"Rose-san! Aku penggemar beratmu!"

"Rose-san! Rose-san! Rose-san!"

Semua teriakan dari para fangirl di luar sana hanya kutanggapi dengan lemparan senyuman kecil, yang kutahu itu malah akan menambah teriakan yang sangat berisik. Sementara dari dalam gedung, para manajer memanggil-manggilku dan berkata saatnya mempercantik diri. Aku menurut saja, segera melangkahkan kakiku di atas carpet merah menuju ruang rias—disambut dengan teriakan para gadis di sepanjang jalan menuju gedung, yang dibatasi pita pembatas.

Melihat pantulan diriku di cermin—yang telah terhias dengan cantiknya, tersenyum puas. Perias wajah pribadiku sempat memuji penampilanku yang faktanya adalah hasil tangannya sendiri. Asisten pribadiku mengisyaratkan lewat manik merah marron-nya—menyuruhku bergegas menuju panggung, di mana para penggemar tengah menunggu dengan antusias. Aku tetap hanya menurut, sebelum akhirnya langkahku diberhentikan oleh kameramen. Lelaki setengah baya itu memberiku beberapa nasehat yang diterima otakku dengan baik.

Agak menenangkan diriku, mulai mengambil nafas lalu membuangnya. Setelah dipikir siap, kakiku melangkah menuju megahnya panggung dengan lampu berpendar terang dan sorakan memuji. Lagu diputar, aku mulai bernyanyi dan menari—dengan senyuman paksa yang sanggup menutupi segala beban hidupku.

Di sinilah aku,

—Rose, 16 tahun, seorang idola yang menyedihkan.


Now playEven If I Die, It's You — V & Jin [BTS]

A/N : lagunya nggak mendukung sih. Nggak ada hubungannya sm ff ini. Tapi denger suaranya V sm Jin bakalan adem kok. (ini mah authornya aja yang suka -_-)


Genre : drama/angst

Rated : T+

Pairing : Miku H. X Kaito S.

Gadis itu baru menyadari ketika salah satu penggemarnya telah pergi. "Biru bodoh sialan..." —penyesalan yang tenggelam di dalam lautan air mata. /romance alay.

Disclaimer : Vocaloid © Crypton Future Media, Yamaha Corporation, dll.

Warning : typo, AU!korea&jepang, OOC, alay, abal, bahasa gaje, alur kecepetan, dll.

Don't like don't read.

.

Happy reading!

.

.

.

[Foolest Idol]

1/ meet again

Konser berakhir dengan tenang, disambut lagi sorakan memuji yang sedari tadi tidak berhenti. Aku tetap tersenyum, seraya melambaikan tangan kepada para penggemarku. Mereka mengambil gambarku—aku tak keberatan. Setelah dirasa cukup, aku berjalan menuju kursiku dan mendarat duduk melepas penat.

"Selamat siang, semuanya," sapaku seperti biasa, diiringi sebuah senyuman tipis. Kulihat sekilas wajah-wajah para penggemarku—mereka tersenyum melihatku, sangat senang. Setidaknya melihat mereka senang juga membuat diriku senang.

"Aku senang kalian datang," ucapku lagi. Tanpa basa-basi lagi, fanmeeting pun digelar. Fans datang bergilir, kusambut dengan senyuman. Sedikit percakapan, membuat penggemar itu senang.

Semua berjalan lancar, hingga sekitar setengah jam kemudian, seseorang datang dan mengubah segalanya.

"Miku? Miku, kan?"

Seorang pemuda bersurai biru tua datang padaku dan menanyakan pertanyaan itu. Cukup aneh, memang. Iris teal-ku menabrak iris ocean-nya, mendadak otakku memutar masa lalu dan mataku memancarkan perasaan kaget. Mengatur nafas, berusaha terlihat biasa saja.

Dia menatapku sendu.

"Hai, penggemar baru, ya?" ucapku berusaha normal, seraya menyapa. Dia tetap menatapku dengan sendu, sekaligus agak menyelidik. Sebenarnya aku agak takut, tapi aku tetap berusaha tenang. "Baiklah, kutanda tangani albummu, ya?" tanyaku sambil mengambil albumnya, hendak menandatangani.

Namun tangannya menghentikan tanganku dengan tiba-tiba—tangannya hangat. Dengan keberanian kutatap matanya. Tersirat kesedihan di dalam iris ocean-nya yang teduh. Hatiku mencelos lagi melihatnya. Perlahan, mulutnya terbuka dan berucap lagi.

"Kamu Miku, kan?" tanyanya lagi, memastikan. Iris matanya menatapku dengan sendu—lagi.

"Iya, aku Rose," jawabku sekenannya.

"Harune Miku, kan?"

