buku itu dan buku lainnya. Nggak apa-apa. Cuma sekali-kali ini aja ya?" Tanya Lenka seraya menghentikan lari Rin dan menepuk kepalanya.
"B-benar tidak apa-apa?" Tanya Rin ragu. Walaupun masih kecil, Rin sedikit menyesal telah egois tadi.
"Tentu saja tidak apa-apa! Buat Rin-chwan apa sih yang enggak?" Tanya Lenka seraya mencubit gemas pipi tembam Rin. Raut wajah Rin berubah menjadi secerah matahari.
"Arigatou, Kaa-chan. Hontou ni, Arigatou! Aku sayaaaangg banget sama Kaa-chan!" Seru Rin seraya melompat lompat gembira lalu memeluk ibunya dengan erat. Lenka tersenyum lalu balas memeluk Rin.
"Kamu itu ya, Rin. Gampang sekali bahagia dengan hal-hal kecil.." Kata Lenka seraya tertawa dan mengelus rambut Rin.
"Iya, dong! Kita kan harus mensyukuri semua yang telah diberikan oleh tuhan! Walaupun, itu kecil!" Seru Rin seraya tersenyum ceria. Lenka tertegun sejenak lalu tersenyum. Ia tidak menyangka gadis kecilnya akan berkata sedemikian rupa. Gadis yang dulu masih manja, kini telah berpikir bijaksana.
"Ok, Rin. Kaa-chan bayar dulu, baru kamu bisa baca," ujar Lenka. Ia tertawa kecil melihat Rin mendekap buku itu seakan-akan buku itu amat penting baginya. Rin mengangguk mengikuti ibunya yang segera bayar ke kasir. Setelah dibayar, Rin memeluk erat majalah tersebut seraya tersenyum gembira. Melihat putrinya, Lenka hanya bisa tersenyum putri kecilnya adalah kebahagiaan untuknya juga.
Kemudian, Rin menemukan komik karya Kaiko Shion. Semulanya, Rin tidak begitu tertarik dan melewati komik itu dengan mencari komik lainnya. Setelah membaca komik lainnya, ia akhirnya membaca komik karya Kaiko Shion itu. Entah kenapa, ia sangat menyukai komik yang ia kira semulanya tidak bagus itu.
Lenka tengah menyapu lantai saat mendengar suara isakan tangis dari kamar Rin. Dengan cemas, Lenka buru-buru menaruh sapunya lalu berlari ke kamar putri kecilnya tersebut. Lenka mengetuk pintu kamar Rin.
"Rin, ada apa? Daijoubu desuka? Ada yang sakit? Kenapa kamu nangis, nak? Ayo cerita sama kaa-chan..." Tanya Lenka panik dan me-bombardir dengan serangan pertanyaan.
Tidak ada jawaban. Rin masih menangis. Lenka pun berusaha membuka pintu. Untungnya, pintu kamar anaknya tersebut tidak dikunci. Dengan cepat, Lenka membuka pintu yang nyaris terbanting terbuka.
"Rin! Kamu kenapa?! " Tanya Lenka cemas saat melihat Rin menangis sambil membaca majalah Girls. Dengan cepat, Lenka memeluk anaknya. Perasaan cemas menghantui hatinya.
"Anak perempuan ini sudah berjuang keras. Akhirnya, dia bisa bahagia," kata Rin masih dengan terisak-isak.
"Eh? Siapa?" Tanya Lenka bingung. Ia menanyakan kenapa anaknya menangis malah dijawab dengan perkataan yang sama sekali tidak ada hubungannya.
"Ini lho! Komiknya seru banget sampai aku menangis!" Seru Rin seraya mengusap air matanya.
Lenka terdiam sejenak lalu tertawa seraya mengelus kepala Rin. "Nee, kamu suka ya sama komiknya? Kalau nggak suka, nggak mungkin kamu terbawa perasaan seperti itu."
