DISCLAIMER :
Togashi-Sensei
PAIRING :
KuroPika, LeoPaku
SUMMARY :
Princess Kurapika always had a very bad nightmare. What would it mean? Meanwhile, a mighty Prince Kuroro from Shooting Star Kingdom is in his journey to search for the maximum power by slaying The Immortal Dragon. And King Leorio had a purpose to defeat Queen Pakunoda. What will happen to them?
WARNING :
AU. OOC. FemKura. Based on a legendary epic poem from Germany.
A/N :
Welcome to my second HxH multichapters fic! Memang sih, seharusnya aku menulis sequel lanjutan setelah You're Seducing…seperti apa yang aku janjikan di Just Because of You chapter terakhir. Well, sequel lanjutan itu sedang dalam proses tapi tiba-tiba aku punya ide lain and I just can't help it! Rasanya aku harus membuat chapter 1 fic ini terlebih dahulu supaya bisa fokus ke sequel lanjutan You're Seducing^^
Special thanks to Natsu Hiru Chan…my partner in writing KuroPika fanfiction, maybe? Kita akan selalu saling mendukung 'kan…? Hehe!
Okayyy…it's enough!
Happy reading^^
.
.
.
CHAPTER 1
Full many a wonder is told us in stories old,
Of heroes worthy of praise, of hardships dire, of weeping and wailing;
Of the fighting of bold warriors,
Now ye may hear wonders told
.
.
Malam begitu sunyi di Istana Kerajaan Rukuso. Seorang gadis pirang tengah tertidur dengan gelisah di kamarnya yang indah. Keringat dingin mengucur deras membasahi dahi dan seluruh tubuhnya. Tangannya mencengkeram selimut kuat-kuat.
"KYAAAAA…..!" Tiba-tiba gadis itu menjerit memecah kesunyian malam.
Pintu kamar terbuka lebar. Dua orang pelayan dan beberapa orang prajurit memasuki kamar itu dengan tergesa-gesa dan rasa khawatir terpancar dari wajah mereka.
Tampak gadis pirang itu sedang duduk di tempat tidurnya dengan wajah shock dan napas yang terengah-engah. Matanya menyala merah.
"Putri Kurapika!" seru salah seorang dari pelayan. Ia mengambil segelas air putih dan memberikannya kepada gadis bernama Kurapika itu.
Sementara yang seorang lagi segera menyeka dahi Kurapika yang basah oleh keringat dengan sehelai kain.
"Putri, kau kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanyanya.
Kurapika tak menjawab. Ia segera menghabiskan air minum yang diberikan pelayannya, lalu menekuk kedua lututnya dan mendekapnya di dada.
Melihat hal ini, para prajurit yang datang menghela napas lega. Mereka tidak melihat ada hal yang dapat membahayakan jiwa Kurapika dari mimpi buruk yang dialami gadis itu. Para prajurit itu pun melangkah pergi keluar kamar.
"Aku tak apa-apa," jawab Kurapika akhirnya. Ia memandang lurus ke depan dengan pandangan yang menerawang. "Pergilah kalian!"
Kedua pelayan yang tengah berada di samping Kurapika saling melirik satu sama lain. Terlihat keraguan di wajah keduanya.
Kurapika menghela napas.
"Aku benar-benar tidak apa-apa…kalian tidak usah khawatir. Pergilah, aku ingin sendiri," katanya lagi sambil menundukkan kepala.
Kedua pelayan itu pun segera beranjak.
"Tidurlah kembali, Putri Kurapika. Selamat beristirahat," terdengar ucapan mereka sebelum pergi meninggalkan kamar dan menutup pintu.
Kurapika hanya diam, ia tak bergerak sedikitpun. Ia menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya pun berangsur-angsur kembali berwarna biru.
Kurapika, putri dari Kerajaan Rukuso yang merupakan tempat tinggal Bangsa Kuruta. Ia juga merupakan adik perempuan satu-satunya Leorio, putra mahkota yang baru saja dinobatkan menjadi raja beberapa hari yang lalu.
Kurapika memiliki rambut pirang panjang yang halus dan berkilau. Matanya sewarna dengan birunya samudera, kulitnya bersih dan bercahaya. Tak diragukan lagi, ia adalah seorang gadis yang cantik. Senyum manisnya selalu membuat siapapun terpana melihatnya.
Kurapika memejamkan mata dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia berusaha mengingat kembali mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Dalam suasana yang kelam, seekor burung elang hitam dibunuh oleh dua ekor gagak. Mereka menyerangnya dengan bertubi-tubi, hingga burung elang itu bermandikan darahnya sendiri.
Mimpi yang singkat dan sederhana, namun kengerian di dalamnya terasa begitu nyata bagi Kurapika.
