Disclaimer : Masashi Kishimoto
Pairing : SasuNaru, slight NaruHina
Rate : T
Genre : Romance, Drama
Warning : Boys Love, Yaoi, Typo (mungkin).
Summary : Sebuah kematian yang membuat dia bertanya-tanya siapa dirinya dan apa yang sebenarnya dia lakukan. Sebuah kematian yang membuatnya jatuh dalam belenggu, mencincangnya, dan menusuknya.
SELAMAT MENIKMATI~ (^0^)
CAPTIVATED
Chapter 1 : Kidnap Me
Mengapa hari ini benar-benar gelap?
Mengapa tak ada satu pun cahaya yang masuk ke mataku?
Ataukah aku hanya berimajinasi, hanya berhalusinasi?
Ini tidaklah nyata kan? Ini hanya mimpi belaka kan?
Kulihat sebuah nama disana, terukir dengan sangat cantik namun menyedihkan. Sebuah nama, dengan tanggal lahir dan tanggal kematian yang menunjukan hari ini.
Uzumaki Naruko.
Kenapa namamu ada disana, heh? Sedang bermain-mainkah dirimu, kak?
Tak dapat dipercaya, mengapa kau tidur di bawah tanah kotor itu? Apa kau mendadak gila, kak?
Hahaha, jangan-jangan kau ingin mencoba berkenalan dengan para cacing disana, eh? Menghilangkan phobiamu pada cacing, eh?
Lihatlah kak, apa yang kau lakukan benar-benar sinting. Kau bisa melihatku kan? Kalau kau bisa melihatku, kau juga bisa melihat orang disampingku kan?
Dia pacarmu kak, namanya Sasuke. Oh, bodoh sekali aku ini, kenapa aku memperkenalkannya padamu ketika kau sudah mengetahuinya.
Kak, karena tingkah bodohmu, dia menangis, Sasuke menangis. Aku juga lupa memberitahumu, orang tua kita menangis. Apa kau akan tetap tidur disana? Selamanya tidur disana?
Aku tak dapat memaafkanmu, kak. Aku yang mempunyai wajah persis sepertimu benar-benar tidak bisa memaafkanmu. Aku, Uzumaki Naruto, tak akan pernah bisa memaafkanmu.
Karena tanpamu, aku bukanlah siapa-siapa dimata orang tua kita. Kau, kaulah yang selamanya ayah dan ibu pandang. Sesuatu yang indah, sesuatu yang cantik, itulah dirimu.
Aku hanya bocah nakal, yang bahkan orang tua sendiri pun tak pernah menyayangiku. Kau, satu-satunya orang yang membuatku bertahan, kini menghilang.
Apa kau dapat merasakan sakitku? Tentu saja, kita kembar bukan? Kita punya ikatan absolut. Aku pun dapat merasakan sakitmu, semuanya merambat sampai tulang-tulangku.
Aku benar-benar tidak mau mengucapkan kata 'Selamat tinggal' padamu, kak. Aku tidak akan pernah mengatakannya. Karena selamanya, hati kita terhubung.
-0-0-0-0-0-
Aku melihat ke arah cermin yang berada di depanku. Kupakai wig rambut pirang panjang yang persis seperti rambut kakakku. Kemudian, kupakai pula seragam sekolah milik kakakku.
Aku benar-benar mirip kakakku sekarang.
Aku Naruko sekarang. Tidak akan ada lagi Naruto. Di rumah ini memang tidak pernah ada Naruto sendiri, kecuali dia bersama Naruko.
Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan. Aku dapat melihat wajah kaget kedua orang tuaku. Hanya untuk sesaat, benar-benar sesaat. Lalu mereka tersenyum padaku, hal yang jarang mereka lalukan padaku, pada seorang Naruto.
"Wah... Naruko sudah bangun..." Kata Ibuku.
"Kau makin cantik saja, anakku." Sahut Ayahku.