"Iya! Aku suka, suka, suka pakai banget, banget, banget!" Jawab Rin dengan senyum merekah. Lenka tertawa melihat reaksi anaknya.
"Rin mau menulis seperti itu juga?" Tanya Lenka seraya menatap bola mata cerulean Rin yang sama dengannya. Rin menatap ibunya dengan terkejut.
"H-hah?! M-memangnya bisa?" Tanya Rin tak percaya.
"Kalau Rin berusaha, pasti bisa!" Seru Lenka tanpa ragu seraya tersenyum lebar. Melihat senyum optimis ibunya, Rin ikut -akan energi optimis ibunya langsung mengalir dirinya lewat senyuman cerah Lenka.
"Doakan aku ya, kaa-chan!" Kata Rin seraya memeluk Lenka. Lenka membalas pelukan putrinya tersebut dengan hangat.
"Rin pasti bisa menjadi komikus hebat! Buat Kaa-chan bangga, oke?" Tanya Lenka. Rin mengangguk lalu tertidur. Karena menangis, ia menjadi capek dan ketiduran. Lenka tersenyum lalu membaringkan Rin ke kasurnya dan menyelimuti anaknya.
"Berjuanglah, Rin.." Bisik Ibunya dan mengecup kening Rin. Lenka pun berjalan keluar kamar Rin dan menutup pintu kamarnya. Seulas senyum terlukis di wajah selalu mendukung apapun keputusan anaknya.
Flashback off.
Aku jujur memang menangis waktu pertama kali membaca Girls. Impianku semakin meluas setiap kali mebalikkan halaman. Rasanya..Rasanya.. sungguh membuat hatiku berdebar-debar. Adrenalin memacu diriku. Aku jadi bersemangat untuk menulis komik. Setiap mengenang flashback itu, aku sering tersenyum sendiri. Oh ya, harusnya aku itu kembar. Kata kaa-chan,kembaranku namanya Len dan dia laki-laki. Tapi, dia meninggal karena tubuhnya kekurangan berat badan dan dia terserang penyakit. Aku dan Len memang lahir 8 bulan, namun akulah yang berhasil bertahan hidup hingga sekarang. Oh, seandainya, Len masih ada.. pasti dia tengah menyemangatiku sekarang dan mempunyai passion membuat manga sama sepertiku. Atau malah...berkebalikan denganku dan berjalan dengan dingin serta cuek dan terus-terusan mengejek gambaranku? Ah! Berhentilah memikirkan dia, Rin! Sekarang, Len hidup sebagai fictional character manga -yang akan menjadi-debutku.
Hari itu aku masih ingat...
Dari 7 May 2 tahun lalu..
Aku telah membuat keputusan..
Aku akan menjadi Kaiko Shion yang kedua! Aku pasti bisa!
Dengan langkah mantap, aku berjalan masuk kearah kereta yang akan membawaku ke stasiun dekat redaksi Girls. Rasanya, jantungku berdebar cepat. Senang sekali! Aku terus berpikir, apakah orang-orang redaksi Girls itu mau menerima karyaku?
Kuharap iya!
"Apa reaksi Gakupo ya mengenai ini?" Tanyaku pelan. Seketika, aku menggeleng.
"Kenapa aku malah memikirkan terong itu!" Jeritku di dalam pikiranku. Bukan.. kalian salah sangka bila mengira aku menyukai si terong pervert itu. Nah! Aku sudah mendapat julukan baru untuk dia! Sayangnya, dia sudah ke luar negri. Heh! Lagi-lagi memikirkan dia, Rin! Uuh, buang pikiranmu tentang terong pervert, Rin! Lagipula, kenapa sih memikirkan dia?
