"Aku tak mau masuk asrama, eomma"
"Diam Jeon Jungkook, kau harus masuk kesana sebelum ayahmu kembali ke Korea" Jungkook berlari kecil, berusaha menyamakan langkahnya dengan milik sang ibu dan memasang wajah tak sukanya, matanya berkilat karena marah dan wajahnya memerah kesal, "memangnya apa kaitan kepergianku dengan appa?" Ia bertanya histeris dan hampir terjengkang saat ibunya tiba-tiba berhenti.
Wanita cantik itu menghela nafas berat, lalu berbalik dan menatap sang putra dengan kedua mata sipitnya yang sewarna hazel, "kau pikir ayahmu akan senang melihat putra yang memiliki wajah persis seperti milik mantan suamiku?"
Oh, tunggu. Jungkook sama sekali tak paham. Apa yang salah dengan wajahnya? Ia disebut mirip dengan siapa? Mantan suami ibunya?
"Eo-eomma...jangan kata-"
"Ayahmu tewas Jeon Jungkook"
Ayahnya tewas. Tewas, lalu siapa yang pulang...
"Eomma, jangan katakan...kau..." Dan ibunya malah akan menikah lagi? Itu konyol, bukan? Katakan bahwa itu bohong.
"Ini credit card-ku, tinggalah di asrama dengan baik dan jangan hubungi aku lagi"
Kartu persegi itu masuk ke dalam genggamannya, dan Jungkook mati-matian berusaha menahan isakannya. Ia tak butuh kartu emas, ia butuh ayahnya untuk kembali dari Swedia. Ia hanya butuh ayahnya, ia hanya butuh ayahnya kembali dengan senyum dan janji yang berisi traktiran tiga scoop es krim saat ayahnya kembali dari misi nanti.
.
.
.
Petrichor
Kim Taehyung x Jeon Jungkook
Rated T
Romance
Hope you enjoy it!
.
.
.
Jungkook menyeret koper metaliknya dengan kepayahan, wajahnya mengerut kesal saat roda kopernya tersandung batu dan membuatnya harus memberi tenaga ekstra untuk mengangkatnya. Koper yang ia bawa memang terbuat dari 99% lapisan besi dan platinum, hanya bagian dalamnya saja yang dilapisi beludru lembut. Ayahnya lah yang membawakan koper satu meter itu dari Rusia dua tahun yang lalu. Sebenarnya Jungkook memiliki banyak koper dari ibunya, yang lebih ringan dan lebih bermerek dibanding koper militer seperti ini. Namun, itu dari ibunya, dan sejak seminggu yang lalu ia sudah resmi menjadi pembenci nomor satu ibunya, lebih baik ia menyeret koper berat ini dibanding memakai yang dari ibunya.
Jungkook sebenarnya agak heran, asrama macam apa yang terletak di tengah-tengah hutan pinus macam ini, ia bahkan harus berjalan sekitar dua ratus meter karena supir keluarganya tak berani mengambil resiko untuk melewati jalan berbatu yang sempitnya bukan main itu. Matahari sudah memanjat langit hingga tepat berada di atas ubun-ubun Jungkook, peluh menetes dari dahinya dan berulang kali Jungkook menghela nafas kesal saat bangunan yang ia tuju tak kunjung terlihat.
Ia benar-benar merasakan kain kemejanya yang lembap menempel pada punggungnya dan skinny jeans-nya mulai terasa tak nyaman-Jungkook rasa ia butuh istirahat sejenak. Jungkook menarik kopernya ke bawah pohon terdekat dan mendudukkan diri di sana, ia mengobrak-abrik isi ranselnya dan menarik keluar sebotol jus wortel yang sialnya terasa hangat karena terpapar sinar mentari. Jungkook menoleh kesana-kemari sembari meminum jusnya teguk demi teguk, ia juga sempat mengoleskan selapis tabir surya untuk mengulur waktu. Merasa tak lagi terlalu lelah, Jungkook kembali berdiri, ia menepuk-nepuk bokongnya untuk menghilangkan debu yang menempel di sana.
"Mari jalan lagi" Jungkook sedang berusaha menyemangati dirinya sendiri, yah setidaknya ia harus memiliki setengah tenaga lagi untuk tiba di tempat yang mungkin masih jauh itu. Jungkook baru saja akan mulai menjalankan kopernya saat ia melihat sesosok pemuda bersurai abu-abu berlari ke arahnya dari sisi yang berlawanan darinya. Jungkook mengerjap bingung, pasalnya pemuda itu nampak tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya. Heol, kenal saja tidak, lantas kenapa ia disenyum-senyumi macam itu?
