Note :
Aku blablabla = ucapan dalam hati, kata-kata asing, atau soundeffect
"Aku blablabla" = ucapan di masa lalu
"Aku blablabla" = ucapan di masa sekarang atau saat itu
Gundam SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yoshiyuki Tomino, Hajime Yatate SUNRISE
It's Our Ending © Setsuko Mizuka
For Someone in The Past Time
Rate : T
Genre : Hurt/Comfort & Angst
Pairing : AsuCaga
Warning : OOC, Typo(s), AU, Gaje. Don't Like? Don't Read, Okay?
Summary : Hanya fanfic Two-Shoot AsuCaga pertama Author yang bergenre Hurt/Comfort dan Angst untuk melepas beban yang ada di hati kelabu Author. Don't like, don't read.
~ It's Our Ending ~
Cagalli Yula Athha. Seorang Presdir dari perusahaan Athha Corporation yang berkembang di bidang transportasi menggantikan Tou-sama-nya yang sudah pensiun karena beliau –Uzumi Nala Athha– lebih memilih menghabiskan masa tuanya bersama anak-anak asuhnya di pesisir pantai. Tunggu? Anak asuh? Yap! Kalian tidak salah membacanya kok. Uzumi memang mempunyai anak asuh yang berjumlah lima anak, termasuk Cagalli.
Cagalli anak asuh?
Yap! Gadis yang kini sudah berkepala dua itu memang salah satu anak asuhnya.
Kenapa ia bisa jadi seorang Presdir Athha Corporation?
Jawabannya mudah dan pasti sudah tak asing lagi dengan jawaban ini.
Kepercayaan. Iya, kepercayaan. Pria paruh baya yang saat ini berumur di atas lima puluh tahunan itu sangat mempercayainya. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk memberikan semua warisan hartanya kepada Cagalli. Uzumi tahu dan sangat tahu, Cagalli akan melakukan apapun sesuai perintahnya asalkan itu bisa membuat Uzumi senang dan bangga. Karena di balik semua itu, ada sebuah rahasia besar dan sudah jadi rahasia umum di kalangan masyarakat Negara Neutral ORB.
Senyum kecil mengembang di wajah gadis begitu melihat sebuah foto yang terpajang di meja kerjanya.
"Tou-sama, bagaimana kabarmu di sana?" tanyanya pelan.
Kalau boleh jujur, ia sangat merindukan sosok beliau karena sudah dua bulan tidak bertemu.
Tok, tok, tok.
Sura ketukan pintu membuatnya menengok.
"Ya?" sahut Cagalli.
"Cagalli-sama, boleh saya masuk?"
Mendengar suara sekretaris sekaligus manajernya bertanya dari luar ruangan, ia pun menyuruhnya masuk. "Masuk saja, Flay-san!" suruhnya.
Tak lama setelah itu, seorang gadis –ehem– mungkin bisa kita katakan seorang wanita –mengingat ia kini berstatus sudah menikah dengan pria bernama Sai Argly– memasuki ruang kerja Cagalli dengan langkah anggunnya. Sangat beda sekali dengan si pemilik ruangan tersebut.
"Ada apa?" tanya Cagalli.
"Saya ingin memberikan laporan mengenai Galeri Anda, Cagalli-sama," formal Flay Allster seraya menyerahkan dokumen yang kini dibungkus map berwarna kuning cerah kesukaan si Presdir muda itu. Terlihat sebiji keringat meluncur di belakang kepalanya mengingat peraturan bodoh yang dibuat Presdirnya ini sewaktu pertama kali ia menyerahkan laporan padanya.
"Heh? Kenapa mapnya warna merah?"
"Eh? M-memang ada yang salah, Cagalli-sama?" tanya Flay heran plus kaget.
"Pasti sekretarisku yang lama belum memberitahumu soal ini."
Flay masih menatap Cagalli yang tengah menunjukkan wajah cemberutnya.
"Aku takkan menerima laporan dengan map selain warna kuning."
"Galeri? Apa ada masalah dengan Galeriku?"
Pertanyaan dari Cagalli membuat Flay tersadar dari lamunan masa lalunya yang terlihat sangat lucu menurut orang lain tapi tidak untuknya. Wanita itu bergedik ngeri saat ingat suara rendah dari Cagalli yang terdengar seperti orang marah dulu. "A-ah, tidak. Hanya laporan mengenai pengunjung serta para customer yang meningkat bulan ini," kata Flay.
