Disclaimer:
Masashi Kishimoto, I don't claim Naruto ^^

Warning:
Typo, OOC, AU, Stupid Fantasy, Another utility of Gelel Stone, Dark Naruto

Pairing:
Sasuke U & Hinata H

.

.

.

So this is it!
Anonymous Hyuuga presents

.

.

.

"PEGASUS"


Part One

Aku menepuk-nepukkan kedua tanganku usai memasukkan adonan roti yang dibuat Ayah ke dalam sebuah oven besar di belakang toko roti kami. Kuatur api kompor menjadi sedang agar adonan itu berakhir menjadi roti yang sempurna. Kulepaskan apron merah marun yang kugunakan, dan kugantung di tempatnya.

"Otousan, sudah kupanggang," ujarku pada Ayah saat aku melintasi bagian depan toko roti, di mana Ayah sedang melayani pelanggan dengan apron putih dan topi koki besar berdiri di kepalanya. Di sisi lain ruangan aku melihat Ibu tengah memasukkan beberapa loyang roti yang masih hangat ke dalam rak display. Di dekatnya, kulihat kakak laki-lakiku juga sedang sibuk. Ia membersihkan dan menata ruangan itu agar terlihat lebih cantik.

Begitulah rutinitas keluargaku jika sedang bekerja di toko roti kami, Toko Roti Keluarga Uchiha. Kami membagi tugas sedemikian rupa. Ayahku, Uchiha Fugaku, bertugas sebagai pengatur jalannya kelangsungan toko roti kami dan juga bertugas melayani para tamu di kasir. Ibuku, Uchiha Mikoto, bertugas mengangkat roti yang sudah matang dan memasukkannya ke rak-rak display. Kakakku, Uchiha Itachi, bertugas membersihkan toko atau dapur, dan sesekali menggantikan Ayah jika Ayah sedang membantuku membuat roti. Sedangkan aku, Uchiha Sasuke, bertugas memasukkan adonan roti ke dalam oven besar di belakang, dan sesekali juga aku membantu membuat roti. Sst. Tolong jaga rahasia, Ayah bilang padaku ia akan mewariskan toko roti ini padaku, sehingga ia hanya menurunkan bakat membuat rotinya padaku. Jujur, sebagai remaja labil aku merasa senang.

"Ya, Sasuke," sahut Ayah singkat tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari para pelanggan.

"Okaasan, aku pergi dulu," kataku berpamitan pada Ibu. Ibu segera menoleh ke arahku dan tersenyum sembari mengangguk.

"Mau ke mana?" tanya Itachi yang masih sibuk berkutat dengan vas bunga yang sedari tadi tidak bersih-bersih. Aku menghela napas melihatnya sibuk membersihkan itu, karena sudah puluhan kali aku mengatakan padanya bahwa kotoran di vas itu tidak dapat dibersihkan. Tetapi yah, kalau tidak keras kepala namanya bukan Itachi.

"Membeli bahan," jawabku acuh tak acuh sembari melepaskan sandal rumahanku dan menggantinya dengan sepatu bot sebetis, karena ini adalah musim dingin. Aku menarik ritsleting mantelku hingga ke dagu, melilitkan syal berwarna senada dengan sepatu botku yang coklat.

"Oh," sahut Itachi singkat. Matanya tampak juling karena menatap lekat-lekat kotoran yang masih menempel di vas bunga itu. Lagi-lagi aku menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala melihat Itachi yang masih sangat penasaran dengan kotoran itu.

Setelahnya, aku membuka pintu toko yang dipasang bel di atasnya sehingga ketika kubuka daun pintunya, terdengar bunyi gemerincing. Kemudian aku menutup kembali pintu dan berjalan menyusuri jalanan bersalju tebal dengan udara sekitar minus lima derajat selsius.

Sesekali sepatu botku terbenam di tumpukan salju yang sangat tebal. Aku mendengus kesal. Tak adakah satu orang pun yang berniat mengeruk salju-salju ini? Sungguhpun aku mencintai musim salju, aku tidak pernah suka jika kakiku tenggelam di dalam benda dingin lembek berwarna putih itu.