Mimpi itu datang menghantui sejak Kurapika mulai menginjak masa remaja. Kini Kurapika berumur 17 tahun. Dan akhir-akhir ini, mimpi buruk itu datang hampir setiap malam. Mimpi buruk yang sama…, berulang-ulang.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang ingin disampaikan mimpi itu padaku?, tanyanya dalam hati.
.
& Skip Time&
.
Dengan setengah berlari sambil mengangkat sedikit gaunnya, Kurapika menyusuri koridor istana. Ia tak menghiraukan orang-orang yang berhenti untuk menyapa dan membungkuk hormat padanya.
"Kakak!" tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahnya.
Kurapika berbalik. Tampak seorang bocah berjubah hijau dengan sebuah pedang di tangan kanannya. Wajahnya tampak begitu ceria.
"Gon!" kata Kurapika sambil tersenyum.
Gon berlari menghampiri gadis itu.
"Kakak mau ke mana? Tergesa-gesa sekali!" tanya Gon.
"Aku mau menemui ibu."
"Ibu?"
"Ya, apakah ibu sudah bangun?"
"Tentu saja, tadi aku baru saja menemuinya. Kakak, kapan kita akan berlatih pedang lagi?"
Kurapika tertawa geli. Walau dalam keadaan bagaimanapun, Gon selalu dapat membuatnya senang. Pembawa kebahagiaan, begitulah Kurapika menyebutnya.
"Pergilah duluan, nanti aku akan menyusulmu."
.
.
Prajurit penjaga segera membukakan pintu begitu melihat kedatangan Kurapika. Kurapika pun masuk ke dalam. Tampak seorang wanita berusia setengah baya sedang duduk di dekat jendela. Ia adalah Ibu Suri, ibunda dari penguasa Kerajaan Rukuso saat ini.
"Ibu…," ucap Kurapika perlahan.
Ibu Suri menoleh. Ia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Ibu Suri pun berdiri menyambut Kurapika.
"Selamat pagi Ibu," sapa Kurapika sambil mencium pipi ibunya.
Ibu Suri menyentuh wajah Kurapika dan melihat ada keanehan di wajah gadis itu.
"Kurapika Sayang, apakah kau tidur nyenyak semalam?" tanyanya khawatir. Ia mengajak Kurapika duduk bersama. Seorang pelayan datang membawakan dua cangkir teh dan menyajikannya di atas meja.
Kurapika menunduk. "Aku baik-baik saja, Ibu," jawabnya pelan.
"Aku tahu ada yang ingin kaukatakan padaku. Kurapika, angkat wajahmu dan jawablah pertanyaanku. Apa yang terjadi?"
Ibu Suri memandang wajah putri satu-satunya. Ia dapat melihat cahaya gadis itu meredup, dan ia tampak lelah. Entah karena apa. Ibu Suri memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Kurapika, namun ia selalu merasa ada yang disembunyikan Kurapika dari dirinya sejak lama.
Perlahan Kurapika mengangkat wajahnya. Sekilas ia tampak gugup. Kurapika mengulurkan tangannya hendak mengambil secangkir teh yang ada di hadapannya, namun ia terkejut saat Ibu Suri menarik cangkir itu.
"Biasanya seseorang akan langsung minum jika ia merasa gugup karena akan berbohong," kata Ibu Suri. Ia menatap Kurapika dengan lembut. "Jangan takut…ceritakanlah padaku."
"Aku pernah menceritakan ini pada Kak Leorio…dulu sekali," Kurapika mulai bercerita. "Tapi dia bilang itu bukan apa-apa. Ibu, sebenarnya aku…sejak mulai remaja, selalu dihantui oleh mimpi buruk yang sama. Lalu akhir-akhir ini, hampir setiap malam aku mengalaminya. Ibu, apa artinya ini?"
"Mimpi buruk apa yang kau alami?"
Sesaat Kurapika terlihat ragu, namun kemudian dia menceritakan tentang mimpi buruknya pada Ibu Suri. Ibu Suri memiliki insting yang kuat. Kurapika berharap ibunya dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Mimpi itu benar-benar membuatku takut," Kurapika menutup ceritanya.
Lalu ia mengangkat wajahnya. Kurapika tampak terkejut melihat raut wajah ibunya yang ketakutan dan tampak pucat.
"I-Ibu?" tanya Kurapika khawatir.
Ibu Suri segera memeluk putrinya.
"Ibu, ada apa?"
Perlahan Ibu Suri berbisik di telinga Kurapika sambil membelai rambut pirangnya.
"Di antara semua anak-anakku…hanya kau yang diwarisi mata merah khas bangsa kita. Bahkan aku pun tak memilikinya. Kurapika, kebaikan hatimu…, pengetahuan yang selalu ingin kau gali, norma-norma yang kau junjung tinggi dan penampilanmu yang bagaikan malaikat…membuatmu istimewa. Ingatlah itu, Kurapika. Kau adalah putriku yang istimewa dan kau harus bahagia walau dalam keadaan apapun."