Gadis yang kini dikuncir mode pony tail itu mengangguk mengerti.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Cagalli-sama."
Dengan perginya Flay, hembusan napas berat keluar dari mulut Cagalli.
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Klik.
"Moshi moshi? Watashi wa Cagalli Yula Athha desu," kata Cagalli setelah mengangkat telepon kantornya yang tiba-tiba saja berdering. Mendengar tawa dari ujung sana, membuat Cagalli memutar bola mata indahnya yang berwarna amber itu begitu tahu siapa yang menelpon. "Oh ayolah, Kira. Kau kan bisa menelpon lewat ponsel, jadi aku tak perlu repot-repot memperkenalkan diri dengan seformal tadi," gerutunya.
"Ahaha, gomen. Ponselmu tidak aktif, makanya kutelpon ke telepon kantormu."
Cagalli terdiam sebentar. "Oh, maaf."
"Ada masalah?" tanya Kira dari seberang sana.
"Iie, demo..."
"Hm? Apa? Cerita saja."
"Bukan apa-apa. Lalu kenapa kau menelponku?" tanya Cagalli mengalihkan perhatian Kira agar tidak bertanya macam-macam lagi padanya.
"Hanya memberitahumu bahwa malam ini kita akan makan malam bersama."
"Bersama Tou-sama juga?"
"Yap! Dengan empat adik kita juga."
Senyum bahagia mengembang di wajah manisnya. "Bagus!"
"Jadi, kau bisa kan datang ke rumah?" tanya Kira was-was.
"Tentu saja bisa! Aku takkan melewatkannya, Kira!"
"Ahaha, dasar. Ya sudah, aku harus kembali kerja. Ditunggu jam enam sore nanti."
"Siap, Nii-san!" seru Cagalli layaknya seorang prajurit perang.
Kira tergelak mendengarnya. "Sudah lama kau tak memanggilku seperti itu." Laki-laki itu tahu saat ini kembaran tak identiknya alias adik kandungnya itu tengah tersenyum senang. "Baiklah, kuputus ya."
Klik.
Tut tut tut tut tut.
Perlahan Cagalli menaruh lagi gagang telepon ke tempatnya semula. Kemudian matanya tertuju pada laporan yang baru saja diserahkan oleh Flay. Laporan dari Galerinya yang baru setengah tahun ini dibangun untuk memperlihatkan hasil dari hobinya pada orang-orang yaitu dunia memotret.
Sudah jadi rahasia umum Cagalli adalah fotografer terkenal di ORB.
Iya, fotografer terkenal!
Bahkan foto-fotonya banyak dibeli oleh orang-orang luar ORB dengan penawaran harga yang cukup membuat masyarakat tercengang begitu melihat jumlah 0 yang tertera di kertas perjanjian. Seorang gadis yang luar biasa bukan? Mengingat umurnya masih berkepala dua namun ia sudah jadi fotografer terkenal dunia Internasional dan memegang sebuah perusahaan yang saat ini sangat maju dibandingkan perusahaan-perusaan lainnya.
Bukan hanya itu saja yang jadi rahasia umum dari seorang Cagalli Yula Athha.
Ia juga punya rahasia lain yang bersangkutan dengan Kira Hibiki, laki-laki yang baru saja menelponnya dan dipanggil Nii-san oleh Cagalli.
Yap, mereka memang kakak-adik kandung atau lebih tepatnya saudara kembar tak identik. Namun ketika mereka berumur lima tahun, sebuah kejadian membuat mereka terpisah dan bertemu kembali selang tiga belas tahun kemudian. Kejadian yang menyeramkan untuk Cagalli sampai-sampai membuat gadis itu trauma jika melihat aksi kekerasan di depan matanya atau di layar televisi. Kejadian pemberontakan atas pemerintahan Seiran yang sudah tak dipercayai masyarakat ORB itu membuatnya terpisah dengan keluarganya, keluarga Hibiki.
Di saat ia ingin menjadi korban pemberontakan tersebut, Uzumi yang sewaktu itu ingin menyelamatkan diri dari amukan masyarakat –karena jarak kantornya dengan kantor pemerintahan sangat dekat– menolong Cagalli setelah mendengar Cagalli menangis keras sambil memanggil Papa dan Mama-nya.