Aku menggosok-gosok kedua lenganku dan meniupinya karena terasa dingin. Kesalahanku tidak memakai sarung tangan. Yah, tidak sepenuhnya salahku memang, karena aku tidak memiliki sarung tangan. Lucu ya? Keluargaku cukup kaya, tetapi aku seakan tidak sanggup membeli sarung tangan. Orang pun tak akan percaya jika aku mengatakan aku berasal dari keluarga yang cukup kaya, jika mereka melihat sepatuku yang sudah ditambal ratusan kali. Aku tidak peduli, karena hal tentang kesederhanaan sudah ditanamkan di dalam pemikiranku sejak aku masih bayi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, aku berhasil sampai di toko kecil penjual bahan-bahan untuk membuat roti. Aku membuka pintu kaca itu dan segera disambut harum bahan-bahan mentah itu. Tak lupa, kuhentak-hentakkan kakiku, untuk menyingkirkan salju, sebelum memasuki toko itu.

"Ohayou, Sasuke-chan!" panggil sang penjaga toko bahan yang merupakan perempuan tua dengan tubuh hanya sebatas pundakku, dan kulit yang sudah keriput termakan usia.

"Ohayou, Chiyo-baasan," sahutku sembari tersenyum tipis dan mengangguk samar. Aku segera melihat ke sisi utara ruangan di mana ada tumpukan keranjang rotan. Dengan segera, aku mengambil salah satu gagang keranjang itu, namun tak hanya aku yang melakukannya, melainkan aku dan sang pemilik tangan seputih susu dengan jari-jari lentik.

Perlahan mataku menyusuri tangan kecilnya, hingga mencapai pundak, berlanjut ke dagu, dan sampai di mata ungu pucat gadis itu. Wajah bulatnya terbingkai poni rata berwarna indigo. Poni itu terlihat berantakan dan sedikit tersibak, hingga dapat kulihat bercak merah bundar di tengah keningnya yang juga seputih susu. Aku meneguk ludah ketika kulihat rambutnya yang lurus panjang, dan juga wajahnya yang di atas rata-rata kecantikan. Hidungnya kecil dan mancung, sedangkan bibirnya tipis dan merah. Rona merah di pipi akibat cuaca dingin pun turut menyemarakkan penampilan cantik sosok di depanku ini.

"Go-gomen," bisiknya sembar menarik tangannya, dan meletakkannya di depan dada.

"Da-daijoubu," ujarku. Aku merutuk dalam hati, mengapa aku bisa sampai ketularan gagapnya? Dengan cepat kuambil keranjang rotan itu dan kuserahkan pada gadis cantik di depanku. "Ambil."

Ia menerimanya dengan malu-malu. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, namun kuputuskan untuk mengartikannya sebagai ucapan terimakasih, sehingga aku mengangguk dan segera mengambil keranjang rotan di bawahnya.

Sesungguhnya aku enggan beranjak dari tempatku berdiri dan mengambil beberapa bahan roti yang diminta Ayah. Karena aku sangat ingin berada di sini dan memandangi gadis bersurai indigo itu dari jarak dekat. Namun segera kutepis pemikiran itu dan bergegas menyambar bahan-bahan yang sudah disebutkan Ayah pagi tadi, lalu memasukkannya ke keranjang rotan yang kupegang. Aku membawa keranjang berat itu ke kasir tempat Nenek Chiyo duduk di kursi goyang. Ia menyebutkan harga barang, dan segera kurogoh saku celanaku untuk mengeluarkan sejumlah uang. Setelah menyerahkan uang itu dan berterimakasih, aku bergegas keluar dari toko bahan roti dengan melupakan kantong belanjaanku.

"Su-sumimasen," bisik sebuah suara di balik pundakku.

Aku menoleh ke belakang, dan kulihat gadis cantik yang tadi kutemui tengah menatap ke lantai sembari menjulurkan tangannya yang memegang kantong belanjaanku.

"I-ini tertinggal," katanya lagi, dan kini rona merah di pipinya yang semakin tebal, turut menemani kata-katanya.

Sejenak aku merasa tertawan oleh sosok gadis itu. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini di kota tempat tinggalku. Ia terasa asing dan memabukkan. Baru kali ini jiwa remajaku bisa-bisanya terjerat oleh pesona gadis sederhana yang pendiam dan terkesan malu-malu. Padahal di sekolah aku biasa dikelilingi sosok-sosok cantik borjuis yang sibuk mengejar dan meneriakkan namaku di sepanjang koridor. Namun tak satu pun dari mereka yang kupandang. Sedangkan gadis di depanku ini sudah berhasil merantai jiwaku.