"Apa maksud Ibu?"
Ibu Suri diam tak menjawab. Kurapika segera melepaskan diri dari pelukan ibunya.
"Ibu, aku sudah berkata jujur padamu. Dan aku harap kau pun akan melakukan hal yang sama untukku," katanya dengan jantung yang berdegup kencang. Apa sebenarnya yang diketahui ibunya, pasti bukan merupakan suatu hal yang baik.
Ibu Suri menghela napas. Terlihat kesedihan dari sorot mata birunya.
"Kurapika, mimpi itu…adalah mimpi terlarang bagi seorang gadis," katanya. "Tentu saja kakakmu tak mengetahui hal ini. Aku tak percaya kenapa kau tak memberitahuku lebih awal."
Kurapika terdiam. Ia melihat ibunya merasa berat untuk mengatakan itu semua.
Ibu Suri melanjutkan ucapannya, "Kurapika, mimpi itu menandakan bahwa…suamimu di masa depan, siapapun dia, akan mati dalam keadaan yang tragis."
Kurapika tersentak. Matanya berkaca-kaca.
"Ini suatu ramalan kuno, Kurapika. Ramalan yang sudah diceritakan secara turun-temurun dalam keturunan wanita Bangsa Kuruta."
"Tapi ibu tak pernah menceritakannya padaku!" protes Kurapika dengan suara bergetar.
"Mimpi itu datang saat seorang gadis mulai beranjak remaja. Sekarang kau sudah berusia 17 tahun, sudah melewati masa itu. Ibu kira kau tak mengalaminya!"
Kurapika memalingkan wajahnya. Ia tak mampu melihat rasa iba yang terpancar dari wajah Ibu Suri.
"Kurapika…", panggil Ibu Suri dengan lembut.
Kurapika segera membungkuk hormat.
"Terimakasih telah meluangkan waktu untukku, Ibu. Aku permisi."
.
& Skip Time &
.
"Wahh…Kakak hebat!" seru Gon kagum saat Kurapika berhasil mengalahkannya.
Kurapika tersenyum tipis. "Kau kurang waspada, jadi aku bisa mengalahkanmu dengan mudah!"
Tiba-tiba Kurapika mendengar suara ranting terinjak kaki seseorang di belakangnya. Ia segera berbalik sambil mengarahkan pedangnya. Tampak seorang pemuda dengan rambut berwarna coklat terang berdiri di sana. Ia mengenakan pakaian berwarna merah dengan jubah keemasan.
"Wow! Tenanglah, Kurapika!" kata pemuda itu. Ia adalah Shalnark, pangeran pertama Kerajaan Rukuso.
Kurapika tersenyum licik. "Salah sendiri kenapa mengagetkan aku dengan muncul diam-diam seperti itu," jawabnya.
Shalnark mengenali senyuman itu. Ia pun menyiapkan pedangnya dan melawan Kurapika. Pertarungan terlihat lebih sengit dari biasanya.
"Ada apa sebenarnya? Kau terlihat berbeda sekali hari ini, adikku yang manis!" goda Shalnark.
Kurapika tak menjawab. Ia tak menghentikan perlawanannya, sementara Gon dengan gembira menyemangati mereka.
Tak berapa lama, datanglah seorang prajurit.
"Putri Kurapika, Yang Mulia Raja ingin kau datang menemuinya sekarang juga."
.
.
Kurapika berjalan dengan anggun menuju ruang pribadi kakaknya. Ia telah merapikan penampilannya kembali setelah berlatih pedang dengan Shalnark dan Gon. Gaunnya berdesir menyapu lantai yang berkilau.
Tampak Leorio tengah menulis di mejanya. Ia segera meletakkan pena saat melihat kedatangan Kurapika.
"Ibu…telah menceritakannya padaku," kata Leorio sambil menatap Kurapika.
Kurapika hanya berdiri diam tak menjawab.
Leorio menghela napas.
"Kau satu-satunya adik perempuanku…kau tahu bagaimana aku sangat menyayangimu, Kurapika," katanya lagi.
"Aku tahu," jawab Kurapika pendek. "Dan aku telah memutuskan."
"Maksudmu? Dengar, aku mulai menerima banyak utusan dari negeri lain yang menyampaikan keinginan raja dan pangeran mereka untuk meminangmu. Mungkin—"
"Aku tidak akan menikah."
Leorio terkejut. Ia menatap Kurapika seolah tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.
"Jangan terlalu cepat memutuskan seperti itu!" ucap Leorio.
"Aku sudah menyelidikinya. Mimpi itu selalu menjadi nyata. Aku tak akan menikah dengan siapapun yang hanya akan mati dengan tragis dan meninggalkan aku."
.
.
Kerajaan Bintang Jatuh…
Eleazar terduduk lemas di kursinya. Ia mengurut keningnya berulang-ulang, wajahnya tampak murung.