Ah, ya mungkin memang ada alasan. Ini bukan cinta. Namun, dia lah yang sudah kuanggap sebagai abangku sendiri. Kami bersahabat sejak SD. Dia sama-sama Otaku denganku. Namun, dari dulu ia mencintai Megurine Luka—katanya sih, tapi aku juga tak tahu itu jujur atau tidak—toh, aku tidak peduli amat. Dia lah tempat shoulder to cry ku bila ada yang mengejek gambaranku jelek atau pun membully diriku. Ya, aku lemah.. namun, ia selalu ada sebagai peran 'kakak' disampingku...
"Kau dulu memang lemah. Namun, sekarang kau harus menjadi perempuan independent, Rin. Aku tak mungkin berada disisimu selamanya—walaupun aku berharap begitu—. Aku yakin kau kuat. Tapi, aku tidak bisa menjamin kita bisa bertemu lagi. Di Amerika, aku sudah di-jodohkan dengan Luka. Aku harus bersamanya, Rin. Aku tak bisa meninggalkan dia. Apalagi, ini atas perintah langsung dari orang tuaku. Berhentilah menangis dan jadilah Rin yang kuat! Aku akan menyemangatimu dan mendoakanmu dari jauh! Aku yakin, kamu bisa debut dan sukses, Rin. Rin yang kukenal tidak mungkin menyerah, bukan?"
Kata-kata itu terngiang di kepalaku. Saat, kakak dan seseorang yang menjadi shoulder to cry ku pergi, rasanya separuh jiwaku ikut pergi bersamanya. Aku tidak menghentikannya. Karena, aku paham perasaanya. Aku benci mengakui ini, dialah sahabat yang paling mengerti aku. Walau aku tahu dia terkadang hanya bercanda dalam ejekannya. Namun, ia selalu menyemangatiku dan mengoreksi apa yang salah. Aku terlonjak saat mengetahui air mataku meleleh menuruni pipiku.
"Kau tak apa-apa, Oujou-chan?" Tanya gadis berambut biru itu menatap kearahku. Aku terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan seraya menatapnya dan tersenyum. Tentu saja, agar ia yakin aku baik-baik saja.
Baru ku-sadari, kereta telah berhenti di stasiun dekat dengan kantor redaksi Girls. Buru-buru, aku merapikan barang-barangku dan mengusap air mataku lalu berlari keluar dari pintu kereta. Gadis berambut biru itu mengikutiku.
"Kau benar-benar tak apa?" Tanya gadis itu khawatir. Aku menggeleng pelan.
"Daijoubu desuka," balasku. Selama beberapa detik, gadis itu terlihat tidak yakin dan khawatir, namun akhirnya ia tersenyum dan menepuk kepalaku lalu pergi ke cafe depan persis kantor redaksi Girls.
Aku menatap kearah gedung bertingkat tersebut. Wajahku memerah karena malu dan gugup. Bahkan, kakiku rasanya lemas sekali. Dalam hatiku berperang apakah aku harus masuk atau tidak. Masuk, aku bisa saja keterima namun bisa juga tidak. Tidak masuk, menanggung malu dan penyesalan bila aku bisa saja mendapatkan debut pertama. Namun, lega bila ternyata ditolak. Andai aku bisa melihat masa depan. Namun, itu tidak seru. Kalau kita bisa melihat masa depan, tidak ada lagi yang menantang dan pilihan-pilihan yang harus dipilih. Lalu, aku menarik napas dan menghembuskan perlahan
Sekali lagi, aku menatap kearah gedung tersebut...
Doki, doki, doki, doki, doki..
"Gimana, nih..aku gugup sekali.." Batinku seraya sekali lagi menatap kearah gedung yang menjulang tinggi tersebut.
"Demo, kalau melewati pintu ini..." Batinku seraya sekali lagi menatap pintu otomatis di depannya.
"Aku akan debut!" Seru Rin di dalam pikirannya.
Bugh!
Aku membentur seseorang cukup keras. Karena terlalu kaget, aku melepaskan peganganku dari kertas-kertas yang akan menjadi debutku ini.
Srak..sraak..srak..