"Aa," sahutku akhirnya setelah berhasil kembali ke alam nyata, "Arigatou."

Gadis itu mengangguk dan segera berbalik badan untuk kembali ke dalam toko. Langkahnya terlihat kikuk dan tergesa-gesa. Hal itu membuat sudut kiri bibirku berkedut menahan senyum.

-ooo-

"Lama," ujar Itachi ketika aku baru menghentak-hentakkan kakiku di depan pintu toko roti kami. Ia kembali memasuki toko, dan aku mengikuti di belakangnya. Tebak apa yang dilakukan Itachi. Ya, Demi Tanduk Pegasus, ia masih berkutat dengan vas bunga malang yang terus menerus digosoknya dengan kain lusuh itu.

Aku sudah tidak tahan melihatnya. Setelah menanggalkan sepatu bot, mantel, dan syal, dengan gusar aku merebut kain di tangan Itachi dan berkata, "Bersihkan bagian lain. Sudah kubilang itu noda permanen, Baka Aniki!"

"Iie," tukasnya sembari kembali merebut kain itu dari tanganku dan kembali berkutat dengan vas bunga di depannya.

"Tch. Usuratonkachi," gerutuku sambil berjalan ke dapur untuk meletakkan bahan-bahan roti itu di dalam buffet yang digantung di dekat jendela kaca. Aku memasukkan dan menatanya dengan sabar sebelum menutup pintu buffet, dan menyimpan kantong plastik yang tadi kugunakan untuk membawa semuanya.

Aku menoleh menatap jendela. Pandanganku kulemparkan jauh-jauh, dan yang kulihat sangat mendominasi adalah warna putih. Aku menghela napas, dan seketika ada uap yang keluar dari mulutku. Setengah tersenyum aku semakin giat memandangi pemandangan di balik jendela kaca.

Lama tak kulihat sesuatu yang menarik, aku hendak meninggalkan kegiatanku, hingga sesuatu menarik perhatianku. Sosok kecil berambut panjang dengan gaya jalan kikuk yang menggemaskan. Rambut panjang kebiruannya tertutup topi wol berwarna merah muda yang diikat di bawah dagunya. Ia mengenakan rok mantel senada dengan syal putih dan juga sepatu bot coklat.

Ia tampak celingukan, lalu kembali berjalan lagi dengan tergesa-gesa. Sekilas dapat kulihat kulitnya yang seputih susu, dan juga rona merah pada wajahnya yang bulat. Ia membawa sebuket bunga berwarna putih di dalam pelukannya, dan sekantong plastik yang ia genggam dengan tangan kanannya

Entah apa yang menguasai pemikiranku, aku segera berlari ke arah pintu belakang yang terkunci. Aku menggerutu sembari membuka tiga gerendel pintu yang sangat besar. Setelah membukanya, tanpa mengganti pakaian, aku segera berlari tersaruk-saruk ke luar, untuk mencari sosok yang baru saja kulihat. Kepalaku menoleh ke sana ke mari, namun tak juga kujumpai sosok itu. Demi Toko Roti Keluarga Uchiha, gadis tadi berjalan mengarah ke sebuah dataran salju yang kosong tanpa bangunan atau pun pohon. Dan ia menghilang? Aku merasakan jantungku berdegup keras saat menyadarinya. Gadis Hantu.

-ooo-

Malam sudah datang dengan bintang-bintang redup yang menggantung di langit musim dingin yang hampa. Sesekali bintang itu tak tampak, karena butiran-butiran kecil salju yang mulai menjatuhi bumi dengan gerakannya yang sangat halus.

Udara sangat dingin dan selimut tebal atau ranjang yang empuk sudah menggoda semua orang untuk berlayar ke alam mimpi. Namun aku masih saja duduk di ambang jendela yang sedikit menjorok keluar gedung. Ambang jendela itu cukup besar untuk tempatku duduk bersila. Daun jendela yang melengkung cembung di depanku, menjadi tameng pertahananku dari udara dingin. Aku meletakkan kedua tanganku di atas lutut, dan kembali melayangkan pandang sejauh mungkin.

