luigi torelli

Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini, dan penulis tidak mengklaim kepemilikan tokoh-tokoh sama sekali. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.
Pairing/Character: Romano/Liechtenstein; Switzerland, Italy, Ancient Rome. Genre: Adventure/Family. Rating: T. Other notes: WWII!AU, Naval Army, Regia Marina.

(Pesisir tepian Italia Selatan; 1926. Vargas bersaudara memulai hidupnya. Anak-anak kecil bermimpi, menemukan teman baru, mencoba hal asing. Hidup tetap berjalan meski ada bagian-bagian yang hilang.)


Lovino membiarkan Feliciano melintasi pintu luar. Suara kakeknya juga memanggil namanya, tapi dia tak mau peduli. Tidur lebih menyenangkan ketimbang berjalan-jalan ke pasar atau memilih ikan. Lovino menutup mata saat kakeknya masuk kembali dan memanggilnya dari dekat.

"Kakakmu rupanya tidur lagi." Sang kakek menjauh, "Ayo, Feli, kita berdua saja. Nanti kita belikan kakakmu sesuatu yang disukainya."

"Ta-tapi ... aku ingin berangkat bersama kakak juga!" Feliciano menghentak-hentakkan kakinya di bibir pintu.

Kakeknya hanya tersenyum. Sebentar ia melirik Lovino. Sebagai orang dewasa tahu saja dirinya perbedaan pura-pura tidur dan mencoba tidur sungguhan. Lovino ada di pilihan pertama—namun sebagai orang dewasa dia juga paham apa itu rasa malas. "Kakakmu ingin bermimpi lagi. Biarkan saja dia. Feli juga suka bermimpi, bukan? Jadi jangan ganggu dia, oke?"

"Uhmmm!" Feliciano kemudian mengangguk-angguk. "Baiklaaah! Mungkin Kakak sedang melanjutkan mimpinya berlayar di lautan! Aku akan ke pasar dulu, nanti aku juga akan melanjutkan mimpiku setelah kenyang!"

Kakek menepuk puncak kepalanya, "Anak pintar. Sekarang ayo berangkat."

Bunyi pintu yang ditutup sudah menghilang di udara. Berikut pula bunyi langkah mereka di gang setapak yang becek. Lovino membuka mata lagi. Duduk meringkuk di ujung dipan ruang depan. Ruang bersekat rapuh yang bahkan terlalu kecil jika mereka bertiga tidur bersama di sini. Dengan pelukan pada kakinya sendiri dia menghangatkan dirinya.

Telunjuknya menyusuri tepian lemari yang bersih dari debu kecuali satu hal: tulisan dari pensil. Ukiran kakeknya. Sudah sangat pudar tapi dia masih bisa menemukannya dengan mudah. Begitu jelas di matanya.

Tanggal lahir mereka, lima tahun lalu. 1921.

"Bahkan untuk tanggal lahir pun kakek menulis punya Feli duluan." Dia mengerutkan hidung. Tubuhnya merosot lagi di dipan dan dia mulai memejamkan matanya.


Lovino tak begitu peduli pada ikan. Meskipun olahan kakeknya bisa disebut paling-paling-paling terbaik satu desa, apalah artinya jika tak cocok selera dan dirinya sedang tidak dalam mood yang tepat. Dia membiarkan penghuni dua sisi meja yang lain ribut dengan pembicaraan dan klontang-klontang peralatan makan.

"Lovi, ayo makaaan~"

Lovino menoleh dan nyaris mengenai sendok yang mengarah ke sudut bibirnya. Olahan ikan itu hampir mengenai pipinya.

Kakeknya tersenyum di sisi kirinya. Di sebelah kanan, adiknya mengangguk-angguk ceria sambil mengunyah di dalam pipinya yang gembil dan memerah.

"Tch ..."

"Ayooo~"

Dia membuka mulutnya. Dan kakeknya lanjut menyuapinya, tanpa protes atau tanpa celaan pada Lovino yang masih memberengut. Makanan itu memang enak, gurih dan tak amis. Kakeknya memang tak pernah mengolah masakan, yang dipertanyakan adalah hasrat Lovino sendiri yang bisa berubah semudah langit musim gugur.

"Hari ini rumah di depan gang sana akhirnya dihuni."

"Siapa, Kek, siapa, siapa?" Feliciano melonjak di bangkunya. "Apa mereka bisa diajak bermain? Apa mereka orang baik?"