Mereka ikut bermain denganku. Permainan bodoh ini, permainan yang aku ambil ini, benar-benar sangat lucu. Entah kenapa aku sangat senang walaupun aku tahu senyum mereka bukan untukku.
Kubalas senyuman mereka, lalu duduk di bangku sebelah Ibuku, tentu saja ini adalah tempat favorit Naruko.
"Kau terlihat semakin kurus, Naruko." Ibuku bilang.
"Eh... Ya..." Jawabku pelan.
Ya, aku memang lebih kurus dari Naruko. Aku sering melewati makan pagiku. Dan lagi, Naruko punya dada yang besar, aku hanya tidak mungkin memakai branya, jadi sekarang ini aku biarkan dadaku terlihat rata.
"Gimana kalau nanti setelah kau pulang sekolah kita berdua belanja baju, Naruko?"
"Er, Ide bagus." Kataku.
Dari sana, ibuku terus berbicara denganku, tentu saja itu obrolan wanita. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku katakan, jadi aku hanya menjawabnya pendek sambil memakan rotiku.
"Aku berangkat."
"Ya, hati-hati sayang."
Apa yang aku lakukan ini? Aku tidak begitu mengerti, aku hanya ingin sosok Naruko tetap ada. Tapi, apakah aku mengharapkan yang lain?
Apakah jangan-jangan aku ingin mendapatkan kebahagiaan yang sama seperti Naruko?
Tidak mungkin.
Aku segera membuang pikiran-pikiran itu, dan berjalan keluar rumah menuju sekolah. Para tetangga yang kebetulan berada di luar memandangku tak percaya. Tentu saja mereka semua sudah tahu kalau Naruko sudah meninggal.
"Kau Naruto?" tanyanya dengan muka yang lucu.
Aku hanya tersenyum dan melanjutkan perjalananku.
Tentu saja, kecuali di rumah sendiri, Naruto itu sangat terkenal. Orang yang kenal Naruko pasti kenal Naruto, begitulah sebaliknya.
Kini, aku berada di depan gerbang sekolah. Aku tentu saja menjadi pusat perhatian seluruh murid disekitarku.
"Kau Naruko?" tanya seorang siswi.
"Bodoh, dia Naruto, bukannya kita kemarin dapat kabar kalau Naruko sudah meninggal?" sahut temannya.
"Bohong..." terlihat wajah sedih dari siswi tersebut.
Begitu ya, ternyata kematian kakakku sudah menyebar di sekolah. Ha, tentu saja, kalau soal Naruko semua orang pasti update, tapi tentunya ada pula orang yang tak bisa percaya dengan informasi yang dia dapat.
Aku pun menarik napas dan kembali melangkahkan kakiku. Namun, tak lama dari itu, langkah kakiku terhenti. Sekarang, aku berhadapan dengan teman sekelasku, Shikamaru, dan Kiba.
"Naruto..." Shikamaru menghampiriku.
Aku tak menjawab.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?!" seru Kiba.
"Maaf."
"Apanya yang maaf? Aku hanya tak bisa mengerti jalan pikiranmu!"
"Sudahlah Kiba, jangan terlalu keras, bagaimana pun Naruto teman kita." Ujar Shikamaru menenangkan Kiba yang berapi-api.
"Justru itu karena aku peduli padanya, Shika!" Baru pertama kali kulihat Kiba memarahi Shikamaru. Kemudian aku terkaget saat Kiba menarik tanganku, membawaku ke suatu tempat.
Shikamaru pun mau tak mau mengikuti kami berdua.
Sebuah tempat yang penuh dengan pohon rindang, disanalah aku dipertemukan dengan seorang wanita berambut hitam. Wanita yang berstatus sebagai pacarku.
"Lihat, kau membuat Hinata khawatir!" teriak Kiba. "Dasar pecundang, kau berhasil membuatnya menangis!"
Benar, aku telah membuat Hinata menangis. Tapi aku tak dapat menenangkannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
"Sudahlah Kiba..." Hinata kemudian mendekatiku, kami berdua saling berhadapan.