Bayang-bayang akan gadis misterius tadi masih saja membuat hatiku luluh lantak. Ia berhasil mencairkan kebekuan hatiku, dan menjadikannya hangat. Sungguh pun kami baru berjumpa dan hanya sekedar berucap satu-dua kata, pesonanya sudah terlanjur membuatku jatuh dan tenggelam ke sebuah lautan gelap yang memberikan sensasi menyenangkan pada hatiku.

Aku tersenyum ketika kembali bayang-bayang wajah bulatnya, yang dihiasi rona merah dan ekspresi polos, membayangi hatiku. Dengan cepat aku menyadari apa yang sedang kupikirkan, lalu menggeleng-geleng, dan terus merapalkan kata 'tidak' dalam hatiku berulang kali.

Bosan. Aku turun dari ambang jendela dengan sekali lompatan, hingga tubuhku kini jatuh ke ranjangku yang tidak terlalu empuk tetapi nyaman untuk digunakan. Sesungguhnya mataku masih enggan menutup, namun tubuhku sudah sangat lelah, sehingga aku memutuskan untuk tidur. Kutarik selimut hingga sebatas leher, memadamkan api lilin, dan memejamkan mataku.

-ooo-

"Bangun, Pemalas!" tegur Itachi tiba-tiba saat aku masih bergelung di bawah hangatnya selimut tebalku yang juga sudah ditambal puluhan kali.

Aku mengerang enggan sambil merapatkan selimut itu, dan menyamankan posisi tidurku. Tolonglah, ini masih pukul tiga pagi. Aku masih dalam masa pertumbuhan sehingga butuh banyak istirahat! Lagi pula ini 'kan hari Minggu!

Itachi tidak tinggal diam. Ia segera menarik selimutku, hingga spontan aku melihatnya dengan gusar. Tidak hanya sampai situ, ia meraih penebah kasur rotan yang kugantung tidak jauh dari ranjang, lalu mengancamku dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Bangun, atau mendarat di bokongmu?" tanya Itachi dengan nada mengerikan.

Aku tidak bergeming dan malahan kembali menggelung diriku sambil bergumam, "Ancaman basi."

Sialnya, Itachi tidak main-main. Kakak laki-laki keras kepalaku itu dengan cepat memukulkan benda itu ke bokongku. Aku terlonjak dan segera terduduk sembari menatap gusar ke arahnya, sementara ia terkekeh sambil menggantungnya kembali di tempat semula.

"Tch. Usuratonkachi," gerutuku sembari berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Aku menutup pintu kamar mandi, dan segera melihat wadah besar, di lantai, yang terbuat dari kayu sudah terisi penuh dengan air hangat. Aku menciduk beberapa kali dan menyiramkannya ke wajahku. Usai aku membasuh wajah, menyikat gigi, dan menata rambutku, aku menatap ke cermin seakan menantang pantulan wajahku untuk beradu ketampanan.

"Kau tampan," bisikku sembari menelaah tiap inci wajahku yang terpantul di cermin. Ya, aku sangat bangga akan ketampananku ini. Aku merasa aku dua kali lipat lebih tampan dari Itachi, dan berpuluh-puluh kali lipat ganda lebih tampan dari Ayah dan Ibu. Ibu? Tentu saja. Ia tidak tampan, tetapi sangat cantik. Umurnya yang sudah mencapai empat puluh enam tahun tidak mengurangi kecantikannya walau sepersen pun. Aku merasa yakin kalau ketampananku diturunkan dari Ibu dan bukan Ayah.

Aku berjalan kembali ke kamar untuk mengganti pakaianku dengan pakaian rumahan. Kulemparkan saja piyama hangat yang kugunakan ini ke sembarang tempat. Aku mengganti semua termasuk pakaian dalamku. Dengan keadaan telanjang bulat, aku berjalan ke lemari dan memilih pakaian apa yang akan kukenakan hari ini. Jujur ini tidak penting, karena semua pakaianku bermodel sama. Mulai dari kaos lengan pendek yang jumlahnya belasan, dengan warna yang berbeda, tetapi model yang seratus persen sama; hingga kaos kaki sebetis dengan model yang juga seratus persen sama.