Aku terjatuh diatas tanah yang keras. Seketika, rasa nyeri di bagian pinggang hingga ke kakiku terasa sakit. Posisi jatuhku terduduk dan orang itu—yang kelihatan lebih tua dariku—juga ikut jatuh terduduk. Seluruh kertas komik yang sudah aku susun, berantakan diatas tanah. Dengan kesal, aku melotot kearah orang tersebut yang sekarang sedang sibuk mencari kacamatanya yang terlempar cukup jauh.
"Da..dasar.." Aku bersiap-siap memarahi orang tersebut. Apalagi, kata makian sudah ada diujung lidahku.
"Tua bangkaa...Kussoo!" Batinku seraya menatap sebal kearah laki-laki tersebut.
"Ini milikmu?" Tanya laki-laki bersuara rendah tersebut. Suaranya sangat dalam dan rendah. Namun, kuyakin dia bisa bersuara tinggi juga. Ah, saat aku melihatnya, rasanya dunia di sekitarku berhenti.
"Dia mirip tokoh utama dalam sebuah cerita!" Batinku seraya tersenyum dan merona. Laki-laki itu bertubuh tinggi hampir tinggi dengan Gakupo, ia mempunyai rambut deep blue, hidung mancung, mata bewarna biru yang sama dengan rambutnya. Mata dan rambutnya mengingatkanku tentang samudra yang bewarna biru dan luas. Kulitnya putih. Baik ia memakai kacamata atau tidak, ia tetaplah tampan. Kata tampan kurang pas, dia lebih ke..GANTENG SUPER GANTENG BANGET!
"Yosh, tidak diragukan lagi!" Seruku secara tidak sadar menyuarakan pikiranku tentang betapa laki-laki itu mirip sebuah tokoh utama dalam manga yang biasanya ganteng. Adegan cliche seperti ini juga pasti bisa saja terjadi. Laki-laki itu menatapku dengan heran saat melihat tiba-tiba aku di depannya berteriak. Ah, kami-sama, aku senang sekali di pertemukan orang se-tampan dia!
" Weirdo. Gadis-gadis.. memang aneh.." Gumam laki-laki tersebut seraya mengernyit heran. Aku melotot kearah laki-laki yang kira-kira hanya berbeda 3 tahun denganku itu. (oh ya, Rin disini 13 tahun ya ^^)
"Nanda yo? Ngapain ngeliatin?!" Sahut laki-laki itu dengan ketus saat aku melotot kearahnya. Aku mendecih. Dia tidak benar-benar seperti impianku! Hancur sudah image malaikat nan tampan di depanku. Kupikir dia baik, punya senyuman angelic, dan ramah. Sekarang, berganti dengan monster dingin dan arogan yang bermulut tajam. Tiba-tiba, aku tersadar sesuatu..
"Ah..name card itu.." Batinku seraya melirik name card untuk orang-orang redaksi komik. Aku mengernyit melihat sebuah card yang sepertinya hanya dimiliki oleh orang yang bekerja di kantor redaksi komik. Lalu, dia baru saja keluar dari kantor redaksi komik Girls. Karena semua itu, dengan sotoynya aku langsung berkesimpulan bahwa dia adalah salah satu staff kantor redaksi komik girls!
"Yap! Pasti dia staf redaksi!" Batinku. Aku menatap kearahnya dengan mata berbinar. Dengan heran, ia mengangkat alisnya lalu kemudian menatap kearah Sketsa komikku dan terlihat terkejut. Benar kan! Baru bertemu saja, aku sudah membuat takjub salah satu staff redaksi! Rin kagamine gitu lho!
"Ng, Ariga—" Baru saja aku mau bilang terimakasih dia memotong.
"Jelek banget," ujarnya dingin, pedas, to the point.
Jleb.
"HAH APA?!" Seruku kaget. Aku memutuskan loading selama beberapa menit untuk mencerna kata-katanya yang diluar ekspetasiku.