Kakek tersenyum sambil menyelesaikan makan malamnya. "Kakek juga akan menjadi pengawas mereka."

"Kenapa mereka diawasi?" celoteh Feliciano, berlawanan dengan kakaknya.

"Karena mereka masih kecil-kecil juga. Mereka hanya dua bersaudara. Yatim-piatu. Datang ke sini karena ingin mencari penghidupan baru. Mereka terlalu miskin di tempat asal mereka. Lagipula sepertinya mereka ingin melupakan luka lama di tempat itu."

"Lalu kenapa harus Kakek yang mengawasi?"

"Karena Kakek adalah tetua di sini, ingat, Feli?"

"Oooh, begitu!"

"Dan adiknya, yang perempuan, hanya beberapa sedikit lebih muda dari kalian. Mungkin dia bisa diajak bermain."

"Asyiiik! Aku akan menyapanya besok!"

"Aku sudah selesai," Lovino memotong pembicaraan keduanya dan menyodorkan piring lebih dekat pada kakeknya. Kedua lawan bicara terkejut, namun anak itu hanya melirik mereka bergantian dengan tatapan mengejek. "Apa? Kalian banyak bicara," cibirnya. "Terima kasih makanannya. Aku ingin tidur."

"H-hei, Lovino! Jangan tidur setelah makan, nanti isi perutmu akan memakan perutmu sendiri—"

Terlambat. Anak itu sudah naik ke loteng.


Lovino menyipitkan mata. Mereka bertukar pandang lagi. Kening Lovino makin mengerut ketika gadis itu meliriknya dari ujung mata sambil mengeratkan genggamannya pada lengan pakaian si kakak. Si kakak peduli padanya, Lovino bisa melihatnya, tetapi bagi dia tentu lebih penting menawar roti saat ini.

Lovino mendengus. Aku tak akan mencuri roti kalian, Bodoh. Lalu dia berlalu di samping dua saudara itu dengan sepotong roti ia sumpalkan ke mulutnya.

Ketika dia lewat dan bahu mereka nyaris saling menyinggung, Lovino melirik lagi. Si tetangga baru kembali merapatkan dirinya pada kakak laki-lakinya.

Semuanya menambah alasan mengapa dia tidak suka persaudaraan dan keberadaan seorang adik yang kadang terlalu salah dalam suatu keluarga. Kedekatan membuatmu jadi pengecut, katanya, sambil menggigit roti dengan kasarnya. Tidak, tidak ada maksud untuk menyindir adiknya. Karena adiknya sudah seringkali ia peringatkan! Hanya karena tikus, menangis? Dan berpegangan pada kakaknya? Tsk.

Di balik punggungnya, Erika menoleh. Berhenti berpegangan pada Basch. Orang itu sedikit menakutkan. Tapi dia masih kecil juga. Kurang lebih dirinya. Apa yang perlu ditakutkan, kalau begitu?

Tetapi Erika menghentikan ide-ide yang bermunculan tentang anak laki-laki barusan. Dia masih terkejut dengan ikan-ikan yang menggantung—dironce seperti kalung, lalu pantai, angin laut, dan perahu-perahu yang baru kali pertama dia lihat seumur hidupnya. Hidup dikelilingi pegunungan membuat pikiran mudanya sedikit sempit.


Feliciano menghilang lagi. Kakek bilang ia pergi ke seorang pembuat roti setengah jam yang lalu, di gang yang lain. Dia selalu ingin tahu soal roti dan soal ham, jika saja si koki kampung itu punya beberapa pon daging di dapurnya.

Lantas kakeknya pun juga pergi ke pasar, entah apa yang diurusnya, Lovino tak tahu dan tak mau peduli. Sebelumnya Kakek mengajaknya, tapi Lovino mengeluhkan bau ikan yang selalu dia benci, yang selalu ada di pasar manapun sejauh langkahnya pergi. Anak itu mengambil bola tuanya yang sudah kempes, dan berdiri di ambang pintu. Menengok kiri dan kanan. Semua orang sibuk. Semua anak kecil punya dunianya sendiri.

Kecuali yang di depan gang sana.

Yang terlihat seperti beberapa jengkal saja dari sini karena gang itu tak lebih panjang dari lima puluh langkah Kakek. Sempit dan bau, sangat basah di musim hujan dan seperti gua salju di awal tahun. Rumah berjejalan seperti tumpukan peti di gudang tak terawat. Dunia yang setiap hari menyambutnya.