"Jangan lihat aku Hinata, aku sangat menjijikan..." lirihku. Hinata lalu menyentuh pipiku dengan kedua tangannya, mengelusnya lembut.
"Tidak, Naruto. Aku mengerti perasaanmu, Naruto... kau pasti sangat terpukul dengan kematian Naruko-chan..." kata Hinata lembut. "Tapi, bukan berarti kau menyiksa dirimu sendiri seperti ini, Naruto... kau tidak harus menjadi Naruko untuk menunjukkan bahwa Naruko tak akan pernah hilang..."
Luar biasa, pacarku memang sangat luar biasa, dia mengerti diriku, sangat mengerti. Aku beruntung mempunyai Hinata, aku orang paling beruntung sedunia.
Tapi, masih ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Apa itu, aku sendiri masih belum menemui jawabannya.
"Hinata... maaf telah membuatmu khawatir, aku berjanji tidak akan lagi membuatmu khawatir." Ku pegang pinggang kecil Hinata, aku lalu menariknya mendekatiku, kemudian kukecup singkat bibir Hinata. Hal itu, sukses membuat Hinata bermuka merah seperti kepiting.
Namun, aku tak bisa berlama-lama menikmati wajah merah Hinata karena seseorang menarik bajuku dari belakang. Aku kemudian menolehkan kepalaku pada orang brengsek itu. Dia adalah Sasuke.
Hinata, Shikamaru, dan Kiba yang daritadi bersamaku tentu saja memandang kaget perlakuan Sasuke padaku.
Apalagi, setelah itu, Sasuke menamparku keras.
Bukan hanya aku yang terdiam, kami semua yang ada disana terdiam.
Aku benar-benar tak percaya dengan tingkah laku Sasuke padaku sekarang ini, walaupun setiap hari kami selalu bertengkar, tapi Sasuke tak pernah menampar pipiku, kami tak pernah menggunakan kekuatan fisik untuk bertengkar, tidak kecuali hari ini.
"Aku akan memberimu beberapa pelajaran." Kata Sasuke.
Lalu tanganku dirampas olehnya, ia menarikku paksa, caranya lebih kasar daripada cara Kiba menarikku. Hinata dan yang lainnya tak bisa melawan keegoisan Sasuke, mereka diam saja dan mungkin menganggap hal ini untuk kebaikanku juga.
Sampailah kami di tempat sepi, tempat paling sepi di sekolah.
"Jawab, siapa kau?!" tanyanya keras.
Tanpa pikir panjang, aku jawab "Aku Naruko."
Tiba-tiba saja, Sasuke memojokkanku ke dinding di belakangku. Dia lalu menarik leherku, dan mencium ganas bibirku. Saat itu pikiranku benar-benar kosong. Dari awal aku tak dapat mengerti dengan apa yang Sasuke lakukan padaku. Lalu aku sadar, aku harus melepaskan ciumannya. Tapi, aku malu mengakuinya, kekuatan Sasuke lebih besar dariku. Dia terus bermain dengan mulutku, dengan lidahku, saliva kami berdua bercampur dan sebagian keluar lewar celah bibir kami. Sasuke berhenti ketika dia mungkin butuh oksigen, dan aku pun butuh oksigen.
Aku lalu memandangnya tajam. "Apa yang kau lakukan padaku, heh?"
"Kau tahu kan konsekuesi menjadi Naruko?"
Aku tak menjawab.
"Menjadi Naruko, berarti menjadi pacarku."
Aku tersenyum padanya, tentunya senyum ledekan.
"Omong kosong. Aku tahu kau bahkan tak pernah berani memegang tangan kakakku."
Dia tak membalas.
"Kau pikir, sudah berapa tahun aku melihat kalian berpacaran, eh? Apa aku tak pernah melihat keraguanmu saat kau ingin memegang tangan kakakku, eh?"