Tiba-tiba sebuah sentuhan lembut di bahunya mengejutkan pria itu. Eleazar menoleh. Tampak seorang wanita dengan mahkota yang indah di kepalanya sedang tersenyum.
"Aurora," Eleazar menyebut nama wanita itu.
Aurora segera duduk di sampingnya.
"Apa yang mengganggu pikiranmu hari ini?" tanyanya lembut.
Eleazar menghela napas. "Yang mengganggu pikiranku hari ini sama saja dengan apa yang mengganggu pikiranku di hari-hari sebelumnya," jawab Eleazar kesal.
Aurora tertawa kecil. "Kuroro maksudmu?"
"Siapa lagi? Dia putra mahkota kerajaan ini, tapi lihat…apa yang dia lakukan? Bukannya mulai belajar mengurusi negara, dia malah sibuk bertualang kesana kemari!"
"Dia 'kan anak kita, sifatnya pun sangat mirip denganmu. Aku masih ingat bagaimana dulu ketika kau masih seusianya!"
"Kau membela anak itu?"
Aurora terkekeh geli. Eleazar meliriknya tajam.
"Maaf atas ketidaksopananku," kata Aurora segera setelah berhenti tertawa.
"Aurora…aku sudah mulai tua, dia harus banyak belajar mulai dari sekarang."
Aurora baru saja akan berkata lagi saat tiba-tiba seorang pria datang memasuki ruangan. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan gagah, rambutnya hitam berkilau sewarna dengan matanya yang tampak misterius sekaligus mengagumkan. Terdapat sebuah tanda unik di keningnya, tanda lahir yang menandakan seorang calon raja. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yang cocok sekali dengan penampilannya.
Seulas senyum tipis terlihat di wajah tampan pria itu.
"Kuroro anakku, selamat datang," sapa Aurora senang. "Kami baru saja membicarakanmu."
"Kau baru kembali?" tanya Eleazar segera.
"Ya Ayah, tapi aku ke sini untuk berpamitan lagi," jawab Kuroro tenang sambil duduk di hadapan ayahnya.
"Apa?"
"Kenapa? Ada yang salah?"
"Apa yang ingin kau lakukan kali ini? Apa kau tidak tahu, saat ini sedang ada ancaman di perbatasan kerajaan kita? Seharusnya kau ikut memikirkan strategi apa yang harus kita lakukan!"
"Ohh...itu? Mudah saja. Lakukan seperti apa yang Ayah rencanakan, tapi jangan abaikan penduduk di perbatasan itu. Kalau tidak mereka akan berbalik menjadi musuh kita. Aku sudah memberi instruksi kepada Jenderal Nobunaga mengenai hal ini."
Eleazar terdiam. Ia nampak terkejut mendengar penjelasan putranya. Ia tak menyangka, Kuroro telah menyiapkan segalanya.
Aurora terlihat bangga, sementara Kuroro tersenyum kembali melihat ekspresi wajah ayahnya.
"Tenang saja Ayah, aku mencintai negara ini dan aku tidak akan pernah melupakannya hanya karena urusan pribadi. Baiklah, aku mohon diri."
Kuroro membungkuk hormat lalu berbalik pergi. Beberapa orang prajurit mengikutinya.
"Pangeran, kita akan pergi ke mana kali ini?" tanya Feitan, seorang prajurit yang selalu mengenakan masker ingga menutupi setengah wajahnya.
"Menemui Naga Ambrosine," jawab Kuroro singkat.
Feitan tertegun mendengar ucapan Kuroro, ia berhenti melangkah. Begitu pula dengan prajurit-prajurit yang tengah berjalan bersamanya. Mereka saling melirik satu sama lain. Bagaimana tidak, Naga Ambrosine adalah sebutan untuk seekor naga yang telah hidup ratusan tahun, berada di Gunung Orea, yang merupakan tempat paling berbahaya di dunia.
Dikisahkan bahwa apabila ada seorang manusia yang bermandikan darah naga itu, maka tubuhnya akan kebal terhadap serangan apapun. Namun cara apa yang dapat dilakukan untuk mendapatkan darah Naga Ambrosine selain membunuhnya?
Feitan melanjutkan langkahnya. Ia menatap Kuroro yang melangkah dengan tegap di hadapannya. Ia dan orang-orang di Kerajaan Bintang Jatuh sudah sangat mengetahui, betapa cerdas dan kuatnya pangeran mereka. Seringkali ia mengalahkan ksatria dan naga dalam petualangannya. Tapi mengalahkan Naga Ambrosine? Sama saja dengan menghampiri kematian.
Kuroro dapat merasakan keraguan di benak para prajuritnya.
"Kalian mau ikut atau tidak?" tanya Kuroro dengan nada suara yang datar tanpa menoleh.