Selama tiga bulan penuh pasca pemberontakan tersebut, Cagalli dirawat Uzumi karena mengalami tekanan mental yang teramat sangat parah. Bahkan ia sampai lupa siapa keluarganya. Dengan kebaikan hati Uzumi, ia mengangkat Cagalli menjadi anak asuhnya sampai gadis itu berhasil mengingat dan menemukan keluarga kandungnya.
Tiga belas tahun kemudian saat Cagalli menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Atas atau SMA, ia bertemu dengan Kira Hibiki. Sungguh gadis itu tak menyangka, setelah bertemu dengan Kira batinnya kembali tertekan. Selama ini Uzumi tak pernah bilang ia hanya anak asuhnya, Cagalli menganggap Uzumi adalah ayah kandungnya. Namun sebuah kecelakaan dimana saat itu Cagalli tengah menumpangi sebuah taksi membuat dirinya mengetahui bahwa ialah adik kandung yang selama ini dicari Kira.
Nyuuut.
Kepala Cagalli tiba-tiba terasa pening mengingatnya.
"Kenapa aku akhir-akhir ini sering mengingatnya?" lirihnya.
Tik, tik, tik.
Ia melirik ke arah jam dinding besar bergambar Winnie The Pooh (-_-o ini Presdir terlalu kekanak-kanakan banget #Author ditimpuk sandal#) yang diletakkan di atas pintu. 03.15 P.M. waktu ORB. "Masih ada waktu untuk mengerjakan hobiku," kata Cagalli seraya merapikan berkas-berkas serta laporan yang sudah selesai dipelajarinya, kecuali laporan tentang Galerinya yang belum dibaca sama sekali.
Cklek.
"Cagalli-sama, sudah ingin pulang?" tanya Flay sambil berdiri dari kursi kerjanya yang bertepat di depan ruang kerja Cagalli, setelah melihat gadis itu selesai memakai mantel berwarna coklat yang panjangnya sampai lima belas centi di bawah lutut. Maklum, dia kan menjabat sebagai sekretaris rangkap manajer sang Presdir muda itu.
Blam. Cagalli menutup pintu kerjanya.
"Belum sih, aku masih ingin melakukan hobiku yang tertunda kemarin."
"Ah, sou desu ne. Semoga dapat hasil yang memuaskan Anda, Cagalli-sama."
Gadis itu tergelak mendengar ucapan Flay.
"A-apa ada yang salah dengan ucapan saya, Cagalli-sama?"
Cagalli berdeham sebentar setelah berhenti tertawa. "Ehem, tidak, tidak kok. Aku hanya tertawa mendengar ucapan formalmu," ia kembali tertawa lalu melanjutkan. "Hei, kita ini sudah bekerja sama selama tujuh bulan dan lagi, umurmu lebih tua satu tahun dibanding umurku."
Flay memandang Presdirnya tidak mengerti. "Lalu?"
"Jangan terlalu formal denganku, Flay-san."
"Rasanya tidak sopan jika tidak formal begitu, Cagalli-sama."
"Tapi aku risih mendengarnya, panggil aku Cagalli-san saja."
"Eh?"
Gadis itu mengambil sebuah kamera pemberian Uzumi di ultahnya yang ke sepuluh tahun dan sejak saat itu ia sangat menyukai dunia fotografi. Sedikit banyak Cagalli belajar dari teman-teman Uzumi yang sudah lebih dulu memasuki dunia memotret daripada dirinya yang masih sangat amatiran.
"Laporan tentang Galeri akan kubaca di rumah. Apa besok ada rapat?" tanyanya.
Flay mengangguk lalu mengecek jadwal Presdirnya. "Besok Anda harus mengikuti acara peresmian pabrik di pusat kota ORB sebelah barat."
"Ah, sou ka. Kalau begitu aku pulang duluan," pamitnya.
"Iya, Cagalli-sama." Flay membungkuk hormat.
"Hei, hei. Panggil aku Cagalli-san saja, Flay-san," protes Cagalli.
"Ah, h-hai."
~ AsuCaga ~
Cagalli melajukan mobil sport-nya yang berwarna hitam setelah dengan susah payah ia meminta izin pada bodyguard-nya –Kisaka– untuk mengendarainya sendiri. Sungguh, ia tak habis pikir dengan Tou-sama-nya yang terlalu overprotective padanya sejak dulu hingga sekarang. Hei! Gadis itu sudah berumur dua puluh tahun dan lagi, ia juga dicekoki tentang macam-macam bela diri sejak umurnya dua belas tahun. Kenapa sekarang masih harus dikawal lagi?