Ia kembali menatap kearah kertas naskah komikku, "Kalau seperti ini, siapa pun nggak akan bisa membacanya," ujar laki-laki tersebut pedas. Aku mengepalkan kedua tanganku disisi tubuhku. Badanku gemetar karena menahan amarah. Wajahku menunjukkan tatapan mata mematikan khas 'Rin Kagamine'. Namun, ia menunjukkan wajah tidak peduli. Membuatku semakin naik darah melihatnya. Berani-beraninya dia menghinaku!
Aku hampir saja menangis. Namun, akhirnya aku ingat bahwa aku harus kuat. Untuk Gakupo... Aku menarik napas dalam-dalam, menepis rasa ingin menangis itu dari diriku
"P-padahal...ini pertemuan pertama kami.." Batinku seraya menahan kesal dan kecewa yang tercampur aduk di hatiku.
"..." Laki laki itu hanya menatapku dengan pandangan 'ini-punyamu-kan-?-jelek-sekali'.
"Tapi dia malah menghina karya terbaikku yang penuh cinta dan semangat.." Batinku.
Dengan segera, aku merebut kertas komikku yang berada di tangannya. Ia kaget dengan gerakan-ku yang tidak terduga. Lalu, ia hanya mengangkat salah satu alisnya tanda heran. Uh, aku benci wajahnya!
"Jangan sentuh!" Seruku cepat.
"Justru matamu yang jelek! Kau tak mengerti seni! Baka!" Seruku seraya berdiri dan menjulurkan lidah. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan 'apa-apaan-anak-ini..'.
"Cowok biru itu menyebalkan! Bodo amat dia staff redaksi atau bukan!" Pikirku seraya bangkit dari posisi jatuhku. Lalu, beringsut kearah kantor redaksi Girls. Rasa gugupku sudah diganti kesal, sehingga aku tidak Nervous lagi. Dipikir-pikir, thanks to the that blue haired man aku jadi tidak gugup lagi. Namun, dia sukses membuatku bad mood parah.
"Huh? Cover komik?" Pemuda tersebut melihat kearah kertas yang lupa diambil oleh gadis yang tadi ditabraknya. Ia berjongkok lalu mengambilnya.
"Eh? Komikus jenius Rin Kagamine?" Ujar laki-laki tersebut. Laki-laki itu tertawa dan berusaha mengontrol tawanya yang cukup keras.
"Dasar cewek aneh.." Kata Pemuda tersebut seraya menghela napas dan menyimpan kertas tersebut ke dalam map yang ia bawa.
Seketika Rin yang sedang menaiki elevator, bersin.
"Ah.. Anak itu terlalu percaya diri." Kata pemuda tersebut seraya tersenyum dan memandang pintu masuk kantor redaksi komi Girls, tempat Rin tadi masuk.
"Hm, tapi.. Aku suka kepercayaan dirinya.." Bisik pemuda itu seraya tersenyum misterius.
Di gedung redaksi..
"Oyurushi kudasai! covernya nggak ada!" Seruku seraya menahan air mata yang siap jatuh kapan saja di pelupuk mataku.
"Padahal, aku yakin sudah membawanya tadi.." Batinku seraya masih meminta maaf.
" Iie,do itashimashite. Omong-omong, Bicara soal komik.." Kata orang tersebut. Ia membetulkan letak kacamata ovalnya –yang sama sekali tidak turun ataupun berubah dari tempat aslinya daritadi— seraya merapikan naskah komikku. Dari bahasa tubuhnya, ia terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.
"H, ha'i!" Seruku gugup. Aku harus siap apapun yang dikritik oleh orang di depanku ini. Pemuda yang berumur sekitar 20 tahunan itu memang orang yang mengurus apakah komikku layak atau tidak dimuat dalam majalah Girls.
"Um..Pertama-tama, sebaiknya kau mempelajari dasarnya dulu." Kata laki-laki tersebut.