Tak ada pilihan lain bagi Feitan dan teman-temannya sesama prajurit. Mereka telah bersumpah setia kepada Penguasa Negeri Bintang Jatuh untuk selalu melindungi keturunannya. Apalagi seorang putra mahkota, anak satu-satunya Eleazar. Selain itu, putra mahkota kali ini adalah yang paling menonjol kekuatannya dibandingkan dengan keturunan-keturunan raja sebelumnya.
"Tentu saja kami akan ikut bersamamu Pangeran," jawab Feitan tegas.
Kuroro tersenyum puas. Misi kali ini memang sangat istimewa. Orangtuanya pasti akan murka bila mengetahui hal ini, namun Kuroro tak peduli. Ia merasa, menemui Naga Ambrosine adalah bagian penting dari takdirnya.
.
& Skip Time &
.
"Yang Mulia, hampir semua negara tetangga kita mengirimkan hadiah atas penobatanmu," ucap Perdana Menteri Netero.
Leorio melepaskan mahkotanya dengan hati-hati.
"Kalau begitu tolong kirimkan ucapan terimakasih sebagai balasannya," jawab Leorio sambil duduk santai di kursinya.
Netero terdiam tak menjawab. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria tua itu. Leorio heran melihatnya.
"Adakah hal lain yang mengganggu pikiranmu?" tanya Leorio segera.
Netero menghela napas sejenak lalu mulai bicara kembali, "Ada sebuah negara…yaitu Negara Acantha. Hanya negara ini yang tidak memberikan hadiah maupun ucapan selamat."
"Oya? Siapa penguasanya?"
"Ratu Pakunoda. Ia sudah memerintah sejak berumur 13 tahun."
"Tiga belas tahun? Apakah itu mungkin?"
"Kedua orangtuanya dibunuh oleh orang dalam…mereka hanya meninggalkan seorang anak perempuan, Pakunoda, yang saat itu baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-13. Tapi Pakunoda…seperti sudah ditakdirkan menjadi ratu. Sejak kecil, ia dididik sebagai calon ratu. Kabarnya, Ratu Pakunoda merupakan wanita yang tangguh dan kuat…kekuatan fisiknya layak dibandingkan dengan kaum pria."
Leorio menegakkan duduknya. Ia tertegun mendengar cerita Netero. Seorang wanita yang layak dibandingkan dengan kaum pria…tentu sangat menakjubkan.
.
.
Kuroro turun dari kuda hitamnya. Di hadapannya, tampak Gunung Orea menjulang tinggi. Kuroro mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegap. Jubah hitamnya berkibar-kibar tertiup angin pegunungan yang kencang.
Samar-samar terdengar suara lengkingan aneh yang berasal dari puncak gunung.
"Pangeran, apakah kau yakin?" tanya Feitan sekali lagi. Di belakangnya, prajurit-prajurit lain mulai tampak ketakutan.
"Apakah kau meragukan aku?" tanya Kuroro dengan wajah tanpa ekspresi.
Tiba-tiba muncul segerombolan naga menukik menuju Kuroro dan para prajuritnya.
"Aku serahkan mereka pada kalian," Kuroro berkata lagi sambil berlari menuju puncak gunung.
Kuroro berlari dengan sangat cepat, hingga ia tiba di depan sebuah mulut gua. Tanpa pikir panjang lagi Kuroro langsung masuk ke dalam menyusuri lorong gua yang gelap dan lembab. Tak lama kemudian, ia melihat cahaya yang sangat terang di ujung lorong. Kuroro pun menghampiri cahaya itu.
Sampailah ia di sebuah tempat yang luas, bermandikan cahaya matahari yang terik. Suara lengkingan yang sangat memekikkan telinga menghentikan langkahnya. Kuroro mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat itu.
Tiba-tiba semburan api datang menuju Kuroro. Kuroro segera melompat menghindar. Ia bersiap dalam posisi siaga sambil memegang erat pedangnya. Kuroro menengadah. Tampak seekor naga raksasa, dengan warna merah keemasan berdiri di hadapannya. Matanya menatap Kuroro tajam. Ia menggeram marah.
"Hai Manusia, siapa kau hingga berani mengganggu tidurku?" tanyanya.
Kuroro mengacungkan pedangnya. "Aku Kuroro, Pangeran dari Kerajaan Bintang Jatuh."
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku...menginginkan darahmu."
Naga Ambrosine memekik. Ia mengibaskan sayapnya, bersiap untuk terbang dan menyerang Kuroro. Naga itu tampak sangat marah.
"Manusia lancang! Kau akan mati sekarang juga!"
Naga Ambrosine menyerang dengan membabi-buta. Kuroro menghindar dengan cepat sambil mengibaskan pedangnya. Ekor Naga Ambrosine yang tajam melukai dada Kuroro dan membuatnya terpental membentur tebing.
Kuroro tidak menghiraukan darah yang mengalir di dadanya, ia menatap naga itu dengan marah. Serangan Naga Ambrosine sama sekali tidak melunturkan semangatnya.