Jungkook mundur selangkah, bersembunyi di balik kopernya sat namja tadi tiba di hadapannya dengan nafas sedikit tak teratur. "Jeon Jungkook, 'kan?" Oh, dia tahu nama Jungkook.
"Iya, itu aku" Jungkook mengangguk, genggaman pada besi kopernya makin menguat kala namja itu memberi senyum yang begitu lebar. "Ah, aku sudah menunggu di gerbang asrama sedari tadi dan kau ternyata baru sampai di pos sakura" namja itu berbicara dengan sangat cepat, Jungkook sedikit terpesona mendengar seberapa berat suaranya, dan aksen Daegu yang ia pakai membuat Jungkook nyaris terkekeh, pasalnya sejak tinggal di Seoul ia tak pernah lagi mendengar ada orang yang memakai satoori dan kini ia malah sedang mendengarnya lagi.
"Berarti kau dari asrama yang kutuju?"
Pemuda itu mengangguk riang, poni abu-abunya yang agak bergelombang mengayun tak karuan karenanya, "Aku Kim Taehyung, tingkat sebelas, kamar delapan lantai pertama"
Tingkat sebelas...ia lebih tua setahun dari Jungkook, haruskah Jungkook memanggilnya hyung?
"Kau bisa memanggilku hyung" oh, tentu saja bisa. Taehyung mengulurkan tangan dan mengambil alih koper Jungkook, ia menggeleng saat Jungkook memberikan tatapan menolak, "kau pasti lelah berjalan kan? Biar aku saja, toh jarak asrama tinggal limapuluh meter lagi" ujarnya lalu berjalan tanpa mengatakan apa-apa lagi. Jungkook menapakkan converse-nya dengan terburu, berusaha menyeimbangkan langkah kecilnya dengan milik namja tinggi itu. Kedua telapaknya meremas erat ujung-ujung kemejanya kala sebuah bangunan bertingkat tiga mulai terlihat, bangunan itu berwarna putih susu, berarsitektur Perancis kuno dan memiliki pilar seperti yang ada di Notre Dame. Mendadak perut Jungkook mulas, memikirkan tentang kehidupannya yang baru, di asrama tanpa kehadiran ayahnya, dimana ia tak bisa lagi bersikap semaunya dan harus hidup berdasarkan peraturan. Jungkook takut, dan sontak saja seluruh saraf tubuhnya berhenti bergerak, otaknya yang memberi komando.
Jungkook tetap diam di tempatnya, dan Taehyung bahkan tanpa berbalik juga berhenti, seakan ia bisa merasakan ketakutan Jungkook. Ia berbalik cepat dan berkacak di salah satu sisi pinggangnya yang setipis pedang itu, "kau takut ya?" Taehyung bertanya. Jungkook mengangguk, berulang kali sampai Taehyung berjalan mendekat dan meletakkan telapak lebarnya di atas surai cokelat madu Jungkook, "untuk apa kau takut? Memangnya manusia di asrama akan memangsamu, eoh?" Jungkook tidak takut akan manusia yang di sana, ia hanya takut akan suasana di sana, ia belum pernah keluar dari mansion Jeon selama ini dan itu cukup menakutkan untuk menghadapi suasana baru nanti.
"Ya, jangan takut. Kau takkan kesepian di sana, kau akan punya teman kamar yang menyenangkan, jadi berhenti lah memikirkan hal yang tidak-tidak" Taehyung mengusap pucuk kepala Jungkook, membuat bocah Jeon merasa bagai anak kecil yang sedang berlindung pada kakaknya. Kakak, Jungkook tersenyum dan meraih tangan Taehyung dari kepalanya, membawanya untuk mengelus pipi halusnya yang putih.
"Terimakasih, hyung"
.
.
.