"D-dasar?!" Tanyaku gugup. Apakah itu berarti dia berkata secara halus bahwa aku tidak tahu dasar menggambar?! Laki-laki berambut cokelat itu terlihat tidak merasa enak denganku. Itu jelas terlukis di wajahnya, namun ia tetap melanjutkan kata-katanya.
"Yaah, kau harus tahu hal-hal kecil," lanjutnya. Aku mengangguk pelan. Aku tahu bahwa ini menjurus kemana. Walau, di pikiranku aku terus menjerit 'apa yang salah dari komikku!'. Bisa dibilang orang ini menolak komikku secara halus. Hatiku rasanya sakit sekali.
"Sumimasen.." Kataku pelan dengan suara serak. Ia mengangguk. Lalu, aku pun menutup pintu ruangan tersebut.
"Haah.." Aku menghela napas dan bersandar ke pintu ruangan tadi. Sambil menatap kearah lantai, aku berkali-kali meminta agar diriku tidak menangis. Aku sudah berjanji untuk menerima apapun hasilnya.
Tapi itu sulit. Disaat aku benar-benar tidak bisa menahan lagi, aku pun berlari menuju elevator dengan mata berkaca-kaca. Sempat, tadi aku bertubrukan bahu dengan seseorang saat keluar dari lift. Orang tersebut berteriak 'Itai!', aku meliriknya sedikit, ternyata ia jatuh terjengkang. Namun, karena aku tidak mau orang melihatku menangis, aku tidak sempat menolongnya dan buru-buru menutup pintu lift. Segera, aku meninggalkan kantor redaksi tersebut. Saat itulah, tangisku keluar. Beberapa orang menatapku dengan heran. Malu tidak ingin orang melihatku menangis, aku menutup kedua mataku dengan lengan kiriku seraya terus berlari.
"Oh, kami-sama..sebegitukah jelek gambaranku...?" Batinku seraya berlari dan menyeka air mataku.
Aku menemukan tempat itu. Tempat disaat aku merasa lemah dan perlu menumpahkan air mataku. Tempat dulu aku dan Gakupo yang masih kecil, bermain bersama. Tempat aku dan Gakupo bermain ayunan bersebelahan dan berlomba siapa yang paling tinggi ayunannya. Aku menduduki ayunan itu. Dua pasang ayunan kesepian. Dan sekarang duduklah gadis kesepian yang murung. Ayunan sebelahku yang harusnya ada orang yang selalu membuatku kesal, senang, dan sedih itu..Kini aku hanya memainkannya sendiri.
"Maafkan aku, Gakupo. Hari ini, sepertinya aku tidak debut lagi.." Bisikku pelan
"Aku capek dengan semua ini!" Jeritku. Aku pun menangis sejadi-jadinya tanpa menutup-nutupi lagi. Perasaan kecewa, sedih, dan marah tercampur dalam hatiku. Janjiku untuk menjadi gadis kuat sudah runtuh..
"Maafkan aku, Gakupo. Aku tidak bisa sendiri. Aku membutuhkanmu, Gaku-nii. Katanya, kau selalu ada bila aku sedang membutuhkanmu..Kemana kau sekarang, Gaku-nii? Katamu, bila aku memanggil kamu dengan sebutan 'nii-san' kamu akan mau menenangkanku. Namun, apa?! Aku sudah memanggilmu berkali-kali dan kau tidak datang. Kau mungkin sekarang sedang tertawa-tawa dengan Luka dan melupakan sahabatmu sejak SD ini. Kemana kau, Gakupo! Aku membencimu.. Aku membenci orang yang ingkar janji! Aku benci dirimu! Benci, benci, benci, benci! Kuharap kau mati saja!" Jeritku.