Anak itu lagi, hidung Lovino mengerut. Ia harus mulai terbiasa menemukan si mungil itu di depan dunianya, apapun yang ia lakukan.

Lovino menjatuhkan bolanya di mulut rumahnya. Dia berlari ke dalam dan membuka lemari. Dia mendapat jatah dua roti pagi ini, katanya karena Kakek baru mendapatkan uang kemarin sore, namun dia tinggalkan salah satu. Kakek membangunkan terlalu pagi dan perutnya belum siap untuk dihuni lebih banyak gandum.

Lelaki mungil itu berlari ke depan gang. Anak perempuan itu mencoba menyapu dengan benar bagian bawah bangku kayu di terasnya yang sempit, tertunduk-tunduk sambil mencoba mengangkat bangku yang begitu berat.

"Nih, makan ini." Lovino mengulurkan tangannya.

Perempuan itu terkesiap lalu berdiri tegak. Tangannya mengepal di depan dada.

"Makan. Ini untukmu."

"Ke-kenapa ... kau ... memberikannya padaku?" suaranya gemetar. Lovino mendengus karenanya.

"Supaya tubuhmu tambah besar. Kau jadi kuat. Sehingga kau berhenti menjadi pengecut yang cuma menempel di lengan kakakmu saja."

"Eh ..."

"Makan, atau tidak?"

Salah satu tangan anak itu menggenggam sapu dengan erat, mencengkeram seperti terkunci. Namun tangan yang lain bergerak mendekat ke roti.

Lovino menarik tangannya dan langsung meletakkan roti itu di telapak. "Menempel pada saudaramu terus itu menyebalkan, tahu. Kau tidak berpikir bahwa dia bisa terganggu karena itu, hah?"

"Ka-kakak sayang padaku ..."

"Tapi kalau terlalu sering kau juga mengganggunya!"

Suara deheman terdengar dari pintu. Mata Lovino terbelalak mendapati orang yang dia sebut-sebut, dan dia langsung melengos pergi.

"Terima kasih—"

Lovino menoleh, "Lovino."

"Aa—y-ya, terima kasih, Lovino."

"Awas kalau kau tak bisa membedakan aku dan adikku!" teriaknya sambil menoleh sebentar, lalu menghilang masuk ke dalam rumahnya sendiri. Sesaat setelahnya langsung berbunyi dentaman pintu yang dibanting.

Erika memandangi rotinya. Basch langsung mengambil itu dari tangannya, lalu mengendus-endusnya. Alisnya bergerak, tetapi kemudian dia kembalikan lagi pada Erika. Ia masuk kembali ke dalam rumah sambil berkata,

"Jika bukan karena kakeknya yang kuhormati, sudah kusuruh kau tidak usah terlalu bergaul dengannya."


Ternyata Kakek pulang membawa buku. Bekas dan tua. Untuk dia dan Feliciano belajar, kata Kakek, tetapi Lovino benci baunya. Beberapa di antaranya menguning dan sobek. Ada yang bersampul tebal namun telah rapuh dan malah berbau amis.

"Buku-buku bagus untukmu, Lovi," Kakek meyakinkan. Lalu ia melirik pada Feliciano, sudah akan buka suara tentang anak itu yang sudah asyik dengan sebuah buku tentang makanan, namun dia urungkan. Membandingkan Lovi dan Feli hanya akan menghancurkan suasana yang sudah susah payah dia bangun.

"Aku benci baunya!"

"Okee, akan kita pilih buku yang baunya enak. Sebentar, ya." Kakek menggilir satu demi satu buku untuk mencium aromanya. Sudah hampir ke bagian terakhir tumpukan, dia akhirnya tersenyum cerah. "Nah, ini! Lihat, lihat apa yang Kakek temukan! Ini bisa menjadi buku pertama dalam hidupmu. Ayo, Lovi, yang ini baunya tidak apek." Dia menepuk-nepuk pundak cucunya yang memunggunginya sambil bersilang tangan di depan dada.

Lovino mengalah perlahan. Dia merangkak ke sisi kakeknya.

Anak itu menyusuri permukaan buku bergambar yang tipis tersebut. Sudah pudar gambarnya, namun tetap jelas benda itu apa berikut keindahannya yang membuat Lovino lupa dengan bau buku yang menurutnya menjijikkan.

"Ikuti Kakek membaca judulnya, ya."

Lovino menggangguk.