Jungkook seratus persen yakin biaya masuk asrama ini pasti menyentuh jutaan won jika melihat dari fasilitas yang mereka beri. Jungkook bahkan berpikir bahwa tempat ini bisa saja menandingi apartemen milik ibunya di daerah Apgujeong, bisa-bisanya mereka menghabiskan uang hanya untuk membeli berpasang-pasang sofa beludru mahal yang berjejer di ruang belajar. Sejauh Jungkook berjalan ia sama sekali belum melihat satupun eksistensi penghuni lain selain ketua asrama yang akan pergi ke sekolah, bahkan Taehyung yang tadi mengantarnya dan meletakkan koper ke dalam kamar barunya telah hilang tepat setelah Jungkook bangun dari tidur singkatnya. Jungkook berakhir dengan berkeliling kesana-kemari, melihat berbagai macam furnitur dan ruangan yang ada di sana dengan penasaran. Sejauh yang ia lihat ada dua ruang belajar, ruang yang di bawah lebih besar sedangkan yang di atas tergolong kecil dengan sebuah perpustakaan mini di sudutnya. Lalu di sepanjang lorong menuju lantai tiga, Jungkook menemukan pigura-pigura besar berisi foto milik tiap angkatan. Ia melihat wajah Taehyung di sana, terletak paling atas dengan title emas 'chief' ; dan Jungkook menjadi yakin bahwa Taehyung pasti ketua angkatan untuk tingkat sebelas.
Jungkook berakhir terduduk kelelahan di ranjangnya, ia mengusap bahan katun sprei nya yang dingin dan mendusel manja pada gulingnya. Jungkook mengantuk, namun tak berniat tidur, maka dengan malas ia kembali duduk dan menatap ke sekeliling kamarnya. Di asrama itu tiap kamar dihuni oleh dua orang, terkecuali ketua asrama dan angkatan yang mendapat kekuasaan lebih untuk tidur sendiri-itu yang tadi dikatakan Taehyung- dan Jungkook bahkan belum tahu rupa dari teman sekamarnya. Taehyung hanya mengatakan bahwa Jungkook mendapat seorang teman kamar dari tingkat sebelas karena kamar untuk anak kelas sepuluh sudah penuh. Hal itu membuat Jungkook bertanya-tanya, seperti apa rupa hyung yang akan bersamanya nanti, apakah ia galak? Atau baik seperti Taehyung? Apakah ia tampan, atau wajahnya malah aneh? Ah, Jungkook penasaran.
Jungkook menarik bantalnya dan membawanya ke dalam pelukan, ia hampir menutup matanya saat mendengar banyak sekali kericuhan dari lantai pertama. Lalu-
"Adik kamarku sudah datang?!"
-pintu didobrak dan Jungkook memekik kaget saat wajah sesosok namja bersurai pirang masuk ke dalam dengan wajah kelewat excited, Jungkook kaget tentu saja, ia sedang lelah dan kurang fokus lalu seorang namja mengagetkannya begitu saja? Wah, daebak sekali.
"Jim, kontrol dirimu"
"Wah, dia lucu"
"Jim"
"Aku Park Jimin, halo adik"
Jungkook tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia melihat melalui bahu namja itu dan menemukan Taehyung yang mengendikkan bahu dengan ekspresi kurang jelas, Taehyung sama sekali tak membantu dengan sikap begitu dan Jungkook dengan salah tingkah menyungginggkan senyum terbaiknya.
"Halo hyung, aku Jeon Jungkook" Jungkook yakin, atau mungkin berusaha meyakinkan diri, bahwa namja di hadapannya ini adalah orang yang sangat baik ketika sebuah pelukan hangat ia terima serta-merta. Pipinya memanas dan ia yakin wajahnya sudah semerah lobster sekarang, ia tak bisa memungkiri pelukan Jimin yang begitu nyaman, bagaimana tangan kekar itu melingkari pinggangnya dan aroma maskulin bercampur keringat namja itu menguar dari kerah seragamnya. Jimin, sama halnya dengan Taehyung, akan menjadi kakak yang sangat baik bagi Jungkook dan itu adalah hal yang bagus untuk Jungkook sadari sedari sekarang.
Jimin melepas pelukannya dari tubuh sintal Jungkook saat Taehyung menepuk pelan bahu namja pirang itu, Jungkook baru sadar bahwa Taehyung yang berdiri di pintu sejak tadi memakai apron dan juga poninya dijepit tinggi hingga dahi lima jarinya yang mulus itu terlihat, "hyung, kau habis memasak?" Jungkook bertanya penasaran, apalagi saat ia dapat mencium aroma asap kala Taehyung mengambil tempat di sampingnya.