Ia mengerucutkan bibirnya, sebal.
Tanpa terasa, mobilnya sudah memasuki halaman sebuah Galeri miliknya.
"Memang meningkat orang yang berkunjung," gumamnya sambil memperhatikan orang-orang yang tengah berlalu lalang di depan mobilnya yang sedang berhenti untuk mencari tempat parkir yang masih kosong.
Tok, tok, tok.
Kaca mobilnya diketuk oleh petugas security.
Cagalli membuka kaca mobilnya tersebut.
"Selamat siang, Cagalli-sama," sapanya hormat.
"Siang, Paman."
"Silahkan parkir mobil Anda di sebelah sana."
Cagalli tersenyum ramah dan mengangguk. "Arigatou gozaimasu."
"Dengan senang hati, Cagalli-sama."
Ia pun memarkirkan mobilnya ke tempat yang sudah ditunjuk petugas security tadi dengan hati-hati karena pengunjung berlalulalang di sekitar Galeri. Begitu mobilnya terparkir dengan benar, Cagalli keluar dari mobil sambil menggendong tas selempangnya yang berwarna hijau muda. Sempat ia termenung beberapa saat melihat tasnya itu kemudian ia menggelengkan kepala dengan cepat. "Apa yang kau pikirkan, Cagalli? Ayo, kita cari objek foto yang bagus di sini," katanya menyemangati diri sendiri.
"Cagalli!"
Seruan dari seseorang yang dikenalnya membuat Cagalli menengok.
"Cagalli, apa kabarmu?" tanya orang itu dengan girangnya.
"Aku baik-baik saja, Miriallia. Bagaimana denganmu?" tanya balik Cagalli.
Miriallia Haww tersenyum. "Sama denganmu."
Senyum manis tercetak di wajah Cagalli. "Ayo, masuk ke dalam," ajaknya.
"Ah iya, kebetulan aku baru ingin masuk ke Galerimu." Gadis yang baru ditemui Cagalli sejak satu tahun mereka tidak bertemu itu tertawa pelan sambil melangkah masuk mengikuti Cagalli yang sudah berjalan lebih dulu darinya. "Kau tahu, Cagalli? Aku sudah tiga kali ini lho ke Galerimu," ceritanya.
"Benarkah? Aku senang mendengarnya." Lagi, Cagalli tersenyum menanggapi.
"Baru-baru ini kau menambah koleksimu, aku ingin lihat."
"Yaaah, memang benar, tapi langsung dipesan semuanya dalam waktu satu hari."
Miriallia menatap sahabatnya sejak SMP itu karena melihat Cagalli menghela napas. "Kau tidak suka foto-fotomu dibeli orang, Cagalli?"
"A-ah, bukan begitu. Hanya... aneh saja?"
Ucapan Cagalli membuat Miriallia tergelak.
"Apa yang lucu?"
"Tentu saja kau, Cagalli. Ahaha," kata Miriallia.
"Oh iya, bagaimana hubunganmu dengan si laki-laki Spanyol itu?" tanya Cagalli tiba-tiba sambil mengambil kameranya dari dalam tas tanpa menoleh ke arah gadis yang kini memakai kaos jingga yang ditutupi jaket putih berbulu di kerahnya dengan jeans tiga perempat untuk bawahannya.
"A-ah? Siapa maksudmu?"
"You know who I mean, Miriallia," sahut Cagalli dengan nada menggoda.
Wajah gadis itu memerah mendengar sahutan Cagalli.
"Sepertinya, ada sesuatu yang sudah kulewati."
"A-a-a, ti-tidak ada yang kau lewati kok!"
"Hm? Benar?" Cagalli mengarahkan kameranya ke wajah Miriallia yang memerah.
Ckrek!
"Cagalli! Jangan memotretku!" protes Miriallia.
"Ahaha! Wajahmu lucu!" seru Cagalli. Tanpa mereka sadari, banyak pengunjung yang memperhatikan mereka sejak awal keduanya masuk ke dalam Galeri. Banyak di antaranya yang menatap Cagalli penuh kagum lalu berbisik-bisik. Sepertinya mereka –para pengunjung– mulai menyadari kehadiran si pemilik Galeri. Mata amber Cagalli melirik ke samping karena tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampirinya.
"Anoo, sumimasen, Cagalli-sama."