Saat Naga Ambrosine merunduk bersiap untuk menyemburkan api ke arah Kuroro, Kuroro mengacungkan pedangnya hingga pedang itu menyala terkena api. Kuroro bergerak dengan cepat, melemparkan pedang itu ke bagian di mana jantung Naga Ambrosine berada.
Naga Ambrosine memekik kesakitan karena jantungnya tertusuk pedang yang dialiri oleh apinya sendiri.
"Manusia kurang ajaarr...! Para Dewa akan mengutukmu! Kau akan mati dalam keadaan yang hina!"
Kuroro diam tak bergerak. Tubuh Naga Ambrosine dipenuhi api. Darahnya mulai menyembur bagaikan lava yang keluar dari kawah gunung api.
Kuroro memejamkan matanya. Darah Naga Ambrosine mulai membasahi seluruh tubuhnya. Ia merasakan suatu kekuatan yang menakjubkan menyelimuti. Di belakangnya, berdiri sebuah pohon linden dengan daun yang mulai berguguran. Daun-daun itu tertiup angin, dan salah satunya jatuh ke punggung Kuroro...menempel ke tubuh pria itu, hingga bagian yang tertutup daun tidak tertutupi oleh darah Naga Ambrosine.
Kuroro pun merasakan keanehan itu. Ia mengulurkan tangannya ke belakang dan mengambil daun itu, sementara darah Naga Ambrosine mulai lenyap bersatu dengan udara, menimbulkan bau darah yang amat sangat.
Hanya selebar daun linden ini yang tidak terkena darah, bukan masalah besar, ucap Kuroro dalam hati sambil tersenyum puas.
.
& Skip time &
.
Suasana aula Kerajaan Rukuso terlihat meriah. Kain berwarna keemasan menghiasi atap, bunga-bunga terlihat di seluruh sudut ruangan. Musik mengalun indah mengiringi tarian para gadis penari.
Beberapa orang pria asyik bercakap-cakap sambil menikmati hidangan. Saat ini, Leorio sedang menerima tamu kehormatan dari beberapa kerajaan tetangga.
"Aku pun bermasalah dengan Negara Acantha," ucap Hanzo, Raja dari Kerajaan Himawari.
Leorio meneguk anggurnya. "Mungkin Ratu Pakunoda bermasalah dengan dominasi kaum pria," candanya.
"Mungkin Anda harus mengalahkannya," tiba-tiba seorang pemuda berambut putih berkata. Ia adalah Killua, putra mahkota dari Kerajaan Zaoldyeck.
"Maksudmu?"
"Kalahkan dia untuk membuatnya jera, kalau perlu...menikahlah dengannya."
Semua terdiam mendengar ucapan pemuda itu.
"Benar juga," seorang lagi menimpali. "Raja Leorio, sudah sejak lama pernikahan dijadikan alat untuk perdamaian dan penaklukan. Anda pun dapat menggunakan cara itu! Suatu keuntungan yang besar bagi Kerajaan Rukuso, untuk dapat bersekutu dengan Acantha."
Leorio mengangguk-anggukkan kepalanya, menyadari kebenaran hal itu.
"Oya, kudengar Anda mempunyai seorang adik perempuan yang istimewa," kata Killua lagi sambil meletakkan gelasnya. Matanya melirik ke arah Shalnark yang berusaha membujuk Gon agar kembali ke kamarnya.
"Ah...Kurapika?" ucap Leorio. Senyuman tipis menghiasi wajahnya.
"Kenapa dia tidak ikut menyambut kami di sini? Kalau Anda tidak keberatan, Raja Leorio...aku ingin melihatnya."
"Dia memutuskan untuk tidak ikut serta, aku hanya menghormati keputusannya."
Suara Leorio terdengar tegas, membuat Killua tidak dapat bertanya lebih jauh. Namun Killua dapat melihat kesedihan di mata pria itu.
.
.
Killua menelentangkan tubuhnya. Sudah dua jam ia berbaring, namun rasa kantuk belum juga datang menghampiri.
"Ahh...membosankan!" Killua mengeluh. Ia menyesali keputusan ayahnya, Raja Silva, untuk pergi menggantikannya memenuhi undangan Kerajaan Rukuso. Killua segera bangkit dan memakai mantel tidurnya lalu melangkah keluar dari kamar.
Dua orang prajurit bersiap mengikutinya dari belakang.
"Aku ingin berjalan-jalan sendiri, jangan ikuti aku," cegah Killua segera. Ia pun melangkah pergi.
Tak berapa lama, Killua sampai di taman istana Kerajaan Rukuso yang indah. Sebuah sungai kecil mengalir di sana. Killua memejamkan mata, menikmati hembusan angin malam yang menyapu wajahnya dan gemericik air yang terdengar laksana musik di telinganya.