"Iya, makan malam hari ini tak cukup bagus untuk anak baru. Jadi aku memanggangkanmu lamb skewer, karena di formulir kau menuliskan bahwa itu favoritmu" jawab Taehyung sembari melepas tali apronnya kemudian melipat kain biru pucat itu dengan rapi, "hampir semua anak asrama telah pulang dan kurasa mereka sangat menantikan kehadiranmu, siapkan dirimu untuk perkenalan malam ini dan untuk sekarang aku akan meninggalkanmu dengan Jimin, akrabkan diri kalian, okay?" Jimin mengangguk, menandakan persetujuan mengenai tema 'mengakrabkan diri' dengan adik kamarnya itu. Taehyung buru-buru pamit pada Jungkook begitu namanya dipanggil lewat speaker yang dipasang pada tiap lantai, sepertinya sedang ada rapat ketua-ketua angkatan-kata Jimin.
Selepas kepergian Taehyung, Jimin menutup pintu kamar mereka yang terbuat dari chedar tua dan menyalakan air conditioner. Jungkook mempertahankan posisinya di atas ranjang, tak bergerak barang seinchi-pun bahkan saat tubuhnya memberi perintah untuk tidur. Hell no, Jungkook butuh bercerita dengan Jimin tentang segala sesuatu terkait dengan asrama ini, ia tak boleh terlena oleh rasa kantuk dan tidur begitu saja.
"Jadi, kau dari Seoul, ya?" Jungkook hampir menjerit kala Jimin menarik lepas kemejanya, bagaimana ia bisa bertanya sekasual itu saat perutnya yang kelewat sempurna itu tengah bertelanjang di hadapan bocah di bawah umur? Jungkook menutup kedua matanya dan mengangguk malu, "ya, Seoul. Apgujeong, ah tidak, Gangnam-do. Aku lahir di Busan tapi saat umurku tigabelas tahun ayah pindah dinas dan membawaku ke Seoul" jelas Jungkook lancar, bahkan saat ia menyebut ayah suaranya sama sekali tak bergetar meskipun dalam bayangnya ada kilasan wajah penuh aura hangat milik sang ayah yang telah tiada.
"Busan? Aih, aku juga dari Busan. Heh, entah ini hanya kebetulan atau memang takdir meletakkan kita di kamar yang sama, eoh?" Uh oh, satoori lagi-namun seperti khas nya Busan tentu saja, Jungkook tersenyum lebar dan bertepuk tangan riang, "kurasa takdir memang mengaturnya, hyung" balas Jungkook geli dengan aksen sama kentalnya dengan Jimin-dua tahun di Seoul tidak cukup untuk menghilangkan aksen yang tumbuh besar bersamanya itu tentu saja.
Jimin mementalkan diri ke atas ranjang dengan sprei sutra hitam miliknya, mengambil sebuah bantal persegi dari sudut dan melemparnya pada Jungkook, "hadiah selamat datang, itu penuh dengan aroma cologne-ku dan aku yakin kau akan sangat menyukainya" ujar Jimin setelahnya.
Jungkook mengendus bantal dengan lapisan kain hitam itu dan tersenyum kecil, itu aroma kesukaannya-sesuatu yang ringan sekaligus menyengat, memabukkan seperti parfum terakhir yang ia punya dari Victoria secret-haha.
Jungkook baru akan menggumamkan terimakasih saat pintu kamar dibuka dari luar, lalu wajah Taehyung yang tampak baru mandi muncul dari sana, di bahunya menggantung handuk putih kecil dan ia telah memberikan tubuhnya satu setel pakaian rumah yang santai dan nyaman. Taehyung tersenyum saat melihat senyum Jungkook, Taehyung rasa itu keputusan benar untuk meletakkan Jungkook di kamar yang sama dengan makhluk Park yang super supel itu. "Makan malam akan dimulai pukul setengah tujuh, kau bisa mandi dulu dan mengatur buku di loker belajarmu sebelumnya dan anak-anak lain sudah tiba di asrama semua, pastikan kau bersikap sopan nanti" nada bicara Taehyung benar-benar hangat, tatapan yang ia berikan begitu lembut dan tegas secara bersamaan. Jungkook benar-benar merasa sedang ditatapi oleh seorang kakak besar yang penuh kasih sayang, dan ia jadi gemas dibuatnya.
Jungkook mengangguk, ia melempar tatapan penuh pancaran bahagia pada Jimin dan Taehyung, lalu berdiri dari ranjang dan mengobrak-abrik lemari untuk mengambil satu setel pakaian rumah, "aku mandi dulu, nanti aku akan langsung ke ruang makan saja, hyung" ujarnya sebelum menarik sehelai handuk baru dari pinggir lemarinya dan berlari kecil keluar dari kamarnya dan Jimin. Meninggalkan Taehyung dan Jimin yang duduk bertatap-tatapan dengan senyum di wajah masing-masing.