Tubuhku bergetar hebat. Aku menangis lagi karena menyadari kata-kataku yang salah. Aku tak mau kehilangan Gakupo, apalagi harus berbeda dunia. Angin menerbangkan rambut pendek honeyblonde milikku. Aku menyalahkan semuanya. Kenapa Len harus mati?! Bila, Len tidak mati.. pasti ia berada di samping diriku. Kenapa Gakupo harus pindah? Bila, Gakupo tidak pindah dia pasti sedang menghiburku dengan lelucon dan muka lucunya –yang terkadang garing—kemana semua orang saat aku membutuhkannya?! Kenapa malah meninggalkanku?! Kemana Miku dan Meiko yang mungkin bila ada mereka, mereka sedang sibuk menenangkanku seraya membelikan es krim jeruk kesukaanku. Mungkin, aku harus berhenti bergantung mereka. Aku harus kuat. Seketika, sesuatu terlintas di otakku..
Apakah aku harus menyerah saja?
Toh, tidak ada gunanya aku bersikap optimis. Aku akan selalu gagal..
Kaito POV
"Mr. Hiyama. Aku—mungkin—memungut cover komik milik seorang kontributor," kataku seraya menatap Mr. Hiyama. Dialah, yang biasanya menentukan siapa yang akan dipilih untuk masuk kedalam majalah komik Girls. Dialah, yang dijuluki si mulut pedas karena berkomentar apa adanya, Kiyoteru Hiyama.
"Ah, Kaito. Itu milik anak yang barusan datang mengajukan komiknya. Ternyata kau yang menemukannya.." Ujar Kiyoteru.
"Maafkan saya tidak menyerahkan kepada anda langsung. Apakah anda tadi mencarinya?" Tanyaku.
"Iie, aku tidak mencarinya. Cover itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Jadi, tidak apa-apa," kata Kiyoteru. Singkatnya, artinya gadis itu tidak diterima naskahnya. Diam-diam, aku merasa bersalah kepadanya. Pasti dia sedang kecewa berat. Padahal, semangat optimisnya sangat aku suka.
"Sudah makan siang, Kaito?" Tanya Kiyoteru membuyarkan lamunanku.
"Sudah. Apakah anda berencana mentraktirku?" Tanyaku bercanda. Lantas, ia tertawa.
"Tunggu saat aku dapat uang lebih," kata Kiyoteru seraya tertawa.
"Sepertinya itu akan lamaaa sekali.." Kataku bercanda. Kiyoteru menjitakku. Aku mengaduh kesakitan.
"Oh, sekarang Kaito berani dengan yang lebih senior?" Tanya Kiyoteru masih dengan nada bercanda.
" Ah bilang aja langsung, kalau kau sudah tua," godaku. Kiyoteru lagi –lagi menjitakku. Aku tertawa semakin kencang seraya mengusap dahiku yang sedikit perih. Aku dan Kiyoteru memang dekat. Ia adalah tetangga apartemenku.
"Ah ngomong-ngomong, Si 'fairy-good-mother' itu sudah datang?" Tanyaku. Aku memberikan penekanan pada kata-kata fairy good mother. Mengingat, orang tersebut cuti setengah hari. Mendengar kata-kataku, sontak Kiyoteru tertawa kencang karena tahu maksudku.
"Ah, dia itu editormu, Kaito. Harusnya, kau tidak menyebutnya begitu," kata Kiyoteru di sela-sela tawanya.
"Cih, lagipula dia selalu baik ke setiap orang. Kesal juga melihatnya," kataku.
"Hahahaha, orang baik malah sudah sedikit sekali di dunia ini, Kaito," kata Kiyoteru seraya menepuk pundakku. Lalu, ia menatap kearah ponselnya dan berjengit. Sepertinya, sebuah sms masuk.
"Oh, ya. Kalau mau melihat karyanya," Kiyoteru menatapku lalu menunjuk kearah mejanya. "Itu naskahnya, disamping kopi milikku," ujarnya. Aku mengangguk.
Aku berjalan mendekati meja kerjanya. Meja kerja Kiyoteru rapi. Ia memang pencinta kerapian dan kebersihan.
"Yang ini, ya?" Tanyaku sedikit mengeraskan suara agar terdengar. Kiyoteru hendak menjawab, namun terhenti saat sebuah ringtone masuk.