Aku kemudian menghapus saliva yang berada di sekitar mulutku. "Aku tahu, ini ciuman pertamamu kan? Kau sangat menarik. Yang tak dapat kupercaya, kau sangat hebat dalam hal ini. Aku yakin kalau kakakku akan meleleh karenamu." Godaku.
"Diam!"
Mulutku terkunci seketika. Kenapa aku menurutinya, lagipula?
"Lepas bajumu!" perintahnya.
"Oh, tolong... ada orang yang mau memperkosaku." Kataku dengan nada dibuat-buat.
Melangkahkan kakinya ke depan, dia lagi-lagi mempersempit jarak antara kami.
"Lepas bajumu!" Dia mengambil sesuatu di dalam tasnya dan memberikannya padaku. "Dan pakailah seragam olahragaku ini."
"Aku tak bisa ganti baju disini." Aku bilang.
"Tidak ada yang akan melihatmu kecuali aku."
Aku tak merespon. Tak bergerak sedikit pun. Apa sebenarnya alasanku menjadi Naruko? Bukankah aku hanya ingin sosok Naruko tetap ada?
"Apa kau takut pulang ke rumah jika menjadi Naruto?"
Pertanyaan Sasuke benar-benar menekan hatiku. Tepat sekali, aku dapat mengakuinya, dia benar.
"Kau, kau tak perlu peduli pada orang tuamu yang hanya memikirkan Naruko tanpa memikirkan dirimu." Lanjutnya.
Kubalas dengan senyuman pahit.
"Bagaimanapun lebih baik aku saja yang mati, bukan Naruko." Ujarku.
"Bodoh! Tak ada yang berkata seperti itu!"
"Tapi... kau juga kan sakit kehilangan Naruko... jika kau melihatku terus, kau akan selalu teringat dengan Naruko..."
"Bagiku tak masalah, karena aku memang ingin terus mengingatnya."
Aku terdiam sejenak.
"Memang tak salah Naruko memilih kau."
Sasuke memang orang hebat, orang yang hatinya kuat. Dia hanya berdoa untuk Naruko, menangis untuknya tanpa pernah mempersalahkan kematian Naruko. Kalau dibandingkan aku dengannya, dialah orang yang paling sakit atas kematian Naruko. Sedangkan aku, aku hanya bertindak sinting, dan menganggap akulah yang paling menderita. Sial, aku mulai benci diriku sendiri.
"Sepertinya kau juga mulai jatuh cinta padaku, eh?" katanya menyeringai.
"Idiot! Apa kau lupa, aku ini laki-laki!"
Aku pun menyambar baju olahraga milik Sasuke dan mulai memakainya. Pertama yang aku lakukan adalah membuka wig-ku lalu mulai kubuka baju seragam sailor atasku dan kuganti dengan kaos milik Sasuke. Setelah itu, sebelum aku melepas rok pendekku, kupakai celana olahraga milik Sasuke terlebih dahulu.
"Apaan itu?" katanya dengan wajah tak senang. Aku tak tahu mengapa ia berekspresi seperti itu.
"Eh, apa ini aneh? Aku pernah tak sengaja melihat Hinata dan Naruko berganti baju, dan beginilah cara mereka berganti baju." Kataku sambil membuka rok pendekku.
"Apa?! Kau pernah melihat mereka berganti baju?!"
"Ohohoho... tolong jangan marah... lagipula, aku dan Naruko kan saudara kandung, dan lagi soal Hinata, dia kan pacarku, calon istriku di masa depan nanti." Kataku sambil tertawa.
"Cih!"
"Hahahaha... maaf ya kalau aku sangat beruntung..." Aku memberi sebuah cengiran pada Sasuke.
"Oh tidak masalah kalau soal itu." Katanya.
"Lalu, kenapa kau marah?" Aku membengkokkan kepalaku dan melihat wajahnya lebih lekat.
Dia tak menjawabku.
"Jangan-jangan kau ingin melihat tubuhku... hahaha..." Kataku bercanda.
"Iya, sangat disayangkan."
"Eh? Apaan dengan jawaban itu, tak bisakah kau sedikit menambahkan sesuatu yang lucu disana?" Aku tertawa.