.
.
.
Jungkook berulang kali membungkuk dan memperkenalkan diri saat berpapasan dengan orang, ia akan terus menyungginggkan senyum hingga Taehyung yang meliht dari jauh takut jika pipi tembam pemuda Jeon itu akan robek karenanya. Taehyung telah menyiapkan satu kursi di sampingnya untuk tempat Jungkook nanti, ia bahkan telah menyiapkan makan malam Jungkook yang berbeda dari milik penghuni asrama yang lain, di seberangnya duduk salah satu guru sekolah mereka yang juga merangkap sebagai kepala asrama-Kim Seokjin namanya. Para ketua angkatan memang biasanya akan makan malam bersama dengan Seokjin, namun Jungkook adalah pengecualian; ia adalah penghuni baru hingga Taehyung memutuskan untuk mengajaknya duduk bersama sebagai usaha membuat bocah itu makin akrab dengan orang-orang berpengaruh di asrama.
"Jungkook-ah, sini!" Panggil Taehyung, ia harus sedikit mengeraskan volume suaranya karena keriuhan yang disebabkan anak-anak lain, suasana makan malam memang agak lebih ekstrim dibanding makan siang di mana semua anak dari tiga angkatan akan makan di satu ruang yang sama, berbeda dengan santap siang yang diadakan masing-masing angkatan. Suasana makin meriah saat pekikan Jungkook terdengar, hampir semua anak menertawai kekonyolan pemuda Jeon yang memekik karena mencicipi sundae untuk pertama kalinya. Ya, pertama kalinya.
"Aish, anak itu" Taehyung mau tak mau berdiri dari kursi kayunya dan berjalan terburu ke tempat pemuda Jeon. Tawa yang berdering dan senyum terus ia lihat dari Jungkook, aura bahagia bahkan dengan kentalnya berputar-putar di sekeliling namja bersurai hitam arang itu. Tak jauh dari Jungkook, Jimin sedang duduk bersimpuh, memyuapkan segulung besar jjangmyeon ke dalam mulutnya sembari sesekali tertawa histeris jika Jungkook melakukan hal konyol lagi.
"Tidak, aku tak mau itu-tidakkkkk" Jungkook berbalik arah, baru saja akan berlari dari sendok berisi sundae saat wajah mungilnya menabrak sebuah dada bidang keras yang hangat, Jungkook mendongak, mempertemukan netranya dengan pemilik dada bidang itu dan dengan kekehan lucu memanggil namanya, "halo Taehyung-hyung" tanpa nada bersalah karena telah membuat Taehyung kesusahan memanggilnya sedari tadi; penyebabnya ya karena Jungkook yang terus berkelana ke seluruh penjuru ruangan dengan tujuan dan maksud yang kurang jelas.
Taehyung memiringkan sedikit tubuh jangkungnya, mengendikkan dagu pada sekumpulan anak yang tertawa-tawa di belakang tubuh Jungkook, dengan nada penuh senda gurau ia bertanya, "sudah puas mengenal bocah manis ini, hyung?" Mereka semua mengangguk, memberi jawaban berisik yang membuat Taehyung tersenyum senang mendengarnya; Jungkook cepat beradaptasi, ia membatin.
"Baiklah Kook, waktunya makan malam, jangan berseliweran lagi dan ikut aku" Taehyung mengomando dan menggenggam lembut telapak Jungkook yang kecil, membawa namja berpipi tembam itu melintasi separuh ruangan dan mendudukkan dirinya di bangku terdekat, berseberangan dengan milik Seokjin. Jungkook sama sekali tak mengerti mengapa ia harus duduk bersama kepala asrama dan dua orang lain yang berparas lebih tua darinya. Ia memberi tatapan penuh tanda tanya pada Taehyung.
"Kau sudah mengenal Seokjin-hyung, kan?" Jungkook menanggapi Taehyung dengan satu anggukan kecil, tadi siang ia memang sudah berkenalan dengan namja cantik bersurai cokelat madu itu. Usianya duapuluh lima namun tak ada satupun bagian tubuhnya yang memperlihatkan setua apa dirinya itu.