"Moshi-moshi, Kiyoteru Hiyama desu," sahut Kiyoteru seraya menerima telepon tersebut.
"Oh, Miki-chan!" Seru Kiyoteru ceria. Ah ya, Miki Furukawa, adalah pacar Kiyoteru. Kiyoteru sendiri, memiliki seorang adik yang masih SD bernama Kaai Yuki. Ah, kenapa aku jadi menceritakan tentang Kiyoteru? Ngomong-ngomong soal dia, dia sudah menjauh karena tidak ingin orang-orang mendengar percakapannya.
"Benarkah ini cerita fantasi..?" Batinku seraya menatap lembaran naskah komik tersebut. Aku menatap heran kearah kertas yang penuh berisi coretan tidak rapi. Aku menggeleng heran. Pasti lah, komik ini ditolak mentah-mentah oleh Kiyoteru!
"Nggak kelihatan seperti cerita fantasy.." Gumamku. Aku menaikkan alisku.
Dahulu kala, ada desa kecil yang hanya dihuni oleh laki-laki.
Di desa itu hiduplah seorang laki-laki..
Bernama Len..
Seketika, aku terasa terhisap masuk kedalam komik tersebut. Entah kenapa, komik ini menarik. Yah, walaupun gambarnya kurang bagus.
"Hmm.." Gumamku seraya tersenyum.
"Kau tertarik?" Tanya Kiyouteru seraya mendekatiku. Rupanya, ia sudah selesai bertelpon. Haah, cepat juga. Padahal, biasanya ia bisa mengobrol 3 jam lamanya dengan pacarnya itu. Kiyoteru memang menjalani hubungan Long distance relationship dengan pacarnya. Mereka, memang sibuk terkadang. Jadi, satu minggu sekali menelpon. Satu kali itu, biasanya paling lama 3 jam.
"Mungkin," ujarku seraya tersenyum.
Yaay! Fic ketigaku! Ide ini dari temanku sih. Nah terus, dia mau Rika menuliskannya. Ini juga terinspirasi dari komik yang Rika beli. Tapi, Rika bakal bikin alurnya berbeda dengan komik aslinya. Jadi, hanya mengambil ide 'seorang komikus tidak bisa menggambar' saja :3. Rika lupa judul comicnya, ada yang tahu judulnya? XD. Btw, apa pendapatmu tentang fic ini? Rika pengen ngebuat ini dan merasa Rin dan Kaito lah yang paling cocok XD Gatau kenapa, langsung berkata 'Fix! Mereka yang paling cocok buat cerita ini!' dan akhirnya lahirlah cerita ini. Semulanya, mau bikin Rin dan Len tapi Len sudah terlanjur menjadi fictional character di manga milik Rin Jadi, begitulah~ Lagipula, Rika rasa entah kenapa lebih klop cocokan Rin dan Kaito sebagai peran gadis bercita cita mangaka dan pria misterius(?) Ok, nantikan chapter selanjutnya, ya!
Character biodata
Name: Hatsune miku
Birthday: 31 August
Blood type: A
Height: 159 cm
Love: Shoujo manga, damai, ketenangan, peraturan, negi, makanan manis, teman pengertian, romantis.
Hate: Sesuatu yang tidak rapi, sesuatu yang ditentukan tiba-tiba, terkadang sedikit membenci sifatnya yang terlalu khawatir berlebihan pada sesuatu.
Hatsune Miku adalah salah satu sahabat Rin Kagamine. Mempunyai sifat sabar, rendah hati, pemalu, sopan dan sangat menjaga etika serta taat peraturan. Rin dan Miku sangat berlainan sifat, namun mereka sudah bersahabat sejak lama. Miku selalu mendukung apapun yang menurut Miku baik untuk Rin. Miku jarang ngobrol dengan cowok dan lebih memilih berteman dengan perempuan.