"Well... mari kita kembali ke kelas." Ajak Sasuke sambil menarik tanganku.
"Yaah... padahal aku ingin bolos untuk hari ini..." Kataku kecewa. Entah mengapa aku merasa dapat melupakan sedikit mengenai kakakku dan keluargaku. Bersama Sasuke, aku dapat merasakan kebahagiaan walau hanya secuil.
Tapi, disamping itu, aku masih teringat dengan ciumannya. Sasuke seolah benar-benar ingin melahapku, menenggelamkanku pada dirinya, yang benar saja.
"Pulang sekolah nanti, kau tunggu aku di gerbang sekolah." Katanya.
Aku meliriknya, dan menghela napas berat. "Kau benar-benar pelit, apa aku harus segera mengembalikan bajumu pulang nanti?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu, itu saja."
"Kenapa tidak sekarang saja?"
Berhenti, dia tak lagi menggerakan kakinya dan tak lagi menarik tanganku. Ia hanya membalik ke arahku, memandangku lekat-lekat.
"Kalau begitu, kita langsung saja ke inti."
"Silahkan."
"Kita pergi dari kota ini."
"Kita? Maksudmu kau dan aku? Buat apa?" Kataku bingung.
"Aku tak mau kau terus terganggu oleh orang tuamu itu. Maka dari itu, mari kita bicarakan kepindahan kita kepada kepala sekolah."
"Terimakasih atas perhatianmu, aku tidak apa, tak usah pikirkan aku."
"Baiklah, kalau begitu jangan sampai aku melihatmu melakukan hal bodoh lagi."
"As you wish."
"Jika sampai aku melihatmu melakukan hal bodoh lagi, aku tak akan segan-segan menculikmu."
"Baik hati sekali."
Hal bodoh? Apa dia pikir aku akan memakai pakaian Naruko lagi? Aku menyunggingkan senyum, dia memang tak salah, aku bisa saja melakukan hal bodoh itu. Bahkan, hal bodoh lebih dari sekedar memakai pakaian Naruko pun aku bisa lakukan.
-0-0-0-0-0-
Sudah berapa lama aku berdiri disini?
Dari sedetik yang lalu? Semenit yang lalu? Satu jam yang lalu?
Aku tak lagi memikirkannya, dan mengalihkan pandanganku pada pintu yang ada di depanku. Pintu rumahku. Rumahku? Apa benar itu rumahku?
Sejak kapan Naruto punya rumah?
Hei, ayolah, hari sudah makin mendung, apa aku ingin kehujanan di depan rumah sendiri?
Mengapa aku tidak berani membuka pintu rumah? Apa aku takut orang tuaku akan kecewa melihatku?
Aku pun memutar tubuhku, menjauh dari rumah itu. Hujan mulai turun, aku tak berniat membuka payungku, apalagi berniat untuk memasuki rumah itu.
Aku biarkan tubuhku basah oleh hujan. Aku tertawa dalam hati, aku benar-benar melakukan hal bodoh lagi.
Tiba-tiba aku merasa seseorang mendekatiku, dia memayungiku. Dalam hati terdalamku, aku berharap dia adalah Sasuke.
Aku salah.
Aku tak mengenal orang itu.
Orang yang tak aku kenali. Orang yang namanya tak aku ketahui.
"Hei, kau bisa masuk angin." Katanya tersenyum.
Aku tidak menjawabnya, yang aku lakukan hanya memandangnya bingung. Dia memakai seragam yang sama seperti seragam sekolahku. Mungkin, aku dan dia pernah bertemu di suatu tempat. Namun, diingat-ingat pun tak ada apapun yang keluar.
"Kau tak mengenalku ya, aku Sai." Dia memperkenalkan diri. "Aku dari kelas 11-5."
"Kau sekelas dengan Naruko?" Kataku sedikit kaget.
"Ya, begitulah, maka aku mengenalmu."