"Iya, ada yang kubantu?" tanya Cagalli ramah.
"Boleh aku m-minta tanda tanganmu?" Laki-laki yang berumuran kira-kira enam belas tahunan itu bertanya dengan wajah malu-malu. "Mmm, aku... penggemar koleksi foto-fotomu sejak Galeri ini dibuka, Cagalli-sama. Perkenalkan, namaku Alex." Laki-laki berambut jabrik dan berwarna biru gelap itu membungkukkan badannya setelah memperkenalkan diri.
Sesaat Cagalli tak bisa menyembunyikan wajah kagetnya begitu melihat iris mata laki-laki bernama Alex itu. Namun dalam hitungan detik, wajahnya kembali normal. "Dimana aku harus tanda tangan, Alex-san?"
Alex tersenyum senang lalu menyerahkan sebuah foto pada Cagalli.
"Eh? I-ini? Fotoku?"
"M-maaf sebelumnya karena aku diam-diam memotret foto Cagalli-sama."
Cagalli tertawa pelan lalu mengambil foto itu untuk ia bubuhi tanda tangannya. Sungguh, Cagalli tak menyangka bahwa dirinya punya penggemar, bahkan sampai nekat untuk memfotonya secara diam-diam. Di foto itu, ia tampak tersenyum dengan kedua tangan memegang kameranya. Cagalli berpikir, Alex memfotonya saat setelah ia melakukan pemotretan pada suatu objek. "Ini, Alex-san," kata Cagalli sambil menyerahkan fotonya ke Alex.
"Uwaaa! Arigatou gozaimasu, Cagalli-sama! Arigatou!"
Cagalli dan Miriallia tertawa melihat Alex terus membungkukan badannya lalu berdiri tegap lagi secara berulang-ulang. "S-sudahlah, Alex-san. Tak perlu sampai seperti itu." Cagalli tersenyum melihat Alex mendekap fotonya.
"Sungguh, hari ini hari keberuntunganku karena bisa berbicara dengan Cagalli-sama. Oh iya!" Alex mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Sebuah kamera digital berwarna sama seperti rambutnya kini berada di tangan kanannya. "Anoo, Nona, maaf sebelumnya. Aku ingin difoto juga dengan Cagalli-sama, apa bisa Nona memfoto kami?" tanya Alex pada Miriallia.
"Tentu, sini biar kufoto," kata Miriallia senang.
"Boleh kan, Cagalli-sama?" tanya Alex meminta persetujuan.
"Iya, Alex-san."
"Siap ya? 1... 2... 3..."
Ckrek! Ckrek! Ckrek!
Miriallia tersenyum puas meihat hasil jepretannya. Di situ Alex terlihat sangat bahagia walau samar-samar terlihat bahwa anak laki-laki itu gugup dan merona. Ia berpose peach sementara Cagalli hanya tersenyum di sampingnya. "Sudah kufoto sampai tiga kali," katanya seraya menyerahkan kamera digital ke pemiliknya.
"Arigatou gozaimasu...?"
"Miriallia Haww." Miriallia tersenyum.
"Ah iya! Arigatou gozaimasu, Haww-san!"
"Kamu sekolah di Fairy Art High School?" tanya Cagalli setelah memperhatikan seragam yang dikenakan Alex. Laki-laki itu memakai celana panjang berwarna sama seperti blazer-nya yaitu hitam. Di blazer tersebut terdapat lambang Fairy Art High School berupa gambar sebuah nada balok yang dikelilingi sepasang sayap dan berwarna kontras dengan warna blazer-nya yakni warna kuning cerah –seperti garis yang ada di ujung-ujung blazer–. Untuk bagian dalamnya, Alex memakai kemeja berlengan panjang dipadukan sebuah dasi berwarna kuning yang sudah terlihat acak-acakan. Ia memakai sepatu pantofel berwarna hitam juga.
"Ah iya, aku sekolah di sana."
"Berarti kita satu sekolah. Aku alumni tahun 20xx."
Mendengar ucapan Cagalli membuat Alex terbatuk.
"Eh!? Benarkah itu, Cagalli-sama?"
Cagalli mengangguk.
"Waaah! Aku senang mendengarnya!"
Tiba-tiba terdengar lagu Crush-nya David Archuletta dari dalam saku mantel Cagalli. Dengan terburu-buru ia mengambil ponselnya. Flay Allster. Nama itu tertera jelas di layar ponsel yang masih mengalunkan suara David Archuletta. "Ah Alex-san, sepertinya aku harus pergi dulu ke depan," pamitnya.