Karena itu semua disebabkan aku yang tidak terlalu peduli dengan model pakaian. Tidak seperti kakak laki-lakiku yang sangat memperhatikan penampilannya. Menurutku, percuma pakaiannya selalu ganti dan penampilannya selalu berbeda jika wajahnya tidak setampan aku. Cukup dengan ketampanan dan pakaian sederhana, aku bisa menggandeng sepuluh wanita sekaligus dalam sehari.

-ooo-

"Ohayou, Otousan," sapaku pada Ayah yang sedang memukul-mukul adonan roti di dapur.

"Hn," sahut Ayah sambil masih berkutat dengan adonan roti. Ia terus memukul dan memilin adonan itu sedemikian rupa agar lembut. "Bantu aku."

Aku segera menuruni tangga dan berjalan ke sebelah Ayah yang mengenakan sarung tangan plastik dengan tepung bertebaran di wajah dan tangannya. Degan cepat aku juga menyarungkan kedua tanganku dengan sarung tangan, lalu mulai mengambil adonan roti dari wadah lain dan memilin-milinnya juga. Ia memberikanku sedikit pengarahan tentang 'jangan terlalu keras' atau 'tingkatkan kecepatanmu'. Aku yang masih belajar pun mau tak mau menuruti Ayah yang sudah jauh lebih berpengalaman dibandingku.

Sesekali aku menguap dan melakukan gerakan yang salah, hingga Ayah merasa sedikit terganggu. "Tidur larut malam?" tanya Ayah masih sambil memilin-milin adonan.

"Ya," jawabku sekenanya, dan mengikuti gerakan tangan Ayah yang sangat lincah.

"Besok jangan lagi," tegas Ayah. Ya, aku tahu ia sangat tidak menyukai pekerjaan yang tidak sempurna apalagi yang disebabkan karena kurang tidur atau beristirahat. Akhirnya aku mengangguk tanpa berkata-kata lagi.

Kami terus bekerja membentuk ratusan adonan dalam waktu dua jam. Dan kini kami sampai di tahap yang paling kusuka, yaitu memilah adonan dan memberikan toping atau hiasan. Aku memang lelaki tampan yang maskulin, tetapi hal itu tidak membuatku merasa merasa kalau menghias roti hanyalah pekerjaan anak perempuan. Demi Jenggot Pegasus aku bukan lelaki lembek yang suka sesame jenis. Buktinya aku bisa terpesona dengan Gadis Hantu itu, 'kan?

Tunggu. Mengapa ia masih saja membayangi aku? Aku memukul-mukul kepalaku, namun segera berdeham keras ketika Ayah memandangku dengan tatapan aneh.

-ooo-

Karena ini hari Minggu, toko roti kami akan tutup selama tiga jam dari pukul dua belas hingga pukul tiga sore. Tiga jam itu digunakan kami untuk beristirahat. Karena toko roti kami selalu buka pada pukul enam pagi. Aku memakai mantel, sepatu bot, dan syalku. Setelah berpamitan untuk berjalan-jalan sebentar, aku keluar dari toko melewati pintu depan yang seperti biasa selalu berdering tiap kali dibuka.

Aku memasukkan kedua tanganku di saku mantelku, untuk menghilangkan rasa dingin yang membekukan. Beberapa orang yang melintas di dekatku selalu menyapaku dengan ramah, dan hanya kusahut dengan anggukan sopan dan senyuman tipis, karena aku tidak suka hal-hal semacam berbasa-basi. Sekalipun demikian, tak ada satu pun penduduk kota yang menghindariku, terutama para orang tua yang memiliki anak gadis. Mereka selalu berharap anak gadis mereka menikah denganku. Tetapi aku selalu mencibir dalam hati. Entah apa yang mereka kejar dariku. Apakah mereka mengetahui rahasia tentang aku yang akan mewarisi toko roti? Atau karena mereka tahu aku berasal dari keluarga yang cukup kaya?

Atau karena aku tampan? Ah, sudah pasti karena alasan terakhir.

Diam-diam aku menggiring tubuhku untuk kembali ke dekat toko roti, dan berjalan ke sebelah kiri gedung tempat di mana aku melihat Gadis Hantu itu berjalan ke dataran kosong di seberang sana, lewat dinding dapur, lalu ia menghilang. Mengapa aku menyebutnya Gadis Hantu? Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama karena ia menghilang di dataran kosong. Dan yang kedua, dataran kosong itu konon adalah tempat angker. Mengapa lagi dikatakan angker? Karena, acap kali orang mencoba membangun atau menanam sesuatu di sana, selalu saja ada bencanya yang pada akhirnya membatalkan itu semua.