"Ka-pal. La-ut."


Hingga lebih dari setengah jam berikutnya, Lovino hanya mau berhubungan dengan bukunya.

Kakek tersenyum saat melihatnya tertidur siang tanpa menggunakan bantal dan buku itu masih terbuka di bawah tangannya.


Lovino tahu saat ini masih musim semi, tapi itu bukan alasan untuk bangun pagi-pagi dan menemui pohon-pohon yang kembali hidup setelah berbulan-bulan hanya tidur dengan selimut salju.

Terlebih, pagi ini hujan.

"Ayo Loviii, bangun, nanti sup ikannya dingin~"

"Tiiidak mau." Lovino membungkus dirinya dengan selimut sampai ke kepala. "Aku tidak mau! Siapa yang mengatakan aku tidak boleh tidur lagi saat hujan?"

"Kalau sup ikannya dingin—"

"Aku akan tetap memakannya!" geram Lovino dari balik bantal—ia semakin mengubur dirinya dengan bantal menyelubungi kepalanya.

"Benar, ya. Jangan marah-marah nanti."

"Yang penting aku bisa tiduuuuur!"

Kakeknya pun meninggalkan kamar. Feliciano sudah dilarangnya ikut membangunkan Lovino, atau kalau tidak, pilihan lainnya, mereka berdua bisa terlibat perang ala bocah lagi. Anak itu sekarang kembali berduaan dengan buku di bawah sana. Itu buku ketiganya sekarang. Walau dia masih belum bisa membaca lebih dari tiga suku kata, gambar-gambar selalu membuatnya tertarik.

Lovino menyingkap selimutnya saat ia rasa Kakek telah menjauh. Ia lanjut memejamkan mata dan memeluk bantalnya.

Hujan perlahan mereda. Tidak lagi memukuli jendela di belakang Lovino dengan kasarnya. Arti semuanya mengesalkan Lovino: cuaca menjadi hangat. Lovino mendengus sebal sambil menendang selimutnya. Ini salah Kakek, gerutunya, menyesali momen tidur nyaman di bawah hujan yang jadi runyam hanya karena suara Kakek. Dengan gusar dia menuruni tangga dan melarikan diri ke ruang makan.

Dia mengambil sup ikan yang disimpan di dalam lemari rendah di samping meja makan. Dibawanya keluar. Makan di ruang makan bukan hobinya kecuali ada keramaian di sana. Sesebal-sebalnya dia pada adiknya, dunia tak akan pernah sama tanpa dia.

Dia memakan sambil berdiri di ambang pintu luar. Meski lupa mengambil roti, dia mengabaikannya saja. Sup ikan yang walau sedikit namun gurih buatan Kakek memang tak pernah salah. Ia bersandar sambil menikmatinya.

"Sekolah itu baru dibuka. Ada yang bilang, murid yang belum genap umurnya akan tetap diterima."

Lovino menoleh karena suara Kakek begitu jelas di bibir gang tersebut.

"Hm. Erika sudah bisa membaca, walau sedikit-sedikit. Aku tak banyak mengajarinya, tetapi dia selalu ngotot untuk membeli buku setiap kami melewati beberapa toko."

Kakek tertawa. "Aku tidak menyangka Erika bisa memaksamu."

Basch mengangkat bahu. "Dengan caranya sendiri."

"Hmm. Feliciano masih belum lancar membaca, tetapi dia antusias dan terus mencari buku baru. Lovino masih berkutat dengan buku pertamanya tapi dia sangat serius. Dia belum pernah mau membacakan sesuatu di depanku. Tapi aku yakin kemampuannya tidak jauh dengan Feliciano. Mereka cukup gigih jika mereka menyukai sesuatu."

"Oleh karena itu ada sekolah, bukan, Paman?" Basch mengibas-ngibaskan topinya. "Aku masuk dulu. Aku harus berangkat ke toko sebentar lagi."

"Baiklah, Anak Muda. Semoga cucu-cucuku dan adikmu bisa satu sekolah nanti agar kita lebih mudah mengurus dan mengawasi mereka. Selamat bekerja, Basch." Kakek menepuk-nepuk pundak Basch—dan dibalas langsung dengan ucapan selamat pagi dari pemuda tanggung itu.

Lovino bergegas masuk sebelum Kakek menyadari keberadaannya di depan pintu tersebut.