"Iya, Cagalli-sama. Sekali lagi terima kasih." Alex membungkuk lagi.
Cagalli hanya tersenyum lalu mengacak pelan rambut biru gelapnya.
Alex yang terkejut diperlakukan seperti itu oleh sang idola hanya bisa mematung dengan wajah merona hebat. "A-a-astaga... aku... benar-benar beruntung! Hehe, pasti Nii-san kaget melihat aku berhasil foto dengan idolaku, Cagalli-sama. Hihihihi." Laki-laki itu menatap punggung Cagalli dan Miriallia yang sedang ditarik paksa untuk ikut keluar Galeri oleh si pemilik Galeri tersebut.
~ Just Two-Shoot ~
"Uuugh! Tarikanmu terlalu kuat, Cagalli. Tanganku sampai sakit nih," keluh Miriallia sambil menarik kursi cafeteria yang berada di sebelah utara Galeri memakai tangan kiri untuk ia duduki, sementara tangan kanannya terus ia kibas-kibaskan untuk mengurangi rasa sakit yang diberikan si sohibnya.
"Ah, gomen, gomen, Miriallia. Ehehe."
"Siapa yang menelpon memangnya?" tanyanya penasaran.
"Dari sekretarisku," jawab Cagalli sambil menduduki kursi yang berada tepat di hadapan Miriallia. Tiba-tiba seorang pelayan laki-laki datang menghampiri meja mereka untuk menyerahkan buku menu. Di saat Miriallia tengah memilih menu, Cagalli tampak melamun sambil melihat hasil-hasil foto yang ia potret sebelum hari ini. Di pikirannya kini tertuju pada kedatangan laki-laki yang bernama Alex tadi. "Alex..."
"-lli? Cagalli? Hei?"
"Ah? A-apa?"
"Mau pesan apa?" tanya Miriallia sambil menyerahkan buku menu pada Cagalli.
"Sama sepertimu saja." Cagalli kembali menunduk.
"Suatu kehormatan bagi kami, Cagalli-sama menyempatkan untuk mampir ke Cafeteria ini," kata pelayan tersebut sambil membungkuk sopan.
"A-ah! Tidak perlu seperti itu." Gadis berambut blond itu salah tingkah.
Pelayan itu tersenyum. "Jadi pesannya sama, Cagalli-sama?"
"Ya."
"Baiklah, mohon tunggu sebentar."
Miriallia yang melihat tingkah aneh Cagalli karena terus menunduk itu membuatnya khawatir. "Kau baik-baik saja, Cagalli? Ada masalah?" tanyanya. Ia menengok ke pintu dimana mereka keluar tadi kemudian menatap Cagalli lagi. "Apa... karena Alex?"
Cagalli tersenyum getir. "Anak itu... terlalu mirip."
"Iya sih..."
Hening beberapa puluh detik sampai Cagalli menginstrupsi.
"Oh iya, tadi kau belum menjawab pertanyaanku."
"Soal apa?"
"Dearka Elthman."
Miriallia langsung membuang muka dengan wajah memerah padam.
"Jadi, memang ada yang dilewatkan oleh telingaku, eh?"
"Aku... dilamarnya kemarin malam..."
Suara mencicit Miriallia membuat Cagalli mengangkat alis kanannya seraya mendekatkan diri. "Kau... apa? Suaramu tak terdengar," pinta Cagalli.
"Aku dilamarnya, Cagalli dan aku menerimanya." Miriallia menunduk.
"APA!? KAU DILAMAR DEARKA!?"
"Ssst! Cagalli! Kecilkan suaramu!" bentak Miriallia dengan wajah merona.
"Eh? G-gomen, aku terlalu kaget."
Kini kedua gadis itu sama-sama merona karena diperhatikan oleh semua pengunjung cafeteria. Kenapa hari ini aku jadi pusat perhatian terus sih? gerutu Cagalli dalam hati. Tak lama setelah itu, pesanan mereka pun datang.
"Selamat ya, Miriallia. Aku tunggu surat undanganmu." Cagalli tersenyum.
"Terima kasih, Cagalli. Jujur, aku masih tidak percaya soal itu."
Ucapan Miriallia membuat Cagalli tertawa tertahan.