Dulu aku tidak percaya pada takhayul macam itu, hingga akhirnya tiga tahun yang lalu aku melihat sendiri seorang laki-laki tua bermata biru dan bertubuh bungkuk yang sedang membangun bangunan semi permanen untuk tokonya tertimpa atap yang sudah setengah berdiri, dan tewas di tempat. Hingga akhirnya kudengar dari desas desus tetangga bahwa jasadnya tidak pernah ditemukan.

Kh. Sial. Membayangkan hal itu membuat bulu tengkukku meremang.

Tiba-tiba, dari belakang toko roti keluargaku, sosok yang sedari kemarin menghantuiku muncul masih dengan rok mantel merah mudanya. Dandanannya pun masih sama, begitu juga dengan rona merah di pipinya yang bulat.

Aku terperangah menatapnya. Secara tidak sadar, aku melangkahkan kaki untuk mendekatinya, hingga kini aku berada tepat di depan gadis itu.

"Konnichiwa," ujarku tanpa membuat ekspresi apa pun.

Gadis itu merunduk dan tersenyum malu-malu. Ia memainkan kedua jari telunjuknya di depan dada, lalu menyahut dengan tergagap, "Ko-konnichiwa."

Aku menatap gadis yang satu kepala lebih pendek dariku itu. Topi merah mudanya ternyata memiliki bulatan bulu yang bergerak-gerak lucu jika terkena angin. Aku tergoda untuk menyentuhnya, dan tertawa kecil ketika bulu itu bergerak. Mendengar aku tertawa, gadis cantik di depanku mendongak dan kini kedua mata kami saling bertemu.

Demi Atap Rumahku, mata itu sangat indah. Warnanya ungu pucat dan berkilauan. Pandangannya menyiratkan kerapuhan dan menunjukkan pada dunia bahwa ia memiliki watak pengasih. Ia memandangku dengan mata lebarnya dengan raut wajah polos yang menggemaskan. Tangan kananku terangkat untuk menyentuh pipinya dengan punggung jari, dan seketika wajahnya semakin merona, lalu ia kembali menunduk.

"Omae wa—"

"Hinata desu," potongnya cepat sambil menggerakkan kaki dengan gaya malu-malu. Hinata. Nama itu memiliki arti yang sangat indah. Aku pernah sekali membacanya di sebuah buku di perpustakaan pribadi keluarga kami. Nama itu memiliki arti 'tempat yang tertimpa cahaya mentari'. Cocok dengan wajahnya yang terang dan seakan mampu menghidupkan kembali hal-hal yang sudah mati. Seperti matahari yang menjadi sumber kehidupan bagi setiap makhluk.

"Aa," sahutku sambil mengangguk mengerti. Lalu aku menimpali, "Sasuke. Uchiha Sasuke."

Ia mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia melihat ke balik pundakku, dan aku menoleh untuk melihat apa yang sedang ia lihat. Lama aku tak menemukan apa pun yang menarik, aku menoleh kembali dan tidak menemukan Hinata di manapun.

Jantungku kembali berdegup keras. Ke mana ia pergi? Demi Tuhan aku merasakan keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. Apakah ia benar-benar Hantu? Lalu, jika memang benar, mengapa aku merasakan hangat ketika kusentuh pipinya dengan jariku?

Aku semakin penasaran, sekaligus takut.

To be continued.


Hellyeaa~ Anonymous Hyuuga kembalii~ kali ini aku sengaja mengangkat cerita fantasi, karena aku belum pernah bikin yang semacam ini sebelumnya. Maaf kalo kurang memuaskan ^^ ini soalnya baru percobaan. Nanti aku akan bikin yang lebih bagus lagi kalo ada ide~

Ah, tadi di 'warning' aku nyebut soal 'Gelel Stone' dan 'Dark Naruto', 'kan? Nah, di chapter ini dua-duanya emang belum keluar~ nanti akan ada di chapter kedepannya~

Okeh, sekian deh bacotan dari author payah ini xD

Mind to review?

Never stop trying to be better, and better.

-Anonymous Hyuuga-