Sang kakek pergi dulu ke ujung gang, menemui seseorang yang pada malam sebelumnya bertanya tentang sesuatu yang dijual di pasar. Dia membahasnya beberapa saat di sana sebelum akhirnya kembali ke rumah untuk bersiap-siap. Pasar sudah menunggunya dan sepertinya akan ada kapal yang datang hari ini dengan barang-barang yang bisa dia perdagangkan ke desa lain. Termasuk ikan, tentu saja, yang akan menambah isi dapurnya untuk beberapa minggu ke depan.

"Ka-pal. La-ut. Ka-pal. Ka. A. Pe. A. El. Ka ... pal. El. A. U. Te. La ... ut."

Kakek bersandar di dinding sambil bersilang tangan di dada dan tersenyum. Lovino mengulangi kata yang sama berkali-kali. Dan juga, bohong jika dia tak mendapati Lovino sesekali melirik ke arahnya sembari mengeja. Mencari perhatian secara sembunyi-sembunyi.

Tertawa kecillah lelaki itu. Dasar cucuku ini. Bahkan dia lupa dengan sup ikannya.

Mangkuk dan isinya yang malang.


Lampu listrik hanya ada di ruang tengah. Kakek tidak bisa membayar lebih banyak lagi jika semua ruangan dipasangi penerangan canggih itu. Kamar hanya memiliki lilin, tetapi Feliciano tidak menyerah untuk mencoba mengeja paragraf awal buku tentang kue yang merupakan buku ketujuhnya.

Feliciano tak menyerah, mana mungkin Lovino mau diam saja? Dia masih bertahan di bacaan halaman pertama bukunya, namun sesekali membuka-buka hingga halaman paling belakang hanya untuk melihat-lihat gambarnya. Begitu lama dia memandangi barisan kapal dan gambaran awak-awaknya. Kapal yang diceritakan di buku begitu beragam, mulai dari armada Viking, kapal abad pertengahan, hingga kapal di era Dunia Baru. Yang letaknya paling belakang, yang paling baru karena urutan pembahasannya sesuai linimasa, adalah armada-armada Italia setelah Risorgimento. Armada di bawah Regia Marina.

"Masih belum ingin tidur?"

Lovino mendongak. Lalu melirik ke ranjang di samping kanan. Feliciano telah tidur walau bukunya masih berantakan.

"Kakek ...," pintanya, pelan, "bisa ceritakan apa saja yang ada di dalam buku ini?"

Ranjang berdecit saat kakeknya ikut duduk di atas sana. "Banyak. Semuanya tentang kapal. Kausuka kapal?"

Lovino mengangguk cepat.

"Baik. Akan Kakek bacakan sedikit. Kaumau yang mana dulu?"

Lovino dengan lekas membuka bagian tengah buku. Armada dan Angkatan Laut Inggris. Kakeknya tersenyum dan langsung menujukan jarinya ke gambar kapal di bawah paragraf awal.

"Inggris dikenal sebagai negara para pelaut handal di dunia. Mereka menguasai separuh dunia dengan kapal mereka."

Lovino memperhatikan bagaimana cara kakeknya membacakan suku kata demi suku kata, dan mengulangi beberapa bagian yang cukup panjang. Sesekali Kakek menunjuk pada kertas besar di dinding yang memuat daftar alfabet dan mengingatkan Lovino kembali pada huruf-huruf. Sesekali Lovino dapat mengikutinya dengan terbata-bata, namun seringkali dia biarkan kakeknya membaca sendiri sambil berbisik tanpa ia ikuti.

Tiga kali ia menguap berturut-turut, saat itulah Kakek memutuskan mengakhiri semuanya.

"Besok kita lanjutkan lagi, ya. Kakek akan membacakan yang lain juga untukmu."

"Kakek," Lovino menutup buku itu lalu meletakkannya di samping bantal. "Apa aku bisa bersekolah jika aku bisa membaca?"

"Tentu saja! Guru-guru akan senang padamu jika kaubisa membaca dengan lancar. Walaupun jika kau tidak bisa, mereka akan tetap membantumu." Kakek mengusap kepalanya—namun Lovino rasa itu lebih kepada mengacaukan rambutnya sendiri.

"Aku juga ingin bersekolah dengan Feliciano."

"Oo, Kakek tahu itu."

"Soalnya aku tidak mau kalah darinya!" sembur Lovino bersungut-sungut sambil menyilangkan tangan. "Aku juga harus bisa membanggakan Kakek dengan membaca!"