Jantungku memompa lebih cepat, darahku berdesir berlomba-lomba. "A-aku Hatsune, bukan Harune," aku semakin gugup, bisa kurasakan keringat dingin di telapak tanganku.

Dia menggenggam tanganku erat. "Kau tidak ingat padaku? Aku Kaito!" ucapnya dengan raut wajah sedih. Aku tak tahu harus berkata apalagi.

"A-ah, itu—"

"Maaf, waktu anda sudah habis,"

Entah aku harus bersyukur atau tidak saat manajer itu mengusir Kaito dari hadapanku sebelum dia bertanya lebih banyak. Aku sempat menatapnya dengan pandangan yang, aku sendiri tak tahu—apakah aku merindukannya atau membencinya—sebelum seorang penggemar datang lagi kepadaku. Gadis itu menginginkan perhatianku, segera saja kuberikan dan mengacuhkan Kaito. Dan ketika gadis itu pergi, Kaito juga telah pergi dari tempatnya.

Aku menatap kepergiannya dengan sendu.

Sebenarnya aku merindukanmu, tapi membencimu juga di waktu yang sama.

-o0o-

Aku melirik ke arah teman gadisku yang memiliki surai coklat sebahu. Dia bersama teman-temannya tengah menonton lewat ponselnya dan berteriak-teriak tidak jelas—kadang menyebutkan nama yang tidak kutangkap dengan baik. Penasaran, kuberanikan diri bertanya padanya.

"Kalian ngeliatin apa sih, Mei?"

Ketiga gadis itu langsung menatapku—dengan tatapan senang yang sedari tadi mereka pancarkan.

"Lo mau ikutan, Kai?" tanya gadis bersurai coklat sebahu itu, teman sejak sekolah dasar—Sakine Meiko—dengan nada agak merendahkan.

"Apaan sih, Mei? Gue cuma nanya," balasku tak terima, langsung menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Kalian nonton apa?"

"Liat nih, Kai," ucap gadis di sebelahnya yang bersurai kuning terang semata kaki—entah bagaimana dia bisa tahan dengan rambut sepanjang itu, teman sejak sekolah menengah. Dia menyodorkan ponsel berwarna kuning yang sedari tadi dikerubuti gadis-gadis absurd ini.

Di dalam layar itu, kudapati seorang gadis yang tengah bernyanyi dan menari di atas panggung, dihiasi sorakan memuji dari para penonton di sana. Cantik, itu yang pertama kali terlintas di benakku. Surai toskanya itu mengingatkanku pada seseorang.

—mungkinkah itu, dia?

"Wow, seorang Shion Kaito langsung terpana oleh kecantikan maut seorang Hatsune Miku," ledek seorang gadis bersurai merah tua dan diikat dua seperti bor. Wajahnya memperlihatkan tatapan mengejek. Aku langsung tersadar dari lamunanku.

Apa, Hatsune Miku?

"Namanya... Hatsune.., Miku?" tanyaku hati-hati, menatap ke arah ketiga gadis yang berada di hadapanku.

"Iya," jawab gadis bersurai merah tadi—Kasane Teto—sambil menatapku bingung, mungkin agak aneh karena aku terlalu terkejut. "Nama panggungnya itu Rose,"

"Kenapa, Kai?" tanya Meiko dengan heran.

"Dia masih gadis, kan?" tanyaku lagi, memastikan tidak salah orang.

"Dia kelahiran tahun 97, seumuran dengan kita," sekarang giliran gadis bersurai kuning panjang—Akita Neru—yang menjawab.

"Kenapa sih, Kai?" Meiko bertanya lagi, sangat heran. Kepalanya menekuk ke arahku.

Aku tetap memperhatikan gadis itu—Hatsune Miku—tanpa menghiraukan pertanyaan dari ketiga gadis di hadapanku.

Hatsune.. Miku..? Rose?

—aku Shion Kaito, 16 tahun, tengah menunggu seseorang yang menghilang sejak lama.

-o0o-

"Kaito! Nggak nyangka lo malah ikutan!"

Hari ini, kabarnya—yang kudengar dari Meiko—gadis itu, Hatsune Miku, mengadakan konser di dekat sekolahku. Meiko, Neru, dan Teto pergi menonton konser itu—mereka penggemar berat gadis itu. Aku yang masih penasaran, ikut pergi ke konser itu bersama Len, tetanggaku.

"Sudah kubilang, kecantikan maut Hatsune Miku akan memikat semua lelaki!"

"Termasuk adik lo, si Nero?"

"Yep!" jawab Neru sambil menganggukkan kepalanya bangga. "Akhirnya dia mengaku juga setelah gue paksa!"