Tiba-tiba Killua merasakan kehadiran seseorang. Pemuda itu segera bersembunyi di balik semak-semak bunga mawar dan memperhatikan ke asal suara.
Tampak sebuah sosok melangkah pelan menghampiri kolam di taman itu. Dilihat dari bentuk tubuhnya, sepertinya ia seorang gadis. Perlahan gadis itu membuka tudung kepalanya, memperlihatkan wajahnya ke arah Killua. Kurapika.
Killua terpana. Ia pun keluar dari persembunyiannya tanpa melepaskan pandangan dari gadis yang ada di hadapannya.
Kurapika membelalak terkejut.
"Kau...siapa? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Kurapika.
"Aku...," jawab Killua ragu. Ia terus menatap Kurapika. Cahaya bulan bersinar lemah menyinari wajah rupawan gadis itu.
Kurapika mulai melangkah mundur. Saat akan berbalik, Killua segera menarik tangannya dengan cepat, menyebabkan gadis itu hampir jatuh ke pelukannya.
Kurapika menahan tubuhnya dan menatap Killua dengan tajam.
"Kau lancang sekali! Lepaskan aku!" protesnya sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Killua. Mata birunya yang indah mulai berubah menjadi merah.
Melihat hal itu, Killua langsung mengetahui siapa gadis yang ada di hadapannya. Ia tersenyum senang.
"Aku Killua, putra mahkota dari Kerajaan Zaoldyeck. Jadilah milikku...Putri Kurapika," Killua berkata.
.
& Skip Time &
.
Kurapika memasang tiaranya sambil menatap cermin.
"Sudah selesai Putri," ucap salah seorang pelayan sambil memandang kagum ke arah gadis itu. Pagi itu, ia dan teman-temannya baru saja selesai mendandani Kurapika. Suatu rutinitas yang biasa terjadi.
Tiba-tiba Leorio datang memasuki kamar itu. Semua pelayan terkejut, mereka langsung membungkuk hormat.
"Kakak?" ucap Kurapika, ikut terkejut melihat kedatangan kakak tertuanya.
Leorio tersenyum.
"Tadi pagi-pagi sekali, Pangeran Zaoldyeck datang menemuiku dan menyampaikan maksudnya," ucap Leorio. Ia tertawa geli. "Sepertinya ia tak bisa tidur nyenyak semalam."
Kurapika terdiam. Ia berbalik membelakangi Leorio.
"A-apa maksud Kakak?" tanya Kurapika dengan gugup.
Leorio berhenti tertawa. "Ia ingin menikahimu, Kurapika," ucapnya. "Ia sangat terkesan dengan pertemuan kalian."
"Kakak sudah tahu 'kan, keputusanku mengenai hal itu?"
"Tak bisakah dipertimbangkan kembali?"
Kurapika tersentak. Ia berbalik menghadap Leorio dan menatapnya seolah tak percaya.
"Kenapa Kakak bisa dengan mudahnya berkata begitu?"
"Kurapika, itu hanya mimpi!"
"Tapi mimpi itu sudah terbukti terjadi sejak zaman dahulu kala! Aku pikir kita telah melaluinya. Aku tidak mau lagi berdebat dengan Kakak mengenai hal ini!"
"Mimpi itu sesuatu yang tak pasti, Kurapika. Dan setiap keturunan kerajaan...harus siap menerima tugas apapun demi kelangsungan negerinya. Keluarga Zalodyeck sangat kuat, mereka memiliki prajurit-prajurit yang sudah terkenal tangguh. Akan sangat menguntungkan bagi kita...jika dapat menjalin persaudaraan dengan keluarga itu."
"Kudengar Kakak ingin mengalahkan Ratu dari Negeri Acantha. Kalau ingin menambah kekuatan, kenapa Kakak tidak menikah saja dengannya!"
"Kurapika!"
Leorio sangat marah mendengar adiknya yang terus membantah dan dengan lancang berani bicara mengenai Ratu Pakunoda. Kurapika segera berlari keluar menghampiri kuda putihnya, Orva, lalu menderap pergi.
Semua gara-gara ramalan bodoh itu, gerutu Leorio dalam hati sambil menatap kepergian adiknya.
.
.
Kakak tidak mengerti dan tidak akan pernah mengerti!, jerit Kurapika dalam hati sambil memacu Orva untuk berlari lebih cepat lagi. Ia tidak mempedulikan beberapa orang prajurit yang berusaha menghadangnya.
Tak lama kemudian Kurapika sampai di luar lingkungan istana, namun ia tidak menghentikan laju kudanya. Ia terus pergi menuju hutan.
Pernikahan adalah…impian paling indah yang didambakan setiap wanita. Aku juga memiliki impian itu! Kakak pikir ini kehendakku sendiri? Kakak tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan impian!
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Kurapika yang menyala merah. Ia menggenggam tali kekang dengan sekuat tenaga dan menahan tangisnya.