"Tentu saja bisa, Tampan. Terima kasih," Kakek lalu berdiri dan mematikan tiga lilin, hanya menyisakan satu untuk bekal mereka berdua tidur. "Tidurlah. Kakek masih harus menghitung uang untuk pembukuan. Kakek akan menyusul satu atau dua jam lagi. Tidur nyenyak, cucu Kakek yang pintar."

Lovino menarik selimutnya sendiri. Tak lama setelah dia menyaksikan kakeknya menutup pintu kamar, dia terlelap.


Lovino kembali melihat Kakek mengobrol dengan Tetangga Mulut Gang saat pemuda itu sudah berpakaian rapi untuk bekerja di toko penjual tepung. Kali ini adik kecilnya sedang menyirami bunga-bunga kecil di teras mereka, sesekali melirik pada Kakek. Dan tentu saja, kakaknya.

"Aku tidak ingin memasukkannya sekarang. Biar saja dia bergabung dengan organisasi di sekolahnya sendiri nanti. Tidak tega saja melihatnya harus ikut beberapa kegiatan saat dia masih ingin bermain-main."

"Kalau tidak salah, umur tiga tahun sudah harus masuk organisasi berseragam hitam itu, 'kan? Dan mendapat beberapa pengarahan?"

"Ya, memang. Cucu-cucuku terlambat dua tahun," Kakek terkekeh. "Tapi biarlah. Biarkan mereka tak tahu apa-apa. Untung saja tidak ada anak buah Il Duce yang datang ke sini dan mencari ke pelosok gang. Daerah kita memang tak terlalu terjangkau. Bersyukurlah."

Basch nampaknya sadar. Dia mengendikkan dagu ke arah belakang punggung Kakek. "Cucumu yang tertua kelihatannya mencarimu."

"Oh—ooh, ha ha, Lovino! Kemari, Nak! Sini, mau kenalan dengan Erika juga, kah?"

Lovino menggembungkan pipinya. Kakeknya semakin nyaring tertawa.

"Ya sudah. Berangkatlah. Selamat bekerja, Basch."

Lovino bersembunyi di ruang depan saat kakeknya masuk.

"Haaai, selamat pagi! Kakek tidak mengira kaubisa bangun sendiri."

"Aku juga bisa, tahu!"

"Feli ada di mana?"

"Dia sedang di dapur. Mungkin dia berniat mengacaukannya lagi dengan telur dadar yang gagal dan mengotori kompor."

Kakek duduk di satu-satunya kursi di sana sambil meminum air putih yang masih ia sisakan di gelas di tengah-tengah meja.

"Kakek. Organisasi itu apa?"

Kakek berhenti minum. Melirik Lovino.

"Itu apa? Katanya ada pelatihan juga. Apa itu?"

"Begini." Kakek mengisyaratkan agar Lovino mendekat padanya. Lalu dia angkat cucunya ke pangkuannya. "Setelah perang, seseorang yang baru memimpin negara kita. Dia cukup hebat. Dan dia menyuruh agar semua orang mencintai negara ini dan mempertahankannya. Jadi dibentuklah organisasi. Organisasi itu adalah perkumpulan orang-orang yang punya satu tujuan. Kemudian bagi anggota organisasi itu diberikan latihan agar dia bisa mempertahankan negaranya."

"Mempertahankan dari apa?"

"Yaa ..." Mata Kakek berputar-putar menyusuri ruangan. Lovino mengguncang lengan Kakek agar dia dilihat. "Hm, hm, banyak hal, Lovi. Misalnya saja, serangan dari luar. Peperangan. Perang baru saja terjadi—ya, cukup lama juga, sebelum kaulahir—tapi supaya hal itu tidak terjadi lagi, maka orang-orang harus kuat."

Salah satu pipi Lovino menggembung. "Perang?"

"Ya."

"Perang itu jahat, ya?"

"Perang itu kekacauan, Lovino. Saat semua orang berebut untuk menjadi yang terkuat, atau bisa juga karena hal-hal sederhana. Misalnya makanan, tempat tinggal, atau kemerdekaan."

"Apa perang bisa membunuh orang lain?"

"Banyak." Kakek tersenyum pahit. "Beberapa saudara Kakek juga meninggal karena perang. Perang Dunia I, namanya. Dan itu mengerikan."

"Kalau begitu aku benci perang. Apa boleh aku melarikan diri dari perang dengan kapal?"