Aku menghela napas lega. Ternyata dia adalah teman kelas Naruko, aku bisa tenang kalau begitu. Disamping itu, dia memiliki wajah yang lembut dibalik senyumannya. Dia mungkin orang baik. Ah, aku tak bisa menilai orang dari penampilan luar saja. Lagipula, walaupun dia berwajah lembut, dia juga terlihat mengerikan dengan senyumannya. Aku tak pernah melihat orang seperti dia.
"Aku ikut sedih atas kematian Naruko."
"Ya... tentu saja, aku tahu." Balasku.
"Hm... semua orang di kelasku sedih atas kematiannya, apalagi para sahabat baiknya, banyak dari mereka bahkan tidak masuk sekolah karena nangis semalaman."
Benar, tentu saja, tidak ada yang rela kehilangan Naruko.
"Ini rumahmu kan? Kenapa kau tidak masuk ke rumah?" dia bertanya hal yang paling benci aku jawab.
"Tidak-tidak, ngomong-ngomong, rumahmu disekitar sini?"
"Err... ya, mau berkunjung ke rumahku?" Ajaknya.
"Ide bagus."
Aku pun mengikutinya. Sulit dipercaya, untuk menuju rumahnya, aku harus melewati gang sempit, dan jalan-jalan yang jarang orang lewati. Apalagi ini hujan, tak ada orang yang mau keluar rumah, kecuali mereka yang kurang beruntung dan terjebak hujan.
"Kau tahu," Sai memulai percakapan. "Aku dulu menyukai Naruko, dan pernah menembaknya satu kali."
"Eh?" aku kaget mendengar itu.
Sai kemudian berhenti, aku yang berada di belakangnya pun ikut berhenti.
"Dia tentu saja menolakku." Lanjutnya. "Sainganku Sasuke, bodohnya aku, walau aku tahu Naruko sudah memiliki pacar, aku tetap menembaknya."
Aku tak merespon. Aku tidak mungkin berkata, "Kau memang bodoh." Atau "Kau sangat sial."
"Tapi aku salah." Katanya. "Aku salah, benar-benar salah."
Sai membalik ke arahku. Aku hanya punya ruang untuk mundur, kami memang sedang berada di gang sempit sekarang. Dia kemudian melepas payungnya, dan menggunakan tangannya untuk memegang bahuku.
"Er... Aku mengerti perasaanmu." Kataku.
"Bukan, bukan itu. Yang pertama kulihat saat aku pertama kali itu juga jatuh cinta bukanlah Naruko, tapi kau, Naruto."
Aku membelalak kaget. Apa pendengaranku tiba-tiba bermasalah?
"Berkali-kali aku mengingatkan diriku, yang aku sukai bukanlah Naruto, yang aku sukai adalah Naruko. Aku tidak seharusnya menyukai sesama laki-laki."
"Kau mungkin memang menyukai Naruko, wajahku dan wajahnya yang sama kadang membuat orang kebingungan sendiri." Balasku.
"Tidak, itu keliru." Dia lalu mendorongku ke dinding, menahanku, memenjarakanku. "Ketika aku tahu Naruko meninggal, aku sama sekali tidak merasa sakit hati, aku baik-baik saja. Bahkan rasa cintaku masih ada. Lalu aku mengerti, yang aku cintai itu adalah Naruto. Adalah dirimu."
Aku tak punya apapun untuk kukatakan. Wajahnya makin lama makin mendekati leherku.
Dia mengecup leherku, menjilatnya, menghisapnya. Aku merasakan sebuah sensasi yang aneh. Tolong aku.
Tolong aku.
"Hentikan, kumohon."
Dia tak menghiraukanku. Sai lalu mencium bibirku, memasukan lidahnya ke mulutku. Disaat itu, tangannya meraba-raba tubuhku, menyusup ke balik bajuku.
Aku berusaha melepaskan diri darinya, namun, dia sudah mengunci setiap titik tubuhku.