"Oh iya!" Miriallia mencari-cari sesuatu di dalam tasnya (tas Miriallia sama seperti yang biasa ibu-ibu pake sewaktu lagi pergi arisan itu loh, ah Author benci dengan tas model begitu #dirajam readers#). "Aku disuruh menyerahkan surat undangan ini untukmu dan kebetulan kita bisa bertemu di sini," katanya seraya menyerahkan sebuah undangan berwarna merah dengan tali kuning di ujung kirinya.
"Apa ini surat undangan pernikahanmu?"
"Tentu saja bukan! Itu undangan reuni SMP Archangel JHS angkatan kita."
"Reuni... SMP?"
Miriallia meminum jus jeruk pesanannya dengan nikmat sambil mengangguk.
"Perasaanku kok jadi tak enak ya?" gumam Cagalli.
"Maksud- ah! Aku mengerti." Miriallia menatap was-was ke arah Cagalli.
"Aku tak akan datang."
Mata Miriallia melebar. "Apa!? Kau tak akan datang?" tanyanya ulang dan melihat reaksi dari sahabatnya yang terdiam itu membuatnya menghela napas. "Oh ayolah, Cagalli. Jangan terus seperti ini, sampai kapan kau mau menghindar?"
"Aku tidak menghindar," kata Cagalli tegas.
"Lalu apa namanya kalau bukan menghindar?"
"Aku... hanya... seingatku sih, hari itu ada rapat antarsaham," dusta Cagalli.
"Kau gila ya? Tak mungkin ada rapat pada hari Minggu, Cagalli," desis Miriallia. Sungguh, ia tak mengerti dengan arah pemikiran si gadis blond di depannya ini. "Kenapa tidak mau ke sana? Takut bertemu dengannya? Kalau kau bertemu dengan dia, kau mungkin bisa dapat kejelasan darinya, Cagalli," kata Mirialli dengan nada membujuk.
"Tak ada yang perlu dijelaskan lagi, Miriallia. Semua sudah jelas kok."
"Jelas apanya? Seperti itu dibilang jelas?"
Cagalli terdiam lalu memberikan senyum paksa pada Miriallia.
"Jangan sakiti dirimu terus, Cagalli."
"Justru jika aku pergi ke reuni itu, hatiku akan sakit."
Mirialli hanya menghela napas pasrah. "Terserah kau sajalah."
"Aku sih... ingin melihatnya, apa dia baik-baik saja? Apa dia sudah berubah? Apa dia sudah dapat penggantiku–tapi kalau untuk itu kurasa sudah sejak lama," cerita Cagalli sambil menyimpan kamera ke dalam tasnya. Lagi-lagi ia tersenyum getir.
"Cagalli..."
"Hei, Miriallia."
"...apa?" Tatapan sendu ia berikan pada Cagalli.
"Jangan tatap aku seperti itu. Oh iya, kau mau menemaniku hari ini?"
"Kemana?"
"Mencari objek yang bagus untuk kujadikan koleksi foto," jawab Cagalli.
"Baiklah jika itu membuatmu senang. Tapi kita habiskan dulu pesanan ini."
Cagalli menatap horror pada pesanannya. "Masakan apa ini?"
"Oh, ini kan rainbow cake, Cagalli. Masa kau tidak tahu?"
"Aku belum pernah melihat kue warna-warni seperti ini."
"Jadi, kau datang kan?" tanya Miriallia dengan wajah serius.
Cagalli terdiam sebentar. "Akan kupikirkan lagi."
The End
#digeplaked readers#
Maksudnya, To Be Continue
Hai, minna-san! Ketemu lagi dengan Mizuka di fanfic two-shoot pertama Mizuka. :) sebenarnya fanfic yang satu ini Mizuka jadikan tempat curhat Mizuka karena suatu masalah yang buat hati jadi galauuu banget. T^T Mizuka lagi kena serangan virus sakit hati dan patah hati (Readers : apa bedanya tau? Terus peduli gitu?). -_-a Yaaa gitu deh! Gara-gara itu Mizuka juga susah untuk ngelanjutin fanfic lainnya karena jujur aja Mizuka nulis cerita sesuai mood yang ada. Jadi gomen kalau lama update. #bows#
Siapa ya dia yang dimaksud Cagalli dan Miriallia?
Pasti kalian sudah bisa menebaknya. ;)
Besok akan diupdate chap 2 (mungkin) :)
Thank you karena sudah mampir... ;)