Sang kakek terdiam sebentar, untuk kemudian tertawa lebar sambil menepuk-nepuk punggung Lovino. "Ah, bisa saja kau ini. Kau memang suka kapal, ya?"

"Hu-um."

"Tapi melarikan diri itu tidak baik, Lovino. Melarikan diri itu namanya tidak bertanggungjawab. Dan Kakek selalu mengajarkanmu untuk bertanggungjawab, bukan? Misalnya mengelap air yang kautumpahkan dari gelasmu sendiri, baik sengaja atau tidak sengaja. Tanggung jawab itu penting agar dunia tidak menjadi buruk."

Lovino memadang mata Kakek dengan tatapan yang jernih. Kakeknya tertegun dan merasakan bahwa ada hal lain yang barangkali bisa terjadi di masa depan tentang pembicaraan ini. Tak pernah Lovino terlihat begitu serius untuk suatu hal, apalagi atas nama rasa penasarannya. Dia selalu diam saja atas apapun hal penting yang kakeknya bicarakan. Kadang ia menyahutnya dengan ketus dan hanya sesekali dengan serius. Kalaupun pernah hal ini terjadi, itu tak jauh-jauh dari cerita tentang orangtuanya dan tak biasa hal-hal di luar itu.

"Jadi, bisakah bacakan aku buku tentang kapal itu lagi?"

Kakek tertawa. "Ambilkan bukunya."


"Yaaah, bolanya ..." Feliciano menunjuk si kulit bundar yang menggelinding melintasi becek itu, menuju ke depan gang.

"Kau yang menendangnya terlalu kencang!" Lovino berkacak pinggang. "Ambil!"

"Kakak lebih dekat, 'kan?"

"Aaah, kau ini!"

Kecipak air tak Lovino dengar, namun Feliciano tersenyum cerah.

"Ini bola kalian ..."

Kuping Lovino menegak dan memerah, seakan ada alarm menyala di sana, dia berbalik dan benar saja firasatnya.

"Ke-kenapa kau mengambilkan bola kami?"

"Aku hanya selalu diminta oleh Kakak agar berbuat baik pada orang lain." Erika tersenyum sambil mengulurkan bola itu pada Lovino.

"Terima kasih, Erika!" langkah kecil Feliciano berderap melewati kubangan di tanah yang lembek. "Mau ikut main bersama kami?"

Lovino langsung memotong gerak Feliciano dan menyuruhnya mundur sedikit, dialah yang mengambil bola itu dari si tetangga mungil. "Kau sudah berkenalan dengannya, ya?" Dia menoleh lagi pada adik kembarnya.

"Iya! Erika, belum berkenalan dengan Lovino? Aah, sayang sekali, dia kakak yang seru!"

Lovino menyanggah dengan dengusan nyaring.

"Aku sudah tahu namanya," Lovino mencibir. "Ma-mau main bersama kami?"

"Maaf ... aku tidak bisa main bola. Aku menonton saja. Mainlah lagi ... permainan kalian seru ..."

Erika menarik diri. Feliciano melambaikan tangan dengan ceria ke arahnya.

"Kau sok akrab." Lovino pun menendang bola kencang-kencang.


Tiga lilin masih menyala. Feliciano menyeka matanya dan bangkit.

"Belum ingin tidur, Kak?"

Lovino mendelik. "Matikan saja lilinnya kalau kau merasa terganggu. Atau perlu aku yang melakukannya?"

"Buku tentang kapal itu, ya?" Feliciano melongok. Tak acuh soal api kecil di meja di antara mereka. Matanya hanya terbuka sedikit, namun lilin membantunya untuk tahu bahwa kakaknya masih belum ingin meninggalkan buku itu.

"Berisik."

"Oh, iya, Kaaak, aku baru ingat! Kakek bilang sebentar lagi kita akan sekolah! Kita bisa puas-puas membaca di sana! Jadi sebaiknya Kakak tidur saja, simpan energimu untuk sekolah nanti!"

"Tsk. Kita tidak akan sekolah besok, tahu." Dia membalik halaman dengan cepat. "Lagipula aku sekarang membaca supaya nanti aku bisa puas membaca di sekolah!"

"Mhmmm." Feliciano berbaring lagi, mata terpaku pada langit-langit. "Ayah dan Ibu pasti bangga karena kita sudah bisa membaca." Dia mengulurkan tangan ke udara, mencoba mencapai hal tak kasatmata yang hanya disaksikan dalam diam oleh kakaknya. Bayangan lilin menari di pipinya, dan Feliciano suka kehangatan yang sunyi malam ini, yang membuatnya merasa dekat dengan apa yang sudah tak ia punyai.