"Yang ini adalah Min Yoongi, wakil ketua asrama. Lalu Kim Namjoon, ketua angkatan tingkat duabelas, aku-tingkat sebelas, ketua angkatan kelas sepuluh belum ditentukan" jelas Taehyung, ia membuat raut wajah begitu serius hingga Jungkook mau tak mau merasa gugup untuk sekedar mempertemukan pandangan dengan ketiga orang di sekelilingnya itu.
Mereka semua tampak berkelas, Jungkook dapat merasakannya hanya dari aura pekat yang menjadi atmosfer di sekitar meja itu. Bahkan wajah kalem milik Kim Namjoon dan raut strict seorang Min Yoongi sudah cukup untuk menegaskan label baju apa yang mereka kenakan-yang harganya pasti menyentuh jutaan. Jungkook bukannya tak terbiasa dengan kalangan macam ini, ia sudah sangat terbiasa mengingat ibunya adalah anggota grup sosialita stadium akhir yang bahkan hanya untuk pemotretan biasa dapat menghabiskan jutaan won. Jungkook hanya merasa ada sesuatu yang janggal, ia terbiasa hidup normal saat ayahnya masih hidup, jadi saat dihadapkan dengan kondisi macam ini ia pun harus menyusun ulang mindset-nya.
"Kau tak perlu gugup" itu Namjoon yang bersuara, ia tersenyum dan menampilkan dua lesung manis di tiap sisi pipinya. Namja itu mengambil poci teh dan menuangkannya ke cangkir Jungkook, dan Jungkook tahu bahwa pemuda itu tengah berusaha menghancurkan ketenangan di meja mereka.
"Kau tidak boleh gugup" bagus sekali, kini Min Yoongi juga bersuara, bukan dengan nada lembut seperti Namjoon-namun lebih condong pada sebuah perintah. Yah, Jungkook rasa itu memang bagaimana cara Min Yoongi untuk berinteraksi. Berbeda dengan Namjoon yang menuangkan teh ke dalam cangkir Jungkook, Yoongi malah dengan santainya bertopang dagu dan bertanya dengan kurang ajar, "apa alasan kau dimasukkan ke asrama, huh?"
Ah, topik yang benar-benar tak ingin Jungkook ungkit. "Di lampiranmu tak terdapat apa-apa, jadi kupikir ada bagusnya bertanya langsung padamu" lanjut Yoongi santai. Mungkin saja Yoongi tak tahu bahwa luka menganga di hati Jungkook tengah berasa diiris makin membuka, menyebabkan senyum menahan sakit pada wajah cantik namja paling muda itu.
"Appa-ku meninggal, eomma-ku menikah lagi dan tampaknya suami barunya tak menginginkan kehadiranku . Jadi, ia mengirimku kesini"
"Apa kau sedih saat mengetahui hal itu?"
Jungkook berjengit mendengar pertanyaan Yoongi yang sama mengejutkannya seperti sebelumnya, namun ia sudah memulai segalanya, maka ia juga harus menyelesaikannya, biar saja aib dalam kehidupan keluarganya terbongkar, toh kini ia bukan anak siapa-siapa kecuali sang ayah yang telah bersemayam entah dimana. "Aku bukan sedih lagi. Waktu itu aku merasa hancur, aku jadi mengerti apa arti frasa hati serasa diremas karena aku mengalaminya. Semuanya terasa gelap dan ibuku menjadi sosok iblis dalam seketika, ia menjatuhkan segala pandangan baikku padanya dan dengan mudahnya membuatku membencinya"
Seokjin menutup mulutnya dengan telapak tangan, Namjoon berdehem seakan suasana sedang berlangsung canggung-padahal tidak, dan Taehyung dengan kasualnya menarik tubuh Jungkook ke dalam pelukannya, mengusap rambut cokelat madunya dengan penuh kelembutan sembari membisikkan kata-kata hiburan. Lalu, Yoongi, penyebab dari semua yang sedang terjadi secara tiba-tiba mengukir senyum yang begitu mempesona, Jungkook ingin sekali mengabadikan senyum itu, rasa-rasanya ia takut jika senyum Yoongi hanya muncul limapuluh tahun sekali-oke, lupakan saja kehiperbolisan si Jeon muda itu.
"Min Yoongi-ssi"
"Selamat Jungkook-ah, kau telah dimasukkan ke tempat yang tepat, berterimakasihlah pada eomma-mu nanti"
Dan Jungkook sama sekali tak paham maksud pemuda Min itu.
.
.
.
To be continued