Dari sana, Sai menjilat bibir bawahku, menghisap bibir atasku. Tangannya bermain di dadaku. Aku benar-benar lengah. Kenapa aku langsung mempercayainya?
Aku bertingkah seperti orang bodoh.
Aku melakukan hal bodoh lainnya.
Aku melakukannya lagi.
Haa, aku benci diriku sendiri.
BUGH!
Kulihat Sai jatuh ke tanah. Seseorang telah memukulnya keras. Kualihkan pandanganku pada orang itu, dia,
Sasuke.
"Dasar idiot!" Serunya padaku.
Lalu, Sasuke merampas kerah Sai, dia memukul wajah Sai lagi. Sai tak berdaya di tangan Sasuke.
"Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi dihadapanku." Dengan tajam, ia memandang Sai.
"Hee... kau benar-benar serakah, kau kan sudah memiliki Naruko, apa sekarang kau ingin memiliki Naruto juga?" Lawan Sai.
BUGH!
Lagi, Sasuke melancarkan kepal tangannya ke wajah Sai. Aku tak mau melihat ini semua. Aku pun menghampiri Sasuke, dan memegang pundaknya.
"Sudah cukup, Sasuke." Aku bilang. "Aku tak akan memaafkanmu jika kau berbuat lebih dari ini."
"Tapi,"
"Hentikan!" teriakku.
Sasuke langsung melepaskan cengkramannya. Sai pun segera berlari menjauh dari kami berdua. Dia tentu tahu dirinya dalam bahaya jika tidak segera pergi.
Sebelum hilang dari pandanganku, Sai menoleh. "Aku tak akan menyerah untuk mendapatkanmu, Naruto."
Aku dan Sasuke pun terjebak dalam keheningan. Aku baru saja sadar kalau hujan sudah lama reda. Lalu, sesuatu yang kupertanyakan adalah mengapa baju Sasuke basah?
"Jangan-jangan, dari tadi kau mencariku?" Kataku.
"Tentu saja, kau pikir aku menemukanmu karena sebuah kebetulan belaka?"
"Mengapa kau tahu aku dalam bahaya?"
"Hanya insting."
"Kau benar-benar luar biasa." Tak heran jika Naruko tak pernah terkena bahaya.
"Apa saja yang sudah dia lakukan padamu?"
"Hanya sedikit foreplay."
"Apa?!"
"Tenang-tenang." Aku bilang. "Aku tidak apa." Kataku bohong.
"Tidak apa?! Kau baik-baik saja setelah dilecehkan?!" Muka seram Sasuke sekarang berada tepat di depan mukaku, membuatku mengalihkan pandanganku ke arah lain, mencoba menghilangkan kontak mata dengan Sasuke.
Ada apa dengan Sasuke? Mengapa dia begitu marah?
Ah, aku lupa. Dia memang begitu, selalu memandangku marah dan dingin. Dia memang hanya memandang lembut pada kakakku seorang. Tapi wajar saja, aku memang selalu buat masalah dengannya. Tiap hari, tiap minggu, tiap bulan selalu ada masalah yang aku buat, entah itu dengannya, entah itu dengan temen sekolahku, entah itu dengan salah satu geng di luar sekolah. Dan pada akhirnya yang menyelesaikan semua masalah itu adalah Sasuke, sementara aku hanya menonton TV serta bermain game di rumah temanku, dan tentunya malam harinya aku digusur pulang kerumah dan dapat ceramahan plus plus dari Sasuke juga Naruko. Aku punya dua kakak yang peduli padaku dan bertindak seolah mereka itu adalah orang tuaku, well ya... meskipun mereka seumuran denganku. Hidupku memang enak, sampai aku merasa ingin muntah.
"Er... aku harus pulang. Bajuku basah, dan aku tidak mau masuk angin."
"Pulang kemana, eh?"
"Bukankah kau bilang kau akan menculikku jika aku melakukan hal bodoh?" tanyaku.
"Ya, aku mengatakannya."
"Maka culiklah aku..."
To be Continued
Need Reviews XP