"Kauingat sesuatu tentang Ayah dan Ibu?"

Feliciano menoleh. Mereka berpandangan, bahasa saudara kembar, yang hanya mereka berdua yang mengerti, sedang dibicarakan di saat itu. Saling bertanya apakah mereka punya setidaknya secuil ingatan tentang masa lalu yang benar-benar pudar dan tertutup bayangan. Akhirnya, Feliciano menggeleng.

"Tapi aku yakin, mereka pasti senang jika kita menjadi pintar."

"Dan kuat."

Mereka berdua sama-sama tenggelam dalam keheningan. Beberapa saat kemudian, Lovino mendengar suara dengkuran Feliciano yang tertidur telentang dengan salah satu tangan terangkat ke atas, dan bibirnya menyunggingkan senyuman lebar.

Lovino mencoba untuk mengeja frasa yang ia janjikan akan menjadi hal terakhir yang ia coba baca malam ini.

"Er. E. Gi. I. A. Re ... gi ... a. Re ... gi ... a ... em. A. Er. I. En. A. Ma ... ri ... na. Marina. Regia ... Marina!"


"Apakah di sekolah aku benar-benar boleh membaca terus, Kakek?"

"Tentu saja." Kakek menurunkan sebuah panci dari gantungannya di dinding. Jam makan malam masih lama, tetapi ada banyak bahan di meja. Pasti Kakek ingin memasak lebih banyak dari yang biasanya. "Sekolah akan dipenuhi kegiatan membaca."

"Ah."

"Oh, ya, Lovino. Ingat satu pesan Kakek, ya."

"Apa? Jangan nakal pada Feli? Fuh, aku juga mengerti hal itu."

Kakek tertawa renyah. "Bukan itu. Cucu Kakek tidak ada yang nakal, Kakek tahu itu."

"Lalu?"

"Jangan tulis namamu 'Lovino Vargas', ya. Tulislah 'Lovino Cello'. Nanti Kakek ajarkan huruf-hurufnya."

"... Kenapa seperti itu? Apa Ibu memberiku nama yang lain?"

Kakek berbalik dan bercangkung di hadapan Lovino. Kedua bahu cucunya itu dipegangnya. "Nama 'Vargas' itu rahasia. Bahkan Kakek sendiri enggan memberitahunya pada banyak orang. Itu nama yang hebat dan keren, tidak banyak orang yang boleh tahu." Cengiran lebar Kakek tampak sangat meyakinkan. "Di sini yang tahu juga cuma Basch. Dia orang yang baik untuk Kakek, jadi Kakek percaya padanya—dan dia sudah seperti anak Kakek sendiri. Jangan beritahukan ini pada siapa-siapa, ya?"

Lovino mengakhirinya dengan anggukan.

tbc.


trivia:

Di bawah pemerintahan Mussolini, anak-anak Italia diajari bahwa Mussolini-lah yang akan membawa Italia ke masa kejayaan. Ada tiga tingkat organisasi untuk anak-anak, dilakukan setelah sekolah. Organisasinya: Sons of the (she) Wolf (4-8 tahun, seragam kemeja hitam), Balilla (8-14 tahun, seragam kemeja hitam, topi hitam, celana pendek, kaos kaki abu-abu), dan Avanguardista (14-18 tahun, seragam sama dengan Balilla tapi bukan memakai celana pendek, diganti knickerbockers. (sumber; info lebih lengkap: historylearningsite – Life in Fascist Italy).


a/n: hulloooo akhirnya multichap lagi di hetalia! dan so far, ini barangkali bakal jadi multichap terpanjang yang kutulis di fandom ini, so far ya, so far, ga tau di masa depan wkwk. i really enjoy the research! dan semoga enggak kaget ya, ini timespan-nya panjang banget jadi plotnya lompat-lompat, aku cuma bakal ngehighlight peristiwa-peristiwa penting di hidup tokoh-tokohnya.

dan soal judul; silakan gugling kalo ga sabar nunggu chapter2 selanjutnya hehe. XD tapi kalo yang temenan sama aku di fesbuk/tuiter pasti bisa nebak itu apa. karena aku sering ngoceh soal ini di sana (...)

'kay, thanks udah baca, ya! o7