"Memangnya ada apa lo tiba-tiba datang ke sini, Kaito?" tanya Meiko, menatapku heran dan menyilangkan tangannya di dada. "Lo tertarik dengan Hatsune Miku?" tanyanya lagi—bermaksud mengejek—sambil merapatkan jaketnya. Udara pagi ini agak dingin karena besok sudah memasuki musim dingin, salju sudah tampak di puncak pohon.

"Hm, mungkin begitu," jawabku acuh tak acuh sambil melihat kerumunan orang yang mulai memadati gedung. Populer juga si Hatsune Miku itu.

"Yah, tapi nggak usah seret-seret gue, dong," protes Len sambil mengerucutkan bibirnya. Dia juga merapatkan jaketnya, agak menggigil. "Kalau Lenka-neechan liat, nanti gue diejek lagi,"

"Gue juga malu kalau pergi dengan tiga gadis itu," balasku tak terima. "Lagipula lo kan, teman baik gue, Len," lanjutku dengan senyuman tanpa dosa yang kupancarkan padanya. Dia masih menatapku tidak terima.

"Lo kesambet apa, Kai? Sampai ngajak Kagamine gitu," Meiko kembali bersuara, kembali mengejekku.

"Mei, lo sadar nggak kalau dia mirip seseorang?" tanyaku langsung memberitahu maksudku sejak kemarin.

Meiko menatapku sejenak, berusaha memahami kata-kataku barusan. "Maksud lo Miku?" tanyanya kemudian, agak berhati-hati. Aku hanya terdiam, tak ingin menjawab. Dia pun menghela nafas. "Udahlah, Kai. Lo harus bisa move on dari Miku. Masih banyak kok, gadis di dunia ini," nasehatnya kemudian.

Tapi, Mei. Aku sudah bertekad untuk mengembalikannya pada hatiku lagi.

-o0o-

Tak ada yang pasti. Dia malah mengusirku dengan halus. Aku sudah menangkap semua reaksinya—gugup, takut, berusaha mengelak, pasti itu dia.

Aku sudah mencoba mencari semua datanya. Dia memalsukan semuanya, semua tentang dirinya yang sebenarnya. Mudah baginya melakukan itu semua. Dia sudah tidak memiliki orangtua, hanya seorang kakak lelaki—itupun tidak diketahui keberadaannya.

Tapi aku akan berusaha menguak wajah asli dibalik topengnya itu.

-o0o-

Hari ini pun aku masih memikirkannya.

Lelaki itu—Shion Kaito—berhasil membuatku terhanyut dalam kesedihan. Ng.., hampir, mungkin—tepatnya. Aku takut dia akan berhasil mengetahui identitas asliku, tapi aku juga sudah berusaha terlihat normal di depannya.

Sudahlah, aku akan mencoba melupakannya.

(—nyatanya tidak.)

-o0o-

"Rose, bawa lipstik?"

Tanganku mengaduk-ngaduk isi tas kecilku. Mengambil barang yang diminta, memberikan kepada orang yang meminta. Surai hijaunya bergerak turun saat dia tersenyum berterima kasih. Aku hanya membalas anggukan dan senyum kecut. Dia pun melanjutkan riasannya di bangku sebelahku.

"Rose-sama, mau pakai warna apa?"

Jari jemariku menunjuk warna yang kusukai—merah muda, seperti biasa. Pemilik surai biru laut itu menyapukan lipstik berwarna merah muda pada bibirku. Menatap cermin sejenak setelah selesai, tersenyum puas.

"Terima kasih, Aoki-san,"

Dia mengangguk dan pergi ke arah lain. Seseorang tiba-tiba langsung menyambar bahuku ketika Aoki sudah pergi. Dia menatap lurus ke cermin. Iris zamrud-nya melebar dihiasi senyuman manis.

"Kau cantik sekali, Miku-tan!" pujinya. Senyumannya tak pudar dari wajahnya.

Aku terkekeh pelan. "Dan Gumi-nee terlihat cantik memakai lipstik mawar itu," ucapku dengan nada memuji bercampur mengejek. Gadis yang satu ini memang sangat gemar memakai lipstik berwarna merah merekah seperti bunga mawar. Aku pun selalu membawanya, karena yakin dia pasti selalu pakai. Kupikir, lain kali kuberikan lipstik itu sebagai hadiah ulang tahunnya.

Senyum kecut mengganti senyum manisnya. "Uh.. merah itu bagus tahu!" balasnya tak terima sambil mengerucutkan bibirnya. Aku tertawa pelan.

Mataku terpaku pada cermin di depanku. Iris teal-ku menatap lurus pantulan diriku. "Gumi-nee, apa aku perlu merubah warna rambutku?" tanyaku tiba-tiba sambil memegangi rambutku sendiri.

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Gumi sambil mengelus kepalaku pelan. "Toska warna yang indah dan langka. Itu bagus, ciri khas dirimu," ucapnya, tersenyum menatapku.