Setelah beberapa lama, Orva terjatuh karena kelelahan. Kurapika pun terjungkal dan terjatuh ke sungai. Untunglah arus sungai itu tenang sehingga tidak menghanyutkan tubuh Kurapika. Perlahan Kurapika mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada sebuah batu. Tangannya terulur…Orva segera mengangkat kepalanya dan mengendus tangan gadis itu sambil meringkik lemah.
"Maafkan aku, Orva…aku sudah memaksamu," ucap Kurapika sedih.
Tiba-tiba tangannya jatuh menghempas air sungai. Kurapika merasa lemas. Ia hampir saja kehilangan kesadaran saat seseorang mengangkat tubuhnya keluar dari sungai. Orva pun kaget dan mulai terlihat panik.
"Shh…tenanglah, aku tidak akan mencelakai majikanmu," terdengar sebuah suara.
Kurapika memaksakan diri untuk membuka matanya. Matanya membelalak terkejut saat melihat seorang pria tampan berambut hitam, yang tak lain adalah Kuroro.
"Tu-turunkan aku!" ucap Kurapika segera dengan pipi yang merona.
Kuroro menaikkan sebelah alisnya. Jelas sekali ia terlihat heran akan sikap Kurapika.
"Aku sudah menolongmu. Tidak bisakah kau mengucapkan terimakasih terlebih dahulu?" goda Kuroro.
"Baiklah, terimakasih. Sekarang turunkan aku!"
Kuroro menurunkan Kurapika. Kurapika pun menegakkan kakinya, namun beberapa detik kemudian ia merasa pusing sehingga mulai kehilangan keseimbangan. Kuroro segera menangkapnya.
"Jangan memaksakan dirimu," ucap Kuroro tenang. Ia menyandarkan tubuh Kurapika di bawah pohon yang rindang lalu duduk di sampingnya.
Kuroro meraih tangan kanan Kurapika. Kurapika terkejut. Ia menarik tangannya, namun Kuroro segera menggenggam tangan itu.
"Tanganmu terluka," ucap Kuroro datar.
Kurapika menunduk dan memperhatikan tangannya dengan seksama. Nampak sebuah luka di sana, mungkin ia terluka saat terjatuh tadi.
Tanpa bicara, Kuroro mengambil saputangannya lalu membalut luka Kurapika dengan itu.
"Selesai," ucap Kuroro akhirnya.
Kuroro meletakkan tangan Kurapika kembali lalu mengangkat wajahnya. Mata hitamnya bertemu dengan mata biru gadis itu. Ia terpukau melihatnya. Mungkin banyak wanita lain yang lebih cantik dari Kurapika, namun Kurapika tidak hanya cantik, tapi ia terlihat begitu murni. Cahaya keemasan dari rambut pirang gadis itu membingkai wajahnya, laksana cahaya keemasan yang menyelimuti malaikat.
"Aku Kuroro dari Kerajaan Bintang Jatuh. Siapa namamu?" tanya Kuroro setelah mereka saling bertatapan begitu lama.
Kurapika tertegun. Haruskah ia memberitahukan identitas aslinya?
Kuroro tersenyum melihat raut wajah Kurapika. Hal ini membuat gadis itu terpesona.
Aku terbiasa mendapatkan apapun yang kuinginkan…dan sekarang aku menginginkan keindahan ini, ucap Kuroro dalam hati. Ia meraih dagu Kurapika lalu menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu. Sebuah ciuman yang sangat lembut.
Ciuman Kuroro membuat Kurapika terlupa akan segalanya.
A-apa ini? Pria ini…menciumku…
Namun kemudian Kurapika segera tersadar. Ia melepaskan diri dari ciuman Kuroro dan mendorongnya. Mata gadis itu perlahan berubah menjadi merah…menatap Kuroro dengan tajam.
Kuroro terkejut melihatnya. Ia pun takjub.
"Kurang ajar! Berani sekali kau melakukan itu padaku!" protes Kurapika sambil berusaha berdiri. Kini pipinya terasa memanas, karena semakin merona.
"Putri Kurapika…!" tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan, disertai suara derap kuda. "Putri…! Kau di mana? Kembalilah ke istana!"
Kurapika terkesiap. Ia segera melangkah menghampiri Orva, meninggalkan Kuroro yang masih terpana lalu menderap pergi.
Kuroro menatap kepergian gadis itu.
Dia Putri dari kerajaan ini! ucap Kuroro dalam hati. Kuroro memejamkan matanya sejenak, lalu menengadah menatap langit. Seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya. Putri Kurapika…kita pasti akan bertemu kembali.
TBC
.
.
A/N :
Akhirnya selesai juga! Maaf kalau terlalu panjang…sebab aku ingin pertemuan Kuroro dan Kurapika jadi closing scene di chapter 1 ini^^
Review please…