"Tapi ini mengundang celaka, nee-chan," sergahku, balas menatapnya.

"Maksudmu celaka?" tanyanya lagi dengan nada agak kaget.

Aku menghela nafas. "Maksudku,—"

"Rose, Gum, IA, dan Luka! Dimohon berkumpul di sini!" teriakan dari kameramen memotong ucapanku.

"Ayo, Miku!" ajak Gumi sambil menarik tanganku. Aku hanya bisa pasrah mengikutinya, mungkin memang bukan waktunya aku mengatakan hal ini pada orang lain.

(—tapi sejujurnya dia ingin.)

-o0o-

naeil ttawin eopsneun geotcheoreom

Suara riuh tepuk tangan dan jeritan menjadi latar panggung saat ini. Keempat gadis itu berdiri bergandengan, lalu menunduk hormat. Mereka menaikkan punggungnya, lalu tersenyum dan melambai-lambaikan tangan kepada para fans.

Aku mengamatinya dari bawah sini—kerumunan para fans gila. Dia begitu cantik dan bersinar. Senyuman manisnya membuat jantungku kembali berpacu lebih cepat. Dia itu sempurna. Sangat, sangat, sangat, terlalu sempurna.

Dan entah kenapa, tiba-tiba ada sebuah ide yang melintas di kepalaku. Ide agar aku bisa memperbaiki hubungan retak antara kami.

Haha, itu adalah ide gila,—mungkin.

(—memang sebuah ide gila menurut Miku.)

-o0o-

"Terima kasih atas kerjasamanya hari ini!"

Aku menundukkan kepalaku kepada semua orang yang berada di belakang panggung. Gumi, IA, dan Luka pun melakukan hal yang sama. Beberapa kru membalas dengan hormat, hingga kami menaikkan kembali kepala kami. Aku memutuskan untuk beristirahat, kududukkan diriku di bangku rias. Wajahku yang kelelahan pun bisa tampak dari cermin. Konser tadi cukup melelahkan.

"Minumnya, Rose-sama," ucap seorang manajer sambil menyodorkan gelas yang terisi penuh oleh susu putih. Dia tersenyum hormat, surai ungunya bergerak sedikit.

"Terima kasih," ucapku, balas tersenyum juga. "kau terlalu repot," sambungku, lalu mengambil gelas itu dari tangannya. Dia hanya tersenyum, lalu menunduk hormat dan pergi meninggalkanku sendiri. Bibirku menyentuh permukaan gelas kaca itu, memasukkan larutan manis yang dingin itu ke dalam lambungku. Rasanya pikiranku menjadi segar kembali.

"Rose-san," panggilan dari seseorang menggugah rasa nikmatku. Aku menolehkan kepala ke arah suara itu muncul. "maaf, Meito-sama memanggil anda,"

Tanpa basa-basi, aku langsung menghampiri bos manajer itu. "Ada apa, Meito-san?"

"Begini, Rose," ucapnya memulai pembicaraan. Surai merahnya bergerak ke depan saat dia tersenyum padaku. Tangannya yang kekar itu merangkul bahuku. "Asistenmu yang sebelumnya, Yowane Haku, dia mengundurkan diri karena masalah keluarga,"

"Eh?! Benarkah?" tanyaku kaget.

Dia mengangguk-nganggukkan kepalanya. "Ya. Karena itu, aku ingin kau berkenalan dengan asisten barumu," ucapnya.

Tangannya membimbingku untuk melihat asisten baruku itu. Iris teal-ku membulat ketika seorang pemuda bersurai biru tua berada di hadapanku, dikenalkan Meito sebagai asisten baruku. Ulangi, asisten.

"Ka-kau?!"

(—pemuda itu tersenyum lembut pada Miku.)

.

.

.

To be continued

.

Hehe, bisa nebak siapa yang jadi asisten pribadi Miku? /masang innocent face wkwkwkwk

O iya itu pas ada asisten baru, sebenernya seminggu kemudian setelah Kaito ngomong punya ide. Kan nggak lucu kalo Kaito langsung diterima jadi asisten Miku dalam sekejap. Jadi ceritanya Kaito berjuang selama seminggu itu /kok kedengerannya gak elit ya? Au ah. Intinya mah gitu.

Sumpah, ngebut nyeleseinnya. Jadinya kayak agak aneh gitu ya, sensenya kurang, alurnya cepet banget. Awalnya malah author kira bakal selese satu chapter, ternyata lebih. Mianhae. Maapin yakk, maklum nih kayaknya kena WB. T T

(kadang insprasi tuh sulit dituangkan lewat kata-kata ya)

Review?

000 Foolest Idol © Amane Ruka 000